Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Rabu, 13 Juli 2011

Pernikahan Simulasi (Chapter 2)



Wajahnya serta-merta menjadi serius. “Aku tidak menertawaimu. Kalau kau benar-benar sahabatku, kau tahu beginilah aku menyikapi semua masalah, yang tergenting sekalipun. Termasuk soal menikah. Cobalah. Kau akan merasa jauh lebih baik. Kalau ibumu menanyakan calonmu sekali lagi, tertawalah. Tertawalah keras-keras.”

“Kim Bum, kau benar-benar tak tertolong lagi,” gumamku. “Aku perlu solusi, Dan. Bukan ide-ide konyol.”

Kim Bum membisu. Dan untuk beberapa waktu kami berdua sama-sama merenung.

Akhirnya, Kim Bum bicara dengan hati-hati. “Kim So Eun, aku tahu ini akan kedengaran gila. Tapi dengar dulu. Aku rasa saranku ini bisa menyelesaikan kedua masalahmu. Pertama, ketidakpercayaanmu pada ras laki-laki. Kedua, ketidakmengertianmu kenapa kau butuh seorang suami.”

Aku mengangguk, dalam hati bersiap-siap untuk mempertahankan mimik seriusku walaupun ide yang akan dilontarkan Kim Bum nantinya ternyata kelewat sinting dan karenanya teramat sangat kocak.

“Sebelumnya, aku ingin tanya satu hal, dan ini sangat sangat penting, jadi aku perlu jawaban terjujurmu. Apa kau percaya padaku?”

Kutatap Kim Bum dengan dahi berkerut. Ia telah jadi sahabatku selama puluhan tahun. Banyak yang berubah dalam hidupku, dan setidaknya enam lelaki telah hadir dan menghilang dari hidupku. Hanya Kim Bum yang tak berganti. Ia seakan-akan selalu siap mengulurkan tangan menolongku, sementara sense of humor-nya tak pernah gagal membantuku keluar dari depresi yang paling parah sekalipun. Kalau ada satu laki-laki di dunia yang kuhadapi dengan skeptisisme*) nyaris nol, hanya Kim Bum orangnya.

*) Skeptis > kurang percaya, ragu-ragu

“Ya. Aku percaya padamu.”

“Kalau begitu, percayalah bahwa yang kulakukan ini semata-mata untuk kebaikanmu. Percayalah bahwa aku sama sekali tidak memiliki niat jahat terselubung di balik ideku ini. Percayalah.”

“Kim Bum!” potongku tandas. “Ide apa?”

“Aku ingin mengajakmu mengadakan sebuah eksperimen,” ia bicara dengan hati-hati, kedua matanya terpancang pada ekspresi wajahku. “Kita akan melakukan pernikahan.”

“Apa?”

“Simulasi!” lanjut Kim Bum sesegera mungkin. “Tentu saja lengkap dengan semua formalitasnya, lamaran, menikah di gereja, kalau perlu honey moon….”

“Bulan madu?”

Kim Bum mengangkat tangannya menyuruhku diam, ”Simulasi. Sekali lagi, simulasi. Setelah itu kita akan menjadi suami istri simulasi sambil mempelajari kenapa kebanyakan manusia yang normal dan waras begitu berambisi untuk berumah tangga. Kalau pada akhir eksperimen kau merasa yakin bahwa kerugiannya tidak sebanding dengan keuntungannya, kita bercerai dan kau bisa hidup lajang, merdeka selama-lamanya. Kalau ternyata kau kecanduan hidup sebagai istri, kita bercerai dan kau bisa cari suami yang paling cocok untukmu. Anggaplah ini Sebagai tes untuk melihat apa kau akan memilih menikah atau tidak. Tanpa komitmen, Bagaimana?”

“Kim Bum,” desisku. “Ini ide terbodoh yang pernah kudengar.”

“Semua gagasan jenius selalu diolok-olok pada awalnya,” sanggah Kim Bum mantap. “Pikirkan, Kim So Eun. Ini satu-satunya cara supaya kita bisa belajar seperti apa pernikahan itu sebenarnya tanpa perlu sungguh-sungguh menikah. Kau tidak mungkin melakukannya dengan laki-laki selain aku, yang telah terbukti memiliki sifat ksatria, dapat dipercaya dan teguh pendirian….”

“Serius, Kim Bum, serius!”

“Dan kau sama sekali tidak melakukan pengorbanan apa pun. Kau tidak akan mengalami kerugian apa pun.”

“Kecuali uang puluhan juta yang harus keluar untuk biaya pernikahan….”

“Simulasi,” Kim Bum mengingatkan sambil mengangkat telunjuk.

“Baiklah. Pernikahan simulasi,” geramku. “Dan aku akan menyandang status janda setelah kita bercerai.”

“Simulasi.”

“Kim Bum!”

“Kim So Eun!”

“Oh, Tuhan,” aku bangkit dengan marah dan beranjak keluar. Kim Bum segera menjejeriku.

“Ya, Tuhan. kau memang benar-benar sudah gila, Kim Bum. Aku bangkit dari kursi dengan marah dan beranjak keluar café. Kim Bum segera menjejeriku.

“Kim So Eun, kau tidak perlu semarah ini,” katanya. “Apa aku sejelek itu di matamu hingga kau bahkan tidak mau pura-pura menikah denganku?”

Aku berhenti berjalan dan menatap wajahnya. Dan menggeleng. “Biarpun wajahmu seperti monster yang paling menakutkan sekalipun, aku akan tetap memujimu di depan perempuan malang manapun yang mencintaimu.”

Matanya berbinar. “Kau tidak marah lagi, kan?”

Aku menggeleng. “Aku bukan marah karena idemu, Kim Bum. Aku tahu otakmu memang selalu korslet tiap kali memikirkan jalan keluar dari suatu problem serius. Aku mengerti. Aku hanya kesal karena kau sepertinya tidak peduli dengan masalahku.”

“Justru karena aku sangat peduli aku mengusulkan ini, Kim So Eun,” ekspresinya tampak begitu tulus.

“Terima kasih. Tapi ide itu memuakkan.”

“Pikirkan ibumu, Kim So Eun. Kalau beliau tahu kau akan segera menikah, denganku, orang yang selama ini dikenalnya sangat baik, sopan, hormat kepada orang tua, ulet, tangguh…,” ia berhenti saat melihat raut wajahku, “ibumu akan sangat bahagia, Kim So Eun. Pikirkan juga dirimu.”

Ia diam sejenak. “Aku janji akan menggandeng tanganmu di setiap pesta. Di mana pun.”

Ucapannya begitu menyentuh hatiku hingga aku nyaris menangis terharu. Kalau saja di antara bekas-bekas kekasihku ada yang mengatakan itu kepadaku, aku pasti sudah lama sekali menikah, pikirku sebelum menertawai diri sendiri. Perempuan yang tidak butuh seorang pelindung, tapi haus digandeng tangannya. Aku pasti sama kurang warasnya dengan Kim Bum.

“Apa aku harus menciummu?” tanyaku nyaris berbisik.

“Sesekali mungkin, kalau orang tua kita diam-diam mengawasi,” matanya kembali tertawa. “Di pipi. Aku tidak akan melewati batas. Kalau kita hanya berdua, kau bebas untuk meninjuku, menjambakku….”

“Kim Bum,” teguran itu lebih lembut daripada yang kuinginkan dan Kim Bum tersenyum.

* * *

Dan wajahnya kelihatan sedikit pucat. Berapa lama ia tidur semalam? Apa ia terjaga berjam-jam dalam gelap, memikirkan lelucon terbesarnya, seperti aku yang nyalang nyaris sepanjang malam tadi?

Ibuku meneteskan air mata sementara senyum lebar memenuhi wajahnya. Ibu Kim Bum, walau menyaksikan dari kursi rodanya, juga tampak bahagia. Seharusnya aku juga bahagia hari ini. Kim Bum juga. Mungkin dengan orang-orang lain. Tapi seharusnya aku merasa bahagia. Bukan diam-diam mencatat seperti seorang ilmuwan yang teliti… perasaanku, reaksi para tamu, gaun pengantin-ku dan wajah sang Pendeta.

Setelah selesai mengucap janji, Pendeta menyuruh Kim Bum menciumku. Tangannya dingin. Ekspresi wajahnya aneh, kedua matanya gemerlapan dengan rasa takjub, saat aku tersenyum ke arahnya. Ia mengecup bibirku dengan bibirnya yang yang nyaris putih. Lalu kami berdua berdiri berdampingan mendengarkan petuah sang Pendeta.

Akhirnya kuberanikan diri untuk berbisik, ”Kau pucat sekali.”

“Aku lapar. Tidak sarapan tadi pagi.”

“Terlalu nervous?”

“Telat bangun. Aku nonton bola sampai pagi.”

Aku tersenyum.

“Bagaimana aku tadi?” bisiknya.

“Meyakinkan. Berapa lama kau latihan?”

“Hanya waktu aku berpakaian tadi pagi. Catatan yang kau beri tercuci dengan celanaku.”

Ah, Kim Bum, Kim Bum. Menikah dengannya tidak akan pernah membosankan.

Simulasi. Menikah simulasi dengannya tidak akan membosankan, koreksiku.

Bersambung…

1 komentar:

  1. wuaaaaaaaaaaaaa..KEREEEEEEEEEEen..(Minim Kamus Pujian nie readeR)..BINGung Maw Ngomong Apa..NtaR logat InggRis-Q KLuAr justru Makin RIcuH nie Coment GaJE..!!*Abaikan
    Ide Critnya So FresH so cooL..tetep dengan kata2 yg Make Me PenasaRaN AuthOR Dapad Wangsit darimana???..GiLax Karakter Kim Bum di sini..OhMay..Daebaakkk...
    Laik This >>“Semua gagasan jenius selalu diolok-olok pada awalnya,” sanggah Kim Bum mantap...(wakakakaka Einstein Reinkarnasi kembaLi)

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...