Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Sabtu, 16 Juli 2011

Lelaki Pilihan (Chapter 6)



“Kau cukup gaya untuk kebanyakan wanita Korea. tapi, seperti ada kesedihan yang muncul lewat kata-kata sinismu.”

“Apakah Zac Efron harus ikut hari ini?” Kim So Eun bertanya merajuk.

Emma Watson sudah dua hari menginap di rumahnya dan Kim So Eun merasa kesal karena Emma Watson membawa pria itu. Meski Zac Efron menginap di hotel, selama dua hari ini dia dan Emma Watson seperti prangko yang menempel lengket. Kim So Eun tahu, hanya rasa hormat dan persahabatan saja yang mampu menahan Emma Watson untuk tidak ikut tinggal dengan Zac Efron di hotel.

Kim So Eun kesal pada Emma Watson, yang selalu bercerita tentang Zac Efron, dari bangun pagi sampai detik-detik menjelang tidur. Zac Efron begini, Zac Efron begitu, aku merasa begini, aku merasa begitu. Topik itu tidak berubah. Hanya seputar Zac Efron dan perasaan Emma Watson. Membosankan sekali.

Kim So Eun mengamati, Emma Watson yang selama ini kesal terhadap cinta itu, sekarang jatuh hati pada pria Inggris. Sepertinya, panah cupid kali ini mengarah ke tengah jantung Emma Watson, tepat di tempat mematikan. Padahal, menurut Kim So Eun, Zac Efron tidak terlalu menarik jika dibandingkan pria-pria yang pernah singgah dalam hidup Emma Watson.

“Oh, tentu dia harus ikut. Masa dia dibiarkan jalan-jalan sendiri. Kasihan, ‘kan?”

Kim So Eun sama sekali tidak kasihan. Apa yang harus dikasihani dari pria matang, mandiri, dan punya banyak uang itu? Dia kan bukan bayi atau anak kecil yang tersesat.

“Hari ini mau ke mana?” tanya Kim So Eun.

“Karena besok aku pulang, lebih baik hari ini kita mencari oleh-oleh saja. Coba kulihat catatanku dulu…. Aku sudah punya tas, jaket kulit, sandal, dua kalung perak dan mutiara, satu patung kayu ganesha, jadi…,” Emma Watson berpikir-pikir, “aku mau membeli beberapa Hanbok seperti kepunyaanmu. Aku suka memakai Hanbok. Di Pulau Jeju, Zac Efron membelikan aku pakaian tradisional itu dan aku berdandan seperti wanita-wanita Pulau Jeju. Senang sekali rasanya. Zac Efron bahkan….”

“Ya, ya, ya, aku akan mengantarmu membeli semua itu, yang sebentar lagi pasti akan kau buang, setelah Zac Efron tinggal sejarah,” Kim So Eun buru-buru memotong karena tidak tahan mendengar topik Zac Efron diangkat lagi. “Kau tahu, kau jadi menyebalkan.”

“Kenapa?” tanya Emma Watson, tak peduli, “aku sudah memberi tahu Zac Efron untuk bersiap karena kita harus segera berangkat.”

Dia memasukkan barang-barang lain yang berserakan. Lipstik, tabir surya, pelembap, ikat rambut, dan kaus. “Kau tahu, Princess, kupikir, Zac Efronlah orangnya. Orang yang tepat dan kutunggu-tunggu selama ini.”

Kim So Eun tidak memandang ke arah Emma Watson. Dia merasa hatinya nyeri. Tidak terbayang bahwa Emma Watson ternyata akan meninggalkannya. Selama ini dia mengira hidupnya akan sama seperti dulu, hanya bersama Emma Watson dan pekerjaan yang dicintainya. Sekarang, ketika Emma Watson memiliki seseorang, dia akan ditinggalkan. Dan, Kim So Eun tidak rela.

“Jika kalian bersama, kau pasti akan melupakanku,” Kim So Eun berkata pelan.

“Kenapa?” tanya Emma Watson, yang sedang merapikan bedaknya. “Bukankah kau juga sekarang bersama Kim Bum? Bukankah hubungan kalian baik? Kalian berpacaran, bukan?”

“Kata siapa?” tanya Kim So Eun, ketus.

“Eh, Ibumu bilang, kalian akan segera meresmikan hubungan.”

“Itu kan keinginan Ibu.”

“Jadi, itu bukan maumu?” tanya Emma Watson. Wajahnya kini lebih serius. “Sekarang aku mengerti kenapa kau kelihatan tidak suka pada Zac Efron. Tenang saja, jika aku menjalin hubungan dengan Zac Efron, tentu aku tidak akan melupakan sahabat terbaikku ini.” Emma Watson sekarang sudah duduk di samping Kim So Eun, mengambil tangannya, lalu menepuk-nepuk tangan itu.

Jelas bagi Kim So Eun, Emma Watson tidak mengerti apa-apa. Saat itu dia ingin berteriak, mengeluarkan semua yang mengganjal di hatinya. Tapi, otaknya memaksa mulutnya terkatup rapat, mencegahnya melakukan suatu kesalahan yang akan disesalinya.

“Aku akan pulang tiga hari lagi.”

“Ya,” jawab Kim Bum, lalu menggigit apel yang mereka beli di supermarket, “cepat sekali waktu berjalan.”

“Sangat cepat.” Kim So Eun mengangguk, setuju. Dia memerhatikan pemandangan di bawah yang penuh lampu, persis dengan yang sering dilihatnya dari jendela rumah Emma Watson. Hanya, di sana minus pohon-pohon dan suara jangkrik. Ini malam Minggu terakhir sebelum dia berangkat. Keluarganya mengajak dia menginap di Seongnam. Kim Hyun Joong Oppa meminjam vila kepunyaan temannya. Ibu, Ayah, kakak-kakak, keponakannya, dan Kim Bum, malam ini dapat menikmati hawa sejuk pegunungan.

“Kau kedinginan?” tanya Kim Bum.

Kim So Eun menggeleng. Dia dan Kim Bum duduk-duduk di pelataran rumah yang sangat luas. Di sudut lain keluarganya sedang berbagi jagung gosong, hasil bakaran Ayah dan Kang Ji Hwan Oppa. Kim So Eun menoleh, melihat Kim Bum yang masih asyik menggigiti apelnya.

“Apa kau tidak sakit perut makan apel malam-malam?”

Kim Bum tertawa, sambil memandangi apel yang dipegangnya, mencari daging buah yang belum digigit. Dia berkata, “Aku ini kan dokter. Jadi, tidak pernah sakit. Kalaupun sakit, aku tahu obatnya. Lagi pula, apel kan baik untuk kesehatan.”

“Tapi, kalau dimakan malam hari dengan jumlah yang banyak, pasti juga tidak baik untuk kesehatan,” Kim So Eun membantah, mengangkat kantong plastik tempat buah apel, untuk menunjukkan bahwa isinya sudah berkurang banyak.

Kim Bum tertawa lagi. “Betul juga. Tapi, karena aku sangat menyukai apel, biarlah risikonya kutanggung sendiri.”

Kim So Eun mengambil sebuah apel dan memutar-mutarnya, meneliti dari berbagai sudut. “Mengapa apel ini kecil sekali, ya? Penampilannya juga tidak seindah apel dari luar negeri. Apa mereka tidak dirawat?”

“Entahlah, aku juga tidak tahu. Tapi, yang penampilan luarnya tidak baik belum tentu bagian dalamnya juga tidak baik, ‘kan? Seperti kau, misalnya, penampilanmu juga tidak bagus. Apa kau kurang perawatan?”

“Sembarangan! Kau ini bicara seenaknya saja!”

“Aku bicara apa adanya. Dibandingkan dengan temanmu, Emma Watson, kau kalah jauh.” Sekarang, Kim Bum menatap Kim So Eun dengan sungguh-sungguh. “Penampilanmu menyedihkan.”

“Apa?” Kim So Eun separuh berteriak. Pria ini kurang ajar sekali. Padahal, mereka baru beberapa minggu berkenalan. Kenapa, dia sudah berani bicara macam-macam? Bahkan, untuk ukuran orang New York yang suka bicara seenaknya, ucapan pria ini sudah kelewat batas.

“Aku hanya menirumu, yang selalu bicara terus terang.” Mata Kim Bum berkilauan, lalu buru-buru melanjutkan, ketika Kim So Eun mulai membuka mulut untuk memprotes, “Sebentar, dengar dulu penjelasanku, jangan marah dulu. Sebetulnya, tidak ada yang salah dengan penampilanmu. Kau tampak cukup gaya untuk kebanyakan wanita Korea. Tapi, setelah aku mengenalmu, sering bertemu dan mengobrol, aku melihat sesuatu yang lain. Seperti suatu kesedihan yang membekas dalam, yang kadang-kadang muncul lewat kata-kata sinismu. Tapi, mungkin, itu hanya khayalanku saja. Penampilanmu sangat suram jika dibandingkan Emma Watson. Kalian berdua seperti lukisan yang sangat kontras. Dia lukisan bunga warna-warni yang sangat memikat sehingga membuat semua mata terpesona memandangnya. Kau seperti lukisan kapal kecil di tengah badai di laut. Gelap, kusam, dan menimbulkan banyak pertanyaan. Mungkin, perumpamaanku tidak benar, tapi kesan itulah yang kutangkap.”

“Begitukah?” Kim So Eun menelengkan kepalanya ke arah Kim Bum. “Kukira, itu wajar. Karena Emma Watson seperti lukisan Sunflowers karya Vincent Van Gogh, yang dipuja sepanjang masa, sedangkan perahu kecil di tengah laut itu cuma lukisan pinggir jalan, yang dibuat seniman tidak terkenal, yang tak ada artinya.”

“Lihatlah, aku benar, ‘kan? Kau baru saja membuktikan kata-kataku.” Kim Bum tampak gembira. “Yh, aku ini tidak pandai bicara. Tapi, sejak bertemu denganmu, aku merasa ada sesuatu yang lain di hatiku. Sejak pertama bertemu denganmu, kau membuatku sering memikirkanmu.”

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...