Silahkan Mencari!!!
I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
Rabu, 13 Juli 2011
Pernikahan Simulasi (Chapter 3)
Tiga hari pertamaku sebagai istri Kim Bum ‘simulasi’ kulewatkan di rumahku sendiri. Tiga hari berikutnya dilewatkan di rumah Kim Bum, karena kondisi ibunya, yang memang telah sangat lama sakit, memburuk, mungkin karena ketegangan yang disebabkan persiapan acara pernikahanku dengan Kim Bum. Pada hari ketujuh kami pindah ke rumah milik Kim Bum sendiri. Dan setelah seharian menata perabotan, memasang tirai dan beragam pajangan, malam itu kami lewati dengan tidur.
Esok paginya, aku terbangun karena mendengar suara-suara di dapur. Aku menemukan Kim Bum di sana, sedang mendadar telur, sementara di atas meja terhidang nasi goreng dan sepoci kopi yang harumnya menggoda.
“Aku ada rapat pukul setengah delapan,” seru Kim Bum sambil membalik dadar telurnya. “Aku harus berangkat sebelum setengah enam.”
Kucicipi nasi goreng buatannya. “Aku tidak tahu kau pintar memasak.”
“Sekarang tahu kan,” komentar Kim Bum tersenyum. Diletakkannya telur di atas meja dan ia duduk untuk sarapan.
“Kalau kau mau menangani urusan masak, aku akan memperbaiki keran dan genting bocor, termasuk memotong rumput.”
Kim Bum terbahak. “Ini hanya sekali-sekali, Kim So Eun. Aku tidak mungkin masak setiap pagi.”
“Apalagi aku. Kita perlu cari pembantu.”
“Jangan,” Kim Bum menggeleng. “Ia pasti curiga kalau melihat kita tidur di kamar berbeda.”
“Jadi?”
Kim Bum menggaruk kepalanya. “Bisakah kau masak nasi setiap hari?” pintanya. “Aku punya rice cooker.”
Kutatap wajahnya. Dalam hati aku berpikir, haruskah? Ini hanya sebuah permainan. Tidakkah Kim Bum akan jadi besar kepala kalau aku mematuhinya? Tapi di lain pihak, kalau aku benar-benar ingin tahu bagaimana rasanya jadi seorang istri, mungkin ada baiknya aku mengikuti keinginannya. “Kalau kau mau membawakan lauk dan sayur bergantian denganku, baiklah akan kulakukan.”
Ia tersenyum dan beranjak dari meja dan kembali dengan sebuah bolpoin merah. Dilingkarinya tanggal hari itu di kalender yang tergantung di dinding dapur.
“Hari pertama kita menyelesaikan suatu masalah dengan musyawarah keluarga,” katanya saat kembali ke kursinya.
“Masih banyak detil-detil seperti ini yang harus kita sepakati,” lanjutnya. “Misalnya, aku ingin kau beri tahu aku kalau kau akan pulang terlambat.”
Dahiku berkerut. “Untuk apa?”
“Apa kau tidak melapor kepada orang tuamu kalau kau akan pulang terlambat?”
Aku menggeleng. “Ibuku sudah percaya bahwa aku bisa menjaga diriku sendiri dan tidak akan melakukan hal-hal yang bodoh.”
“Tapi aku suamimu. Simulasi memang. Aku perlu tahu kenapa dan di mana kau kalau pulang terlambat.”
“Kau kedengaran seperti diktator.”
“Kurasa aku tidak minta terlalu banyak.”
“Itu terlalu banyak untukku.”
Kim Bum meletakkan sendoknya dan menatapku dengan mata menyala. Aku lupa kapan terakhir kali aku melihatnya marah. Tapi aku yakin aku tak salah membaca gelagatnya kali ini. Ia benar-benar marah.
“Ingat,” lanjutku hati-hati. “Aku bukan benar-benar istrimu. Kau tidak punya hak untuk mengaturku seperti itu.”
Ia menunduk lama sekali, tangannya terkepal, buku-buku jarinya memutih. Dan ruang makan itu menjadi sangat sunyi senyap.
“Baiklah. Kalau itu maumu,” desisnya kemudian.
Kami melanjutkan sarapan dalam diam. Aku ingin mengatakan bahwa aku sama sekali tidak menduga permainan itu akan membuat persahabatanku dengan Kim Bum memburuk. Tapi aku tak berani mengungkapkan itu. Aku yakin Kim Bum akan semakin berang karenanya.
Kim Bum meninggalkan meja tanpa mengatakan apa-apa dan pergi ke kamarnya untuk bersiap-siap ke kantor. Tak lama ia kembali menemuiku di ruang makan. “Aku pergi, Kim So Eun,” katanya dingin.
Aku bangkit dari meja menghampirinya, berniat untuk memperbaiki situasi. “Sebagian teman-temanku menyarankan ini,” ujarku sambil meraih wajahnya, menempelkan bibirku di pipinya. “Kupikir ada baiknya kucoba. Oh, ya. Mereka bilang kau harus mencium keningku.”
Ia membungkuk dan menyapu keningku dengan bibirnya yang terkatup dan berlalu tanpa mengucapkan apa-apa lagi.
Dasar tidak tahu terima kasih!
Aku sengaja pulang terlambat malam itu. Dalam perjalanan pulang kusinggahi suatu kafe yang belum pernah kukunjungi, sebagian untuk memperoleh kesendirian dan sebagian untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan yang pasti diberondongkan teman-teman yang biasa bersamaku menghabiskan sore hari.
Perasaanku gundah. Rasa bersalah dan kesal berkecamuk di dadaku. Aku tahu Kim Bum telah banyak berkorban untuk permainan ini. Tapi walau aku sungguh-sungguh ingin mempelajari bagaimana rasanya menjadi seorang istri, harus kuakui bahwa aku belum terbiasa menganggap Kim Bum sebagai suamiku. Bagiku, ia hanya masih seorang sahabat. Dan seorang sahabat tidak boleh menuntut terlalu banyak.
Mataku tertaut pada cincin emas putih mungil yang disisipkan Kim Bum di jari manisku selepas mengucap janji pernikahan di gereja . Ini hanya permainan, batinku. Tapi dalam permainan ini, Kim Bum adalah suamiku. Dan sebagai suamiku, tuntutannya wajar. Kalau aku lantas tidak suka dengan keterbatasannya, itu hanya satu pelajaran pertama dari permainan ini.
Kupejamkan mataku dan kutarik napas dalam-dalam. Aku benci kekalahan. Tapi kali ini aku mengalah, bukan kalah. Aku akan belajar satu hal dari semua ini. Bagaimana mengesampingkan keakuan dan memilih kebersamaan. Getir memang. Aku yakin Kim Bum akan menertawaiku. Kalau ia tidak marah-marah dulu.
Alangkah terkejutnya aku mendapati rumah gelap dan kosong. Sudah pukul setengah dua belas malam dan Kim Bum belum pulang?
Kucoba menghubungi ponselnya dan hanya mendapati mailbox. Dengan menggunakan berbagai tipu daya, memperhitungkan lemahnya kondisi ibu mertuaku, kutelepon rumahnya. Aku bahkan mencoba mengontak kantornya, tanpa hasil. Kim Bum tidak ada di mana-mana.
Inikah balasannya atas penolakanku tadi pagi? Kekanak-kanakan sekali!
Tapi tak urung, dengan melarutnya malam, aku jadi semakin cemas. Apalagi hingga pagi Kim Bum tidak kembali. Ia bahkan tidak pergi ke kantor. Aku minta izin pulang setengah jam lebih awal dengan dalih yang dibuat-buat. Tapi saat aku tiba di rumah, Kim Bum tetap tidak ada. Malam itu kulewatkan di sisi telepon, berpikir untuk menghubungi polisi dan rumah sakit.
Pukul tiga telepon berdering. Bermacam-macam kengerian terlintas di benakku saat aku mengangkat telepon.
“Kim So Eun?”
“Kim Bum?” jeritku. “Kau di mana?”
“Kim So Eun, aku minta maaf karena marah dan pergi dari rumah begitu saja. Boleh aku pulang?”
“Kim Bum, ini rumahmu!” meskipun aku tersenyum, air mata kelegaan mulai meleleh di pipiku. “Kau di mana?”
“Di luar.”
“Di luar rumah?”
“Ya. Dan aku lapar.”
“Oh, Tuhan….”
Bersambung…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
udah SriuuuuuuuuuuuZ..Endingnya ngakak Lageeeee...wakakakakakak PasanGan ANEH,,,TERLALU ANEH...Tp makin sukaaaaaaaaaaakkk..
BalasHapus