Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Jumat, 15 Juli 2011

Jodoh Sempurna (Chapter 9)



Kim So Eun berkenalan dengan Kim Yoo Jung, anak Kim Bum, yang sedang berada di Gwangju. Seperti dugaan Kim Bum, Kim Yoo Jung menyambut Kim So Eun dengan ramah. Bahkan, makin lama, mereka makin lengket. Terlebih ketika Kim Yoo Jung mengetahui, Kim So Eun punya banyak komik remaja kegemarannya. Rasanya, dia sudah tak sabar ingin segera mengunjungi rumah Kim So Eun di Seoul.

Kini, waktu liburan hampir tiba, Kim Bum dan Kim So Eun berencana menjemput Kim Yoo Jung di Gwangju. Hari ini Kim So Eun datang ke kantor Kim Bum. Tapi, Kim Bum tak ada, sedang berkeliling ke kantor cabang. Kim So Eun memutuskan menunggu di kantor Kim Bum.

“Nona, toiletnya di mana?” tanya Kim So Eun, pada sekretaris Kim Bum.

“Dari sini belok kanan, Nona. Silakan,” sahut Jung So Min, ramah.

Kim So Eun sedang merapikan bajunya sebelum keluar dari toilet, ketika didengarnya ada orang yang masuk ke toilet.

“Sudah lihat calon istri bos?” ujar seseorang. Kim So Eun urung keluar.

“Belum, orangnya bagaimana?”

“Karena tinggal di Seoul, penampilannya lain. Percaya dirinya tinggi. Tapi, dia kalah dari Nn. Jung So Min.”

“Nn. Jung So Min tak cemburu?”

“Pasti cemburu. Tapi, mau apa lagi. Bos juga tak bisa apa-apa. Katanya, mereka dijodohkan oleh orang tua. Jadi, walau hatinya ada pada Nn. Jung So Min, dia tetap akan menikahi wanita tersebut.”

“Kudengar, Nn. Jung So Min mau berhenti, ya? Karena masalah ini?”

“Ya, iyalah. Mana ada wanita yang tahan jika kekasihnya akan menikah dengan orang lain. Tapi, kabarnya, dia tak boleh resign oleh bos. Katanya, bos sampai memohon-mohon agar Nn, Jung So Min tidak keluar.”

“Kasihan, ya, Nn. Jung So Min. Menunggu sekian lama, bos malah disambar orang lain,” ujar seorang lagi, sambil keluar dari kamar mandi.

Kim So Eun membeku. Dia benar-benar kaget. Rasanya, seperti ada yang menghantam wajahnya dengan berton-ton batu. Untuk sesaat, pikirannya terasa buntu. Ia tak bisa berpikir apa-apa. Dia menenangkan diri dulu untuk beberapa saat. Setelah benar-benar pulih, baru dia keluar dari kamar mandi.

Kim Bum ternyata belum kembali. Hanya ada Jung So Min yang sedang menyuguhkan teh buatnya. Dia mengamati Jung So Min lebih seksama. Kim So Eun mengerti. Benar kata teman-temannya tadi, Jung So Min sangat cantik. Tindak-tanduknya juga halus. Benar-benar tipe Kim Bum. Pantas, selama ini Kim Bum mencoba membentuk dirinya agar bersikap lembut, karena pacarnya memang demikian. Dia ingin membentuk dirinya agar mirip Jung So Min! Huh!

“Nona, saya tunggu langsung ke pabrik saja. Di sebelah mana, ya?” tanya Kim So Eun.

“Masuk dari gang sebelah pom bensin, lalu belok ke kanan, lurus terus. Nanti ada rumah yang seperti gudang. Itulah pabriknya.”

“Baiklah, aku ke sana saja. Terima kasih.”

Kim So Eun bergegas ke mobilnya. Ia ingin mendamprat Kim Bum. Kurang ajar sekali lelaki itu. Namun, di tengah perjalanan, Kim So Eun menghentikan mobilnya dan mulai ragu. Apakah ia tak ikut andil bersalah? Kim Bum tak akan bisa membuatnya sakit hati, kalau ia tak demikian bodoh, membiarkan perasaannya berkembang. Tak akan terjadi peristiwa demikian, seandainya ia tak menyetujui perjodohan mereka. Kalau sekarang ia sakit hati, itu kesalahannya juga.

Kim So Eun menyumpahi dirinya karena sudah membiarkan hatinya jatuh cinta pada pria itu. Sudah kubilang, Kim So Eun. Gunakan rasiomu, jangan perasaanmu! Inilah harga yang harus kau bayar! Kau tak boleh mengeluh karenanya. Ia benar-benar menyesal.

Perasaan marah bercampur perasaan terhina membuat Kim So Eun tak sudi bertemu Kim Bum lagi. Ia memutar arah mobilnya menuju rumah. Lalu, ia membereskan pakaiannya dan berangkat ke Seoul. Kepada ibunya, dia bilang ada pekerjaan mendadak yang harus dia selesaikan. Ibunya, yang sudah biasa melihat tugas wartawan, percaya saja pada alasannya.

Kim Bum pun tak berpikir buruk ketika ibu Kim So Eun memberi tahu tentang kepergian Kim So Eun yang mendadak. Ia tak berpikir macam-macam ketika handphone Kim So Eun yang dihubunginya tak aktif. Dia menduga, berita yang diliput Kim So Eun sangat penting, sehingga Kim So Eun tak ingin diganggu. Ia mengerti benar kebiasaan Kim So Eun yang total dalam bekerja, yang selalu marah jika diganggu oleh hal-hal yang tak perlu. Karena itu, dia biarkan saja Kim So Eun.

Itulah mengapa dia kaget sekali, ketika seminggu kemudian dia ditelepon ibu Kim So Eun. “Ada apa ini, Kim Bum? Kalau ada masalah, sebaiknya dibicarakan baik-baik. Jangan langsung putus begini,” sesal ibu Kim So Eun, ketika Kim Bum datang berkunjung.

“Maksud Ibu apa?” tanya Kim Bum, tak mengerti.

“Kau dan Kim So Eun? Kalian tak bertengkar? Lalu, kenapa Kim So Eun meminta Ibu membatalkan pertunangan kalian?”

“Membatalkan pertunangan?”

“Ya, Kim So Eun ngotot tak mau melanjutkan perjodohan kalian. Apa¬kah kau tak tahu alasannya?”

“Sama sekali tidak, Ibu. Saya pun baru tahu sekarang.”

“Dia hanya menyebut-nyebut tentang firasatnya yang benar, tentang beruntung bahwa nasi belum jadi bubur, tentang tak ingin merebut pacar orang lain, juga tentang pergi ke luar negeri. Ah, Ibu juga tak mengerti arah pembicaraannya. Dia hanya minta, Ibu membatalkan pertunangan ini. Dia mengancam, kalau tak dibatalkan, dia tak akan kembali lagi ke Korea dan menetap di luar negeri. Ibu benar-benar tak mengerti, Kim Bum.”

“Ibu, mungkin, ada baiknya saya susul Kim So Eun ke sana.”

“Ya, Kim Bum, Ibu minta tolong. Kalau ada masalah, bicarakanlah baik-baik. Selesaikan dengan kepala dingin.”

“Ya, Ibu. Saya pamit dulu,” ujar Kim Bum, sambil menahan geram melihat kelakuan Kim So Eun. Dia benar-benar tak mengerti dengan apa yang dilakukannya. Memutuskan hubungan, pergi begitu saja, tak membicarakannya dengan dirinya.

Setelah membereskan pekerjaannya, sorenya Kim Bum berangkat ke Seoul. Namun, di Seoul dia hanya menjumpai Bibi Im Ye Jin, yang diminta Kim So Eun menunggui rumahnya. “Berangkat siang tadi, Tuan. Katanya, mau ke luar negeri. Dia menitipkan surat ini pada Tuan,” kata Bibi Im Ye Jin.

Kim Bum menyobek amplop surat Kim So Eun.

Kim Bum,

Sudah berhari-hari aku merenung dan memikirkan kata-kata yang tepat. Tapi, tetap tak ketemu juga. Awalnya, aku ingin marah karena kau telah menipuku. Tapi, aku pikir, ini bukan sepenuhnya salahmu. Aku ikut bersalah. Aku benar-benar bodoh. Beberapa hari ini tak henti-hentinya aku menyesali kebodohan tersebut. Kenapa aku mau saja dijodohkan denganmu. Kenapa aku tak tetap saja pada pendirianku semula. Dengan demikian, kita tak perlu terjebak dalam situasi pertunangan yang dipaksakan. Aku bisa tetap jadi Kim So Eun yang dulu. Kau juga tetap dengan segala aktivitas dan impianmu.

Namun, aku bersyukur, nasi belum jadi bubur. Kita belum telanjur menikah. Jadi, kesalahan yang kita buat pun tak akan bertambah panjang. Karena itu, lebih baik kita akhiri saja pertunangan kita. Kita kembali ke jalan masing-masing. Anggap saja hubungan kita yang singkat kemarin adalah sebuah mimpi, yang kala kita terjaga dari tidur, mimpi itu sirna dan kita kembali ke kehidupan nyata. Terima kasih atas semua kesabaran dan kebaikanmu padaku.

Kim So Eun

Kim Bum meremas surat tersebut dengan kesal. Surat Kim So Eun pun tak menjelaskan masalahnya. Apa katanya tadi? Dia telah menipunya? Menipu apa?

“Luar negerinya di mana, Bi? Dia tak menyebutkan?”

“Wah, Bibi tidak tahu. Apa mungkin ke rumah Tn. Kim Hyun Joong? Coba saja telepon ke sana, Tuan. Bibi simpan catatannya di magnet kulkas.”

Bibi Im Ye Jin masuk dan keluar lagi dengan membawa nomor rumah Kim Hyun Joong, nomor ponsel, dan nomor kantor. Kim Bum mencoba menghubungi Kim Hyun Joong di rumahnya. Pada deringan kedua, telepon diangkat Kim Hyun Joong. Ternyata, Kim Hyun Joong pun tak tahu bahwa Kim So Eun di luar negeri. Kim Bum berusaha menghubungi sahabat-sahabat Kim So Eun. Mereka pun tak tahu keberadaan Kim So Eun.

Kim Bum benar-benar menemui jalan buntu. Di satu sisi dia ingin membiarkan Kim So Eun. Namun, di sisi lain, dia penasaran pada penyebab perilaku Kim So Eun yang dramatis ini. Dia menghujani e-mail Kim So Eun dengan berbagai pertanyaan. Tapi, tak satu pun suratnya mendapat balasan. Seolah e-mail itu tak pernah dibuka Kim So Eun dan langsung dihapus. Memang itulah kenyataannya.

Kim So Eun menerima e-mail dari Kim Bum, tapi langsung dihapus. Dia tak menggubris pertanyaan Kim Hyun Joong, yang mengabarkan bahwa Kim Bum datang dan menanyakan keberadaannya. Dia hanya membalas e-mail sahabat-sahabatnya, mengatakan bahwa dia sedang ada liput¬an di luar kota dan tak tahu kapan akan kembali.

Bulan berganti bulan, Kim Bum tetap belum menemukan jejak Kim So Eun. Walau pencarian Kim So Eun tetap jadi prioritas, karena kesibukannya di pabrik, Kim Bum tak bisa berbuat banyak.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...