Silahkan Mencari!!!
I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
Sabtu, 16 Juli 2011
Lelaki Pilihan (Chapter 4)
Setelah berpamitan dengan Ayah, yang sedang duduk di teras belakang, Ibu mengantar Kim So Eun dan Kim Bum keluar dengan wajah berseri-seri, seakan-akan malam itu mereka telah resmi menjadi pasangan.
Kim So Eun tidak habis pikir, setelah perkenalan yang mengerikan kemarin, pemuda ini masih mau menemuinya. Mungkin, dia termasuk anak yang sangat patuh pada orang tuanya. Tipe seperti itu biasanya membosankan dan akan lebih mementingkan orang tua daripada istrinya. Jika dilihat sepintas, pastilah kelihatan seperti anak yang berbakti. Tapi, kalau ditelusuri lebih jauh, ternyata anak yang tidak mandiri. Atau, mungkin benar, dia tipe yang putus asa dikejar waktu dan harapan keluarga, terutama Ibu dan Ayahnya, yang ingin segera menimang cucu. Atau, seperti manusia berdarah biru, yang diburu-buru untuk menyediakan ahli waris agar gelar mereka tetap terjaga. Atau, yang paling mengerikan, tipe manusia yang tidak punya pikiran apa-apa. Semuanya sama tidak menyenangkan.
“Mau ke mana kita?” tanya Kim Bum.
“Terserah,” jawabnya. Dan, dia bersungguh-sungguh.
Kim Bum tampak berpikir sebentar, “Bagaimana kalau nonton? Kau suka film apa? Tapi, mungkin banyak film yang sudah kau tonton di sana baru diputar di sini.”
Kim So Eun takjub, orang ini bisa bicara juga. “Begini saja,” kata Kim So Eun, “Ayo, kita ke Twilight.”
“Baiklah. Kalau begitu kita putar di sini.”
Mereka terdiam lagi. Tapi, Kim So Eun sekarang tidak begitu ambil pusing. Dia sedang menikmati pemandangan kota di waktu malam. Entah kenapa, setelah tiba di sini dia baru merasa bahwa dia merindukan semua ini, bagian dari masa lalunya yang tidak mungkin terlupakan.
“Aku minta maaf, kemarin sikapku sangat tidak pantas.” Suara Kim Bum memecah kesunyian.
“Apa?” Kim So Eun tidak begitu mendengar.
“Kemarin di tempat arisan itu. Aku yakin, kau berpikir bahwa aku sebangsa idiot,” kata Kim Bum, sambil terus berkonsentrasi menyetir. “Menjadi seorang pria di sarang ibu-ibu begitu sangat tidak menyenangkan. Entah apa yang mereka pikirkan tentang kita, terutama aku. Tapi, aku merasa seperti makhluk percobaan yang sedang diamati.”
Kim So Eun sekali lagi terkejut karena Kim Bum ternyata bisa bicara lumayan panjang dan jujur. Dia juga merasakan hal yang sama.
“Tidak apa,” balasnya, “Aku juga sama sepertimu. Malah, aku berpikir, kita berdua seperti panda di kebun binatang, didatangkan untuk menjadi tontonan, tanpa memperhatikan perasaan hewan tersebut.”
Kim Bum tampak heran, “Begitulah perasaanku.”
Kim So Eun memandangi Kim Bum agak lama berusaha menyelami perasaannya lalu berkata, “Begini, kupikir, kita berdua sama-sama tahu apa yang dipikirkan dan diharapkan Ibu-Ibu kita. Jadi, untuk itu sebaiknya kita menjalin persahabatan dulu untuk saling mengenal diri masing-masing.”
Dia memandang reaksi Kim Bum yang terpantul dari raut wajahnya dan meneruskan, “Karenanya, kita saling bicara jujur dan menjadi diri sendiri. Tidak ada kepura-puraan, bukan?”
Kim So Eun memaki dirinya. Mungkin, Kim Bum akan berpikir bahwa dia terlalu berterus-terang. Tapi, Kim So Eun ingin menjalani sisa liburannya dengan tenang. Karenanya, dia perlu kerja sama orang ini.
“Aku setuju sekali.” Kim Bum mengangguk, tetap memandang ke depan.
Di malam Minggu, jalanan di Seoul masih macet sehingga memerlukan konsentrasi tinggi. Motor-motor melewati gang-gang kecil di antara badan-badan mobil. Menyalip sana-sini, baik motor atau mobil. Lengah sedikit saja, kendaraan lain akan menyerobot.
“Boleh aku memutar CD?” tanya Kim So Eun, setelah lama berdiam diri.
“Silakan, tapi koleksiku agak terbatas.”
Kim So Eun membolak-balik CD-CD itu. Memang tidak banyak pilihan. Hanya ada tiga dan semuanya lagu Korea. “Kelihatannya, kau tidak menyukai musik? Pasti kau bukan tipe romantis.”
Kim Bum tersenyum, “Apakah kau selalu berkata terus terang?”
“Kenapa?”
“Tidak apa-apa. Hanya, untuk ukuran orang Korea, kau agak di luar kebiasaan.”
“Begitukah? Hanya karena aku mengatakan bahwa kau bukan tipe romantis? Baik, aku akan lebih berterus terang. Sebetulnya, aku orang yang paling pintar menjaga sikap. Aku selalu berhati-hati agar tidak menyakiti hati orang karena tidak ingin punya musuh. Aku juga pintar menjilat agar pekerjaan lancar. Setiap hari aku memuji bos, juga teman-teman yang berhubungan denganku, mendengarkan omongan mereka, meski kadang-kadang aku ingin menyumpalkan kaus kaki ke mulut orang-orang itu. Aku juga pintar menjalin hubungan baik. Contohnya, aku sering membawakan makanan untuk Jang Geun Suk, asisten bos besar, sehingga dia selalu mendahulukan kepentinganku.”
Kim Bum tertawa, meski Kim So Eun tidak tahu apa yang lucu.
“Gaya bahasamu sinis dan kasar.”
“Begitukah menurutmu? Aku hanya bicara apa adanya.”
Kim So Eun mengawasi Kim Bum, yang menyetir pelan-pelan, melewati mobil-mobil yang tersusun mencari tempat parkir. Setelah memarkir mobil, Kim So Eun dan Kim Bum berjalan memasuki area Twilight yang terang benderang.
“Seperti pecinan, ya?” kata Kim So Eun, mengamati lampion-lampion yang bergantungan di sepanjang area itu.
Mereka lalu memesan dua porsi kepiting asam manis dan dua gelas jeruk manis hangat sebagai makanan pembuka.
“Apa pekerjaanmu?” Kim So Eun merasa pertanyaannya terkesan menyelidik, tapi dia tidak peduli.
Kim Bum tersenyum. Malam ini dia banyak tersenyum dan kelihatan sangat manis. “Apa Ibumu belum mengatakannya? Kalau begitu, coba tebak?”
“Kalau melihat mobilmu yang masih baru dan mahal, sepertinya kau pialang saham, atau pengacara, atau manajer pemasaran. Tapi, karena ini Seoul, tebakanku bukan itu. Kau terlalu santai untuk menjadi ketiganya. Jadi, kuputuskan kau pasti dokter.”
“Wow, kau hebat,” kata Kim Bum, “Bagaimana bisa? Atau, jangan-jangan, Ibumu telah memberitahu.”
“Tidak,” kata Kim So Eun, menggeleng, “Di sini dokter masih memiliki nilai ukur yang tinggi di mata masyarakat. Mengingat Ibu sangat terkesan denganmu, pastilah kau patut dibanggakan. Kalau pegawai negeri, kau juga cocok. Karena, seperti aku bilang tadi, kau kelihatan santai. Bukankah pegawai negeri selalu santai?”
“Tidak juga,” balas Kim Bum.
“Begitukah? Sekarang tebakanku adalah kau seorang dokter pegawai negeri, yang juga buka praktek sendiri.”
“Kenapa begitu?
“Karena, kau menyanggah sewaktu kubilang pegawai negeri itu santai. Berarti, kau membelanya. Dan, mobil itu tentu tidak didapat dari gaji pegawai negerimu ‘kan?”
“Kau pintar sekali,” puji Kim Bum. “Aku memang dokter rumah sakit umum dan juga dosen dan juga buka praktek. Ya… penerus ayahku. Bahkan, tempat prakteknya pun aku yang meneruskan.”
“Dokter apa?” tanya Kim So Eun. Dalam hati ia berkata, tipe beginikah yang dipikir Ibu bisa mencuri hatinya dan membuatnya kembali tinggal di sini? Ibu salah besar, orang ini terlalu sempurna.
“Spesialis kandungan.”
“Wow…. Dengan ini semua, kenapa sampai sekarang kau belum menikah? Pastilah banyak ibu yang bermimpi menjadikanmu menantu. Kalau kemarin, kupikir wajar para wanita melarikan diri darimu karena kau begitu pendiam, begitu seram. Tapi, sekarang kukira kau oke juga.”
Kim Bum terbahak. “Selama ini yang berani bertanya seperti itu hanya keluargaku saja, misalnya bibi-bibi yang cerewet. Tapi, wanita lajang yang baru kukenal ini ternyata berani juga.”
Kim So Eun mengamatinya lebih seksama. Kemarin dia mendapat kesan, Kim Bum sangat matang. Mungkin, 35 tahun. Tapi, hari ini dia menyadari sesuatu. Kim Bum pastilah belum 35 tahun. Mungkin, 33 tahun.
“Mengapa aku belum menikah?” Kim Bum berpikir, sambil mengulangi pertanyaan Kim So Eun, lalu berkata pelan, “Mungkin, aku terlalu sibuk belajar dan bekerja.”
“Maksudnya? Kau bekerja untuk membiayai sekolah?”
“Bukan. Maksudku, sewaktu kuliah aku sibuk sekali belajar sehingga tidak punya perhatian khusus terhadap lawan jenis. Pelajaranku begitu menarik. Dan, setelah bekerja, ternyata pekerjaanku juga menarik. Kadang aku berpikir untuk meneruskan sekolah ke luar negeri. Sebenarnya, Ayah bersedia membayari separuhnya. Tapi, kupikir, lebih baik menunggu beasiswa. Aku ini tipe workaholic. Atau, barangkali juga, aku belum menemukan wanita yang tepat.”
Pesanan mereka datang. Kepiting besar dengan saus merah kental itu membuat Kim So Eun mengeluarkan kembali kebiasaan makan cara lamanya. Dia mengisap, menggigiti cangkang kepiting, dan menjilati jari-jari tangannya yang berlumuran saus.
“Enak sekali,” desahnya, di sela-sela kegiatan itu.
Kim Bum tersenyum dan membalas, “Memang enak. Dan, melihatmu makan, kepiting ini jadi terlihat seribu kali lebih enak. Kau wanita pertama yang tidak berpura-pura anggun di depanku. Kebanyakan wanita makan dengan posisi duduk tegak lurus, menyuap sejumput kecil dengan sendok mereka, dan mengunyah dengan mulut rapat.”
“Untuk apa? Aku, toh, tidak sedang makan di depan klien penting atau pemasang iklan terbesar di majalah tempatku bekerja.”
“Jadi, aku bukan orang penting?” tanya Kim Bum, memancing.
“Begitulah,” jawab Kim So Eun, yang buru-buru nyengir ketika melihat ekspresi wajah Kim Bum yang tampak terpukul.
Bersambung…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
wakakakka..SoEun JujuR bgd..pasti mEnoHok Hati banged Bwt Kim Bum...ckckckcck//
BalasHapus