Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Sabtu, 16 Juli 2011

Lelaki Pilihan (Chapter 5)



Menurut Kim Bum, Kim So Eun seperti lukisan yang penuh misteri. Tapi, karena itulah ia selalu memikirkan Kim So Eun. Apakah ini berarti perjodohan mereka berhasil?

Bibi, ada Paman Kim Bum!” Kim Yoo Bin, keponakan Kim So Eun, menjerit dari ruang tamu.

Kim So Eun yang sedang mematut-matut diri di cermin, segera keluar kamar. Sejak dari Twilight, Kim Bum jadi sering bertandang ke rumah Kim So Eun. Bahkan, hampir setiap hari dia menyempatkan diri datang. Kadang-kadang sepulang dari mengajar atau dari rumah sakit, terkadang sebelum ke tempat praktiknya. Sore ini adalah malam Minggu kedua mereka pergi bersama.

Dibelainya kepala Kim Yoo Bin, ketika melewati gadis kecil yang sedang menyusun puzzle bersama kakaknya. “Thanks, Honey. Teriakanmu terdengar sampai ke ujung jalan.”

Kim Bum, yang sedang duduk di ruang tamu, tersenyum memandangnya.

“Ayo, kita pergi,” kata Kim So Eun, sambil membalas senyum Kim Bum. “Kim Yoo Bin, kau mau dibawakan apa?”

“Tidak usah. Terima kasih, Bibi. Soalnya, Bibi Emma Watson akan datang besok. Katanya, dia mau membawakan hadiah untukku.” Gadis kecil itu berkata penuh keyakinan, sambil menggeser potongan puzzle yang tidak cocok.

“Apakah kau yang menerima teleponnya kemarin?” Sekarang, Ibunya menatap penuh curiga. Ketika gadis kecilnya mengangguk, Yoon Eun Hye berkata, “Apa kau meminta sesuatu?”

“Tidak, Bu. Ibu kan sudah bilang supaya aku tidak minta apa-apa pada orang lain.”

“Bagus,” kata Kim So Eun. “Aku yakin, Emma Watson memang berjanji membawakan hadiah karena dia memang baik. Ayo, kita pergi.” Kim So Eun mencium pipi keponakannya, lalu melambai pada kakaknya.

Sambil berjalan ke mobil, Kim Bum bertanya, “Emma Watson itu teman satu apartemenmu, ya?”

“Ya,” jawab Kim So Eun, lalu membuka pintu mobil.

“Dia bekerja di mana?” tanya Kim Bum, setelah menjalankan mobil ke luar dari halaman rumah Kim So Eun, yang kecil tapi asri, penuh tanaman hijau dan bunga-bunga.

“Dia pengacara,” sahut Kim So Eun cepat. “Kita mau ke mana?”

“Kau ingin ke mana?” Kim Bum balik bertanya. “Bagaimana kalau kita ke mal saja? Nanti di sana baru kita tentukan mau nonton, makan, sekadar jalan-jalan, atau melihat-lihat buku. Ibumu bilang kau sangat suka membaca.”

“Kalau begitu, kita cari mal yang ada tempat biliarnya. Asal kau tahu saja, Aku pintar bermain biliar.”

“Benarkah?” tanya Kim Bum, heran.

“Tentu. Karena, aku pernah menjadi penjaga meja biliar.”

“Wow! Pasti itu untuk riset tulisanmu, ‘kan? Kukira, pengalamanmu tinggal di New York pasti sangat mengasyikkan bila dibuat buku.”

“Mungkin benar, tapi mungkin juga tidak,” kata Kim So Eun, melamun. “Di sana cerita hidupku merupakan hal biasa dan tidak ada istimewanya.”

“Kalau kuingat-ingat, kau jarang sekali, bahkan hampir tidak pernah bercerita tentang kehidupanmu di sana,” kata Kim Bum, sambil mengulurkan uang untuk membayar tol.

“Ya, karena menurutku tidak ada yang istimewa. Jadi, untuk apa diceritakan.”

“Benarkah tidak ada yang istimewa? Atau, justru karena ada yang sangat istimewa, sehingga ingin dirahasiakan?” goda Kim Bum. “Mungkin, kau sudah punya kekasih?”

Kim So Eun tertawa. “Khayalan yang bagus sekali, tapi kurang kreatif. Bagaimana kalau kau kembangkan khayalan itu dan jadikan sebuah cerita yang lebih seru. Misalnya, kekasihku itu tampan, tinggi, postur tubuhnya indah bak Hercules, dan punya uang segudang. Sang multijutawan dengan seorang istri yang cantik, namun dingin.”

“Wah, pantas saja kau masih lajang. Si pria idaman ternyata tak bisa didapat karena dia telah beristri dan punya anak banyak,” sambung Kim Bum.

“Terdengar seperti karakter Kim So Eun si Boneka, sang penggoda. Tapi, dalam versi yang sopan. Karena pria itu punya banyak anak dan karena di sini moral tetap diperhitungkan, maka aku dan playboy itu tidak bisa bersatu. Tetapi, dalam versi aslinya, pernikahan itu tidak harus berarti ada anak-anak. Lagi pula, para pengejar harta tidak peduli pada perkawinan karena setiap pria akan selalu tampak lajang di mata mereka.”

“Wah, kau membuatku terkejut. Tapi, itu tidak nyata, ‘kan?”

“Apakah kau tahu cerita dongeng tentang Kim So Eun si Boneka?” tanya Kim So Eun.

Kim Bum menggeleng.

“Kalau begitu, cobalah cari kisah tentang Kim So Eun si Boneka itu. Dengan demikian, kau akan tahu apa yang diharapkan orang tuaku ketika menamaiku dengan nama ‘Kim So Eun’. Meskipun, untungnya, aku tidak seperti itu.”

”Aku pasti akan mencari tau kisah itu,” kata Kim Bum, lalu memindahkan persneling mobil. Mobil melaju sangat kencang. “Bersiaplah. Karena aku ingin menguji keandalan mobil ini.”

Mobil menderu halus, meskipun kecepatannya sudah melebihi 100 km/jam. Seperti peluru yang bermata, melaju kencang, namun dengan enaknya berkelit menyalib sana-sini. Seharusnya, dia menjadi pembalap, pikir Kim So Eun, yang agak takut kalau nyawanya akan melayang di jalan bebas hambatan ini. Dia tak rela kalau itu terjadi.

Mobil melambat dan kembali pada kecepatan normal, ketika mendekati mulut keluar tol.

“Asyik, bukan?” Kim Bum memandang Kim So Eun, yang tampak agak pucat.

“Betul, sangat asyik,” jawab Kim So Eun, yang merasa agak mual.

Kim Bum tertawa. “Kau berbohong. Kelihatan sekali bahwa jantungmu akan copot.”

“Apa kau selalu seperti ini?” Kim So Eun bertanya.

“Ya, aku sering melakukan hal ini. Ini untuk menguji mobilku, apakah mobil ini memang hebat, sesuai dengan apa yang sudah kubayar. Kau tahu, aku suka barang bagus. Jika ada yang ingin kumiliki, tapi belum kesampaian, aku selalu ingat sampai kapan pun dan berusaha agar suatu saat bisa kumiliki. Semua milikku barang bagus.”

“Kau terdengar sombong,” cela Kim So Eun.

“Bukan begitu. Aku hanya menjelaskan bahwa aku menyukai barang yang bermutu. Benda-benda itu kubeli tidak sekaligus, tapi kukumpulkan satu per satu. Dan, biasanya, lama baru kuganti. Aku tidak suka barang murah yang cepat rusak, tapi aku suka yang baik dan tahan lama. Kau tahu, baru-baru ini aku mengganti ponsel yang sudah lima tahun kumiliki. Teman-temanku sering tertawa melihatnya dan mengejek bahwa ponselku keluaran zaman batu. Namun, aku tetap suka. Hanya, sekarang aku perlu yang lebih canggih dengan banyak fasilitas. Bukan untuk mengikuti mode, namun karena kebutuhan. Kau tahu, banyak orang di Korea yang punya ponsel canggih, tapi tidak bisa atau tidak pernah menggunakan kecanggihannya. Mereka itu membeli dan gonta-ganti ponsel hanya demi gengsi.”

“Kalau begitu, apakah semua benda-benda milikmu betul-betul nomor satu?”

“Ya, tapi untuk ukuranku,” Kim Bum menegaskan.

“Bagaimana dengan calon istrimu?” pancing Kim So Eun. “Apa dia juga harus nomor satu?”

“Begitulah.” Kim Bum tersenyum. Entah dia serius atau main-main.

“Kalau begitu, seharusnya kau memilih yang cantik, pintar, kaya, dan baik. Pokoknya, sempurna. Apakah tidak ada ibu dokter yang punya spesifikasi seperti itu?”

“Aku lebih suka yang lulusan Amerika, lebih bergengsi,” Kim Bum kembali merayu.

“Dokter yang dari Amerika? Wah, itu susah,” balas Kim So Eun.

“Jurnalis dari sana pun tak apa.”

Kim So Eun tidak menanggapi ucapan Kim Bum, dia hanya tersenyum dan membatin. Apakah dia barang yang bagus? Jika tidak bagus, bagaimana? Apakah akan dibuang? Enak saja, pikirnya kesal. Dan, mobil terus melaju, menelusuri kegelapan malam.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...