Ibu tertawa lagi, ”Kim Bum, Kim Bum. Kau harus istirahat juga. Kalau kau sakit, Ibu tidak yakin Kim So Eun bisa mengurusmu sesabar kau merawat dia.”
Ibu! Kim Bum itu hanya menantu Ibu! Cuma simulasi pula!
“Sudah tanggung jawabku, Bu.”
Alangkah klisenya!
Sunyi. “Kau betul-betul tidak butuh bantuan Ibu?”
“Terima kasih. Kalau ada apa-apa, aku pasti menelpon Ibu lagi.”
“Baik kalau begitu. Kau tinggal menyuapinya nanti malam, jangan lupa obatnya. Kalau ia mau, ibu sudah masak bubur di dapur. Kalau tidak, beri saja apa yang dia mau.”
“Ya, Bu.”
“Dan jangan tidak tidur lagi nanti malam. Kim So Eun sudah baikan.”
“Baik, Bu.”
Dan saat itu juga aku bersumpah akan membuat malam itu mimpi buruk untuknya.
Aku ingin menghukumnya karena kata-katanya yang menyakiti perasaanku. Aku ingin menghukumnya karena ia melukai harga diriku. Dan aku ingin menghukumnya karena ia membuatku benci pada diriku sendiri. Ia yang membuatku sakit dan entah berapa lama tak berdaya, bahkan terpaksa membiarkannya mengurusku seperti bayi. Ia harus membayar untuk semua penghinaan itu. Aku benci, sangat benci padanya.
Aku membuat segalanya sangat sulit untuk Kim Bum malam itu. Aku memberontak saat ia mencoba menyuapiku. Aku menolak saat ia memintaku makan obat. Aku memintanya membuka jendela karena aku kepanasan, lalu menutupnya lagi, karena aku kedinginan, lalu membuka lagi, menutup lagi entah berapa belas kali. Aku memintanya membuatkanku susu yang tidak kuminum, merebuskan mi instan yang tidak kumakan, menyiapkan roti yang kubuang ke lantai, mengupaskan apel yang kubiarkan di meja hingga berubah coklat dan memasakkan omelet yang hanya kucuil sedikit. Pijatannya di kakiku terlalu keras, terlalu lembek, terlalu kasar, tidak terasa. Dan saat ia mulai terkantuk-kantuk di kursi, aku membangunkannya untuk menyalakan televisi agar aku bisa menyuruhnya mengganti saluran tiap kali ia mulai mengangguk terlelap.
Semua itu akan membuatku sangat puas kalau saja Kim Bum mau menolak, memprotes, mengeluh, atau bahkan marah dan memakiku seperti dulu. Tapi ia sama sekali tidak mengeluh, tidak membantah. Kesabarannya merusak segalanya. Semakin lama aku semakin menyadari kelembutan dalam suaranya… yang hanya bisa lahir dari kekhawatiran, dan kelelahan di matanya… yang aku tahu hanya bisa datang dari keputusasaan. Aku dibuatnya merasa bersalah, karena aku sadar ia juga tengah menyalahkan dirinya sendiri, menghukum dirinya sendiri, mungkin lebih berat dari yang kulakukan. Dan kebencianku justru musnah dan berganti kasihan, sesuatu yang sama sekali tak kuharapkan, tapi tak bisa kuelakkan.
Menjelang fajar, saat mengawasinya tertidur meringkuk di kursi, aku mengingat lagi pertengkaran yang menerbitkan kebencian itu. Aku mengulang lagi setiap kalimat yang kuucapkan, dan aku tiba-tiba merasa malu. Kenapa semuanya harus terjadi hanya karena sesuatu seremeh itu. Selama dua puluh tahun persahabatanku dengan Kim Bum, hobi dan kegemarannya tak pernah membuatku merasa terganggu. Masih banyak hal lain yang menyenangkan darinya. Kenapa aku sampai bisa melupakan itu dan membiarkan kemarahan sesaat membutakanku?
Aku tahu permintaanku wajar. Aku tahu aku berhak meminta Kim Bum menemaniku ke mana pun. Dan ia juga sama bersalahnya denganku karena mengobarkan pertengkaran konyol itu. Hanya saja ia lebih berbesar hati untuk menyingkirkan pertengkaran itu sementara aku justru memupuk dendam dan benci padanya. Jadi siapa sebenarnya pemenang dalam kontes kedewasaan ini?
Ketika aku terbangun esok paginya, Kim Bum menyambutku dengan baki sarapan pagi dan senyum lebar. Ia membantuku ke kamar mandi dan aku tidak memprotes ketika ia memintaku untuk tidak mengunci pintu. Ia telah menyediakan bangku di dekat wastafel agar aku tak perlu berdiri saat menggosok gigi. Di rak ia telah menyediakan pakaian bersih untukku dan bahkan meletakkan bedak dan sisirku, hingga saat aku keluar dari kamar mandi, aku merasa jauh lebih segar dan hidup. Ketika aku kembali ke kamar, aku melihat spreiku telah diganti, mejaku telah rapi kembali dan bunga di dalam vas di dekat tempat tidurku telah diganti dengan yang baru. Ketika Kim Bum duduk di pinggir ranjangku, menambahkan gula pada susu cokelatku dan mengolesi roti tawar dengan selai sarapan pagiku, aku hampir menangis karena terharu.
“Kau tidak ke kantor?” tanyaku mencoba membuka percakapan, kata-kata ramah pertama yang kuucapkan padanya setelah pertengkaran kami.
“Ini hari Minggu, Kim So Eun.”
“Aku sudah sakit selama seminggu?” bisikku tak percaya.
“Ya,” Kim Bum tersenyum. “Tapi aku senang kau sudah sembuh sekarang. Aku tidak bisa tenang di kantor memikirkanmu.”
“Ibuku kan di sini.”
“Ya. Aku terpaksa memintanya datang. Aku benar-benar tidak bisa meninggalkan pekerjaanku minggu lalu. Maaf.”
Aku menunduk, bersembunyi dari ketulusan di matanya. Kulirik jam di atas mejaku. Pukul setengah delapan pagi. “Tidak main bola?”
Ia menggeleng sambil mengolesi sepotong roti lagi dengan selai coklat. “Aku mau memberi kesempatan pada Kim Hyun Joong. Sudah dua bulan dia cuma duduk di bangku cadangan.”
Aku tersenyum.
“Dia kurang berani menyerang. Tidak segesit aku. Maklum sudah agak gemuk. Tapi, siapa tahu,” ia mengangkat bahu dan tersenyum.
“Kau mau pergi memancing nanti sore?”
Ia menggeleng lagi.
“Kenapa?”
“Aku harus memberi kesempatan ikan-ikan itu berkembang biak, Kim So Eun. Kalau kutangkapi terus, mereka bisa punah.”
“Kalau kau memancing lagi, tolong sampaikan terima kasihku kepada mereka, ya.”
“Terima kasih untuk apa?”
Untuk menunjukkan sisi lain dari Kim Bum yang tidak kuketahui sebelumnya, batinku. Tapi yang keluar dari mulutku adalah, ”Karena meminjamkanmu untukku hari ini.”
Senyum Kim Bum serta merta surut. Diulurkannya tangannya dan disentuhnya lenganku. “Lain kali kalau kau ingin kuantar ke manapun, bisakah kau bilang minimal sehari sebelumnya? Bukannya aku tidak mau, tapi kalau aku sudah berjanji dengan teman-temanku, aku tidak bisa begitu saja membatalkannya kan?”
Aku mengangguk dengan leher tersumbat.
“Aku juga janji tidak akan sering nonton film action lagi,” katanya kemudian. “Kita memang perlu mengobrol lebih sering. Jangan menangis, Kim So Eun Nanti air jerukmu asin.”
* * *
“Selamat ulang tahun, Kim So Eun.”
Aku terlonjak duduk dan menyalakan lampu. “Kim Bum! Untuk apa kau sepagi ini di kamarku!”
“Memberimu selamat ulang tahun,” jawabnya polos. Dan ia bangkit dari kursinya di sisi tempat tidur dan menarikku hingga berdiri. “Ayo! Aku mau menunjukkan hadiah ulang tahunmu dariku!”
Ia menyeretku ke ruang kerja dan menyuruhku duduk di depan komputerku. Ada dua komputer di ruangan itu, satu milik Kim Bum, yang sarat dengan berbagai programming software yang digunakannya untuk bekerja. Dan satu lagi milikku, lebih sederhana dan tidak secanggih milik Kim Bum.
Kim Bum menyalakan komputerku dan duduk di sebelahku dengan mata berbinar. Sambil tersenyum geli, aku mencoba menebak apa yang telah disiapkan Kim Bum untukku. Personal website, dengan foto dan lagu? Aku menggeleng dalam hati, Kim Bum tidak cukup romantis untuk itu.
“Kau lihat?” Kim Bum memotong renunganku.
“Apa?”
“Hadiahku.”
Keningku berkerut. Tidak ada yang berbeda dengan tampilan komputer itu. Dengan ragu kuraih mouse dan mengklik tombol Start. Tidak ada yang berubah. Tapi Kim Bum kentara sekali menjadi semakin antusias. Setelah membuka file-file-ku dan sekali lagi tidak menemukan apa pun, aku berpaling kepada Kim Bum dengan ekspresi tak berdaya.
“Kau tidak menemukannya?” tanya Kim Bum, dengan setitik kecewa dalam suaranya.
Aku menggeleng.
“Aku menambah memori komputermu,” akunya kemudian. Dan melihat raut wajahku yang tak berubah, menambah.
“Komputermu sekarang bisa bekerja lebih cepat.”
Aku ingin sekali berbagi kegembiraannya. Ia kelihatan begitu bangga dengan hadiahnya, setidaknya beberapa detik yang lalu, sebelum ia sadar bahwa aku kecewa. “Oh,” hanya itu yang bisa kukatakan. “Terima kasih.”
“Kau boleh memelukku kalau mau,” katanya tersenyum dan membentangkan kedua tangannya. Kupukul lengannya dan tertawa. Dan pagi itu berlalu seperti hari-hari kemarin.
Di kantor teman-temanku menyambutku dengan ucapan selamat dan senyum pernuh arti. Ketika aku memasuki ruang kerjaku, aku mengerti kenapa mereka tampak seperti menyembunyikan sesuatu. Di meja kerjaku ada sebuah kotak panjang dengan tutup mika. Setangkai mawar putih. Sesaat jantungku rasanya berhenti berdenyut.
Hati-hati kuambil kartu yang menempel pada kotak itu, lupa seketika kepada teman-temanku yang pasti mengawasi lewat kaca ruang kerjaku.
Selamat ulang tahun.
Masih ingatkah kau kepadaku?
Jika ya, aku menunggu di tempat biasa.
Masih ingatkah kau kepadaku?
Jika ya, aku menunggu di tempat biasa.
Mungkinkah?
Aku keluar untuk makan siang lebih awal, mengabaikan godaan teman-temanku yang tak kenal ampun.
Bersambung…
sangaD terhaRuuuu..Kim BuuuuuuuuuuuMMM Suami TeLadan de...!! Kata2mu MenoHok hati thOr..Bijak-nya si Kim bum kLuaR natuRaL..tp hahaha GIFT BIRTHDAY versi BeOm bener2 Gak RomanteZ..(Kalo AQ jd SoEun jga bakalan ManyuN!)
BalasHapusWaHHH GasWat, AuthOr Buat ku DILema..Taecyeon nimbuL ye???..GaLau dah BeoM Vs Tae..Tp udaH ter-Ranking sie kyeopta NamJa di HaTiQ..
1. Kim Bum (gara2 Yi Jeong)
2. Kim Nam GiL (gara2 Bidam)
3. Jae Hee (gara2 Lee Mong Ryong)
4. TaeCyeon ( gara2 Jin Gook)
wahahahahah jd, AQ teeteeeep SuppoRt BumSso Pastinya...