Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Kamis, 07 Juli 2011

Kisah Cinta Tak Sempurna (Chapter 2)



Hari–hari setelahnya aku semakin tak bisa menghindari karismanya. Terlebih saat tanpa sengaja, ketika kami berjalan bersama, aku berjumpa dengan kakakku. Mereka berangkulan erat sekali. Mereka sahabat semasa SMA.

Setahun setelahnya, aku dikontrak eksklusif olehnya. Dia membuka showroom mobil baru, meski tidak sebesar yang sebelumnya. Kebersamaan kami terus bergulir, sampai aku menyelesaikan magangku di koran itu.

Saat aku sibuk menyusun skripsi, dia juga yang sibuk–sibuk mengantarku ke sana kemari. Membantu mengumpulkan bahan pelengkap skripsiku dan sebagainya. Ketika nilai A kudapat, dia tersenyum bangga. Saat aku melangkah di ballroom hotel dengan jubah dan toga wisudaku, dia menatapku tak berkedip, tentu tak lupa menjepret beberapa kali dengan kamera antiknya. Kami juga berfoto bersama setelahnya.

Kim Hyun Joong Oppa, aku memanggilnya. Rasa yang kunamakan cinta itu datang tanpa bisa kucegah. Meski aku tahu, cinta kami akan sulit. Tapi, aku tak berdaya, meski aku sadar, aku hanya seorang Kim So Eun, seorang gadis Dreamlight biasa, dari keluarga yang berkecukupan. Sedangkan dia, lelaki dari keluarga berada dan terpandang, anak lelaki satu–satunya. Aku sangat menyadarinya. Maka, dengan susah payah aku coba ingkari rasa itu. Sejak itu, aku mengklaim cinta ini bukan lagi anugerah, tapi awal petaka.

“Masa iya zaman sekarang, perbedaan seperti itu masih masalah. Kalian kan seagama, cukup, kan?” cecar Park Shin Hye, salah satu sahabatku.

Aku tersenyum maklum. “Aku juga berharap semuanya sesederhana itu. Tapi, sayangnya tidak. Bagaimanapun, kami tetap dipandang berbeda, setidaknya bagi keluarganya,” aku coba menjelaskan.

“Kau kan bisa belajar, semuanya proses,” bujuknya.

Entahlah, yang aku tahu, tidak pernah ada komitmen pada hubungan kami. Setidaknya, sampai setahun berjalan, tidak pernah Kim Hyun Joong mengakuiku sebagai pacar, saat kami bertemu seseorang yang ia kenal. Teman, hanya begitu ia memperkenalkanku. Dia juga tak sekali pun membawaku ke tengah–tengah keluarganya. Tapi, Kim Hyun Joong selalu ada buatku. Kami melakukan banyak hal bersama. Kami mendatangi semua tempat yang aku atau dia sukai bersama-sama.

Hingga suatu malam.

”Apa yang kau rasakan padaku, Kim So Eun?” Saat itu kami sedang duduk bersisian. Melepas lelah di hamparan pasir Crossline. Matahari baru saja terbenam. Siluetnya masih sedikit tersisa.

Aku menoleh padanya, dia menatap lurus ke pantai. “Tidak tahu. Aku hanya merasa nyaman kalau ada didekatmu. That’s it,” jawabku.

Kami menarik napas bersamaan.

“Apa kau mau menjadi istriku?”

Deg! Refleks aku memperbaiki duduk, kuamati lelaki itu dalam-dalam. Ya, aku mencintainya, meski masih terus kuingkari hingga detik saat kami bersama ini. Dan, apa yang dia bilang barusan, lamaran yang seriuskah itu?

Bukankah dia selalu menyebutku hanya teman pada semua orang yang kami kenal. Lalu, mana pernah tebersit dia akan melamarku saat usiaku baru menginjak 22 tahun, di saat aku tidak pernah membayangkan bagaimana jika suatu hari akan menjadi bagian dalam keluarganya.

“Candaanmu tidak lucu, Oppa. Tadi kau salah makan apa?” tanyaku, berusaha melucu. Tapi, wajahnya justru menegang.

“Jadi?” dia meyakinkanku lagi, juga mungkin tengah meyakinkan hatinya tentang apa yang barusan ia tanyakan padaku.

Lagi–lagi aku memperbaiki posisi dudukku. Pasir pantai jadi terasa tak nyaman di tubuhku.

“Hmm, bukan begitu. Umurku baru 22 tahun, Oppa. Selama ini aku tidak pernah berpikir apa yang Oppa katakan barusan akan aku dengar sore ini. Tapi kan, Oppa juga yang selalu menyebut hubungan antara kita hanya teman…,” aku menggantung kalimatku.

“Apakah status di depan orang–orang sangat penting untukmu? Umurku 29 tahun, Kim So Eun,” ia mencoba memperingatkanku, meski ia pasti sadar aku tahu itu. Aku bersamanya saat ia merayakan ulang tahunnya. Bahkan, aku yang membelikan kue bertatahkan angka itu. Jadi, mana bisa aku tak ingat usianya sudah 29 pada tahun ini.

Aku tahu dia akan bicara begitu. Beda usia kami cukup jauh, 7 tahun. Namun, bentangan perbedaan latar belakang keluarga yang lebih memberatkanku. Aku terlampau naïf, jika terus–menerus mengingkari perbedaan itu bukan persoalan. Karena nyatanya, dalam masyarakat kami hal itu sangat penting. Terutama bagi keluarganya.

Aku tepekur menatapnya. Tak ingin kehilangan dia sebagai ‘teman’, tapi aku juga yakin tak mungkin akan bisa mendampinginya. Bisa kubayangkan bagaimana komunitasnya akan mencemooh Kim Hyun Joong, jika dia meminangku. Aku hanyalah wanita biasa dari keluarga sederhana. Lalu, bagaimana mungkin aku tiba–tiba menjadi seorang istri dari Kim Hyun Joong, keluarga terkaya dan terpandang di Dreamlight.

Dia meraihku dalam pelukannya. Ada semburat aneh dari air mukanya. Aku merasakan lagi kunang–kunang menggelinjang di perutku. Kali ini membuatku sangat mual dan gelisah. Pelukannya kurasakan tak lagi nyaman.

Sejak malam itu, seperti yang kuduga, hubungan kami menjauh. Dia lebih sering menjadi lelaki yang tak aku kenal. Dia jadi mempersoalkan ketidakbiasaanku mengucapkan salam saat mengangkat teleponnya. Dia meributkan hal–hal yang sejak dulu memang tak kusukai. Inikah wajah aslinya, yang tak ia perlihatkan selama kami bersama. Atau, ia sedang mencari–cari kegusaranku, sampai aku sendiri yang memutuskan menghindarinya.

Sampai ia tiba–tiba menghilang, setelah malam sebelumnya kami nonton film bersama di rumahnya. Tidak ada salam perpisahan, apalagi pesan terakhir. Dia hilang bukan hanya dari hidupku. Ia juga meninggalkan perusahaannya. Karyawannya sibuk menghubungiku. Aku makin panik. Aku nyaris sakit jiwa. Tiap pagi kuteliti berita penemuan mayat di koran. Aku terjaga, kalau–kalau mayat itu berwajah yang aku kenali, dia. Aku menangis putus asa dalam doa–doa malamku. Entah berapa kali aku mengucapkan nama itu. Jika saja Tuhan bisa kudengar suaranya, mungkin telah lama ia berteriak bosan akan doaku yang selalu sama setiap malam.

Sebulan, dua bulan, hingga enam bulan. Dia tidak juga datang. Aku membersihkan rumahnya setiap akhir minggu. Aku pastikan rumah itu harus bersih, kalau–kalau ia pulang. Selalu setelahnya, aku menunggu di pintu menatap penuh asa, berharap ia muncul dari gerbang itu. Nyatanya tak pernah ada yang mendatangi rumah ini, selain aku.

“Aku tidak mencintainya, aku hanya telanjur terbiasa akan kehadirannya,” begitu ulangku, membatin.

Pengingkaran itu tidak membuatku membaik. Hanya semakin membuatku sadar, cinta itu telah tumbuh di tempatnya dengan sangat baik. Suatu petak dalam hatiku telah penuh dan subur atasnya. Dan, tak bisa lagi aku sembunyi lari atas rasa untuknya. Tapi, ke manakah dia, seburuk itukah cintaku hingga ia harus menghilang tanpa sebuah perpisahan. Setidaknya, ia tidak meninggalkanku dalam kecemasan.

“Aku harus cari dia ke mana lagi, Tuhan.” Malam itu pertahananku bobol lagi. Kumaki–maki Tuhan karena menjauhkan kami.

“Tuhan, tidakkah kau tahu kami akan saling mencintai seperti ini sampai–sampai kau harus melahirkan kami dengan status yang berbeda?” Tak ada jawaban. Tidak malam itu, atau malam–malam setelahnya.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...