Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Jumat, 05 November 2010

Keinginan Sederhana (Chapter 4)


“Ya. Aku tidak bisa terima opsi aborsi. Gadis itu tinggal di Busan. Demikian juga kekasihnya. Keluarga gadis itu tidak sangat kaya, tapi cukuplah. Sedangkan orang tua kekasihnya adalah pejabat tinggi di Busan. Mungkin kau kenal dia. Semua tidak mau namanya tercoreng karena kelahiran bayi ini. Jadi, pilihannya adalah melahirkan diam-diam, kemudian melupakannya, atau aborsi. Nenek gadis itu adalah kenalan ibuku. Jadi, aku ada kesempatan untuk mengambil bayi itu. Tiga atau empat hari lagi, bayi itu akan pindah ke rumahku dan ibunya kembali mengenakan seragam SMA-nya.

“Kenapa?”

“Karena, memang begitu kan alur yang diinginkan?”

“Bukan, maksudku, kenapa kau mau mengambil bayi itu?”

Kim Tae Hee menatapku sebentar. “Karena, toh, aku juga perlu untuk punya anak, Yoon Eun Hye.” Dia mengucapkannya sambil berbalik, melangkah pergi, kembali ke ruang tempat gadis itu dirawat.

Gadis itu bernama Jung So Min. Dia menolak ketika suster menawarkan untuk menyusui bayinya. Aku langsung tidak simpati. Menurutku, dengan penolakan itu, berarti dia benar-benar tidak mencintai bayinya. Dia cuma menikmati proses pembuatannya!

Tiba-tiba aku merasa marah terhadapnya. Padahal, Kim Tae Hee tampak biasa-biasa saja. Dia sempat sedikit membujuk Jung So Min untuk mau menyusui bayinya dengan menjelaskan bahwa ASI adalah susu terbaik untuk bayi. Lalu, Kim Tae Hee meminta suster mengajarinya menggendong bayi itu. Dia mulai mengayunnya dengan sayang, menciumnya, lalu terkekeh gemas, karena ternyata si bayi mengompol. Kim Tae Hee mengamati cara suster mengganti popok dengan seksama. Sedangkan kulihat si ibu asli malah tenang-tenang, mengunyah anggur hijau. Aku jadi tambah tidak suka padanya.

“Sudah siap nama untuknya, Kim Tae Hee?” Sang nenek bicara, sambil mengelus pipi cucunya. Dalam hati aku bertanya, kenapa bukan nenek itu saja yang mengurus bayi itu? Kota ini memang hanya empat jam perjalanan dari Busan, tapi aku rasa jarak itu cukup untuk meredam berita tentang anak pejabat yang telah menghamili kekasihnya dan tidak mau menikahinya.

“Belum. Tapi, pasti segera kutemukan. Apakah dia sudah mirip denganku?” guraunya riang, sambil mendekatkan muka mungil itu ke wajahnya sendiri.

Sang nenek tertawa karena gurauan itu. Sedangkan aku tidak berminat untuk ikut tertawa.

Sepulang dari rumah sakit, Kim Tae Hee berbelanja perlengkapan bayi. Popok, bedak, alas tidur, minyak telon, minyak kayu putih, kelambu, topi, sepatu, kaset Mozart, dan entah apa lagi. Dia juga menghabiskan waktu bermenit-menit untuk bertanya pada seorang SPG soal lotion antinyamuk, hanya untuk meyakinkan bahwa barang itu aman untuk bayi. Lalu dengan mudahnya mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan untuk membayar belanjaannya.

“Mereka tidak memberimu uang untuk keperluan ini?”

Dia menggeleng. “Tidak. Lebih baik begitu, aku rasa. Mereka, toh, sudah membayar sendiri biaya persalinannya.”

“Kenapa kau tidak membiarkan mereka ikut menanggung keperluannya?”

“Ini tidak untuk membuatku berhak menutupi asal-usulnya kelak, Yoon Eun Hye, jika itu yang kau maksud. Aku tetap akan membuatnya tahu keluarganya suatu saat nanti, ketika dia sudah bisa berpikir dengan baik dan jernih. Adopsi kan hanya hukum duniawi saja. Aku tidak akan menutup akses dengan keluarga kandungnya. Bagaimanapun, aku tidak akan pernah jadi ibu kandungnya. Lagi pula, kelak dia butuh wali untuk menikah.”

“Ibumu setuju dengan hal ini?”

Dia tertawa. “Kau tahu, Yoon Eun Hye, hal yang paling bisa menyenangkan seorang nenek macam ibuku adalah adanya anak kecil untuk dirawat dan dimanjakan. Apalagi, Ibu tahu riwayatnya. Seperti kau, Ibu tidak suka pada gadis itu, tapi dengan mudah jatuh sayang terhadap bayi itu, bahkan sebelum dia lahir. Dia justru akan bisa membuat ibuku ’hidup’ kembali.”

Berarti, semuanya semudah itu. Alangkah beruntungnya bayi mungil itu. Begitu ibu kandungnya menolak, langsung dia dapat ibu pengganti, juga nenek, yang langsung pula menya¬yanginya.

“Jangan terlalu sinis terhadap Jung So Min, Yoon Eun Hye. Mungkin kita akan melakukan hal yang sama, jika dihadapkan pada masalah sepelik itu. Bagiku, dia sudah hebat dengan mau mempertahankan anaknya hingga lahir. Banyak gadis lain yang lebih buruk dari itu, yang tanpa pikir panjang mengambil opsi aborsi sebagai penyelesaiannya. Paling tidak, Jung So Min sudah rela membuang satu tahun masa sekolahnya dan mengorbankan bentuk badannya. Selebihnya, sebaiknya kita maklumi saja.”

Memaklumi? Mudah sekali. Walau aku tahu tak berhak apa pun atas Jung So Min, tapi rasanya tidak sesederhana itu. Berapa banyak wanita di dunia ini yang ’mengemis’ kepada Tuhan untuk diberikan anak dalam rahimnya. Berapa banyak yang berusaha ini-itu dan menghabiskan hartanya hanya untuk tujuan itu. Aku mengumpat atas namaku sendiri.

“Yaaa... seks harus dilakukan dengan bertanggung jawab, tak cukup hanya bermodal cinta dan nafsu saja. Begitu maksudmu? Mari kita ajarkan semua itu pada anak-anak kita nanti, Yoon Eun Hye.”

Di rumah Kim Tae Hee, benar-benar kulihat bukti nyata bahwa ibunya sama sekali tidak keberatan dengan keputusannya mengadopsi bayi itu. Wanita itu tampak jauh lebih hidup daripada tempo hari. Beliau mondar-mandir, memberi komando Bibi Son Ye Jin untuk membereskan kamar Kim Tae Hee, mengatur isi almari kecil yang agaknya diperuntukkan bagi bayi mungil itu. Kudengar, beliau meminta Bibi Son Ye Jin mengeluarkan buku-buku Kim Tae Hee dari kamar, karena dianggapnya barang-barang itu menumpuk debu.

“Benar kan kataku?” kata Kim Tae Hee padaku. Dagunya menunjuk ke arah ibunya.

Malam itu aku masih diselimuti perasaan aneh. Entah mengapa, aku masih merasa jengkel pada Jung So Min. Juga merasa asing dengan cara penerimaan Kim Tae Hee yang begitu mudah. Aku jadi teringat anak-anak di panti-panti asuhan, yang sering kali menjadi anak-anak nakal karena kurang perhatian. Aku merasa ini tak adil untuk mereka.

Bayi Jung So Min sungguh beruntung. Mungkin malah lebih baik dia ada di tangan Kim Tae Hee daripada diasuh oleh ibu kandungnya yang masih ingusan itu. Untuk menyusuinya saja gadis itu menolak, apalagi untuk merawatnya. Sedangkan Kim Tae Hee malah seperti orang yang jatuh cinta pada pandangan pertama. Tadi sempat kutangkap matanya berkaca ketika menciumnya. Aku menyesal melupakan kameraku. Jika tidak, pasti aku bisa membuat foto yang indah tentang hubungan ibu dan anak. Mungkin bisa kujadikan kenang-kenangan untuk dihadiahkan pada Kim Tae Hee.

Bersambung...

Keinginan Sederhana (Chapter 3)


Yoon Eun Hye, aku tidak semudah itu jatuh cinta. Sekarang kalau kau tanyakan itu padaku, jawabku: aku tidak jatuh cinta padanya. Aku simpati. Dia gadis yang cerdas. Juga berani. Dia pernah bercerita tentang keluarganya yang pecah. Tapi, dia bisa mengatasinya dengan baik. Aku salut. Tak banyak orang yang bisa menyelesaikan masalah seperti itu dengan bijak seperti dia.“

Bagiku, penjelasan itu tidak banyak artinya. Tidak mengubah apa pun. Apakah itu sekadar simpati atau bukan, kenyataan yang kulihat adalah Hyun Bin sendiri merasa takut dengan kedekatan yang ‘nyaman’ itu. Karenanya, dia begitu bersemangat menerima peluang yang ditawarkan temannya di perusahaan asing itu. Mungkin, gaji besar yang menggiurkannya, tapi tetap ada faktor Lee Hyori di dalamnya. Aku tidak suka faktor itu.

“Yoon Eun Hye, ini hanya perasaan takutku saja. Tidak pernah terjadi apa-apa selama ini. Aku tidak mau terjadi apa-apa. Hanya kebetulan ada tawaran yang begitu menarik di saat seperti ini. Jadi kenapa tidak diambil? Tawaran itu sangat menarik, itu saja alasannya! Kau tidak perlu khawatir soal Lee Hyori!”

Tidak perlu khawatir? Ah... mudah sekali?!

Dan, reaksiku membuat Hyun Bin benar-benar memutuskan untuk hengkang dan menerima tawaran itu. Minggu-minggu ini adalah minggu-minggu terakhirnya sebelum pindah ke kantor yang baru. Ketika dia memutuskan pergi, ketika itu pula aku memutuskan keluar sejenak dari rumah. Hyun Bin protes keras. Tapi, aku juga tidak bisa bertahan untuk tidak pergi. Aku tidak bisa berada di dekatnya dengan amarah dan kekecewaan sebesar itu. Memaksakan diri bertahan tanpa membuat jeda, hanya akan membuat semuanya meledak lebih dasyat. Aku perlu waktu untuk berjarak darinya. Jadi, aku tetap berangkat, walau Hyun Bin setengah mati menahan.

“Pulanglah secepatnya! Percayalah, tak pernah dan tidak akan terjadi apa-apa. Jangan bereaksi seolah aku telah telanjur berselingkuh dengannya. Aku tidak melakukan apa-apa, Yoon Eun Hye. Pikirkan itu!”

Sebenarnya, apa definisi berselingkuh? Apakah hanya jika mereka telah bercinta baru bisa disebut Hyun Bin berselingkuh terhadapku? Apakah dengan takut ada perasaan yang mungkin bisa berkembang seperti itu, berarti dia belum berselingkuh? Apakah sesuatu disebut perselingkuhan, hanya jika ada kontak fisik saja? Bagaimana dengan perselingkuhan melalui pikiran? Aku sama sekali tidak sepakat, jika perselingkuhan itu hanya diartikan dalam bentuk kontak fisik. Bagiku, Hyun Bin sudah berselingkuh!

Minggu pagi ini hujan gerimis, ketika aku benar-benar memutuskan untuk membuka mata. Rasanya sudah mulai sejak subuh tadi dan sekarang belum juga reda. Dingin yang sejuk, membuatku betah menjajah kasur. Hari Minggu, pagi, gerimis, dingin.... Ah, jika ada di rumah bersama Hyun Bin dan semuanya dalam keadaan normal tanpa pertengkaran apa pun, tentu akan menyenangkan sekali. Tapi, sekarang sedang abnormal!

Gook Ji Yun menyambutku di dapur dengan senyum, sambil menunjuk ke arah semangkuk Ramyeon. (mie ramen khas Korea, yg dimasak dengan kuah yang sangat pedas dan biasanya ditambah sayuran, daging atau kimchi) panas mengepul. Di dekatnya ada Yoona sedang membuat Kimbab (nasi rumput laut Terbuat dari nasi yang dibalut rumput laut kering berisi sayur-sayuran, telur goreng, ikan, daging, dan sosis). Baunya menggiurkan.

“Aku dapat jatah itu, ’kan?” selorohku pada Yoona.

“Tentu saja, Kak.”

Yoona itu perawat yang bekerja di rumah sakit swasta dekat sini. Dialah orang pertama yang datang, ketika Ibu mulai membuka rumah ini menjadi tempat kos, dua bulan setelah Ayah meninggal. Ibu butuh teman. Jadi, membuat rumah kos adalah penyelesaian yang cukup baik, karena Ibu menolak untuk tinggal di rumahku, Kak Song Hye Gyo, ataupun Kak Rain Bi. Yoona menempati bekas kamarku. Sedangkan Gook Ji Yun, satu anggota kos yang lain, menempati bekas kamar Kak Rain Bi. Bekas kamar Kak Song Hye Gyo sengaja dikosongkan, karena ukurannya lebih besar dari kamarku ataupun kamar Kak Rain Bi. Jadi, tetap ada kamar untuk kami, jika pulang dan menginap. Sekarang malah ada dua kamar kosong sejak Ibu meninggal.

Yoona tinggal sendirian. Suaminya sedang ke Jepang, katanya menjadi buruh pabrik. Berangkat tiga tahun yang lalu dan baru sekali pulang. Mereka belum sempat mempunyai anak, karena Gong Yoo, suaminya, berangkat ke Jepang hanya dua bulan setelah pernikahan mereka. Mencari uang cepat, itu alasannya.

Karena uang, alasan itu tentu masuk akal. Gaji menjadi Buruh pabrik di Jepang tentu lebih besar daripada di sini. Tapi, bagaimana dengan mereka sendiri? Maksudku, pernikahan macam apa, jika sepasang suami-istri terpisah jarak yang begitu jauh. Apakah masih ada yang namanya kesetiaan?

Terus terang, aku lebih meragukan Gong Yoo daripada Yoona. Sebagian karena Yoona wanita. Wanita cenderung lebih setia. Apalagi, dia bukan tipe yang banyak tingkah, pemalu, juga pendiam. Sedangkan Gong Yoo itu pria. Pria lebih gampang berselingkuh! Huh! Apalagi, istrinya jauh dari pandangan seperti itu! Aku ingin sekali bertanya pada Yoona, apakah dia percaya suaminya setia padanya di sana? Percayakah dia bahwa suaminya tidak menyentuh wanita lain selama tiga tahun berpisah dengannya?

Telepon berdering. Perasaanku mengatakan Hyun Bin yang menelepon. Aku langsung masuk ke kamar mandi. Perasaanku benar. Kudengar Gook Ji Yun beralasan aku sedang mandi.
Goo Ji Yun mengetuk pintu kamar mandi. “Kak Yoon Eun Hye, Pak Hyun Bin telepon. Aku bilang Kakak sedang mandi. Sebentar lagi telepon lagi.”

“Okay.”

Tapi, aku berlama-lama di kamar mandi, sehingga aku belum juga selesai, ketika Hyun Bin kembali menelepon.

Gook Ji Yun lagi-lagi mengetuk pintu, minta aku membukanya. Dia mengulurkan telepon wireless padaku.

Suara Hyun Bin langsung terdengar. “Yoon Eun Hye, lama sekali mandimu?”

Ah....

“Iya, sekalian keramas, dan berendam.”

“Kau pulang hari ini, ’kan?”

“Belum.”

“Jadi kapan?” desaknya.

“Hyun Bin, tolong beri waktu.... Beri aku jeda. Aku tidak bisa menyelesaikan ini tanpa jeda sementara.”

Sunyi sejenak di seberang sana.

“Yoon Eun Hye, jangan menganggap ini hal yang sangat besar. Tidak terjadi apa-apa. Percayalah! Semuanya masih baik seperti dulu.”

“Jangan menganggap ini hal yang sangat remeh juga. Pikirkan bagaimana jika kejadiannya dibalik, aku yang datang padamu dengan cerita bahwa aku mungkin tertarik pada pria lain. Apakah kau akan sama sekali tidak terganggu?”

“Yoon Eun Hye, jangan begitu...!”

“Aku perlu jeda sebentar. Aku janji akan pulang, begitu semuanya bisa kutanggung dan bisa kembali bersikap normal terhadapmu. Tolong jangan terlalu memaksa. Kita sama-sama ingin semuanya selesai dengan baik. Tapi, ini perlu proses. Tidak bisa dihapus begitu saja, seperti kau menghapus tulisan kapur di papan tulis.”

“Yoon Eun Hye, aku sangat merindukanmu. Aku menyesal.”

Aku mencari-cari dalam hatiku, apakah aku merindukannya juga, setelah empat hari di sini. Tapi, tak kutemukan apa-apa. Kupikir tidak ada salahnya berbasa-basi dengan mengatakan jika aku juga merindukannya.

Lega rasanya, ketika akhirnya Hyun Bin mau menutup telepon.

Keluar dari kamar mandi, kulihat Kim Tae Hee duduk di sofa ruang tamu. Posisi duduknya merosot, kakinya menyelip di bawah coffee table. Matanya terpejam.

“Hai, mau pindah tidur di sini? Ada kamar kosong, kok.”

Dia langsung membuka matanya, tersenyum. Wajahnya agak layu, walau rambut panjangnya agak basah dan terlihat segar.

“Aku mau ke Rumah Sakit KangSan, lewat sini, dan teringat flash disk-ku. Jadi mampir sekalian.”

Gook Ji Yun datang membawa nampan berisi teh. Kim Tae Hee langsung meminum teh itu tanpa menunggu kupersilakan.

Kusodorkan flash disk-nya. ”Aku belum selesai membaca novelmu. Baru sampai halaman dua puluhan.”

Dia mengangguk-angguk. ”Tidak apa-apa. Santai saja. Tenggatnya masih jauh, kok. Rasa tehnya pas.”

”Ada urusan apa di Rumah Sakit KangSan?”

”Ada teman yang melahirkan. Semalam aku ikut menungguinya. Bayinya perempuan. Beratnya tiga koma satu. Merah sekali.”

“Karena itu wajahmu layu?”

“Benarkah? Apa kau mau ikut denganku? Atau, sudah ada acara barangkali?”

“Tidak ada. Aku ikut denganmu saja. Aku ganti baju sebentar.”

Ternyata, yang disebut Kim Tae Hee sebagai ’teman’ adalah seorang gadis belia. Sangat belia. Perkiraanku masih seusia SMA. Wajahnya tampak letih. Persalinan yang berat, kata nenek si gadis yang menunggui. Aku bertanya dalam hati, di mana ibu gadis itu. Bayinya sempat terbelit tali pusarnya. Gadis itu nyaris kehabisan napas dan tenaga. Untung si bayi akhirnya mau keluar dengan sukarela, tepat saat azan subuh. Jika tidak, pisau operasi tentu sudah membelah perut si gadis.

Aku mengikuti Kim Tae Hee ke ruang bayi. Suster telah mendekatkannya di kaca, sehingga kami bisa melihatnya dengan jelas. Memang bayinya merah sekali. Kata orang, jika merah begitu, berarti kulitnya akan jadi putih nantinya. Pipinya montok, rambutnya tebal.

“Cantik, ya, dia?” Kim Tae Hee tak lepas menatapnya. “Aku belum berhasil menemukan nama yang bagus untuknya. Nama adalah doa. Jadi, aku tidak mau sembarangan.”

Dahiku berkerut. “Kau yang memberinya nama?”

“Ya. Ibunya, juga neneknya, meminta aku saja yang memberikan nama untuknya.”

“Kenapa?”

“Karena dia sudah diplot menjadi anakku begitu dia menghirup udara dunia.” Senyumnya mengembang. “Kenapa? Heran?”

Tentu saja!

“Kau tahu umur berapa ibunya? Lima belas tahun! Bayangkan, apa yang kita lakukan di umur itu? Rasanya aku sibuk bermain dan baru bisa mengarang, sementara kau sibuk melukis dan memotret. Iya, ’kan? Zaman sudah jauh berubah, Yoon Eun Hye. Mereka tidak lagi cukup hanya dengan mengarang, melukis, ataupun memotret.”

Aku menangkap maksudnya. “Dia hamil di luar nikah, lalu kau yang akan mengadopsinya. Begitukah?”

Bersambung…

Keinginan Sederhana (Chapter 2)


Jadi, aku mampir ke rumah Kim Tae Hee. Rumah itu tampak asri, sama seperti belasan tahun yang lalu, ketika aku dan Kim Tae Hee masih SMA. Dulu rumah ini selalu menyenangkan untuk dijadikan base camp. Karena itu, hampir selalu ramai oleh teman-teman Kim Tae Hee ataupun kakak-adiknya.

“Sepi sekali, Kim Tae Hee.”

“Ya, hanya ada tiga gelintir manusia yang menghuninya: aku, Ibu, dan Bibi Son Ye Jin. Kakak-kakakku paling-paling sebulan atau dua bulan sekali datang berkunjung. Itu pun bergantian. Hanya di hari-hari libur besar kami bisa berkumpul lengkap bersama. Itu pun paling-paling hanya sehari dua hari saja. Selebihnya, ya, hanya kami bertiga.”

Ibu Kim Tae Hee rasanya hampir sebaya dengan mendiang ibuku. Sebenarnya tampak cukup sehat. Tapi, menurut Kim Tae Hee, tidak lagi mau aktif keluar rumah sepeninggal ayahnya. Beliau langsung dapat mengingatku dan memberi sambutan hangat, persis seperti dulu, walau hanya menemaniku beberapa menit saja.

Kim Tae Hee mengangsurkan flash disk padaku. “Kau copy di notebook-mu, besok atau lusa aku ambil flash disk-nya, sembari mengunjungimu. Rumahmu tetap di Bougenville Residence, ’kan?”

Aku mengangguk.

“Kau tinggal sendirian?”

“Ada dua anak kos dan satu penjaga.”

Malam itu juga aku langsung berkonsentrasi penuh pada novel Kim Tae Hee. Sebuah cerita tentang homoseksual. Sebenarnya bukan isu baru, karena aku tahu banyak pengarang muda sekarang mengangkat tema tersebut. Tapi, karena berhadapan langsung dengan pengarangnya dan mengenalnya secara personal, isu itu jadi terasa segar di kepalaku.

Kim Tae Hee menciptakan tokoh bernama Jung Jin Ho, yang menjadi homoseksual bukan karena pengaruh lingkungan, tapi karena memang sejak kecil menemui dirinya seperti itu.

Sewaktu kecil, ketika teman-temannya mulai menggoda gadis-gadis kecil sebaya mereka, dia lebih tertarik mengamati tubuh teman-teman main bolanya.

Ketika beranjak remaja, dia dibingungkan oleh ketertarikan terhadap sejenisnya yang terasa makin kuat dan tidak cukup dia mengerti. Begitu beranjak dewasa dan mengerti arti homoseksualitas, dia begitu sibuk menyembunyikan identitas tersebut, sekaligus melawannya.

Aku tengah tenggelam membayangkan tokoh Jung Jin Ho yang terus-menerus bergulat melawan dirinya sendiri dan seorang diri, ketika telepon di ruang tengah berbunyi. Pikiranku langsung bisa bergerak menebak. Dan memang, kepala Gook Ji Yun (Anak kost di rumah Yoon Eun Hye) muncul di ambang pintu kamar yang kubiarkan terbuka.

“Ada telepon dari Pak Hyun Bin.”

Benar kan, memang Hyun Bin yang telepon. Gook Ji Yun selalu memanggilku ’Kakak’, tapi selalu tidak mau menyebut Hyun Bin dengan ’Kakak’. Dia selalu menggunakan ’Pak’.

“Ya?”

Hyun Bin tidak langsung menyahuti sapaanku. Mungkin dia menelepon sambil merokok dan sedang mengisap rokoknya, ketika aku mengangkat teleponnya. Atau, mungkin juga dia merasa aneh dengan caraku menjawab telepon, karena memang aku tidak pernah menjawab teleponnya dengan ’ya?’ seperti itu.

“Kau baik-baik saja?”

“Ya, aku baik-baik saja. Kau?”

Aku nyaris tertawa karena nada canggung di suaranya dan suaraku sendiri. Aku merasa kami bukan dua orang yang telah lebih dari lima tahun tinggal seatap dan tidur di kasur yang sama.

“Aku tidak baik-baik saja, tentunya.”

Kalau saja semuanya dalam kondisi normal tanpa masalah, tentu aku sudah kebingungan dengan jawaban seperti itu. Aku akan sibuk menanyakan apakah dia masuk angin, diare, atau pusing, lalu sibuk mencarikan obat atau mengerik punggungnya. Tapi, tidak untuk kali ini.

“Kau pulanglah besok, aku mohon. Atau, kau mau aku menjemputmu besok?”

“Maaf, aku belum bisa.”

“Apa yang kau lakukan di sana, Yoon Eun Hye? Masalahnya ada di sini. Kita selesaikan di sini.”

Satu hal yang aku sangat sukai dari Hyun Bin adalah nada bicaranya yang hampir tidak pernah meledak-ledak. Emosinya selalu redam.

“Aku bertemu teman lama hari ini.”

“Seorang pria?”

Dalam kondisi normal aku pasti sudah tertawa karena pertanyaan yang begitu cepat keluar dari mulutnya tadi.

“Kim Tae Hee. Teman SMA dulu. Pengarang terkenal itu.”

“Dan?”

“Dia memintaku membuat desain sampul novel barunya. Aku sedang membaca naskah novelnya sekarang.”

“Kan bisa dikerjakan di sini? Kau tidak perlu berada di sana karena pekerjaan itu, ’kan?”

“Ya. Tapi, memang aku belum ingin kembali. Tolong beri aku waktu.”

“Berapa lama, Yoon Eun Hye? Pulanglah, kita selesaikan di sini, aku mohon.”

“Kita pasti selesaikan ini, Hyun Bin. Hanya saja aku perlu waktu untuk sendirian sebentar. Tidak akan terlalu lama.”

“Apa artinya ini, Yoon Eun Hye? Aku sungguh-sungguh dengan permintaan maafku dan tidak akan terulang lagi. Tidak percayakah kau?”

Tidak percaya? Berapa banyak istri yang bisa dengan mudah memercayai permintaan maaf dari suami yang dengan enteng mengaku merasa tertarik pada wanita lain? Berapa banyak istri yang dengan mudah melupakan pengakuan itu dan kembali percaya bahwa cinta suaminya seutuh dulu?

“Biarkan aku di sini dulu. Aku janji akan pulang secepatnya.”

“Aku ke sana Jumat besok sepulang kantor.”

“Tidak perlu. Biar seperti ini dulu sementara ini.”

“Yoon Eun Hye....”

“Aku mohon, Hyun Bin, mengertilah, aku benar-benar butuh ini.”

Kudengar dia menelan ludah sebelum menyerah.

“Aku telepon kau setiap hari. Tolong telepon aku kapan pun kau mau atau ingin membicarakan ini semua.”

“Okay.”

Sebenarnya aku ingin mengingatkan bahwa dia sering kali mematikan handphone-nya jika ada rapat penting. Jadi, bukankah sebenarnya aku tidak bisa meneleponnya kapan saja?

“I love you, Yoon Eun Hye.”

Aku tercenung. Apakah suami yang bersalah selalu melakukan ini? Aku merasa seperti sedang melakukan satu adegan di film Hollywood.

“Yoon Eun Hye? Kau belum menjawabku.”

“I love you too, Hyun Bin.”

Aku berusaha mengucapkannya dengan setulus-tulusnya.

Susah mengembalikan konsentrasiku ke Jung Jin Ho, setelah Hyun Bin menutup telepon. Justru aku jadi memikirkan Lee Hyori. Mulai mereka-reka sosoknya. Menurutku, dia seharusnya langsing, putih, dengan panjang rambut yang tidak melebihi bahu, karena setahuku, seperti itulah sosok yang disukai Hyun Bin. Dia juga sangat senang pada wanita yang cerdas. Dulu dia pernah bilang bahwa wanita berwajah biasa saja tapi berotak cerdas, jauh lebih menarik baginya daripada wanita cantik dengan otak kosong.

Jadi, seperti apakah kau, Lee Hyori? Pasti paduan sempurna antara cantik dan cerdas, sehingga mampu membuat Hyun Bin-ku datang padaku dan mengaku ”Yoon Eun Hye, aku takut aku menyukai Lee Hyori.” Sebenarnya, Hyun Bin tidak langsung mengatakan padaku soal itu. Awalnya, dia hanya bilang mendapat tawaran kerja dari suatu perusahaan asing. Temannya yang sudah terlebih dahulu ada di sana, merekomendasikannya untuk posisi manajer marketing.

Menurutnya, itu sangat menarik terutama dari segi gajinya. Tapi, entah mengapa, aku merasa dia menyembunyikan sesuatu tentang hal itu. Setelah kukorek pelan-pelan, ternyata masalahnya adalah Lee Hyori. Rasanya seperti terngiang kembali di telingaku suara lirih Hyun Bin, ketika berkata dia takut jatuh hati pada Lee Hyori, partner barunya di kantor. Dia bilang, gadis itu menarik. Cerdas, itu intinya. Sebagai partner, mereka dekat satu sama lain. Hyun Bin merasa takut dengan kedekatan itu, takut akan menjadi sesuatu yang lebih.

“Kau jatuh cinta padanya?”

Tentu aku sangat meradang dengan pengakuan itu.

Hyun Bin menggeleng. Tapi, aku tidak suka gelengan yang lemah. Bagiku, itu gelengan orang yang bersalah.

Bersambung…

Keinginan Sederhana (Chapter 1)


Bahwa ini adalah kota kecil, aku tahu. Orang selalu bilang bahwa kota kecil membuat orang dengan gampang saling bertemu. Tapi, tetap saja aku tidak menyangka sama sekali akan bertemu dengan Kim Tae Hee, atau siapa pun orang lain dari masa laluku secepat ini. Padahal, aku baru saja sampai di sini kemarin. Pagi ini aku sedang berbelanja bahan makanan di minimarket kecil, ketika seseorang menepuk bahuku. Butuh waktu lebih dari dua puluh detik untuk akhirnya mengenali wanita itu. Padahal, dia sudah menyebutkan namaku, ketika aku membalikkan badan ke arahnya tadi.

“Kim Tae Hee, ’kan?”

Dia tersenyum mengangguk. “Kupikir, aku keburu menjadi patung sebelum kau dapat mengingatku.”

“Tentu saja tidak!”

Kupeluk dia. Senang sekali rasanya bertemu dengan teman lama. Apalagi, aku sudah lima belas tahun pergi dari kota ini, sejak lulus SMA dulu.

“Sedang apa kau di sini, Yoon Eun Hye?”

“Berbelanja sepertimu.”

Dia terkekeh. Kami memang sama-sama sedang menenteng tas keranjang plastik yang penuh berisi aneka macam barang, dari mi instan sampai pembalut wanita. Hanya bedanya, keranjang Kim Tae Hee berwarna merah, sedang yang ada di tanganku biru.

“Bukan itu maksudku, Nyonya! Maksudku, apa yang kau lakukan di kota kecil ini? Adakah hal penting yang membuatmu meninggalkan kota metropolis itu?”

Ah, Kim Tae Hee, tentu kau tidak tahu bahwa itu jenis pertanyaan yang aku tidak suka saat ini.

“Yaaa... bisa dikatakan semacam liburan. Kau sendiri, apa yang kau lakukan di sini? Bukankah kau juga warga kota metropolitan yang lain? Bahkan, lebih metropolis daripada yang kutinggali, aku rasa.”

“Ha...ha...ha... kau salah, Yoon Eun Hye, aku sudah kembali menjadi bagian dari kota kecil ini sejak hampir empat tahun yang lalu. Waktu itu ayahku meninggal. Kau tahu kan, semua kakakku sudah keluar dari rumah dan bertebaran di seluruh Korea. Jadi, kupikir saatnya menjadi anak yang berbakti pada orang tua. Singkat cerita, delapan bulan setelah ayahku meninggal, aku mendapatkan kembali KTP yang dulu pernah aku lepaskan.”

“Sejak empat tahun yang lalu? Kau tinggalkan kariermu?”

Lagi-lagi dia tertawa. “Kalau yang kau maksud adalah karier kantoran, memang iya. Tapi, aku tetap bisa menjadi penulis di sini. Mengetik bisa di mana saja, ’kan?”

“Ah, aku lupa bahwa kau penulis. Terkenal pula.”

Dia tertawa lagi. ”Jadi, bagaimana kabarmu?”

“Baik, semuanya baik.”

Wajah Hyun Bin muncul sekilas di mataku. Ya, Hyun Bin, aku memang sedang berbohong sekarang.

“Berapa anakmu?”

“Belum ada.”

”Oh, ya? Kenapa? Sengaja menundanya. Karena sayang karier barangkali?”

“Tidak, Kim Tae Hee, memang karena belum ada. Lagi pula, aku sudah tidak berkarier sejak dua tahun yang lalu.”

“Oh, maaf. Tapi, aku tidak melihat kau menyesalinya. Jadi, berarti semuanya baik-baik saja. Benar, ’kan?”

“Ah, sudahlah, daripada sibuk mengobservasi hidupku, lebih baik kita pergi makan siang bersama. Aku tidak punya teman makan di rumah. Jadi, kau harus menemaniku.”

Kim Tae Hee tertawa.

“Yoon Eun Hye, ini masih pukul sepuluh pagi, belum waktunya makan siang!”

“Kau sedang berdiet?”

Dia menggeleng.

“Lalu, apa salahnya makan siang sekarang?”

“Okay! Mari kutunjukkan rumah makan yang enak di sini. Kau masih ingat rasanya Bibimbap {Nasi campur, makanan khas kota Jeonju, yaitu nasi yang dicampur berbagai macam sayuran, daging sapi, telur, dan gochujang (pasta cabe korea yang terbuat dari beras ketan & bubuk cabe yang difermentasi)}? Ah, kau pasti tidak ingat lagi. Ayo, Nyonya, kutunjukkan makanan khas kota kecilku ini!”

Dia menyeretku ke arah kasir.

Di tempat parkir dia menyuruhku untuk selalu mengikuti mobilnya. Ternyata, dia mengajakku ke sebuah rumah makan yang biasa saja, walau menurutnya makanannya luar biasa.

“Ini pembuat Bibimbap terenak. Kau masih ingat apa itu Bibimbap?” Kim Tae Hee tersenyum menggodaku.

Mungkin, baginya, aku adalah orang kampung yang melupakan kampung halamannya sendiri. Kuakui makanan ini memang terasa enak sekali di mulutku. Entah karena memang enak, atau karena dari semalam perutku memang belum terisi apa pun, kecuali segelas sereal.

“Jadi, Bibimbap ini yang bersekongkol dengan ibumu sehingga berhasil memanggilmu pulang dan kemudian mengikatmu di sini?”

“Ehm... tidak spesifik seperti itu, walau aku memang selalu kangen pada makanan ini. Ini menu favorit keluargaku. Di Seoul, kota besar itu, jarang kutemukan makanan ini. Jadi, ya, rasanya menyenangkan juga bisa pulang.”

“Tidak merasa kehilangan banyak hal? Suasana kantor, persaingan, dinamika, dan deadline, misalnya?”

“Pasti! Awalnya semuanya terasa aneh, ketika keluar rumah dan mendapati lalu lintas lancar sepanjang hari. Aneh, karena tidak ada rapat-rapat redaksi dan kejar-kejaran deadline. Aneh, karena tidak ada teman-teman yang mengajak dan diajak hangout di kafe. Mereka yang biasanya nyata, sekarang jadi maya. Juga aneh, karena tidak ada mal yang bisa dikelilingi di hari Minggu, walaupun sebenarnya aku termasuk yang tidak suka ke mal. Tapi, ternyata hal sederhana seperti masalah mal itu, bisa membuatku merasa kehilangan.”

Tentu saja akan terasa kehilangan besar seperti itu. Perubahan dari hidup yang hiruk-pikuk menjadi lebih melambat, bukannya tidak perlu proses adaptasi. Aku saja semalam sempat susah tidur, karena berada di rumah yang sudah lama tak kutinggali. Semuanya terasa agak aneh, padahal rumah itu adalah rumah peninggalan orang tuaku, yang pernah menjadi habitatku bertahun-tahun lalu sebelum aku kuliah, bekerja, dan menikah dengan Hyun Bin.

“Tapi, semuanya terasa menyenangkan juga akhirnya. Apalagi, aku, toh, masih bisa main-main ke Seoul kapan saja, asal ada uang tentu saja. Kadang-kadang ada juga teman yang sudi menengok. Sekarang bertemu dirimu. Berapa lama kau tinggal?”

“Ehm... mungkin dua atau tiga minggu. Mungkin juga bisa lebih. Aku belum tahu.”

Kelihatannya Kim Tae Hee bisa merasakan ada sesuatu di balik jawabanku itu. Aku harap dia tidak mengorek.

“Bagus, aku punya tambahan teman kalau begitu.”

“Jadi, makin produktif menulis? Proses kreatif lebih lancar?”

“Yaaa... karena tidak ada lagi yang memberi gaji tetap, maka harus lebih tinggi produktivitasnya. Kau sendiri apa yang kau kerjakan sekarang? Selain jadi ibu rumah tangga tentunya.”

Ah... dalam dua tahun ini aku tidak mengerjakan apa-apa, selain mengurus rumah, berbelanja, memasak, dan menunggu Hyun Bin pulang kantor.

“Tidak banyak. Karena itu, aku berencana kembali bekerja.”

Kening temanku berkerut. “Kenapa? Bukankah menjadi ibu rumah tangga itu pekerjaan mulia?”

”Dua tahun yang lalu aku berhenti bekerja, karena kecapekan membuatku susah hamil. Tapi, sampai sekarang belum juga ada anak. Rasanya, sepi di rumah seharian. Lama-kelamaan pusing juga. Aku akan kembali bekerja, tapi mungkin tidak seperti dulu. Aku ingin punya anak, Hyun Bin juga. Jadi, tidak bisa terlalu ngotot seperti dulu-dulu. Ha...ha...ha... tidak profesional, ya?”

“Jadi, tidak menolak, jika ada yang memberi order freelance, ’kan?”

“Tentu saja.”

Sebenarnya bekerja secara freelance lebih menyenangkan. Jika saja semua berjalan baik, tentu aku lebih suka bekerja freelance daripada kembali ke kantor.

“Bagaimana kalau kau yang kerjakan desain sampul novel baruku?”

Aku nyaris tersedak. “Benarkah?”

“Seharusnya aku yang bertanya padamu, apakah setelah vakum selama dua tahun, kau masih ingat akan ilmu desainmu? Ha...ha...ha....”

“Hei, tentu saja aku ingat! Kau serius?”

“Tentu saja. Bagaimana kalau setelah ini kau mampir ke tempatku? Akan kuberi kau satu copy naskah novelku. Sebenarnya masih perlu sedikit revisi, tapi tak akan banyak pengaruhnya. Jadi, kau memang mau menerimanya?”

“Boleh.”

”Kau bawa peralatan perangmu, ’kan?”

“Peralatan perang?”

“Notebook, pensil, kertas, ilmu, otak, dan seterusnya.”

“Tentu.”

Bersambung…

Kamis, 04 November 2010

Setiamu Temakan Waktu (FF)


Title : Setiamu Termakan Waktu
Author : Sweety Qliquers
Genre : Romance, Mystery, Friendship
Episodes : Prolog + 2 Part
Production : www.ff-lovers86.blogspot.com
Production Date : 03 November 2010, 04.18 PM
Review :

Aku tercengang membacanya, tanganku lemas seketika hingga surat yang kubawa terbang terbawa hawa.

Tak mungkin aku telah mati karena aku masih di sini, di rumah ini, di dekat pohon Akasia. Mataku menatap pohon yang angkuh berdiri di tengah bukit, pohon Akasia itu. Bukan?!?

Itu bukan pohon Akasia. Itu…

Kulihat jauh ke kaki bukit tempat rumahku berada, namun tak kutemukan, selain ratusan batu nisan tertancap beku di tanah, diantaranya adalah milikku dengan seikat bunga mawar merah di atasnya.

Cast :
Park Yong Ha
Park Shin Hye
Kang Yi Suk
Lee Young Yoo

Park Yong Ha
(Shin Hye's Bestfriend)


Park Shin Hye
(Yong Ha's Bestfriend)


Kang Yi Suk
(Young Park Yong Ha)


Lee Young Yoo
(Young Park Shin Hye)


Setiamu Termakan Waktu
Created By Sweety Qliquers

Prolog
Part 1 “Janji Masa Kecil”
Part 2 “Pohon Kenangan” - TAMAT

Setiamu Temakan Waktu (Part 2-Tamat)


Part 2
Pohon Kenangan


Kulihat ada seorang wanita dan seorang pria berjalan menjauh dari rumahku. Apakah itu kau, Park Shin Hye? Tapi kenapa kau malah pergi? Bukannya menemuiku disini?!? Dan pria itu? Siapa dia? Kenapa dia memeluk pinggangmu? Aku berlari mengejar mereka namun terlambat, tubuh mereka telah menghilang di antara debu jalanan. Kulangkahkan kakiku gontai kembali ke rumah, kulihat secarik kertas putih tergeletak di teras di atas seikat bunga mawar merah, segera kuambil kertas itu dan kubaca.

Untuk Park Yong Ha yang selalu kusayang,
Surat ini adalah surat ke 15 yang kukirimkan di setiap ulang tahunku untukmu, karena aku berharap kau akan membaca salah satunya. Karena itu isinya masih sama dari tahun ke tahun.

Park Yong Ha, aku tak pernah pergi. Aku tak jadi berangkat ke Busan. Aku masih tinggal beberapa meter dari rumahmu dan pohon Akasia. Pohon yang bertuliskan nama kita, aku tak pernah lupa. Pertemuan di ulang tahunku yang ke-dua puluh aku pun tak lupa. Hanya saja, kau yang tak pernah ada di sana.

Maaf, mungkin aku tak setia. Kini aku telah menikah. Tapi, itu semua karena kau telah tiada.

Kenapa kau panjat pohon Akasia itu, Park Yong Ha? Hanya untuk melihat kepergiankukah? Apakah itu alasanmu? Apakah aku salah bila selalu menyalahkan diriku karena jatuhmu dari pohon yang tinggi itu? Aku takkan berhenti memikirkanmu. Selamanya kau akan menjadi sahabatku, sekekal tulisan di pohon Akasia.


Aku tercengang membacanya, tanganku lemas seketika hingga surat yang kubawa terbang terbawa hawa.

Tak mungkin aku telah mati karena aku masih di sini, di rumah ini, di dekat pohon Akasia. Mataku menatap pohon yang angkuh berdiri di tengah bukit, pohon Akasia itu. Bukan?!?

Itu bukan pohon Akasia. Itu…

Kuusap mataku beberapa kali tak percaya. Aku berlari mendekati pohon itu, kupastikan penglihatanku yang mungkin keliru, tapi tetap saja ini bukan pohon Akasia. Ini pohon Kamboja, dan tulisan itu…

Aku pun mencarinya. Masih ada meskipun sedikit mengecil dan mengkerut, tapi itu bukan tulisanku, itu tulisan Park Shin Hye. Kenapa aku baru menyadarinya? Lalu rumahku? Bagaimana dengan rumahku?

Kulihat jauh ke kaki bukit tempat rumahku berada, namun tak kutemukan, selain ratusan batu nisan tertancap beku di tanah, diantaranya adalah milikku dengan seikat bunga mawar merah di atasnya.


TAMAT
Copyright Sweety Qliquers

Setiamu Termakan Waktu (Part 1)


Part 1
Janji Masa Kecil


Kubuka jendela kamarku pagi itu, dapat kulihat jelas di kejauhan, di atas bukit, sebatang pohon Akasia yang mulai berguguran. Teringatku pada Park Shin Hye, teman sepermainanku saat kecil. Kami sering berlarian mengelilingi pohon itu, bermain menjadi pesawat dengan tangan terbentang, melompat, bercerita, bercanda. Hhh, tak terasa waktu berlalu begitu cepat.

Saat itu kulihat bola mata bulat Park Shin Hye memerah, sepertinya habis menangis.

“Kau kenapa, Park Shin Hye?” tanyaku.

“Besok aku akan pindah ke Busan,” kata Park Shin Hye lalu kembali menangis.

Kurapatkan Park Shin Hye dalam rangkulan tangan persahabatanku, lalu kubiarkannya menangis sepuas hatinya. Terus terang aku juga ingin menangis, tapi aku ini seorang pria, pantang untuk mengeluarkan airmata, begitu kata egoku.

“Aku menyayangimu, Park Yong Ha. Aku tak mau berpisah denganmu.”

Lalu kuambil sebuah paku dari rumah dan kuukir namamu dan namaku di batang pohon Akasia yang selama ini menyaksikan kita, mendengarkan kita, dan menemani kita.

“Dengan begini kita akan jadi sahabat selamanya,” kataku. Kulihat Park Shin Hye tak mengerti, dia mengernyitkan alisnya.

“Persahabatan kita kekal, sekekal tulisan yang kutoreh di sini, yang tak pernah akan hilang meski panas, hujan, dan badai menerpanya,” kataku. Park Shin Hye memelukku.

“Aku janji akan kembali. Tunggu aku di sini tepat di ultahku yang ke-dua puluh, lalu setelah itu kita menikah,” katanya bahagia.

“Menikah?” tanyaku. Park Shin Hye mengangguk.

“Seandainya saja anak umur sepuluh tahun boleh pacaran, aku mau menjadi pacarmu,” katanya membuatku tertawa. “Berjanjilah padaku kau akan setia menungguku?” katanya penuh harap.

“Bagaimana jika kau sendiri yang mengingkarinya?” tanyaku.

“Aku tidak akan ingkar janji. Aku akan setia padamu.” Kuhela nafasku panjang lalu tersenyum.

“Aku akan menunggumu, Park Shin Hye, sampai kapanpun,” kataku.

Namun kau tak kunjung tiba, ultahmu ke dua puluh sudah terjadi lima tahun yang lalu.
Kutunggu kau dari subuh hingga tengah malam, sampai hari ini tepat di usiamu yang kedua puluh lima, tapi kau masih tak muncul juga.

Kemanakah dirimu? Kemana janji setiamu? Kenapa waktu seakan melahap habis rasa rindumu? Kenapa waktu memakan setiamu hingga tak tersisa? Berjuta pertanyaan memenuhi isi kepalaku, menjalar kehatiku dan meramunya menjadi sebuah kekecewaan.

Kudekati pohon Akasia itu, kusentuh tulisan nama kita yang masih ada disana. Walau kini nampak sedikit mengecil seolah mengkerut tapi masih bisa terbaca. Setelah kukenang sesaat, aku putuskan untuk kembali ke rumah. Namun siapa itu?

Bersambung…

Setiamu Termakan Waktu (Prolog)


Prolog

Masih terselip bayangmu
Dalam ingatanku…
Tawa dan canda itu Belum pupus dimataku,
Kau masih hidup dalam ingatanku…
Ku tunggu engkau tuk kembali walau entah kapan
Karna masih ada sesuatu yang harus kau tau dariku..
Tentang cinta yang belum sempat ku ungkapkan
Tapi sungguh…
Bisikan angin itu bohong….
Kau belum pulang..
Kau masih hidup…!!!
Karna masih nampak jelas bayangmu dalam ilusiku…
Seseorang dimasa lalu yang kini telah tiada
(Kehilangan_Sweety Qliquers)

Bersambung...

Takut Tak Bisa Melihatmu Lagi (FF)


Title : Takut Tak Bisa Melihatmu Lagi
Author : Sweety Qliquers
Genre : Romance, Family, Mystery, Marriage
Episodes : Prolog + 2 Part
Production : www.ff-lovers86.blogspot.com
Production Date : 03 November 2010, 04.07 PM
Review :

Seiring dengan waktu yang berjalan, aku merasa tubuhku menjadi ringan, melayang. Tak pernah kusangka, aku telah pergi meninggalkan Park Yong Ha yang kucintai dan bayiku yang tak pernah kususui untuk selamanya

Cast :
Park Yong Ha
Park Ji Hee
Kim Ja Ok

Park Yong Ha
(Ji Hee's Husband)


Park Ji Hee
(Yong Ha's Wife)


Kim Ja Ok
(Yong Ha's Mother)


Takut Tak Bisa Melihatmu Lagi
Created By Sweety Qliquers

Prolog
Part 1 “Tatapan Park Yong Ha”
Part 2 “Maafkan Aku” - TAMAT

Takut Tak Bisa Melihatmu Lagi (Part 2-Tamat)


Part 2
Maafkan Aku


Telepon dokter dini hari seperti ini ternyata tak mudah, setelah beberapa kali mencoba, akhirnya aku menyerah. Huh, keterlaluan sekali, mengapa disaat jam seperti ini sudah tidak ada rumah sakit yang bisa dihubungi, kesalku dalam hati. Lalu aku kembali ke kamar, kulihat mama mertuaku ada di sana memeluk Park Yong Ha. Aku semakin panik, jangan-jangan Park Yong Ha tengah sekarat. Namun sebelum aku mendekat,
“Sudahlah, Park Yong Ha, kau harus bisa merelakan Park Ji Hee pergi, jangan seperti ini terus, Mama tidak mau kau menjadi sakit, Mama tidak mau ada apa-apa denganmu,” kata mama mertuaku membuatku bingung.

“Tapi Park Ji Hee masih ada disini, Ma, baru saja dia kupeluk, aku masih bisa mencium aroma wanginya. Aku juga masih bisa membelai rambut halusnya, pipinya, bibirnya juga masih bisa kusentuh,” kata Park Yong Ha lirih namun jelas kudengar.

“Jika kau masih seperti ini terus, Mama terpaksa membawamu ke rumah sakit jiwa. Maafkan Mama, Park Yong Ha,” bisik mama mertuaku sambil mengelus rambut Park Yong Ha.

Aku tak percaya mendengar semua itu. Aku tak percaya.

Tiba-tiba saja kudengar suara tangis bayi dari kamar sebelah, kamar yang pernah aku dan Park Yong Ha rencanakan untuk dijadikan kamar bagi buah hati kami.

“Gara-gara dia, aku jadi kehilangan Park Ji Hee,” kata Park Yong Ha penuh kebencian.

“Jangan salahkan dia, Park Yong Ha, dia tak pernah minta untuk dilahirkan, dan dia tak pernah berharap kehilangan ibunya karena melahirkannya.”

Seiring dengan waktu yang berjalan, aku merasa tubuhku menjadi ringan, melayang. Tak pernah kusangka, aku telah pergi meninggalkan Park Yong Ha yang kucintai dan bayiku yang tak pernah kususui untuk selamanya.


TAMAT
Copyright Sweety Qliquers

Takut Tak Bisa Melihatmu Lagi (Part 1)


Part 1
Tatapan Park Yong Ha


Aku masuk ke kamarku, kamar yang sudah kutempati bersama Park Yong Ha, suamiku, selama tiga tahun. Kamar yang menyimpan berjuta kenangan indah selama aku menjadi istrinya. Kulihat Park Yong Ha tengah meringkuk di tempat tidur, aku tersenyum. Akhir-akhir ini Park Yong Ha memang selalu tidur lebih awal dariku, karena aku masih harus menyelesaikan tulisanku yang akan segera aku terbitkan.

Kuhampiri Park Yong Ha, kutatap wajahnya lembut. Aku mengerutkan alisku, sedikit heran, wajah Park Yong Ha tak sesegar biasanya, wajahnya pucat, kelopak matanya menghitam dan terlihat sangat kurus.

Apa dia terlalu capek bekerja ya? pikirku. Lalu kucium lembut keningnya. Park Yong Ha terbangun lalu mengerjapkan matanya.

Sesaat Park Yong Ha terdiam membisu, lalu Park Yong Ha merengkuhku dalam pelukannya, sangat erat, lebih erat dari biasanya, bahkan sedikit menyakitkan kurasa.

“Ini sudah terlalu malam, Besok kau kan harus ke kantor, jangan sampai kecapekan,” kataku. Lalu aku pun berbaring di sampingnya. Park Yong Ha terus menatapku.

“Kenapa kau melihatku seperti itu?” tanyaku sedikit heran.

“Aku takut jika besok aku tak bisa melihatmu lagi,” katanya sambil membelai wajahku.

“Kau ini bicara apa,” kataku. Lalu kulihat mata cekung Park Yong Ha mulai berkaca-kaca sambil terus mengelusku. Aku merasa bingung, ada apa dengannya?

“Kau kenapa, Park Yong Ha? Apa kau sakit ?”

Terus terang Park Yong Ha membuatku cemas dan takut. Jangan-jangan Park Yong Ha sakit parah? Tapi dia tidak mau membicarakannya padaku.

“Ada apa? Jujurlah padaku!” tanyaku cemas. Namun Park Yong Ha tak menjawabku, melainkan menangis. Kupeluk erat tubuh suamiku, memberinya kekuatan.

“Aku mencintaimu, Park Jin Hee, jangan pergi, tetaplah di sini bersamaku, temani aku.” Park Yong Ha tak melepaskan pelukannya.

“Aku juga mencintaimu, Park Yong Ha, tapi kau sakit apa? Jangan membuatku takut! Kau sakit apa?!?” tanyaku setengah berteriak. Namun Park Yong Ha masih tak menjawabnya, melainkan terus menangis. Tubuhnya sampai gemetar dan nafasnya tersengal-sengal.

“Aku akan telepon dokter!” kataku panik.

“Jangan pergi, Park Jin Hee. Jangan pergi !” katanya sambil berusaha meraihku saat aku beranjak, dan keluar kamar menuju ke meja di mana teleponku diletakkan.

Bersambung…

Takut Tak Bisa Melihatmu Lagi (Prolog)


Prolog

Sebelum Kau Pergi…
Ini bukan persimpangan
Melainkan jalan buntu
Hanya ada satu pintu
Perpisahan

Tapi sebelum kau pergi
Hancurkanlah mimpi
Robekkanlah hati

Biar kubalut luka di dada
Sendiri

Saat Kau Pergi…
Gerimis meringis
Tak kuasa menahan tangis

Hujan-hujan berlarian
Kabur dari pasungan mendung
Lelehkan kaca
Yang tersudut di ujung mata

Samarkan bayang dari sosokmu
Jauh..,
Berlalu

Setelah Kau Pergi…
Kugugurkan keheningan di gemuruh laut
Berharap masa lalu datang
Dan menghempas di dadaku

Hanya saja semua telah berubah menjadi angin
Ada hanya tak terlihat
Utuh tak tersentuh

Lalu aku menyadari
Bahwa dulu aku memiliki
Kau
Cinta yang akhirnya lepas

Hanya desir pasir
Hanya titik air
Menjelma kau dalam bayang

Remang
Remang
Remang
...
Hilang
(Kehilangan_Sweety Qliquers)

Bersambung...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...