Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Kamis, 21 Juli 2011

The Right Man (Chapter 2)



Kim So Eun menjerit ketakutan. Tetapi mulutnya tidak mampu mengeluarkan suara sedikit pun.

Choi Siwon menelungkup di atas tubuhnya. Wajahnya yang basah berkeringat, begitu dekat dengan wajah Kim So Eun. Nafasnya yang menjijikkan itu seperti knalpot mobil yang menghembus-hembuskan asap panas ke pipinya. Bau minuman keras yang menyengat hampir membuat Kim So Eun muntah.

Mati-matian Kim So Eun melawan. Mencakar. Memukul. Menendang. Memberontak. Tetapi Choi Siwon jauh lebih kuat. Tubuhnya yang berotot menindih tubuh Kim So Eun. Tidak bergeming sedikit pun walau Kim So Eun meronta sekuat tenaga.

Sia-sia Kim So Eun. memukul. Mencakar. Menendang. Choi Siwon seperti tidak merasakannya. Dia mengoyakkan pakaian Kim So Eun. Dan merampas apa yang diinginkannya.

Kim So Eun merasakan kenyerian yang amat sangat di sela-sela pahanya... dia memekik... memekik lagi... dan terjaga dari tidurnya....

Kim So Eun terbangun dalam gelap. Duduk terpaku di kursi. Keringat dingin membanjiri sekujur tubuhnya. Air mata meleleh di wajahnya.

Dengan tangan gemetar disentuhnya tombol lampu. Seluruh ruangan menjadi terang. Tetapi tidak ada-apa-apa di kamar tamunya yang sempit itu. Dia seorang diri di sana.

Diliriknya jam dinding. Hampir pukul lima. Mengapa dia tidur di sofa?

Pandangannya melayang ke pintu kamar tidurnya. Dan sekonyong-konyong Kim So Eun teringat laki-laki itu! Astaga. Masih adakah dia di dalam sana?

Tidak sadar tatapan Kim So Eun melintas ke tingkat atas... mungkinkah dia menyelinap ke sana?

Tergopoh-gopoh Kim So Eun beringsut bangun. Naluri seorang ibu untuk melindungi anak-anaknya mengusir rasa takutnya. Dia harus melihat apakah bajingan itu masih meringkuk di kamarnya....

Dibukanya pintu kamar tidurnya. Dan Kim So Eun terenyak kaget. Sesosok tubuh melesat dari tempat tidurnya. Melompat ke jendela. Siap untuk menerjang ke luar,...

"Tunggu!" sergah Kim So Eun bingung. "Tidak ada siapa pun! Aku sendirian!"

Lelaki itu tertegun di tempatnya. Dia menoleh. Dan matanya berpapasan dengan mata Kim So Eun. Lalu dia ambruk di atas kedua lututnya. Kedua belah tangannya memegangi kepalanya. Refleks Kim So Eun menghampirinya. Dan memapahnya ke tempat tidur.

Ada desak aneh di dadanya ketika tangannya menyentuh kulit laki-laki itu. Jantungnya berdegup kencang. Dan parasnya memerah. Kurang ajar, maki Kim So Eun dalam hati. Kenapa aku jadi bertingkah seperti perawan belasan tahun lagi? Kim So Eun membantu membaringkan laki-laki itu di tempat tidur. Dan menyodorkan bantal ke bawah kepalanya.

"Tambah pusing kalau pakai bantal," erangnya lirih dengan mata terpejam. Kim So Eun membungkuk dalam. Mengambil bantal. Dan menyingkirkan bantal itu ke samping.

"Barangkali gegar otak."

Mendengar nada cemas dalam suara Kim So Eun, lelaki itu membuka matanya. Dan tidak sengaja, matanya menembak lekuk menggiurkan di dada Kim So Eun. Menyadari kesalahannya, lekas-lekas Kim So Eun menyingkir.

"Ke mana?"

"Ambil obat." Bergegas Kim So Eun memutar tubuh. Menyembunyikan wajahnya yang terasa panas membara.

"Tidak usah. Aku cuma perlu istirahat." Tetapi Kim So Eun tidak menghiraukannya lagi. Cepat-cepat dia keluar meninggalkan kamar itu. Langsung ke kamar mandi.

Kim So Eun sedang menggoreng telur ketika terdengar jeritan ibunya. Tanpa berpikir dua kali, Kim So Eun menghambur keluar dari dapur. Dan berpapasan dengan ibunya yang sedang tergopoh-gopoh meninggalkan kamarnya.

"Kim So Eun!" geram ibunya dengan napas tersengal-sengal. Matanya membeliak gusar. "Siapa lelaki yang di kamarmu itu?!"

"Teman," sahut Kim So Eun sambil menghela napas.

"Teman?" ibunya menatapnya dengan alis terangkat. Tatapannya setajam pisau silet. Sorotnya berbaur antara kesal dan tidak percaya. Sejak kecil Kim So Eun tidak suka ditatap seperti itu. Dipalingkannya wajahnya dengan segera.

"Sudah berapa kali aku bilang, Bu, aku tidak suka ditatap seperti ini!"

"Orang macam apa dia?" desak ibunya lagi, tanpa menghiraukan protes Kim So Eun.

"Dia akan segera pergi," sahut Kim So Eun sambil melangkah kembali ke dapur.

"Jadi rumah ini benar-benar sudah jadi hotel! Atau semacam rumah..."

"Ibu! Dia sedang sakit!"

"Dan tidak ada tempat tidur kosong di rumah sakit?" Oh, sudahlah. Percuma berdebat dengan ibunya. Dalam usia enam puluh tahun, rasanya ibunya telah menjadi enam kali lebih cerewet daripada ketika berumur lima puluh sembilan!

Keinginan Kim So Eun untuk menceritakan kisahnya semalam segera saja pudar. Ibu pasti tidak percaya! Dia sama saja dengan para tetangga. Bahkan anak-anaknya sekalipun. Mereka pasti menuduh lelaki itu temannya. Dan dia yang mengundangnya ke sana! Dengan kesal Kim So Eun melanjutkan kerjanya. Menggoreng telur untuk anak-anaknya. Dan membawa telur dadar itu ke meja makan.

"Ibu, siapa Paman yang di kamar Ibu itu?" tanya Kim Yoo Jung dengan mulut masih penuh nasi.

Nah, ini dia. Serangan baru dari anak-anaknya. Sekarang mereka semua sedang menatapnya dengan curiga. Kecuali Park Ji Yeon. Putri sulungnya itu malah merunduk makin dalam. Dan menghabiskan nasinya makin cepat. Seolah-olah dia sudah muak berada di sana. Dan ingin cepat-cepat menyingkir.

Kim So Eun meletakkan piring berisi telur itu di tengah meja.

“Teman Ibu," sahutnya pendek.

"Paman itu tidur di sini, Bu?"

"Dia sedang sakit."

"Paman itu tidak punya rumah?”

Kim So Eun menghela napas panjang.

"Cepat habiskan makananmu, Lee Young Yoo. Nanti terlambat ke sekolah."

Park Ji Yeon meletakkan gelasnya di atas piringnya yang sudah kosong. Sengaja agak keras. Kemudian dia bangkit dari kursinya. Begitu kasarnya sehingga kaki kursi yang menggeser lantai itu menerbitkan suara berisik.

Meskipun tidak berkata apa-apa, Kim So Eun tahu, Park Ji Yeon sedang menyatakan protesnya atas kehadiran lelaki di kamar ibunya itu.

Baek Suzy Iain lagi. Putrinya yang kedua itu, yang baru berumur 15 tahun, sedang makan sambil menunduk. Tetapi kemurungan wajahnya melukiskan betapa kesalnya dia.

Kim So Eun belum sempat menegurnya ketika bentakan Park Ji Yeon sudah menggelegar dari ambang pintu.

"Siapa yang mengambil dompetku?!" Begitu masuk ke ruang makan, Park Ji Yeon langsung menghampiri Kim Yoo Jung. "Mana dompetku?"

"Bukan aku yang mengambilnya!" protes Kim Yoo Jung marah. "Jangan sembarangan menuduh!"

"Kalau begitu kau!" Park Ji Yeon berpaling dengan geram pada Lee Young Yoo.

"Bukan! Bukan aku!" teriak Lee Young Yoo ketakutan. Dia sudah bersiap-siap untuk menghambur lari dari kursinya ketika Park Ji Yeon mendahului mencengkeram lengannya.

"Mana dompetku?"

Lee Young Yoo memekik kesakitan.

"Park Ji Yeon!" bentak Kim So Eun kesal. "Lepaskan Lee Young Yoo! Jangan sekasar itu pada adikmu!"

"Dia mengambil dompetku, Bu!"

"Bukan aku!" erang Lee Young Yoo antara sakit dan takut.

"Kalau bukan kau, siapa lagi?"

"Park Ji Yeon, lepaskan adikmu!" Dengan kesal Park Ji Yeon menghempaskan lengan adiknya.

"Sekarang," Kim So Eun menatap Lee Young Yoo dan Kim Yoo Jung bergantian. "Siapa yang mengambil dompet Park Ji Yeon?"

"Aku."

Semua mata menoleh ke pintu. Ke arah suara itu.

"Ibu." Kim So Eun menelan kekesalannya. "Ibu yang mengambil dompet Park Ji Yeon?"

Dengan tenang ibunya melangkah masuk. Dan meletakkan dompet Park Ji Yeon di atas meja.

"Lihatlah, Nenek yang mengambilnya! sorak Lee Young Yoo separuh melecehkan. "Sudah kukatakan, bukan aku! Park Ji Yeon Eonni seenaknya saja menuduh orang!"

"Lain kali tanya dulu, jangan asal menuduh!" sambung Kim Yoo Jung kesal. "Belum apa-apa sudah menuduhku mencuri!"

"Lain kali, Nenek seharusnya bilang, kalau mengambil barang orang!" Sambil menyambar dompetnya, Park Ji Yeon melewati tempat neneknya berdiri dengan kesal.

"Eh, siapa bilang Nenek mengambil barangmu?" bantah Nenek tersinggung.

"Sudah jelas-jelas nenek yang mengambil masih tidak mau mengaku!"

"Nenek cuma tolong menyimpankan. Kau meletakkan dompetmu sembarangan saja di atas meja. Kalau hilang bagaimana?"

"Ah, siapa yang berani mencuri di dalam rumah?" dumal Lee Young Yoo penasaran. Di usianya yang ke-11 tahun, anaknya yang ketiga ini memang sudah, pintar mendumal seperti neneknya.

"Eh, jangan bicara seperti itu! Kau kan belum tahu orang macam apa, orang baru di kamar Ibumu itu?"

"Astaga!" keluh Kim So Eun kesal. "Dia bahkan belum mampu bangun dari tempat tidurnya, Bu!"

Dan klakson panjang membuyarkan perdebatan mereka.

"Mobil antar-jemputmu datang, Kim Yoo Jung." Kim So Eun mengambil tas anaknya dan menyerahkannya kepada putrinya yang nomor empat.

Sementara Lee Young Yoo sudah mendahului menyambar tasnya sendiri dan menghambur ke depan.

"Aku pergi, Bu!" seru Kim Yoo Jung dengan mulut masih penuh nasi.

"Aku juga, Bu!" Sahut Lee Young Yoo.

"Jangan lari! Nanti jatuh!" Tetapi kedua anak itu telah berlari-lari menghampiri mobil antar-jemput mereka.

"Aku pergi, Bu," suara putri sulungnya – Park Ji Yeon datar. Tanpa nada.

"Di mana Baek Suzy?"

"Di kamar," sahut Park Ji Yeon pendek.

"Panggil dia turun. Hari ini Baek Suzy harus ke pasar."

"Ibu panggil saja sendiri," gumam Park Ji Yeon sambil melangkah pergi tanpa menoleh lagi.

"Dia sedang menangis!" bisik Nenek dari belakang.

Kim So Eun menoleh dengan bingung.

"Menangis? Kenapa?"

"Kenapa lagi?" Nenek mengangkat bahu dan menatap sinis. "Pasti gara-gara lelaki di kamarmu itu! Kau kan tahu, anak-anak sangat perasa!"

"Tapi semalam aku tidur di kursi, Bu!"

"Ibu tahu," sahut Nenek ketus. "Yang tidak Ibu ketahui, di mana dia tidur!"

***

Baek Suzy sedang menelungkup di tempat tidur. Walau tidak mendengar isaknya. Kim So Eun tahu, dia sedang menangis.

"Baek Suzy," Kim So Eun duduk di tepi pembaringan putrinya. Dipegangnya bahu gadis itu dengan lembut Dibalikkannya tubuhnya.

"Kenapa menangis?"

"Pusing."

"Masa pusing saja menangis? Kau seperti anak kecil saja?"

"Aku tidak mau ke pasar!"

"Kalau pusing ya tidak usah ke pasar. Minum obat saja. ya?"

Baek Suzy menggeleng. Dan memalingkan wajahnya ke dinding.

“Coba lihat ke sini, Baek Suzy. Lihat Ibu."

Sekarang terpaksa Baek Suzy menatap ibunya. Kim So Eun melihat kilauan air di sudut mata putrinya. Disekanya air mata itu dengan ujung jarinya.

"Betul kau tidak mau ke pasar karena pusing?"

"Aku malu, Bu!" semburnya emosional sekali. Tangisnya langsung saja meledak seperti tanggul bobol.

"Malu? Malu dengan siapa?"

"Dengan Bibi Park Jin Hee. Bibi Lee Hyori. Bibi Son Dam Bi… dengan semuanya, Bu! Aku malu kalau Ibu menikah lagi!"

"Kata siapa Ibu mau menikah lagi?"

“Itu... Paman yang di kamar Ibu?"

Astaga! Jadi dia lagi sebabnya!

"Dia cuma teman, Baek Suzy," keluh Kim So Eun sambil menghela napas. "Kebetulan tadi malam, mendapat kecelakaan. Salahkah kalau Ibu menolongnya dengan membawanya kemari?"

"Tapi orang-orang akan berprasangka lain, Bu! Mereka akan mengira dia calon suami Ibu lagi. Aku malu, Bu! Tetangga-tetangga selalu menggunjingkan Ibu. Di pasar mereka selalu mengatai Ibu kalau melihatku!"

"Biarkan mereka bicara apa saja, Baek Suzy. Kita toh tidak mendapat makan dari mereka."

"Tapi aku malu, Bu! Sepertinya mereka tidak suka kalau aku mengobrol dengan anak-anaknya!"

"Ah, itu cuma anggapanmu."

"Mereka selalu melecehkan Ibu!"

"Karena mereka iri pada kita, Baek Suzy."

"Iri? Apa yang harus diirikan, Bu? Kita bukan orang kaya. Rumah masih kontrak. Mobil cuma satu. Mobil tua yang kalau tidak mogok saja sudah bagus! Ayah saja aku tidak punya. Jadi kenapa mereka harus iri?"

"Mungkin mereka iri karena meskipun kita hidup pas-pasan begini, kita masih dapat bertahan hidup tanpa belas kasihan orang lain."

"Ibu." Baek Suzy memegang tangan ibunya dengan ragu-ragu. Matanya menatap penuh harap-harap cemas. "Betul Ibu tidak akan menikah dengannya, Bu?"

Astaga, keluh Kim So Eun dalam hati. Namanya saja aku belum tahu!

"Tidak, Baek Suzy," sahut Kim So Eun sambil membelai-belai rambut putrinya dengan lembut. "Ibu tidak akan menikah dengan dia."

"Ibu tidak akan menikah lagi?"

"Aku tidak mau punya ayah lagi?"

"Untuk apa kalau cuma untuk beberapa tahun saja, Bu?"

"Kalau kau dan anak-anak Ibu yang lain tidak mau Ibu menikah lagi, Ibu tidak akan menikah."

"Betul, Bu?" Mata Baek Suzy berpendar-pendar penuh harap. "Ibu janji?"

***

Kim So Eun meletakkan senampan sarapan pagi di atas meja kecil di samping tempat tidur. Lelaki itu masih tertelentang tanpa bantal. Matanya terpejam rapat.

"Makanlah," sapa Kim So Eun perlahan, supaya tidak mengejutkannya.

“Pusingnya datang lagi kalau aku bangun."

Wah, celaka, kutuk Kim So Eun dalam hati. Hari ini aku terpaksa jadi perawat amatir!

"Buka saja mulutmu," katanya terpaksa. "Nanti kusuapi."

Tetapi lelaki itu cuma membuka matanya. Bukan mulutnya.

"Terima kasih," katanya tanpa menyembunyikan perasaan herannya. "Mengapa kau baik sekali?"

"Terpaksa," sahut Kim So Eun terus terang. "Supaya kau cepat sembuh."

"Dan cepat menyingkir dari rumahmu?"

"Ya."

"Sudah kudengar ledakan-ledakan di luar tadi, Karena aku?"

"Siapa lagi? Kalau sampai besok kau belum keluar juga, keluargaku benar-benar akan meledak."

"Mereka sering meledak?"

"Bukalah mulutmu."

"Aku belum tahu namamu."

"Aku juga belum. Peduli apa?"

"Namaku Kim Bum."

"Kau mau makan atau tidak?"

"Siapa namamu?"

"Buat apa namaku?"

"Bagaimana aku harus memanggilmu?"

"Perlukah kau memanggilku?"

"Tidak tersinggung kalau aku cuma menjentikkan jari?"

"Panggil aku Ny. Kim."

"Nama keluarga ayah anak-anakmu?"

"Nama keluargaku."

Mata laki-laki itu terbuka lebar. Dia menatap Kim So Eun dengan heran.

Sambil menelan kekesalannya, Kim So Eun terpaksa mengakui, mata lelaki itu sangat menarik… Hitam, Bening, Teduh. Parasnya pun pasti tampan, kalau saja dia sempat membersihkan wajahnya. Dan dia masih muda. Barangkali 25 tahun. Pasti tidak lebih dari 26 tahun.

"Ayah mereka tidak mau menitipkan namanya untuk anak-anakmu?"

"Ayah yang mana?"

"Yang mana?" Laki-laki itu ternganga heran. Kim So Eun menyuapkan sepotong kecil roti ke mulutnya.

"Ayah Park Ji Yeon bernama Choi Siwon. Ayah Baek Suzy, Lee Young Yoo, dan Kim Yoo Jung… Lee Donghae. Ayah Kim Yoo Bin, Im Seulong."

"Astaga!" Hampir tersedak roti itu ke dalam tenggorokannya. "Jadi kau punya lima anak dari tiga orang suami?"

"Empat," sahut Kim So Eun dingin. "Tapi yang terakhir belum sempat membenihi rahimku. Aku tidak mau hamil lagi. Aku kan bukan tempat penitipan anak!"

"Bukan main. Kau seperti terminal bus saja!"

"Buka mulutmu."

"Lantas ke mana saja suamimu itu? Kenapa mereka semua tidak tahan padamu?"

"Kau mau makan atau tidak?"

"Mereka tidak bisa memuaskanmu?"

"Bukan itu yang kucari!"

"Jadi apa yang kaucari?"

"Aku mencari ayah untuk anak-anakku!"

"Beratkah syaratnya?"

"Cuma seorang laki-laki yang bertanggung jawab. Bisa mencintai dan melindungi anak-anakku."

"Sederhana. Mereka semua tidak bisa memenuhi persyaratanmu?"

"Yang kudapat cuma tukang tembak."

"Aku mulai menyukaimu," Kim Bum menyeringai pahit. "Kau jujur."

"Aku justru dibenci karena mencoba tidak munafik. Aku memang janda. Salahkah aku kalau aku mencoba mencari figur ayah untuk anak-anakku?”

Kali ini Kim Bum tidak menjawab. Tetapi di hatinya telah lahir sebentuk perasaan lain.

Kim So Eun pun terdiam. Dia sendiri bingung. Untuk apa berterus terang pada lelaki yang tidak dikenalnya ini? Dia toh cuma sekadar numpang lewat?

"Maaf," cetus Kim Bum setelah diam sesaat. "Aku menyakiti hatimu?"

"Kau malah membuatku lega."

"Karena ada orang yang bersedia mendengarkan ceritamu?"

"Ada selusin majalah yang bersedia menerbitkan ceritaku."

"Karena kau calon anggota DPR?"

"Karena aku bintang film."

"Kau? Bintang film?" Kim Bum menatapnya dengan takjub. "Sayang, aku tidak pernah menonton film Korea!"

Nonton tiap hari pun kau tidak akan mengenalku, gerutu Kim So Eun dalam hati. Karena aku hanya stand in! Yang kaulihat hanya tubuhku!

"Pantas tubuhmu bagus. Betismu indah. Dadamu di ukuran proporsional, sesuai dengan tubuhmu. Pinggangmu ramping."

Dasar lelaki, dumal Kim So Eun sambil meninggalkan kamarnya. Sedang sakit saja matanya masih kelayapan!

"Mau ke mana?"

"Apa pedulimu aku mau ke mana?" sergah Kim So Eun ketus. "Ini rumahku!"

"Kau tidak kerja?"

"Aku tidak berani meninggalkan rumah selama kau masih di sini."

“Siapa pikirmu yang mau dengan anak-anakmu? Aku memang suka mangga muda, tapi tidak yang terlalu mentah! Apalagi yang sudah kelewat matang seperti ibummu!”

Bersambung…

1 komentar:

  1. woaaaaaaaaaaah...ckckckkck...KIM so Eun..jd Terminal Bis yOw???ohhhhhhhhh..KIM bum yg Ke LIma kah????...Waahhhhhhh Napa aQ yg jd Gak ReLaa,T_T

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...