Aku duduk termenung menatap hamparan semburat jingga, langit masih menyisakan sisa-sisa hujan sore tadi. Udara dingin mengusap lembut punggung kala aku sedang duduk di sebuah taman, pada sudut kota Incheon. Sudah berbatang-batang rokok aku habiskan, tapi rasanya mulut ini masih pahit, belum puas juga. Sama seperti hati ini yang belum lelah mengenangmu.
Kutulis namamu di dahan pohon yang ada di sampingku. Nama yang sanggup membuat hati ini luruh, nama yang sanggup membuat bibir ini tersenyum.
Kim So Eun apakah kau masih seperti dulu?!
Angin berhembus kencang, membawaku pada kenangan beberapa tahun silam di sebuah taman saat matahari bersinar dengan teriknya. Kita duduk di bawah pohon, berbagi tawa dan cerita.
"Hari ini panas sekali, Smiley! Kenapa tidak ada angin ya?" tanyamu.
"Coba kau bersiul." Aku melihat wajahmu mengernyit lucu, mencoba menerka kalimat tak logisku. Apa hubungannya antara bersiul dengan angin?
"Memangnya apa hubungannya?" tanyamu, menderai tawa di akhir kalimat.
"Bersiul itu bisa memanggil angin," jawabku. "Waktu aku kecil, kalau main layangan dan tidak ada angin, aku pasti bersiul. Dan tidak lama kemudian, pasti anginnya datang."
Kim So Eun menatapku dengan senyum. "Coba kau saja yang bersiul, aku tidak bisa bersiul," pintamu.
Ketika itu, aku pun langsung bersiul. Dan, entah kebetulan atau tidak, tak lama berselang angin pun berhembus kencang. Lantas kau memekik gembira, dan memandangku takjub seolah aku memiliki kekuatan magis atau gaib. Aku senang melihat wajahmu saat itu.
Polos seperti bayi.
Bersih seperti baru terlahir....
Sejak saat itu kau selalu memintaku bersiul. Saat kita duduk di taman, dan sejak saat itu pula, angin selalu mengingatkanku padamu. Menyeret memori biru pada gadisku....
Kita semakin dekat sejak kita mengambil mata kuliah yang sama. Mencari buku-buku bekas di Megaparts Center. Main game atau sekedar duduk-duduk di taman menunggu jam kuliah. Sungguh. Duniaku seolah berputar mengingat setiap kenangan tentangmu – rindu rasanya aku ingin kembali ke masa-masa kita kuliah dulu.
Kau selalu memanggilku, 'Smiley'. Sebuah nama yang selalu terdengar indah di telingaku. Aku senang. Sebuah nama kesayangan darimu untukku, dan hanya kaulah yang satu-satunya memanggilku seperti itu!
Sedari dulu aku memang ingin punya nama kesayangan, sebuah panggilan yang lebih karib ketimbang mendengar nama asliku yang telah melanglang buana di gendang telingaku semenjak aku lahir. Aku bosan dipanggil dengan nama asli, dan hanya kaulah yang mengerti dengan keinginan hatiku.
Kau tahu, betapa berartinya nama itu bagiku. Sebuah nama yang terangkai dari 6 huruf, sebutan yang paling sempurna di dunia, yang dapat merekatkan dua hati. Hatiku dan hatimu, Kim So Eun!
Nama itu sangat berarti untukku, karena nama itulah pula aku dapat meresapi arti senang dan susah. Sedih dan gembira. Tawa dan tangis.
Aku tahu, aku mempunyai arti khusus di sudut hatimu. Seperti kala itu, saat kau senantiasa menyertakan nama kesayanganku pada setiap momen kehidupanmu. Saat kau curhat, sms, dan....
I love you, Smiley!
Tapi, setiap orang memiliki jalan hidupnya masing-masing. Bukankah begitu, Kim So Eun? Sama seperti ketika kau mengabariku kabar yang paling buruk sedunia!
21 Januari 2018
22.45
Aku akan bertunangan dengan Lee Ji Hoon, tanggal 14 Februari. Tepat valentine. Kau datang ya, Smiley!
Kim So Eun, harusnya aku mampu mengartikan kebersamaan kita selama ini saat menyadari ada satu nama yang telah akrab dalam hari-harimu… Lee Ji Hoon! Seharusnya aku tahu dan sadar akan hal itu… hari-hari yang selalu kurindukan nan indah ini akan tercabut dari hadapan kita!
Pesan pendek sms-mu membuat duniaku berputar. Lama aku terpaku menatap tulisan di layar handphone, bingung kata-kata apa yang harus aku tulis untuk membalas.
Sungguh, kupatahkan semangat dimana seharusnya kau merajut awal indah bersama Lee Ji Hoon saat kuputuskan untuk tidak hadir pada hari pertunanganmu! Bukan karena aku tidak ingin melihat kau bahagia, tapi karena aku tahu… aku tidak akan sanggup berdiri tegar di hadapanmu saat itu.
Ragu, aku mulai mengetik huruf demi huruf.
26 Januari 2018
23.30
Kalau bisa datang, aku pasti datang.
* * *
"Pertunangannya diundur tanggal 16 Maret nanti, Smiley," katamu saat itu, ketika aku menemanimu mengambil gaun untuk acara pertunanganmu di salah satu butik terkenal di Seoul.
"Kenapa memangnya?" tanyaku, mengerutkan kening kepura-puraan. Sungguh, sandiwara ini sangat menyakitkan! Entah mengapa hati kecilku berkata lain, sebenarnya aku lebih suka seandainya pertunanganmu dibatalkan untuk selama-lamanya!
"Pendetanya berhalangan, tidak bisa datang pada hari 'H', jadi diundur."
"Memangnya, yang namanya pertunangan itu harus ada Pendeta? Kenapa seperti menikah saja?"
"Ya, sebenarnya tidak juga. Tapi, agar lebih serius dan sakral saja. Hei, rasanya malu ya kalau seandainya pertunanganku gagal dan aku tidak jadi menikah."
"Kenapa harus malu? Kalau ternyata banyak tidak cocoknya, apa masih mau diteruskan? Menikah itu kan urusan pilihan hati. Dan, cinta pada dasarnya bukan rasa malu."
Sesaat aku melihat ada gurat keraguan di matamu. Lalu kau tersenyum tak lama berselang.
"Aku yakin dengan pilihanku, Smiley!"
Hatiku terkapar berdarah. Anggukan yakinmu membuat mataku membasah, berusaha kusembunyikan lewat seulas senyumku yang palsu. Entah, aku tiba-tiba menjadi orang yang paling malang di dunia!
Lee Ji Hoon memang bisa membawamu ke arah masa depan yang kau impikan, Kim So Eun. Aku tahu, setiap mimpi dan harapanmu, apa yang ingin kau capai dalam hidup, tentulah bukan aku orang yang mampu mewujudkan itu semua! Tapi tahukah kau, Kim So Eun, hanya aku yang mencintaimu sedalam ini. Yang datang atas nama ketulusan! Dan, aku yakin cinta tidak pernah salah. Cinta hanya hadir pada saat yang tidak tepat!
* * *
"Kau jahat kalau sampai tidak datang, Smiley!" Kim So Eun mengultimatum. "Aku mau orang-orang terdekatku datang. Ini salah satu hari paling istimewa dalam hidupku," demikian katamu lagi, saat kita bertemu sehari sebelum hari pertunangan.
"Maafkan aku, Kim So Eun, tapi kali ini aku benar-benar tidak bisa datang. Acaramu berbenturan dengan acara keluargaku," tolakku, menyembunyikan wajahku yang tiba-tiba seperti bertopeng. "Ma-maaf...."
"Ya, sudah," napasmu menghembus berat. Aku tahu ada raut kecewa yang tak dapat kau himpun dalam sebaris kalimat.
"Semoga kau bahagia," kataku dalam nada terbata.
Kau tersenyum. "Terima kasih, Smiley."
Hatiku semakin berdarah.
Malamnya aku menangis. Seikhlas apapun, aku tetap merasa ada bagian dari hatiku yang terluka. Sejak saat itu aku memang sedikit demi sedikit menghindarimu, menghilang darimu. Dan kita tidak pernah bertemu lagi karena kau pun memutuskan untuk melanjutkan studi S2-mu di Incheon, dan aku memutuskan untuk menerima tawaran kerja dari teman ayahku di Amerika.
Waktu merayap dengan sangat cepat. Ia menelan sejumlah kenangan kita, Kim So Eun. Namun aku masih terkapar dalam memori biru yang pernah kita rajut.
Sudah satu tahun kita tidak bertemu, aku baru seminggu pulang dari Amerika. Entah apa yang membawaku ke kota ini. Mungkin getar rindu masih belum sepenuhnya pudar. Hingga pada suatu Senja, Im Yoona – sahabatmu, mengabariku di Seoul, kau tengah berada di Incheon. Ia memberiku secarik kertas bertulis alamatmu di sana.
"Kim Bum, Kau harus bertemu dengan Kim So Eun!"
"Untuk apa?"
"Jangan lagi tanya untuk apa. Kepergianmu yang tanpa kabar setahun lalu sudah cukup membuatnya terkapar berdarah!"
"Aku sudah melupakan masa laluku dengannya, Im Yoona!"
"Tidak bagi Kim So Eun. Selamanya tidak."
Dadaku serasa tersekat sesuatu yang menggumpal setelah sesaat tadi menggemuruh. Masihkah ada pijar yang berkilatan serupa unggun yang akan menyala abadi di hatinya?
“Aku mohon, temui Kim So Eun. Aku mohon dengan sangat Kim Bum, Enyahkan kekerdilan yang senantiasa membuatmu jadi pecundang."
Tapi sesuatu melerai niatku untuk bersua denganmu. Dan sesuatu itu adalah benang merah masa lalu kita, yang kuputuskan sepihak kala aku benar-benar terluka, Tak kukabari keberangkatanku ke Amerika padamu!
Aku tahu, kau pasti marah!
Langit semakin kelam ketika lampu taman sudah mulai dinyalakan. Aku masih sendiri, merajut lembar demi lembar kenangan yang sudah usang. Beberapa kenangan itu menjadi serpihan dan koyak oleh ulah kita yang tak pernah jujur mengungkap isi hati.
Aku tahu, kau menangis dalam senyum. Kita sama-sama bersandirwara. Lee Ji Hoon adalah jaring yang diciptakan sebelum kau menemukan dunia penuh bunga denganku. Ia sudah terlanjur memenjarakanmu dalam tuntutan cinta tak berujung. Sehingga kau mampu menepis sebaris kalimat seputih mutiara di dalam hatimu… Sesungguhnya, aku sebenarnya cinta padamu, Smiley!
Di sini, aku masih sendiri. Menghukum diriku dalam sejumlah rasa bersalah. Dusta di antara kita telah menciptakan dusta-dusta lain. Apakah kau berbahagia bersamanya?!
* * *
Malam menghadirkan gelap bagai jubah hitam dalam rimba di atas Kota Incheon. Tak ada noktah gemintang seperti mata peri langit. Sementara kepungan awan tiap sebentar meniriskan gerimis, dan mengusir berpasang-pasang kaki kecil berceloteh riang pada sudut taman. Aku masih teronggok pada salah satu kenangan silam kita. Betapa banyak remah kepengecutan kita yang menabur di atas luka yang kian hari melebar di hati kita.
Jika ada penyesalan yang terdalam, maka akan kusesali ini, kenapa aku merasa berat meninggalkan taman ini, sementara kenangan kita telah semakin berdebu, dan setiap menyingkapnya maka hanya akan menyobek lembar demi lembar kenangan itu.
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling taman, tak ada siapa-siapa kecuali sejumlah sepi yang mendendang dalam kesunyian. Ini lagu kekalahan kita, Kim So Eun. Demikian banyaknya perbedaan yang telah memasung kita dan membentuk sekat indah pada relung hati kita.
"Smiley, cepatlah menyusulku. Kubantu mencarikan pendeta...."
Kita memang berbeda, Kim So Eun. Jauh sangat berbeda. latar belakang keluarga yang kita dapati semenjak bayi bagai dua kutub yang berbeda. Kita mungkin dapat bersatu. Namun semuanya hanya akan menambah sejumlah rasa sakit.
Lalu, kita mulai menjadi aktor kawakan dalam teater yang kita mainkan. Sandiwara begitu sempurna. Ya, begitu sempurna sehingga babak demi babak penonton terkesima ketika kita akhiri semuanya dengan ending yang menyedihkan. Sangat menyedihkan!
"Kim So Eun sudah bercerai!" Im Yoona mengungkap. "Hanya setahun Kim So Eun dapat bertahan dengan Lee Ji Hoon. Aku kira tak ada prahara yang merundungi keluarga mereka yang belum dikaruniai anak. Pada dasarnya, mereka memang tidak saling mencinta."
Jantungku berdegup. Im Yoona mengabariku satu hal yang paling buruk sedunia, sekaligus kabar yang paling membahagiakan!
Astaga!
Aku menggigil dirayap keegosentrisan. Demikian tegakah aku bersukacita dan bersorak di atas kepedihan perceraian Kim So Eun?! Aku memang lelaki keparat yang pernah dilahirkan di dunia ini.
"Kalian tidak pernah jujur."
"Banyak perbedaan di antara kami, Im Yoona!"
"Justru perbedaan itu adalah sesuatu hal yang perlu disatukan. Bukannya...."
"Dia milik Lee Ji Hoon."
"Dia milikmu, Kim Bum! Lee Ji Hoon hanya orang yang beruntung karena dia hadir di dalam kesetaraan lingkungan Kim So Eun. Namun apa yang kau lihat sekarang? Mereka hancur!"
Aku menghela napas dengan mata memerih. Kenapa cinta harus hadir pada saat yang salah?!
Aku menatap jam tanganku, sudah pukul delapan ketika gerimis sudah menirai deras. Empat jam di sini, aku hanya menjaring kenangan lapuk yang tercabik oleh dusta.
"Smiley!"
Samar suara yang telah kuakrabi mengalun di gendang telingaku. Aku menoleh dan tersentak dengan denyut jantung memburu.
"Kim... Kim So Eun..."
Ia berjalan menghampiriku. Pakaiannya basah oleh rinai hujan. Airmatanya jatuh dan membaur oleh air hujan.
"Ka-kau baik-baik saja kan, Smiley?"
Kerongkonganku tersekat oleh haru. Kenangan lama itu kembali menjerat dan membuatku tak mampu membendung tangis.
"Ak-aku baik-baik saja, Kim So Eun...."
"Kau semakin dewasa...."
Lidahku kelu tak mampu menggetarkan suara. Kukembangkan senyumku yang bercampur mimik tangis.
"Im Yoona mengabariku, katanya kau datang ke Incheon."
Aku mengangguk. Ia menatapku rindu.
"Kapan kembali ke Amerika?"
Aku menggeleng. "Aku memutuskan untuk kembali saja ke Korea."
"Kenapa? Apa tidak ada stok gadis bule yang...."
Aku menangis. Entah, kali ini aku tidak merasa malu mengucurkan airmata di hadapannya. Serta merta berdiri dan memeluk tubuh yang kuyup oleh hujan itu.
"Aku tidak dapat melupakanmu, Kim So Eun! Aku mencintaimu!"
Ia turut menangis. Mempererat pelukannya di bahuku.
Kukecup bibirnya, singkat. Tangisnya memecah menjadi isak. Sandiwara telah kami akhiri. Dan berharap, biarlah waktu yang akan menyatukan cinta kami.
Tamat
Copyright Sweety Qliquers
Copyright Sweety Qliquers
OuuuuuuuuuuFtttt MEwEk critanya..T_T
BalasHapusOneShoot jjg AkHirnya..ahahaha..Not Chaptered..
Woke, as ussually..AQ akan jd Tamu di tiap Crita Bumsso mu...KEEP FIGHTIIING!!!