Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Jumat, 15 Juli 2011

Jodoh Sempurna (Chapter 5)



Cukup lama juga mereka berbelanja. Tak heran bila kaki jadi pegal sesampainya di rumah. Kim Bum mengambil dua kaleng minuman ringan dari kulkas. Yang satu disodorkannya pada Kim So Eun, lalu ikut duduk di sebelah Kim So Eun. Kim So Eun meminta Kim Bum mengambilkan bantal kursi di sebelahnya, agar ia bisa bersandar lebih nyaman lagi. Kim Bum memberikan apa yang diminta Kim So Eun.

“Terima kasih. Kalau kau baik begini, bisa-bisa aku jatuh cinta,” ujar Kim So Eun bergurau, sambil menepukkan tangannya ke pipi Kim Bum.

Kim Bum tertegun sejenak dengan keakraban yang dilakukan Kim So Eun pada pipinya, tapi dia sadar, Kim So Eun hanya terbawa perasaan. Namun, dia cukup senang dengan suasana relaks di antara mereka. Diambilnya remote control televisi. Pembicaraan pun beralih ke film yang sedang ditayangkan dan film-film koleksi Kim Bum.

“Wah, kapan-kapan aku pinjam film-filmmu, ya?” kata Kim So Eun.

“Ya, minggu depan akan kubawakan itu,” janji Kim Bum. Ia lega. Dengan tombol yang tepat, Kim So Eun kembali bisa bersikap bersahabat dengannya. Pada dasarnya Kim So Eun tak seburuk yang dia coba tampilkan. Dia tahu itu. Ada kalanya Kim So Eun akan kembali pada sifat dasarnya yang ramah. Hanya, yang tak dimengertinya, Kim So Eun selalu bersikukuh untuk bersikap antipati padanya.

Obrolan mereka pun merembet ke soal lain. Kim So Eun terpana ketika menyadari mereka punya banyak kesamaan. Mereka menyukai film yang sama, buku-buku yang sama, juga musik yang sama. Waktu pun semakin malam. Kim Bum melirik jam tangannya, ketika dilihatnya Kim So Eun sudah beberapa kali menguap.

“Tidurlah, kita teruskan besok pagi,” ujarnya, sambil bangkit dan mengulurkan tangan ke arah Kim So Eun untuk membantunya berdiri. Tanpa berpikir lagi, Kim So Eun menyambut uluran tangan Kim Bum, sehingga tubuhnya mendekat ke tubuh Kim Bum. Mereka berdiri berhadapan demikian dekatnya. Aroma tubuh dan parfum Kim Bum yang tercium hidungnya membuat jantung Kim So Eun langsung bertalu-talu. Napasnya langsung terasa sesak oleh kedekatan tubuh mereka. Namun, dengan segera pikiran warasnya kembali jalan.

Kim Bum tersenyum dalam hati. Dia tahu, pertahanan diri Kim So Eun hampir jebol. Sebaliknya, Kim So Eun pun tahu bahwa Kim Bum dapat meraba apa yang terjadi. Kesal pada dirinya sendiri, Kim So Eun segera beranjak. Sesaat ia berpaling pada Kim Bum. “Aku harus kerja malam ini, jadi kau urus dirimu sendiri,” ujarnya.

“Jangan risaukan aku. Silakan jika ingin bekerja,” jawab Kim Bum.

Saat Kim So Eun asyik membaca naskah di layar komputer, Kim Bum sibuk melihat-lihat koleksi buku Kim So Eun dan mengambil salah satunya. Saking seriusnya bekerja, Kim So Eun sudah tak ingat bahwa Kim Bum berada di dekatnya. Dia sudah terhanyut dalam konsentrasi penuh dalam mengedit naskah. Malam semakin beranjak. Kim Bum pun tanpa berkata apa-apa langsung masuk ke kamarnya. Dia tahu, Kim So Eun tak ingin diganggu dan juga tak akan bergerak dari pekerjaannya hingga selesai. Hanya, sesekali di tengah malam dia terbangun mendengar Kim So Eun marah-marah di telepon. Ketika dini hari dia bangun, masih dilihatnya Kim So Eun berkutat di depan komputernya.

“Belum selesai juga pekerjaanmu, Kim So Eun?” tanyanya, halus.

“Ya,” jawab Kim So Eun, tanpa mengalihkan pandangan dari komputer.

Kim Bum diam, tak berkata apa-apa. Sesudah cuci muka, dia mengambil sepatu olahraga dan keluar untuk lari pagi, seperti kebiasaannya di rumah.

Baru menginjak pukul tujuh pagi, Kim So Eun mendesah lega. “Akhirnya, selesai juga.” Dia membuka jendela dan melihat Kim Bum yang sedang duduk beristirahat di lantai teras dengan baju bersimbah keringat, setelah lari pagi keliling kompleks rumah. Kim So Eun terkesiap melihat penampilan Kim Bum dalam balutan training yang kini mencetak tubuh gara-gara keringatnya. Ia menarik napas panjang dan mencoba memalingkan wajah. Ada apa dengannya? Apakah ia tak pernah melihat tubuh lelaki dalam balutan pakaian olahraga? Lantas, kenapa kali ini hatinya kacau melihat penampilan Kim Bum? Dia segera menyuruh otaknya berpikir waras kembali.

“Kau tak lapar?” tanya Kim So Eun, ketika Kim Bum masuk rumah.

“Belum. Kau lapar?” tanya Kim Bum.

“Kuluruskan tubuh dulu sebentar, mandi, lalu kita cari sarapan.”

“Lebih baik kau istirahat dulu. Biar kubuatkan sarapan untukmu. Kau suka omelet? Atau, kau mau roti bakar? Kulihat di dapurmu tersedia banyak roti,” tawar Kim Bum. Dia tak tega melihat Kim So Eun harus pergi mencari sarapan.

“Boleh juga. Aku mau dua-duanya. Mudah-mudahan omelet buatanmu juga seenak masakanmu semalam,” ujar Kim So Eun, tulus.

Kim Bum tertawa. Dia masuk ke kamar mandi untuk membersihkan badan, baru sesudahnya membuat sarapan. Sementara menunggu sarapan siap, Kim So Eun mematikan sambungan telepon di internetnya dan meluruskan kembali tubuhnya di karpet. Tak lama, dia sudah terlelap. Kim Bum yang datang sesaat kemudian dengan membawa masakan yang sudah jadi, hanya bisa menatap kasihan melihat Kim So Eun yang terlelap. Wajah Kim So Eun tampak polos seperti bayi. Tak kelihatan sedikit pun wanita judes yang marah-marah seperti semalam. Kim Bum mengambil selimut dan bantal dari kamar dan menyelimuti tubuh Kim So Eun. Kim So Eun cuma mendesah kecil ketika kepalanya diangkat untuk diberi bantal.

Kim So Eun baru tidur sekitar 2 jam ketika telepon selularnya berbunyi dan membangunkannya. Dari orang yang memintanya mengedit naskah. Setelah percakapan itu usai, kesadarannya baru pulih benar. Dia tampak bingung menatap bantal dan selimutnya. “Apakah kau yang menyelimutiku?” tanyanya pada Kim Bum, yang sedang membaca di dekatnya.

“Ya. Kau terlihat kecapekan sekali, makanya kubiarkan saja. Sarapanmu sudah dingin. Mau kubuatkan lagi?”

“Tidak usah, kumakan yang itu saja. Aku mandi dulu, lalu ke kantor untuk lihat naskah sebelum difilmkan. Biasanya, untuk deadline yang kebut semalam begini, pasti ada saja yang lolos dan harus diperbaiki.”

“Biar kuantar.”

“Tidak usah. Aku biasa melakukannya sendiri.”

“Tapi, kau hanya sempat istirahat 2 jam. Bahaya bagimu jika menyetir dalam keadaan lelah begitu.”

Kim So Eun mengembuskan napas dengan kesal. Tubuhnya sangat lelah saat ini. Dia malas berdebat dengan Kim Bum. Lebih baik ia mengalah.

* * *

“Hai, selamat siang teman-teman,” seru Kim So Eun, saat menginjakkan kaki di pintu kantor. Hanya anak-anak bagian artistik yang sedang tekun bekerja di belakang komputer, serta Lee Hong Ki yang sedang mengoreksi isi naskah.

Setelah mengenalkan Kim Bum pada teman-temannya, Kim So Eun meminta Kim Bum duduk di sofa di depan televisi, sementara Kim So Eun meraih naskah. Ternyata benar, ada beberapa bagian yang masih perlu dibenahi. Ada yang pemasangan fotonya terbalik. Ada yang kata-kata di judul belum diganti atau kurang huruf tertentu, ada pula yang naskahnya kepanjangan, tak sesuai space halaman karena iklannya terlalu besar. Ada juga naskah yang masih memuat tulisan aslinya di samping hasil editannya, sehingga terkesan paragrap ganda.

Kesibukan itu menyita perhatian Kim So Eun selama beberapa waktu. Dia tak ingat bahwa dia datang bersama Kim Bum dan telah menelantarkannya. Walau tak senang akan perjodohan mereka, tak urung dia merasa bersalah menelantarkan Kim Bum di tempat asing.

“Maaf, ya, aku lupa kalau ada dirimu di sini. Kau lapar dan haus tidak? Mau kopi dan Mie Kecap Hitam?” Tanpa menunggu jawaban Kim Bum, dia langsung meminta Taemin, seorang office boy, membuatkan kopi untuk dirinya dan Kim Bum. Sesudahnya, dia juga meminta Taemin membeli Mie Kecap Hitam.

“Pekerjaanmu sudah selesai?” tanya Kim Bum, sabar.

“Belum, sebentar lagi. Agak geser sedikit, aku lelah sekali. Rasanya, tubuhku tak kuat ditegakkan,” ujarnya, hendak merebahkan tubuh.

Kim Bum meraih bahu Kim So Eun dengan lembut dan membaringkannya di pangkuannya. “Berbaringlah.”

Untuk sesaat Kim So Eun agak ragu, tapi tubuhnya yang capek mengalahkan rasionya. “Lee Hong Ki, kalau naskah datang lagi, aku dipanggil, ya,” ujarnya. Kim So Eun tak sadar bahwa dirinya sempat terlelap. Dia terbangun karena anak-anak ramai mengambil makanan masing-masing.

“Aduh, berisik sekali,” desahnya, sambil bangun.

“Tidur lagi saja kalau masih mengantuk,” saran Kim Bum.

“Tak mungkin bisa tidur lagi, ribut begini,” gerutunya.

Untunglah, naskah selanjutnya segera muncul dan tak ada kesalahan apa pun, sehingga Kim So Eun bisa menandatangani semua naskah tersebut untuk diteruskan dibuat film. “Ayo, teman-teman, waktunya kembali ke keluarga masing-masing,” pamitnya, pada teman-temannya, dengan lega.

Kim So Eun memaksa Kim Bum agar dia yang menyetir. Tentu saja Kim Bum menolaknya, mengingat kondisi Kim So Eun yang masih capek. “Justru karena aku capek, aku saja yang menyetir. Kita lewat jalan pintas,” ujar Kim So Eun, tak sabar.

“Kau bisa jadi navigator. Tunjukkan jalannya,” kata Kim Bum.

“Sudahlah, jangan cerewet. Kemarikan kuncinya!” kata Kim So Eun, sambil merebut kunci dari tangan Kim Bum. Dia juga langsung masuk ke belakang kemudi. Mau tak mau Kim Bum pun duduk di bangku sebelahnya, walau dengan mengomel.

Kim So Eun menengok ke arah Kim Bum. “Kenakan sabuk pengamanmu,” katanya. Baru saja Kim Bum selesai mengenakan sabuk pengaman, Kim So Eun sudah melajukan mobilnya ke arah jalan raya dengan kencang.

“Kim So Eun, pelankan jalanmu, awas truk di depan,” kata Kim Bum, ngeri.

Tapi, Kim So Eun tidak memperlambat laju kendaraannya. Setelah tepat berada di belakang truk, dia membelokkan setirnya, lalu melaju menyalip truk tersebut. Di perempatan selanjutnya Kim So Eun juga menerobos lampu kuning dan terus melaju kencang.

“Kim So Eun!” teriak Kim Bum, kaget. Tapi, Kim So Eun tak menjawab.

“Lain kali aku yang menyetir. Jangan pernah lagi menyetir jika cara menyetirmu seperti ini!” omel Kim Bum. Kim So Eun tak menjawab, ia membanting kemudi ke arah kanan sekali lagi, kemudian memasuki jalan tol. Ia hanya memelankan laju kendaraannya saat sudah dekat dengan tempat pembayaran karcis tol, selanjutnya ia mengebut. Hasilnya, mereka tiba di rumahnya hanya dalam 20 menit. Padahal, ketika berangkat bisa memakan waktu satu jam.

“Bagaimana?” tanyanya, puas.

“Jangan pernah lagi mengemudikan mobil, Kim So Eun! Kau tidak saja membahayakan dirimu, juga orang lain,” geram Kim Bum, sambil merebut kunci mobil dari tempatnya. Kim So Eun hanya mengangkat bahunya, sambil keluar dari mobil. Mau tak mau Kim Bum membuntutinya, walau hatinya masih kesal.

Kim So Eun membaringkan tubuhnya di kursi malas. Kim Bum kembali terpana dengan tingkah Kim So Eun yang seenaknya. Tanpa berkomentar, Kim Bum membereskan ruang tengah yang berantakan.

“Apakah kau memang selalu bertingkah demikian, atau memang kau sengaja hendak mengujiku?” omelnya, ketika dilihatnya Kim So Eun mengikutinya dan mulai membantunya membereskan buku-buku.

Kim So Eun hanya mengangkat bahunya dengan cuek. Dia tahu, Kim Bum masih kesal karena kejadian tadi. Tapi, itu memang disengajanya. Namun, dirinya tak bisa cuek ketika Kim Bum mulai membereskan barang-barangnya untuk pulang ke Namchoseon. Bagaimanapun, dia tak tega melihat Kim Bum menyetir dalam keadaan lelah demikian. Ia tahu Kim Bum juga kurang istirahat seperti dirinya.

“Kau pulang besok pagi saja, pagi-pagi sekali. Toh, hanya 3 jam perjalanan dari sini. Daripada pulang sekarang dalam keadaan lelah, tinggal semalam lagi saja. Kalau mau pulang sore ini juga, jangan pakai mobil. Kau naik kereta saja. Nanti kuantar ke stasiun. Masih ada kereta terakhir kalau kau mau.”

Kim Bum tersenyum dalam hati mendengar perhatian Kim So Eun. Perkembangan bagus, batinnya. Ia pun menimbang-nimbang. “Baik, aku di sini semalam lagi, besok dini hari saja aku pulang,” katanya.

“Aku juga lelah. Tadi sebenarnya aku berbohong ketika mengatakan siap mengantarmu ke stasiun,” sahut Kim So Eun, sambil tertawa.

Kim Bum hanya menggelengkan kepala.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...