Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Jumat, 15 Juli 2011

Jodoh Sempurna (Chapter 1)



“Park Ji Yeon, orang tuaku hendak menjodohkanku, kata Kim So Eun pada temannya, Park Ji Yeon, yang datang berkunjung.

Minuman yang sedang diminum Park Ji Yeon tumpah sebagian. “Ha? Di abad internet ini masih ada perjodohan yang diatur orang tua? Yang benar saja kau!” kata Park Ji Yeon, sambil mengelap tumpahan kopinya.

“Aku sudah menduga reaksimu pasti demikian. Tapi, ini serius. Aku dijodohkan dengan seorang pengusaha,” kata Kim So Eun.

“Jadi, ini benar-benar serius?”

“Mana mungkin aku main-main untuk urusan seserius ini?”

“Soalnya, kau sendiri kelihatannya santai-santai saja. Siapa menduga bahwa situasinya serius. Lalu, kau sendiri suka atau tidak dengan pria itu?”

“Aku tidak bisa bilang suka atau tidak. Wajahnya saja aku tak tahu. Tapi, katanya, dia sudah pernah mengenalku. Kata ibuku, kami sudah pernah mengobrol panjang lebar. Tapi, aku tidak ingat.”

“Eh, waktu itu kau mengobrol tentang apa?”

“Dia datang menengok ibuku yang baru pulang dari Rumah Sakit. Dan seingatku tamu yang datang itu banyak sekali. Jadi, mana aku ingat, dia itu tamu yang mana. Mana yang aku ajak mengobrol dan mana yang tidak, aku juga tak ingat. Saat itu aku hanya berperan sebagai tuan rumah yang beramah-tamah dengan tamu-tamu yang datang.”

“Hmm... berarti, saat itu dia sudah mulai tertarik padamu. Kau tidak merasa bahwa ada pria yang tertarik?”

“Tidak. Karena, saat itu mungkin dia belum tertarik padaku!”

“Lebih baik kau jelaskan duduk perkaranya. Pusing aku mendengar penjelasan yang sepotong-sepotong,” seru Park Ji Yeon penasaran, sambil duduk bersila.

“Dia seorang duda. Anaknya satu. Orang tuanya sudah sering menyuruh dia menikah lagi. Tapi, karena alasan kesibukan, dia tak sempat mencari jodoh. Begitulah cerita yang kudengar dari ibuku. Benar tidaknya cerita itu, aku juga tidak tahu. Sampai suatu ketika orang tuanya menawarkan untuk membantu mencarikan jodoh. Dia setuju. Kebetulan, orang tuanya sudah kenal baik dengan orang tuaku. Eh, orang tuaku langsung menawarkanku. Kebetulan lagi, dia ingat padaku karena mengaku pernah mengobrol lama. Dia berpendapat, aku lumayan juga. Jadi, dia setuju dijodohkan. Kemudian, orang tuanya datang ke rumahku untuk melamar.”

“Apa pekerjaannya?”

“Dia pengusaha furniture yang cukup sukses. Katanya, dia juga lulusan Universitas Amerika. Entah belajar apa di sana,” gerutu Kim So Eun, kesal. Kesal pada ibunya, kesal juga pada pria itu.

“Hmm... hebat juga dia.”

“Hei, aku ceritakan ini padamu agar kau berada di pihakku, bukan malah memihaknya.”

“Kalau tidak setuju, kenapa kau tak bilang pada ibumu?” tanya Park Ji Yeon santai, sambil menyeruput kopinya kembali.

“Sudah! Tahu sendiri jika ibuku sudah punya kemauan. Susah untuk dibelokkan. Dia malah bilang begini, “Kau sudah sekian tahun diberi kesempatan untuk mencari jodoh sendiri. Tapi, mana hasilnya? Tak ada satu pun pria yang kau bawa ke Ibu untuk diperkenalkan sebagai calon suami. Jadi, jangan beralasan macam-macam. Kini, giliran Ibu untuk membantumu mencarikan jodoh. Sebelum masuk ke liang kubur, Ibu ingin putri Ibu satu-satunya menikah,” kata Kim So Eun, sambil menirukan gaya ibunya kalau marah.

“Pasti kau tak bisa menang jika berdebat dengan ibumu. Ibumu, kan, sama kerasnya denganmu.”

“Itulah susahnya. Yang ingin aku lakukan sekarang, bertemu pria itu dan memakinya. Kenapa membuat gara-gara memintaku untuk menikah.”

“Aku jadi ingin tahu seperti apa wajah pria itu. Aku datang, ya, hari Sabtu? Nanti, aku akan berpura-pura mengambil artikel yang sudah kau edit. Atau... aku bisa menyelamatkanmu! Aku datang menjemputmu untuk pergi dari rumah. Bilang saja, kita sudah janjian.”

“Ya, lalu kau dan aku akan mati digantung ibuku! Tidak! Ini bukan waktu yang tepat untuk menghindari ibuku. Ibuku pasti tahu itu. Dia tak pernah bisa kubohongi. Jadi, skenariomu itu tak akan mempan melawan ibuku.”

“Baiklah, aku tak akan menjemputmu. Tapi, kalau sekadar datang, boleh ‘kan? Aku bisa membantu menyuguhkan minuman, misalnya.”

“Jangan cari perkara! Aku tidak ingin kau atau siapa pun datang saat itu. Nanti malah akan merusak rencanaku.”

“Kau punya rencana apa?”

“Belum tahu, tapi sedang kupikirkan,” jawab Kim So Eun.

Park Ji Yeon tergelak. “Tapi, ngomong-ngomong, kau yakin tidak ingin menikah?”

“Entahlah. Rasanya, minatku pada perkawinan makin lama makin memudar. Aku sudah merasa enak begini. Aku sudah siap secara mental maupun finansial untuk mandiri tanpa suami. Aku bahkan sudah mempersiapkan keuangan untuk masa tuaku kelak. Aku juga sudah merancang kehidupan yang akan kujalani di masa tuaku.”

“Sudah sejauh itu rencanamu? Meski begitu, apa tak sebaiknya kau lihat dulu calon suami yang disodorkan ibumu. Siapa tahu cocok.”

“Tidak akan! Tapi, aku memang harus bicara padanya. Karena, toh, menghindari ibuku juga tak ada gunanya. Dia akan terus mengejarku sampai aku menyerah. Jadi, lebih cepat kuselesaikan, lebih baik. Yang pasti, akan kumaki-maki dirinya karena telah membuat masalah,” sahut Kim So Eun, ketus.

Hari Sabtu akhirnya tiba juga. Pikiran Kim So Eun sejak pagi tak bisa tenang. Ditambah, malam sebelumnya dia tak bisa tidur memikirkan perjodohannya. Hal ini berdampak pada penampilannya. Wajahnya tak sesegar biasanya. Ada garis hitam di bawah matanya. Walau dia sudah menyapukan sedikit bedak, wajahnya tetap kelihatan tak berseri. Hai, kenapa aku harus memusingkan penampilanku. Masa bodoh dia mau menilai bagaimana, batinnya.

Ketika ada mobil berhenti di depan rumahnya, tak urung hatinya berdebar. Dihelanya napas beberapa kali agar tenang. Seorang pria mengenakan kemeja lengan panjang keluar dari pintu tempat ia menyetir. Kim So Eun agak tertegun melihat wajahnya. Dengan kulit putih, dan ditambah mata yang teduh, bisa dibilang bukan wajah yang jelek. Bentuk tubuhnya juga sempurna untuk lelaki seusianya. Tapi, belum tentu hatinya segagah penampilannya, katanya dalam hati.

Setelah menatapnya sekilas, pria itu menganggukkan kepala, sebelum dia membukakan pintu bagi ayah dan ibunya. Cukup sopan juga, batinnya dengan kesal. Kenapa harus kesal? Karena, apa yang diharapkannya tak sesuai dengan keinginannya? Tanpa disadarinya, dia mencari-cari ‘kesalahan’ pria itu, yang sekiranya dapat dijadikan alasan kuat untuk menolak ‘tawaran’ ibunya.

“Kim So Eun, Sayang. Kau baik-baik saja, kan?” seru ibunya demonstratif, sambil memeluknya. Wajah keriput ibunya terlihat bersinar bahagia.

“Ini anakku, Kim So Eun. Ayo, Kim So Eun, kenalan dengannya.” Tanpa membuang waktu, ibunya langsung menggiring anaknya pada calon menantu. Digiring seperti anak kecil begitu, membuat Kim So Eun bertambah kesal.

“Kim Bum,” ucap pria itu, sambil tersenyum menenangkan. Dia cukup awas melihat perubahan air muka Kim So Eun, kala ibunya menyorongnya mendekat.

“Silakan masuk,” ujar Kim So Eun formal, lalu berpaling ke arah ibunya.

Kim So Eun segera mengikuti ibunya ke belakang, sementara ayahnya menemani Kim Bum di ruang tamu. “Ibu, kita harus bicara lagi,” bisik Kim So Eun.

“Tampan kan pilihan Ibu?” (so pasti… author iri… gigit jari di pojokan) bisik ibunya, tak menggubris Kim So Eun. “Pokoknya tak mungkin Ibu pilihkan yang mengecewakan.”

“Ibu....”

“Sudahlah, sana cepat buatkan minuman. Ayahmu dari tadi sudah kehausan,” ujarnya, membelokkan pembicaraan. Dengan menghela napas, Kim So Eun mengambil beberapa cangkir dan menyeduh teh manis. Namun, di ruang tamu ternyata hanya dijumpai Kim Bum, yang sedang mengamati isi rumah.

“Mana Ayah?” tanya Kim So Eun.

“Ke kamar, kelihatannya. Rumahmu sangat nyaman. Kau ter¬nyata senang pada perabot antik. Tatanan yang kau buat juga sangat cantik,” katanya, sambil memandangi isi ruangan.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...