Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Rabu, 27 Juli 2011

The Right Man (Chapter 18)



"Siapa?" Kim Hyun Joong menoleh dengan malas ke arah sekretarisnya.

"Katanya namanya Baek Suzy, Tuan."

“Tidak kenal," sahut Kim Hyun Joong pendek.

"Dia bilang anaknya Kim So Eun, Tuan."

Mata Kim Hyun Joong yang sudah beralih kembali ke angka-angka anggaran produksi di depannya mendadak membeku. Tidak jadi melahap deretan angka-angka di hadapannya. Diangkatnya wajahnya dengan kesal.

"Ada urusan apa lagi?" tanyanya separuh membentak.

“Tidak tahu, Tuan. Dia hanya minta bertemu dengan Tuan."

"Suruh masuk!"

Bergegas sekretaris Kim Hyun Joong meninggalkan ruang kerja direkturnya. Ketika kembali, seorang gadis pincang mengikutinya dari belakang.

"Selamat siang, Paman Kim Hyun Joong," sapa Baek Suzy begitu masuk.

"Ibumu yang menyuruhmu kemari?" tanya Kim Hyun Joong dingin.

Baek Suzy tertegun sesaat. Bukan oleh pertanyaan Kim Hyun Joong. Tetapi oleh dinginnya nada suara lelaki itu. Kapan pernah didengarnya Paman Kim Hyun Joong bertanya sedingin itu? Biasanya dia selalu ramah! Selalu berusaha mengambil hatinya....

Hanya sekali Paman Kim Hyun Joong marah. Waktu terakhir kali datang ke rumahnya. Pada malam ulang tahun Ibu. Tetapi bagaimanapun marahnya dia saat itu, Baek Suzy tidak menyangka begini tawar sambutannya!

Bukankah dia marah kepada Ibu? Mengapa tampaknya dia kesal juga kepadaku, gerutu Baek Suzy dalam hati. Siapa dulu yang begitu ingin menjadi ayah kami? Apakah dia kesal kepadaku karena aku tak pernah keluar melayaninya setiap kali dia datang ke rumah?

"Ibu tidak tahu aku kemari."

Baek Suzy tidak berani duduk karena Paman Kim Hyun Joong tidak menyilakannya. Sekretaris yang ramah itu juga sudah pergi meninggalkan mereka setelah menutup pintu.

"Mau apa kau kemari?"

"Paman…" Baek Suzy mencoba menenangkan dirinya. Dibayangkannya wajah ibunya. Ibu yang sakit. Yang perlu biaya untuk operasinya, Dikuatkannya hatinya. Demi Ibu. Dia harus mencoba. "Aku ingin minta lolong....”

"Kenapa datang kepadaku?"

"Karena cuma Paman Kim Hyun Joong yang bisa menolong.

Kim Hyun Joong mencibir. Menyakitkan sekali. Kalau bukan untuk Ibu, Baek Suzy pasti sudah lari meninggalkannya!

"Kenapa tidak minta tolong kepada ibumu? Atau kepada pacarnya yang ada di rumahmu itu?"

"Paman Kim Bum sudah masuk penjara...."

Ketika melihat seringai di bibir Kim Hyun Joong, Baek Suzy menyesal mengatakannya. Untuk apa? Seharusnya dia tidak usah tahu!

"Jadi dia bukan cuma gigolo."

"Paman Kim Bum bukan gigolo!" protes Baek Suzy tersinggung.

"O, ya? Lantas sedang apa dia di kamar ibumu?”

"Paman Kim Bum sakit!"

"Dan dia tidak bisa bayar ongkos rumah sakit?”

"Paman Kim Bum sangat baik."

"Lalu mengapa orang baik itu masuk penjara?”

"Dia tidak sengaja menabrak orang...."

“Lalu dia lari ke rumah ibumu? Hm, malang sekali nasibnya!?

"Paman, saya datang untuk minta tolong."

"Apa yang dapat kubantu? Menjenguknya di penjara?"

"Ibu sakit, Paman."

Sesaat Kim Hyun Joong terdiam. Ditatapnya gadis yang tegak di hadapannya itu dengan tajam. Ketika melihat air mata yang mulai menggenangi matanya, hati Kim Hyun Joong melunak.

"Sakit apa?"

"Kanker." Baek Suzy tak dapat menahan tangisnya lagi.

Kim Hyun Joong tersentak. Kanker? Kim So Eun kena kanker?

"Kanker apa?" tanyanya agak gugup.

"Payudara, Paman. Ibu harus dioperasi.,.."

"Kenapa datang kepadaku?" desis Kim Hyun Joong pahit. “Aku bukan dokter!"

"Ibu perlu uang untuk biaya operasinya...."

"Tapi di sini bukan Departemen Sosial!"

Sekali lagi Baek Suzy terhenyak. Matanya menatap lelaki itu dengan tatapan tidak percaya. Bukankah Paman Kim Hyun Joong teman Ibu? Beginikah tanggapan seorang teman? Tidak tergugahkah hatinya mendengar Ibu sakit kanker dan harus segera dioperasi?

"Aku tidak bisa menolongmu," gumam Kim Hyun Joong datar. "Antara ibumu dan aku sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi."

“Tapi... Paman Kim Hyun Joong teman Ibu, kan?” protes Baek Suzy kecewa.

"Dulu. Kami sudah putus. Ibumu juga sudah tidak bekerja di sini lagi. Aku tidak dapat menolongnya."

"Paman Kim Hyun Joong tidak bisa meminjamkan uang?" desah Baek Suzy hampir menangis.

"Apa jaminannya? Kapan dikembalikan?"

"Kami sudah tidak punya apa-apa lagi untuk dijaminkan, Paman. Rumah masih kontrak. Mobil sudah dijual...."

"Itu sama saja dengan minta."

"Saya berjanji akan mengembalikannya!"

"Kapan? Kau sudah kerja apa? Di mana? Berapa gajimu?"

Ya Tuhan! Jahatnya lelaki ini! Untung Ibu tidak jadi menerimanya sebagai suami! Ternyata dia cuma baik kalau ada maunya... kalau sedang menginginkan Ibu! Kebaikannya palsu… munafik!

* * *

Park Ji Yeon memasukkan kantong berisi obat-obatan itu ke balik kemejanya. Lalu bergegas dia menyelinap ke toilet.

Semua sudah direncanakannya masak-masak. Dia sudah menjahit kantong di balik celana dalamnya. Seluruh obat-obatan yang dicurinya itu dituangnya ke dalam kantong.

Lalu kantong plastik bekas obat itu dilipatnya sampai kecil sekali. Dimasukkannya ke dalam mimulut.

Kemudian dengan tenang dia keluar. Mengambil ranselnya. Dan mengikuti antrean teman-temanhya melewati pos pemeriksaan di depan pintu.

Pemeriksaan lewat begitu saja. Sudah beberapa hari Park Ji Yeon mengawasinya. Hanya tas yang diperiksa. Kalau ada yang dicurigai, baru mereka digeledah.

Tetapi sikap Park Ji Yeon yang sangat tenang sama sekali tidak memancing kecurigaan. Dia dapat melewati pos penjagaan dengan aman.

* * *

"Golongan Sopraxetine begini sekarang kurang laku," komentar Bibi Son Ye Jin sambil memasukkan obat-obatan itu ke dalam botol plastik. "Kalau laku, murah. Untungnya tidak banyak."

"Sementara ini cuma itu yang bisa saya peroleh, Bibi. Tapi saya perlu uang."

"Biasa, remaja seumurmu! Kebutuhan banyak, uang tidak punya!"

"Mana uangnya, Bibi? Saya harus cepat pulang. Sudah malam."

"Ini." Bibi Son Ye Jin menyodorkan sebuah amplop.

Park Ji Yeon menerima amplop itu. Dan menghitung uangnya.

"Cuma segini?"

"Sudah aku bilang, obat-obatan begini sekarang kurang laku."

"Ah, alasan! Kalau cuma segini hasilnya, saya mundur saja. Daripada ketahuan. Dipecat. Lebih sial lagi, ditangkap polisi!"

"Mau uang banyak?"

"Kalau tidak ditambah, besok saya tidak mau datang lagi!"

"Baiklah. Aku tambah sepuluh ribu lagi...."

"Dua lima." "Tidak ada tawar-tawaran. Kalau tidak mau, ini ambil kembali obatmu!"

Sialan, maki Park Ji Yeon dalam hati. Diambilnya uang yang disodorkan Bibi Son Ye Jin. Dimasukkannya ke dalam amplop.

"Tahu yang sekarang sedang in?"

Bibi Son Ye Jin memperlihatkan sekantong obat-obatan berwarna merah muda, biru, kuning, dan putih.

"Pernah dengar tentang Ecstasy?"

"Kalau kau bisa jual yang model begini," Bibi Son Ye Jin mengambil salah satu obat itu, "bagianmu 50 ribu per butir!"

"50 ribu?" Mata Park Ji Yeon melebar.

"Obat-obatan ini harganya berkisar antara 50 ribu sampai 500 ribu per butir!"

“Tapi teman-teman saya cuma buruh pabrik!"

“Tapi sebelum jadi buruh pabrik, kau kan pernah sekolah? Teman-temanmu pasti masih kenal denganmu!"

"Saya tidak mau menjerumuskan teman-teman saya!"

"Menjerumuskan ke mana? Ecstasy cuma sebangsa supleman! Teman-temanmu tidak akan teler. Mereka malah semakin bersemangat! Semakin gembira! Ini, ambil beberapa butir. Gratis!"

Kalau tidak membuat pemakainya ketagihan, masa kau begitu royal, pikir Park Ji Yeon muak. Membagikan pil mahal ini secara gratis?

* * *

"Lee Young Yoo, Tuan ini ayahnya Jung Da Bin. Dia pernah nonton operet Cinderella. Beliau sangat tertarik padamu."

Lee Young Yoo menggeleng lesu. Matanya tidak bercahaya Sangat berbeda dengan Lee Young Yoo yang mereka lihat waktu memerankan Cinderella. Saat itu dia tampak begitu hidup. Begitu cerah. Begitu lincah.

"Tn. Lee Min Ho kebetulan sedang mencari seorang bintang cilik untuk bintang iklannya," sambung Mrs. Sung Yu Ri, guru Lee Young Yoo. "Seorang anak yang berbakat sepertimu!"

"Tapi saya sedang malas," sahut Lee Young Yoo lesu.

"Kau tidak tertarik?" desak Mrs. Sung Yu Ri heran. "Katanya kau mau masuk TV!"

Lee Young Yoo menggeleng malas. Matanya redup. Seperti lampu yang turun tegangan listriknya.

"Kau kenapa, Lee Young Yoo? Sakit?"

Lee Young Yoo menggeleng lagi. Tanpa gairah. Tanpa semangat.

"Katakan pada saya, Lee Young Yoo. Ada apa?"

"Ibu sakit."

"Anak manis." Mrs. Sung Yu Ri menghela napas lega. Dibelai-belainya rambut Lee Young Yoo sambil tersenyum. "Kalau kau muncul di televisi, pasti ibumu senang. Dan penyakitnya langsung sembuh."

"Ibu tidak bisa sembuh. Harus dioperasi."

"Lee Young Yoo." Tn. Lee Min Ho mengeluarkan sehelai kartu nama. "Ini kartu nama saya. Kalau ibumu sudah sembuh, kau boleh datang ke kantor Untuk di audisi. Ibumu pasti senang kalau kau yang terpilih. Honornya besar."

Lee Young Yoo mengawasi laki-laki itu dengan ragu-ragu.

"Benarkah saya bisa dapat uang banyak?"

"Tapi kau harus minta persetujuan Ibu dulu, ya? Kalau ibumu mengizinkan..."

"Saya pasti jadi bintang iklan, Tuan?"

"Kau harus di audisi dulu. Banyak anak-anak yang datang melamar."

"Kalau saya tidak terpilih?”

"Jangan terlalu berharap dulu, Lee Young Yoo!" potong Mrs. Sung Yu Ri, berbalik cemas melihat besarnya harapan muridnya, "Sainganmu banyak!"

* * *

“Anak ini belum bisa apa-apa," kata petugas di lembaga yang merawat anak-anak tunamental itu kepada Kim So Eun. "Kami sudah melakukan beberapa macam tes. Hasilnya jelek sekali, Nyonya. Kalau anda setuju, lebih baik Kim Yoo Bin dirawat di sini saja."

"Tapi saya ingin mengasuhnya sendiri di rumah, Nyonya," desah Kim So Eun sedih.

"Dalam masa perkembangan, seharusnya ada proses timbal-balik antara faktor kematangan fisik dan kesempatan untuk mempelajari fungsi-fungsi dasar kehidupan manusia. Pada anak normal, mereka dapat mempelajarinya sendiri, hanya dengan melihat, mendengar, dan meniru orang dewasa. Pada anak cacat mental, lebih-lebih yang imbesil seperti anak anda, harus diajarkan dengan metode khusus."

"Bolehkah-saya tahu metode khusus itu, supaya saya dapat mengajarinya sendiri di rumah?"

“Tentu saja boleh. Tetapi terus terang, kami meragukan hasilnya. Kim Yoo Bin bukan saja memiliki IQ yang sangat rendah, tapi koordinasi antara otot-ototnya pun lemah. Lihat saja caranya berjalan, Caranya memandang. Caranya memegang benda."

"Bolehkah saya mencoba melatihnya dulu di rumah, Nyonya? Saya belum ingin berpisah dengan anak bungsu saya"

"Oh, tentu saja boleh. Hanya perlu anda ketahui, jika terlambat, lebih sulit lagi mengajarinya."

"Saya ingin memasukkannya ke Sekolah Luar Biasa. Apa saja yang diajarkan di sana, Nyonya?"

"Yang penting adalah latihan pengamatan dan latihan bicara. Orientasi ruang dan waktu. Kepercayaan diri. Keseimbangan tubuh. Dan yang tak kalah pentingnya, latihan keterampilan."

"Mereka tidak diajari membaca, menulis, atau berhitung?"

"Tentu saja. Tetapi bukan pelajaran membaca dan berhitung seperti anak normal. Karena anak imbesil tidak mungkin dapat membaca buku atau menghitung kalkulasi yang rumit. Tapi paling tidak, Kim Yoo Bin harus dapat membaca namanya sendiri."

"Terima kasih untuk penjelasannya, Nyonya."

"Kembali. Kami selalu siap membantu jika anda butuhkan. Satu pertanyaan lagi, Nyonya. Apakah saudara-saudaranya dapat menerima kehadiran Kim Yoo Bin dengan wajar?"

Kim So Eun tertegun. Sungguh tak pernah terlintas dalam pikirannya...

"A... apa... maksud anda?"

"Saudara-saudaranya tidak melecehkannya? Tidak merasa minder karena punya adik seperti Kim Yoo Bin?"

Kim So Eun tidak mampu menjawab. Lee Young Yoo dan Kim Yoo Jung memang tidak pernah mengejek Kim Yoo Bin. Tetapi... Kim So Eun tidak tahu mereka malu atau tidak punya adik yang terbelakang mental!

Bersambung...

Chapter 10 ... Chapter 11
Chapter 9 ... Chapter 12
Chapter 8 ... Chapter 13
Chapter 7 ... Chapter 14
Chapter 6 ... Chapter 15
Chapter 5 ... Chapter 16
Chapter 4 ... Chapter 17
Chapter 3
Chapter 2
Chapter 1
Prolog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...