Silahkan Mencari!!!
I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
Sabtu, 16 Juli 2011
Lelaki Pilihan (Chapter 3)
You have new mail! Kata-kata itu langsung muncul ketika Kim So Eun membuka notebook-nya.
Hai, Princess! Pulau Jeju memang surga. Kemarin aku berkenalan dengan Zac Efron, pria Inggris. Dia tampan, tinggi, rambut cokelat, mata biru. Kami menginap di hotel yang sama, dan siang ini akan melancong berdua. Karena setiap tahun selalu ke Pulau Jeju, Zac Efron sangat mengenal jalan-jalan di sini. Dia bersedia memanduku. Bagaimana perjodohanmu? Bukankah kemarin kau menemuinya?
Kim So Eun benar-benar putus asa. Emma Watson sepertinya sedang bersenang-senang, sementara dia harus menghadapi misi Ibunya. Dua hari yang lalu seluruh anggota keluarganya mengantar Emma Watson ke Bandara. Sekali lagi Emma Watson menunjukkan bahwa dia dicintai banyak orang. Setelah menginap empat hari di rumah, menjelajah banyak tempat, dan mengumpulkan banyak souvenir, Emma Watson memutuskan untuk lebih cepat berangkat ke Pulau Jeju, sebelum pulang ke New York.
Hari-hari liburan bersama Emma Watson sungguh menyenangkan. Mereka sudah menjelajahi pasar-pasar tradisional. Emma Watson juga membeli tas yang dihias bunga-bunga kering untuk Ibunya. Mereka mengunjungi argowisata, naik kuda, memetik apel, jeruk, dan strawberry. Berenang di air pegunungan yang membuat bibir-bibir kebiruan dan berendam di air panas berbelerang. Mereka juga berwisata arung jeram dan makan seafood pedas di tepi pantai. Terakhir, Kim So Eun mengajak Emma Watson menginap di hotel dengan pemandangan yang sangat bagus, keindahan gunung-gunung dan lautan pasir yang terbentang luas. Liburan yang betul-betul menyenangkan.
Tapi, ketika pesawat Emma Watson lepas landas ke Pulau Jeju, Ibu langsung menggeret Kim So Eun, “Ayo, kita pulang dan bongkar kopermu. Kita pilih pakaian apa yang akan kau kenakan besok.”
“Besok ada apa?” tanya Kim So Eun, yang terseret-seret.
“Arisan kantor. Ibu ingin mengenalkan kau pada putra teman Ibu,” Ibu bicara blak-blakan.
“Apa maksudnya?” Kim So Eun menanyakan pertanyaan yang tidak perlu. Dia sudah tahu jawabannya.
Ibu sepertinya tidak ingin panjang lebar menjelaskan. Dengan gayanya yang tegas, seperti sedang menghadapi mahasiswa yang ngeyel, dia berkata, “Lihat dulu. Jika tidak suka, katakan besok. Tidak perlu ribut sekarang.”
Kim So Eun berhenti berjalan. Akibatnya, dia hampir jatuh ditabrak Yoon Eun Hye - kakaknya dari belakang. Gawat, pikirnya. Pria bagaimana yang bisa membuat Ibu begitu yakin bahwa dia tidak akan menolak pilihannya. Dan lagi, apa pria itu sudah menyatakan bersedia? Mungkinkah Ibu sudah memberikan fotonya? Dan, pria itu, tanpa bertemu langsung, sudah langsung setuju. Aduh, benar-benar karakter Kim So Eun si Boneka, yang tanpa perlu bergerak atau berbicara, sudah bisa memikat hati pria.
Dengan dandanan sopan dan feminin, berupa gaun sutra biru bertali yang harus dikenakan dengan blazer yang sudah kuno, Ibu membawanya ke neraka dunia bernama arisan. Betapa mengerikan, karena ternyata semua orang yang datang sudah tahu tentang perjodohan itu. Mereka mengawasinya dengan ketat, yang membuatnya tidak nyaman. Apalagi, ketika calon jantung hati pilihan Ibunya datang, semua memandangnya tanpa malu-malu, seakan berharap bisa melihat matanya bersinar, membentuk hati yang berkedip-kedip.
Saat itu Kim So Eun teringat perjodohan panda yang pernah ditontonnya di televisi. Dengan kamera di setiap sudut dan perhatian 24 jam, tak ada tempat untuk berlari. Lalu, ketika panda-panda itu menunjukkan tanda-tanda untuk saling mengenal, setiap pasang mata mengamati dengan tajam. Saat lagu cinta berkumandang, tepuk tangan membahana di mana-mana untuk pasangan kasih tahun ini. Orang-orang di seluruh dunia ikut gembira merayakannya.
Sekarang dia pun seperti panda yang langka itu. Kim So Eun ingin berlari pulang, tapi harga diri melarangnya berbuat sebodoh itu. Begitulah jika harus menjunjung tinggi nama keluarga.
Pemuda itu berjalan separuh diseret Ibunya menghampiri Kim So Eun. Kelihatannya dia tidak ikhlas seratus persen dengan perjodohan itu. Timbul perasaan senasib di hatinya. Awal yang baik. Setidaknya, pemuda itu bukan tipe pria yang sudah sangat putus asa dan menerima apa pun yang disodorkan Ibunya, asalkan bernyawa.
Ketika mereka berjabat tangan, para pengamat merespon dengan saling berbisik dan segera meninggalkan mereka berdua, sepertinya sepakat untuk membiarkan pasangan baru ini saling mengenal lebih dekat. Jadilah Kim So Eun dan pemuda bernama Kim Bum itu berdiri diam di pojokan, sambil memandangi orang-orang di sekitarnya.
Setelah sepuluh menit yang panjang, Kim Bum berdeham, membuat Kim So Eun menoleh, berharap pemuda itu melontarkan topik bagus, yang dengan senang hati akan dibahasnya untuk memecah kesunyian ini.
“Apa kau mau minum?” tanyanya. Kim So Eun mengangguk.
Bukan topik yang bagus. Tapi, tak apalah. “Gin*) juga boleh.”
*) Gin adalah minuman beralkohol dari hasil fermentasi serealia (jelai, gandum, haver) yang diberi aroma buah (runjung) pohon juniper, dan melalui proses distilasi. Selain minyak dari buah pohon juniper, gin juga dicampur minyak rempah-rempah seperti adas manis, karawai, biji ketumbar, kulit jeruk, akar manis, kayu manis, dan kapulaga.
Menurut cara pembuatannya, gin dibagi menjadi dua jenis. Gin distilasi (distilled gin) adalah gin hasil distilasi minuman beralkohol rasa tawar (spirit) yang dicampur air, dan diberi aroma buah juniper serta rempah-rempah. Gin campur (compound gin) adalah minuman beralkohol rasa tawar yang dicampur air, aroma buah juniper, serta minyak rempah-rempah, namun tidak melalui proses distilasi.
Gin biasanya tidak diminum tanpa dicampur, melainkan diminum sebagai koktail. Jenis gin yang umum dipakai untuk koktail adalah gin jenis London dry yang berkadar alkohol tinggi. Gin jenis London dry diproduksi dari minuman beralkohol rasa tawar yang dicampur dengan rempah-rempah, dan didistilasi ulang dalam ketel distilasi.
“Di sini tidak ada minuman seperti itu,” jawab Kim Bum, kaku.
“Bukan, maksudku sirup saja. Aku suka sirup,” Kim So Eun terbata-bata. Ya ampun, pasti pemuda ini berpikir dia tukang mabuk. Padahal, seumur hidupnya, meski tinggal di luar negeri, dia tidak pernah minum minuman keras. Hanya gara-gara stres perjodohan, semua makcomblang di sini akan tahu ketika pemuda ini mengadu pada ibunya, bahwa calonnya tukang mabuk. Meski tidak menyukai perjodohan ini, Kim So Eun tidak ingin dicap tukang mabuk.
Aku harus tabah, Kim So Eun membatin. Bridget Jones pun mengalaminya dan dia bahagia. Ketika Kim Bum dan sirup merah jambunya datang dengan wajah yang sewarna sirup itu, Kim So Eun terbata-bata berkata, “Terima kasih. Anu… maaf, sebenarnya aku tidak pernah minum-minuman beralkohol, tetapi karena sering memesan untuk bos jadi keceplosan.” Saat itu juga batinnya memprotes, kenapa harus menjelaskan segala.
Sambil tersenyum Kim Bum berkata, “Tidak apa-apa.”
Lalu, dimulailah lagi permainan adu bisu. Tapi, Kim So Eun tidak tahan dengan keheningan itu. Sepertinya, hal ini cukup menjelaskan kenapa pria ini belum juga menikah. Dia tipe yang menganut prinsip diam itu emas. Dari ujung matanya dia meneliti makhluk yang berdiri di sampingnya. Tubuhnya lebih tinggi dari ukuran pria Korea biasa, dengan wajah lumayan, hidung mancung, bibir tipis, dan kulit putih, Kim So Eun yakin, Emma Watson pasti tertarik mengenalnya. Tapi, kebisuan itu pastilah membuat wanita normal mana pun segera mengambil langkah seribu.
Kim So Eun melirik jam tangannya. Sudah dua puluh menit mereka saling diam. Itu hal biasa jika sedang bekerja. Tapi, dalam situasi ini menunjukkan bahwa pria ini kurang waras. Atau, dia juga mungkin kurang waras, karena dia juga bertanggung jawab dalam permainan paling lama menjadi patung. Karena, toh, dia juga tidak melempar topik pembicaran.
Aku sudah tidak tahan, pikir Kim So Eun. Lalu, seperti wanita normal lainnya, dia akhirnya buru-buru berkata, “Maaf, aku keluar sebentar.” Separuh berlari, Kim So Eun keluar ruangan dan langsung ke jalan dan menyetop taksi pertama yang lewat.
Kedatangan kakaknya, Yoon Eun Hye, membuyarkan rekaman memori yang sedang diputar di kepalanya. Dilihatnya Yoon Eun Hye membawa bungkusan besar.
“Apa itu?” tanya Kim So Eun, heran.
“Pakaian yang akan kau kenakan nanti malam.” Yoon Eun Hye membanting buntelan itu ke ranjang, tempat Kim So Eun sedari tadi berbaring menelungkup.
Kim So Eun menghela napas. Setelah kejadian paling memalukan kemarin, dia tidak menduga, ketika pulang, Ibu berkata dengan santai, “Besok malam kan malam Minggu, Kim Bum ingin mengajakmu keluar.”
Tanpa pembukaan yang manis, tanpa pertanyan tentang kesediaannya, itu berarti sebuah ultimatum.
Kim So Eun menggeleng dan mendongak melihat kakaknya, “Aku sudah lupa. Coba ceritakan, apakah dulu Eonni mendapatkan Kang Ji Hwan Oppa sendiri atau juga dicarikan Ibu.”
Kakaknya tersenyum. “Tentu kucari sendiri. Hal yang begitu penting sehingga Ibu tidak bisa ikut campur. Ini sebenarnya agak aneh. Kukira, Ibu tidak akan bisa menancapkan cakarnya kepadamu, tapi kau ternyata tetap anak baik dan penurut, ya. Tidak seperti seorang lajang yang hidup mandiri di negeri orang.”
“Apakah Eonni berharap aku marah-marah dan melarikan diri dari rumah.”
“Ya… begitulah perkiraan kami semua.”
Kami semua? Hmm… ternyata Ibu telah membicarakan masalahnya pada semua keluarga, teman-teman, bahkan mungkin seluruh kenalan, seperti tukang sayur langganan atau pegawai salon tempat Ibu biasa mewarnai rambut untuk menutupi ubannya.
Kim So Eun menerawang, “Dia wanita yang melahirkanku. Nyawanya dipertaruhkan ketika aku lahir ke dunia. Aku sudah pergi begitu lama dan sekarang baru pulang. Alangkah buruknya aku jika kepulangan ini diisi dengan pertengkaran.”
“Wah, ternyata New York membuatmu menjadi lebih baik.”
“Kukira, tidak. Kota itu tidak membuatku menjadi lebih baik. Tapi, kota itu membuatku menjadi lebih menghargai apa yang kumiliki di sini.”
“Begitu juga bagus. Meski agak memaksa, Ibu berniat baik dan keputusan tetap ada di tanganmu. Jika kau berkata tidak, semua akan mendukung keputusan itu. Nah, sekarang mari kita cari pakaian apa yang akan kau pakai malam ini karena Ibu telah menugaskanku untuk mengawasi cara berpakaianmu. Ibu mengeluh, baju-bajumu banyak yang terlalu terbuka. Sangat tidak cocok dipakai wanita berumur.”
“Gila!” teriak Kim So Eun. “Aku masih muda! Dan, di New York pakaian seperti itu dipakai bahkan oleh nenek-nenek sekalipun.”
Yoon Eun Hye terkikik-kikik lama, sambil membongkar barang bawaannya. Mau tak mau, Kim So Eun ikut-ikutan duduk untuk melihat koleksi pakaian kakaknya yang akan dipinjamnya malam ini.
Bersambung…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
hahahahaah masa di jodohkan di Acara arisan para Ibu-ibu????wkwkwkwk Ada yAh??GokiL...!!
BalasHapussi Bum Beku amad gak ada Cuap-cuap nya..