Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Rabu, 13 Juli 2011

Pernikahan Simulasi (Chapter 1)



Aku sungguh-sungguh tidak mengerti kenapa orang harus menikah,” gerutuku.

Kim Bum tertawa. “Ibumu menanyakan calonmu lagi?”

Aku mengangguk cemberut.

“Apa jawabanmu kali ini?” godanya.

“Aku tidak menjawab. Aku langsung meninggalkan ruang makan dan masuk ke kamar.”

Kim Bum terbahak. “Kau kekanak-kanakan,” katanya.

“Lalu jawaban apalagi yang harus kuberikan, Kim Bum? Aku sudah kehabisan alasan, kehabisan stok bohong. Dan ibuku malah semakin gencar menteror.”

Kim Bum tersenyum. “Kau benar-benar seperti anak-anak. Kalau kau jadi ibumu, apa kau tidak akan blingsatan kalau anak gadismu belum juga menikah pada usia tiga puluh tiga.”

“Aku akan sangat gembira kalau anak gadis-ku tidak menikah seumur hidupnya,” komentarku.

Alis Kim Bum terangkat. “Kenapa?”

“Pernikahan hanya memperumit hidup perempuan.”

“Pernikahan juga membuat hidup laki-laki lebih sulit.”

“Persis!” potongku. “Untuk apa menikah kalau yang kita dapat hanya kesulitan?”

“Mungkin karena kesulitan itu hanya efek sampingnya, sementara keuntungannya lebih banyak?”

“Sok tahu,” cibirku. “Kau sendiri belum menikah. Apa yang kau tahu tentang keuntungan menikah.”

“Aku sudah cukup banyak belajar, Kim So Eun. Umurku sendiri sudah tiga puluh lima, kebanyakan teman-temanku sudah berkeluarga.”

“Tapi kau tidak! Akui sajalah. Kau setuju kan kalau hidup sudah cukup pelik tanpa perlu lagi menikah?”

Kim Bum tersenyum. “Ya, memang.”

“Lebih enak hidup seperti ini. Bebas!”

“Setuju. Tapi ingat, aku bukan sama sekali tidak mau menikah. Aku hanya masih menunggu calon yang pas.”

Dan aku menghela nafas panjang. “Ah, ya. Calon.”

“Itu kan sebenarnya alasanmu untuk tidak juga menikah?”

“Ya,” gumamku enggan.

“Bukan karena kau sama sekali antimenikah.”

Aku menggeleng. “Jangan bilang siapa-siapa, tapi kadang-kadang aku ingin juga digandeng seseorang saat datang ke pesta.”

“Tapi kau bisa saja bergandengan dengan salah satu pacarmu kan?”

“Gandengan pacar itu lemah. Gampang putus,” komentarku pahit. “Maksudku, aku mau orang yang sama menggandeng tanganku ke mana pun aku pergi.”

“Apa susahnya menggaji orang yang mau menggandeng tanganmu ke mana-mana? Ini zaman susah. Banyak pengangguran.”

“Kim Bum!” kuayunkan tanganku, tapi… begitu hapalnya ia dengan reaksiku… ia menghindar sambil tertawa.

“Kau sadar kan kalau menikah itu lebih dari sekadar mengontrak penggandeng tetap?” tanyanya kemudian, lebih serius.

“Ya. Justru itu. Aku tidak bisa membayangkan menikah dengan orang yang salah. Kalau saja,” aku terdiam.

“Apa?”

“Kalau saja aku bisa yakin bahwa lelaki itu akan tetap manis dan baik hati setelah ia berhasil menikahiku. Bagaimana seorang perempuan bisa tahu kalau lelaki yang merayunya ternyata suami yang payah? Yang suka memukuli, mencaci maki, Menghina, orangnya pelit, cemburuan, suka berbohong dan berkhianat.”

“Kim So Eun, laki-laki yang begitu sedikit sekali.”

Aku menggeleng. “Semua laki-laki binatang.”

“Bagaimana dengan aku? Aku laki-laki.”

“Kau bukan lelaki, Dan. Kau malaikat.”

Kim Bum terbelalak. Didekapnya dada kirinya dan ia terkulai di kursinya.

“Kim Bum!” desisku. “Nanti orang-orang memperhatikan kita!”

“Kim So Eun, kau sadar kalau aku belum mati? Aku harus mati dulu sebelum jadi roh dan mengajukan lamaran menjadi malaikat,” dan ia kembali terkulai, mata tertutup, lidah terjulur.

“Kim Bum, Kim Bum,” desahku. “Kalau kau memang mau menikah, berobatlah dulu ke rumah sakit jiwa.”

Ia tergelak. “Dan kau. Kalau kau memang mau menikah, percayalah setidak-tidaknya pada satu orang saja dari golongan laki-laki.”

“Aku tidak bisa, Kim Bum.”

“Hah… jangan bilang kalau kau suka dengan sesama jenis. Ah, apa kau sudah gila, Kim So Eun… jadi selama ini kau LESBIAN!”

“Berarti kau memang tidak bisa menikah. Tidak mungkin dan tidak akan. Dan kalau kau memaksakan diri, kau akan merana. Dan kalau kau sengsara kau akan makan makin banyak. Dan kalau kau makan banyak-banyak kau akan.”

“Kim Bum! Aku masih normal.” walaupun nada suaraku keras, aku tak bisa menahan senyum mendengar pernyataan konyol itu. Setelah dua puluh tahun menjadi sahabatku, ia benar-benar telah memahamiku.

“Apa kau pernah berpikir tentang ibumu?” katanya kemudian. Seperti biasa ia bisa menjadi sangat jenaka dan kemudian serius hanya dalam selang waktu sepersekian detik. “Ia pasti sangat ingin kau segera mendapat pasangan tetap. Ia akan lebih tenang kalau tahu kau akhirnya punya seseorang yang akan menemani dan melindungimu.”

“Jangan bicara begitu,” cetusku, kembali cemberut. “Satu, ini hidupku, bukan hidup ibuku. Aku sedih kalau ibuku sedih. Tapi kalau suamiku berkhianat, apa ibuku mau menanggung rasa malu dan sakit hatiku? Kedua, aku tidak butuh pelindung. Kau tahu aku bisa mengurus diriku sendiri. Kalau itu yang aku butuhkan, aku bisa menggaji lebih banyak pembantu, termasuk bodyguard kalau perlu.”

“Baik, baik, Tuan Putri. Hamba mengaku salah,” Kim Bum membungkuk dalam-dalam. “Jadi, dengan asumsi kau tidak sama sekali menihilkan kemungkinan menikah, apa yang ingin kau capai dengan itu?”

Aku tertunduk lemas. “Itulah, Kim Bum,” desahku. “Aku tidak tahu. Apalagi yang aku butuhkan saat ini? Aku punya pekerjaan dengan masa depan yang lumayan. Jadi menikah untuk alasan ekonomi jelas-jelas bukan pilihan untukku. Aku punya teman-teman diskusi, sahabat untuk berbagi, jadi kesepian juga bukan alasan bagiku untuk menikah.”

“Bagaimana dengan keturunan?”

“Anak? Apa aku harus menikah untuk punya anak? Aku bisa mengadopsi bayi, kan? Di luar sana banyak anak-anak yang tidak diinginkan orang tuanya. Kalau aku mau, aku bisa mengasuh satu, dua atau bahkan tiga dari mereka. Jadi tolong, jelaskan kenapa aku harus menikah, mempertaruhkan diriku sendiri, mengambil risiko dilukai lahir atau batin. Tak ada kepastian sama sekali bahwa pernikahan itu akan bertahan sepanjang hidupku. Di samping itu, kalau pernikahan itu hancur di tengah jalan, aku akan jadi pihak yang paling besar menanggung kerugian. Kenapa, Kim Bum? Untuk apa?”

Kim Bum termenung agak lama. Akhirnya ia menjawab. “Cinta mungkin?”

“Kau terlalu banyak menonton film romantis,” olokku. “Kau tahu berapa lama cinta bertahan dalam suatu pernikahan?”

“Berapa lama?”

“Satu sampai tiga bulan. Setelah itu, toleransi, kompromi, frustrasi dan imajinasi.”

“Imajinasi?”

“Kalau kau terjebak di dalam penjara dengan lelaki yang kau benci sekaligus yang kau tahu membencimu, kau harus membayangkan menikah dengan Zac Efron atau Robert Pattinson. Kalau tidak kau bisa jadi gila.”

“Astaga,” gumam Kim Bum. “Kalau itu terjadi padaku, siapa menurutmu yang harus kubayangkan? Megan Fox atau Paris Hilton?”

“Gorila,” jawabku sekenanya dan Kim Bum meledak tertawa.

“Kim Bum,” keluhku. “Berhentilah tertawa. Aku bukan pelawak. Aku sedang membicarakan masalah serius, dan aku kesal kau tertawai terus menerus.”

Bersambung…

4 komentar:

  1. wakakakakaka...GoKiLun si beOM...Gak KeBayang lah..AQ MaW PesaN saTU KawaN yang MoDeL ginian..!!

    BalasHapus
  2. hi q pembc br,,slm knl ff'y kren.

    BalasHapus
  3. http://www.desainkawanimut.com/official/index.php/en/story-beyond-love/cinta/65-setelah-kau-menikahiku-part-1.html

    BalasHapus
  4. maaf q cm pengen tau knp bs sama, cm nama tokoh d ubah, Penulisnya itu: Novia Stephani
    Pemenang I sayembara mengarang cerber
    femina 2003. aq pernah bc tulisan dy soalnya. tapi pas bc crita yg sm jd kecewa, mudah2an romance zero itu orisinil y cos aq suka gaya bahasa dan ceritanya. mav skali lg

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...