Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Jumat, 15 Juli 2011

Jodoh Sempurna (Chapter 4)



Sesuai kesepakatan, Kim Bum akan datang ke Seoul setiap Sabtu dan Minggu. Tentu saja, karena jarak dari Namchoseon ke Seoul sangat jauh, Kim Bum akan menginap. Sabtu sore ini Kim Bum pun datang. Dan, seperti yang diduganya, sambutan Kim So Eun padanya tak terlalu ramah. Dia memperlakukannya dengan sopan, layaknya pada seorang tamu, tapi terasa ada jarak di antara mereka.

“Sepi sekali, mana pembantumu?” tanyanya, mencairkan suasana.

“Dia sedang ke rumah cucunya. Dia jarang minta libur. Tapi, kesempatan itu hanya kadang-kadang saja digunakannya. Jadi, kuizinkan dia berlibur untuk beberapa hari. Biar dia puas bermain dengan cucunya. Tapi, mungkin nanti malam dia pulang. Kalau mau mandi-mandi dulu, handuk bersih ada di rak di atas wastafel.”

“Terima kasih.”

“Oya, kuingatkan padamu, terkadang aku tak punya banyak waktu untuk mengobrol santai denganmu karena harus bekerja. Jadi, jangan tersinggung jika aku mengabaikanmu,” kata Kim So Eun, dengan sedikit ketus.

Kim Bum tersenyum geli melihat keketusan Kim So Eun muncul lagi. Melihat senyum Kim Bum, Kim So Eun tambah kesal. Dia lalu beranjak ke arah kulkas. “Mau makan apa kita untuk makan malam?” tanya Kim So Eun bingung, sambil meneliti isi kulkasnya. Tak ada sayuran apa pun. Hanya ada daging sapi, ayam, dan beberapa ikan di freezer, serta buah dan soft drinks di bagian bawah.

Kim Bum ikut melongok isi kulkas Kim So Eun. “Bagaimana kalau kita buat daging atau ayam panggang?” usulnya.

“Bolehlah,” ujar Kim So Eun. Dibukanya lemari, mencari-cari bumbu-bumbu siap pakai.

“Kita buat steak saja. Aku akan siapkan bumbunya dulu,” ujar Kim So Eun.

“Baiklah, kalau begitu aku siapkan dagingnya,” ujar Kim Bum, sambil dengan luwes mencairkan daging sapi di microwave. Kim So Eun melongo.

“Kenapa bengong?” tanya Kim Bum.

“Kau bisa masak?”

“Tentu saja bisa. Aku lama merantau di Amerika. Harus bisa masak kalau tak ingin kelaparan di sana. Mau bukti?” tantang Kim Bum.

Kim So Eun hanya mengangkat bahu. Dibiarkannya Kim Bum memotong-motong daging sapi. “Kau punya panggangan dari arang? Atau, kita bakar di kompor ini saja?”

“Di bawah kitchen set ada alat panggang. Arangnya juga ada di situ,” sahut Kim So Eun, sambil sibuk menggoreng kentang goreng dan membuat bumbu barbeque. Untuk beberapa saat mereka bekerja dalam keheningan.

“Sudah selesai bumbunya. Kita olesi dulu dagingnya dengan bumbu barbeque, baru dibakar,” ujar Kim So Eun, sambil menghapus peluh di kening gara-gara asap panas dari kompor saat menggoreng kentang.

Dengan gerakan tanpa maksud, Kim Bum membetulkan letak beberapa rambut poni Kim So Eun yang menutup matanya ke belakang telinga. Kim So Eun tertegun dengan sentuhan tangan Kim Bum. Rasanya, kulitnya jadi terbakar dan dadanya berdenyut dengan kencang. Ada apa ini? Kenapa tubuhku bereaksi demikian atas sentuhannya? Ia jadi bingung akan perasaannya sendiri.

Kim Bum sendiri tak tahu bahwa apa yang dilakukannya telah mengguncang batin Kim So Eun. Dia asyik membolak-balik daging di atas panggangan.

Kim So Eun segera menata meja. Dibiarkannya Kim Bum terkena peluh asap. Ia sendiri masih terguncang oleh sentuhan Kim Bum. Tak disangkanya, setelah sekian lama, kulitnya bereaksi atas sentuhan seorang pria. Kenyataan ini benar-benar membuatnya terpana. Ini bukan pertanda baik, pikirnya. Sambil merapikan pisau dan garpu di meja, otaknya sibuk memikirkan hal tersebut.

“Hai, jangan melamun. Berikan piring itu padaku, dagingnya sudah matang,” ujar Kim Bum, melihat Kim So Eun melamun.

“Kenapa tak ambil sendiri?” sahut Kim So Eun, ketus. Kim Bum terkesiap. Namun, dia tak berkomentar apa-apa, langsung berdiri mengambil piring dan menata dagingnya. Ketika dilihatnya Kim So Eun belum menyiapkan saos tomat, tanpa berkomentar dia langsung menyiapkannya. Kim So Eun hanya meliriknya sekilas.

“Nah, sekarang sudah selesai. Ayo, kita makan, mumpung masih panas,” ujar Kim Bum. Dia duduk di depan Kim So Eun, yang sedang memainkan garpunya.

“Ada yang mengganggu pikiranmu?” tanya Kim Bum, sambil menerima gelas yang diberikan Kim So Eun kepadanya.
“Apa?” tanya Kim So Eun, tak mengerti.

“Kerutan di dahimu ini sangat kentara. Apa yang mengganggu pikiranmu?” ujar Kim Bum, sambil menunjuk kerutan di dahi Kim So Eun. Kim So Eun kembali tertegun mendapat usapan yang tak diduganya, karena kembali otot-otot tubuhnya mengejang atas sentuhan Kim Bum. Aduh, kenapa dia jadi demikian? Namun, dengan cepat dia segera menguasai diri. Ditepiskannya tangan Kim Bum. “Singkirkan tanganmu! Aku tak suka kau pegang-pegang,” sentaknya, kasar.

Kim Bum hanya mengangkat bahu. “Aku hanya menunjukkan kerutan di dahimu. Keriput itu akan cepat keluar kalau kau sering mengerutkan dahi dengan tajam begitu.”

“Ini wajahku, mau kuapakan, itu terserah aku. Kau mau makan atau tidak? Aku sudah lapar.” Lalu, tanpa menawari Kim Bum, Kim So Eun langsung menyuapkan daging steak dengan potongan besar ke mulutnya.

“Coba dengan saos ini, rasanya akan tambah enak,” ujar Kim Bum, sambil menuangkan saos pedas pada piring Kim So Eun. Kim So Eun mengerutkan kening sejenak, tapi lalu ia memutuskan untuk tidak protes atas apa yang dilakukan Kim Bum. Dia meneruskan makannya dalam diam.

Kim Bum mengamati wajah Kim So Eun. Dia tahu, pikiran Kim So Eun tak terfokus pada makanan. Di wajah Kim So Eun terpampang jelas semua gejolak pikirannya. Kadang-kadang kesal, kadang-kadang merenung, semuanya transparan. Hanya, Kim Bum tak tahu bahwa semua itu karena sentuhan tangannya.

Acara makan mereka terganggu oleh deringan telepon. Kim So Eun tersentak dari lamunannya dan beranjak ke ruang tamu untuk mengangkat telepon. Ternyata, dari Bibi Im Ye Jin yang mengabarkan tidak bisa pulang malam itu karena cucunya sangat rewel dan tak mau ditinggal pergi. Kim So Eun pun mengizinkan Bibi Im Ye Jin untuk menginap di rumah cucunya kembali.

Mendengar pembicaraan Kim So Eun, tak urung seulas senyum tersungging di bibir Kim Bum. Benar tebakannya. Pada dasarnya, Kim So Eun punya hati lembut dan baik hati. Tak seburuk yang digambarkannya minggu kemarin.

“Setelah ini aku mau belanja ke supermarket. Kau mau ikut?” tanya Kim So Eun, sambil menyingkirkan piringnya ke pinggir.

“Mau belanja apa?”

“Sayuran dan bahan makanan.”

“Boleh juga jalan-jalan.”

Melihat Kim Bum sudah selesai makan, Kim So Eun membereskan meja makan. Dia diam saja ketika Kim Bum ikut-ikutan membantunya, bahkan membantu mencuci piring. Setelah selesai, Kim So Eun mengelap tangan, lalu mengambil dompetnya, dan keluar. Kim Bum yang keheranan mengikutinya dari belakang.

“Kita langsung berangkat?”

“Ya, memangnya kenapa? Ada yang ketinggalan?”

“Tidak. Aku cuma heran melihat kau tak merasa perlu merias wajah atau merapikan rambut dulu sebelum pergi. Kebanyakan wanita akan merasa tak percaya diri jika keluar rumah tanpa merias wajah dulu,” ujar Kim Bum, sambil menyalakan mesin mobil. Kim So Eun segera mengunci rumahnya, lalu duduk di sebelah Kim Bum.

“Apanya yang lain? Aku juga wanita. Yang berbeda mungkin karena mereka punya rambut yang tak praktis dan kulit wajah yang berbeda jenisnya denganku. Mungkin wanita lain akan mengeriting rambutnya atau meluruskan rambutnya terlebih dahulu, Kalau aku hanya perlu menyisir rambut dan mengikatnya dan itu pun sudah cukup terlihat rapi dan bagus. Begitu juga dengan wajah, kalau kulit wajah mereka berminyak, tentunya perlu dibedaki. Sementara, aku dikaruniai kulit yang halus dan mulus. Jadi, buat apa dipoles segala macam. Bibirku juga sudah merah. Mataku? Aku tak suka merias mata, kecuali saat pergi ke pesta,” terang Kim So Eun, sambil mengenakan sabuk pengaman.

Dia memang lain. Kepercayaan dirinya mengagumkan, batin Kim Bum.

“Sebenarnya, mereka juga punya kulit mulus. Menurutku, yang mereka tak punya adalah kepercayaan diri setinggi dirimu. Mereka tak yakin kalau dirinya bisa tampil cantik, walau tanpa bantuan make up,” timpal Kim Bum.

“Mungkin.”

“Ngomong-ngomong, tentang kepercayaan diri, apakah sejak kecil kau memang punya rasa percaya diri seperti ini?” tanya Kim Bum.

“Entahlah. Rasanya, aku begini sejak dulu. Aku justru baru tahu bahwa kepercayaan diri-ku dinilai tinggi oleh orang lain.”

“Tapi, bagiku itu sangat mengagumkan.”

Kim So Eun agak tertegun mendengar pujian Kim Bum. “Kau ternyata suka terus-terang juga, ya,” ungkapnya.

“Mungkin, ketularan dirimu,” ujar Kim Bum, sambil meliriknya.

Ketika mereka berbelanja, Kim So Eun dikejutkan oleh sebuah panggilan. Park Ji Yeon. Mau tak mau, Kim So Eun memperkenalkan Kim Bum pada Park Ji Yeon, yang asyik mencuri pandang pada Kim Bum. Saat itu Kim Bum memang tampak memikat.

Tampaknya, Park Ji Yeon terpikat pada Kim Bum. Kim So Eun mendengus kesal. Sebelum Park Ji Yeon sempat berkomentar, Kim So Eun mengajak Kim Bum ke tempat ikan. “Sudah dapat sausnya, Kim Bum? Ayo, kita ke tempat ikan. Park Ji Yeon, kami duluan, ya,” ujarnya, separuh mengusir Park Ji Yeon.

“Aku juga mau ke sana. Kita sama-sama saja,” usul Park Ji Yeon.

“Mari,” jawab Kim Bum, sambil meminggirkan keranjangnya, lalu dengan lembut menarik bahu Kim So Eun ke pinggir dan melindunginya ketika ada keranjang orang lain yang hendak lewat dan menabrak Kim So Eun. Semua itu tak luput dari pengamatan mata Park Ji Yeon yang tajam.

“Kim So Eun, sepertinya dia lembut dan sayang padamu. Apa lagi yang kurang?” bisik Park Ji Yeon, saat mereka berdua agak jauh dari tempat Kim Bum berdiri.

“Sudahlah. Besok saja aku ceritakan. Sudah sana, katanya mau beli ikan. Aku mau ke tempat ikan kering di sana.”

Setelah Park Ji Yeon pergi, Kim Bum menghampiri Kim So Eun.

“Tadi kalian bicara apa sampai berbisik-bisik segala?” bisik Kim Bum.

“Katanya, kau lumayan menawan juga. Puas?”

“Wah, itu sebuah pujian. Terima kasih. Menurutmu sendiri?”

“Huh!” Kim So Eun hanya mendengus kesal melihat nada kepuasan di suara Kim Bum. Melihat sikap Kim So Eun, Kim Bum hanya tertawa geli. Seakan wajar terjadi, tangannya lantas menggandeng tangan Kim So Eun.

Awalnya, Kim So Eun tak menyadari kalau tangannya berada dalam genggaman Kim Bum. Tapi, ketika menyadarinya, dia segera menyentakkannya. “Lepaskan! Memang kenapa harus pakai pegang-pegangan tangan segala,” bisiknya, marah.

Lalu, Kim So Eun berjalan lebih dahulu. Kim Bum hanya tersenyum sambil mengekor di belakang Kim So Eun. Perempuan ini makin lama makin menarik. Sayang sifat keras kepalanya tak mau luntur, batinnya.

Kim So Eun tak pernah bisa memendam amarah lama-lama. Saat melewati rak kerajinan tangan, dia sudah melupakan kekesalannya pada Kim Bum. “Lihat topi ini, coba kau pakai. Persis nelayan. Oh, bukan, seperti orang Meksiko!” ujarnya, sambil mengenakan topi itu pada kepala Kim Bum. Kim Bum menurut saja sambil berpura-pura jadi orang Meksiko. Kim So Eun geli melihatnya. Kali ini tawa renyahnya meluncur. Ringan dan bening, seperti tawa khas anak-anak.

Kim Bum tertegun. Wajah Kim So Eun tampak berbeda jika tertawa. Dia berjanji akan membuat Kim So Eun tertawa lebih sering lagi. Ia hanya perlu memilih tombol yang tepat agar tawa itu bisa sering keluar dari mulut Kim So Eun. Tanpa sadar, diusapnya pipi Kim So Eun dengan sayang. Ganti sekarang Kim So Eun yang tertegun dengan sentuhan Kim Bum. Rasanya, kepalanya jadi ringan dan jantungnya bertalu dengan keras. Megapa aku selalu bereaksi berlebihan begini? Aduh, jangan sampai aku tergoda olehnya, batinnya. Ia tak sudi membiarkan perasaan itu berkembang. Digelengkannya kepalanya dan segera menjauh dari Kim Bum dengan berpura-pura memilih anyaman lainnya.

Bersambung…

1 komentar:

  1. Wakakakakka..DASAR SOEUN GD Gengsi doang!!! Gaya-nya NOLak..Tp kena sentuH dikid Langsung Ke-setruuum..SoEun JEnis Org yg PERLu di SadaRkan! dengan SEgera!
    Kim BUmmm Teteeeeepp COooooooooLLL...ahahahha

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...