Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Kamis, 07 Juli 2011

Kisah Cinta Tak Sempurna (Chapter 7)



Setahun pertama kulewati. Aku tak butuh terlalu lama ’menguasai’ arena kerjaku. Meskipun menurutku aku tak terlahir sebagai gadis jelita, aku lihai menarik perhatian orang, terutama kaum pria. Tapi, aku berusaha keras untuk selalu berhati-hati.

Aku mulai banyak menjalin relasi. Proyek–proyek besar yang dikerjakan langsung oleh bosku mulai diserahkan padaku. Alhasil, aku seolah bermetamorfosis menjadi binatang pekerja. Berangkat ke kantor pukul 9 pagi, lalu baru beranjak pulang pukul 9 malam. Itu pun masih sesekali kuhabiskan malam dengan beberapa relasi kerja yang agak dekat denganku.

Namun, siluetnya dalam hatiku belum mampu aku alihkan. ’Dia’ masih di sana, duduk tenang menempati bilik hatiku. Terkadang aku merindukannya. Mengharapkan ada pertemuan tak terduga dengannya.

Setiap kali ada pria yang mendekatiku, dengan cepat aku menjauh. Aku tak begitu paham apakah ini karena traumaku yang terlampau berat, ataukah isyarat bawah sadarku bahwa aku tak ingin ada sosok lain yang menggantikannya. Entah.

”Kim So Eun... ke ruangan saya,” suara bosku terdengar di ujung telepon.

Gelagapan kuambil buku agendaku. Gontai aku melangkah. Hawa dingin AC menyambutku.

”Ya, Tuan Lee Ji Hoon?” Aku bersiap mencatat instruksi bos. Kulihat ia menulis sambil membuka lembar demi lembar sebuah proposal.

”Saya mau kau ambil alih proyek ini,” dia menyerahiku setumpuk proposal yang tadi ia baca.

“Dan tolong urus tiket saya untuk ke Macau minggu depan. Saya mau liburan dengan istri. Saya titip kantor, ya.” Bosku beralih dari kursi kebesarannya. Dia mengambil minuman ringan kaleng dari kulkas pribadinya.

Aku pamit. Di ruanganku, kubaca proposal itu. Kutekan nomor telepon yang tertera di sana. Aku membuat janji dengan suara di seberang sana untuk bertemu saat makan siang besok. Suaranya menarik. Tapi, sepertinya suara itu tidak asing lagi. Suara khas lelaki yang akrab di telinga, sekilas seperti mantan lelakiku. Aku berdoa, semoga bukan ‘dia‘.

Aku kembali lagi pada layar komputerku. Terbenam lagi pada tumpukan file–file dan histeria telepon–telepon yang tak ada putusnya. Sampai malam lagi–lagi datang. Aku rindu dua sahabatku. Sejak aku bekerja, jarang sekali kami bisa jalan bertiga lagi. Kami hanya masih menjaga komunikasi dengan berkirim SMS atau e-mail.

Pekerjaan ini sungguh menyita semua perhatianku. Menyenangkan, karena ini membuatku mempersedikit waktu ingat akan ‘dia‘. Menyedihkan, karena aku jauh dari dua sahabatku, dari Jung Il Woo Oppa yang semakin jarang kutelepon, juga dari kehidupan ingar–bingar bagi seorang wanita berumur 22 tahun yang sesungguhnya.

Pada sebuah coffee shop di seputar Pantai Crossline....

Untunglah tidak macet. Sopir kantor yang mengantarku, aku persilakan jalan–jalan sejenak sembari menunggu aku selesai meeting. Aku masih punya waktu 10 menit sebelum rekan bisnisku datang.

“Hai... Kim So Eun?” suara itu mengagetkanku.

Kutengadahkan kepala mencari si sumber suara. Jika ada yang tak kuharapkan untuk kutemui lagi di sisa akhir hidupku selain Kim Hyun Joong, dialah orangnya. Mantan seniorku semasa SMA yang pernah mempermalukanku dengan mencium seenaknya keningku saat perayaan ulang tahun sekolah, hingga mengundang riuh tak hanya teman seangkatanku, tapi juga para kakak kelas dan guru–guruku. Ya, ampuun, orang itu kini berdiri beberapa sentimeter di depanku. Tidak terlalu berbeda dengan gayanya saat SMA dulu. Masih tetap tampan dan mempesona.

”He... ehhh Sunbae, sedang apa kau di sini, kau bukannya di Freemantle?” Aku sama sekali merasa tak perlu berbasa-basi untuk mempersilakannya duduk. Rasa malu semasa SMA gara–gara ulahnya yang norak, tiba–tiba kurasakan begitu dekat.

”Kim So Eun... Kim So Eun.... kau masih saja seperti dulu. Judes. Tapi, itu yang membuatmu cantik dan menarik. Boleh aku duduk di sini menemanimu?” pintanya, tanpa peduli pada sikap tak bersahabatku.

”Maaf, aku sedang tidak butuh teman duduk, Sunbae. Aku sudah ada janji dengan orang yang lebih penting darimu, dan kursi itu untuknya,” jawabku, masih dengan wajah judes. Sama sekali tidak ada senyum.

Dia tertawa sejenak, memamerkan deretan giginya yang bersih. Juga lesung di kedua pipinya. “Sial, laki-laki ini... kalau saja dia tidak beraksi norak waktu SMA dulu, pasti sampai tamat SMA aku akan terus memujanya,” kataku, membatin.

“Akulah yang kau tunggu, Kim So Eun. Perkenalkan, namaku Kim Bum.”

Aku ingat sesuatu. Kubuka cepat–cepat proposal yang kemarin bosku berikan. Proyek yang akan kutangani, nama direkturnya sama dengan nama yang baru saja aku dengar dari mulut si mantan kakak kelas norak ini. Dialah VIP person titipan bosku yang akan bekerja sama dalam pembuatan vila dengan bosku. Oh, Tuhan, tamatlah riwayatmu, Kim So Eun. Dia yang kini harus kau temani dan layani sebagai partner bisnis pentingmu.

“Orang ini VIP person, ya, Kim So Eun,” begitu bosku mengingatkan saat tadi aku berpamitan untuk datang makan siang plus meeting ini.

Aku memperbaiki dudukku. Menepis jauh–jauh rasa terkejut yang baru saja menderaku. Tuhan menjawab doaku, suara yang kudengar di telepon kemarin memang bukan mantan lelakiku. Mantan kakak kelasku ini Ia kirimkan sebagai gantinya.

”He, ehh pantas kemarin aku sepertinya mengenal suaramu. Rupanya kau orangnya?” Aku menyeruput iced cappuccino, sambil berusaha menenteramkan hati.

”Yes, I am. Lama tidak jumpa, ya, apa kabar kau? Kita bisa mengobrol santai dulu kan sebelum bahas soal rencana investasiku di vila bosmu?”

Dia memanggil waitress, memesan minuman yang sama denganku.

”Baik, Tn. Kim Bum.” Sejujurnya, agak canggung bibirku memanggilnya demikian. Tapi, bagaimana lagi, aku tak boleh memandangnya sebagai mantan kakak kelasku lagi. Dia seorang investor penting, dan aku harus profesional.

Dia tertawa lagi, kali ini sambil menggeser duduknya mendekatiku. Kami tak lagi berhadap–hadapan, tapi bersisian, hanya 15 senti kini jaraknya dariku. Sampai–sampai wangi parfumnya tercium jelas olehku.

”Jangan panggil Tuan, tua sekali kedengarannya. Kita cuma beda usia 2 - 3 tahunan kan, Kim So Eun? Just call me Kim Bum, please,” pintanya.

”Kau sudah menikah, Kim So Eun?”

Kugelengkan kepala dengan tak semangat. Haruskah setiap partner bisnis lelaki yang kutemui menanyakan itu? Apa bedanya buat mereka statusku. Kulihat sekilas dia tersenyum, aku tak peduli untuk apa ia pertontonkan senyum indahnya itu.

”Kau sadar tidak Kim So Eun, kau itu semakin menarik sekarang. Semakin dewasa dan anggun,” gombalnya dengan tampang sok serius.

Aku memperlihatkan tampang tak acuh. Dia pikir aku apa, dia pikir mungkin aku akan terbuai oleh kata-kata rayuannya. Dia tentu tak tahu, bagaimana bertahun–tahun lalu pernah ada lelaki yang memujiku lebih darinya, namun lihatlah, toh, akhirnya lelaki itu bertekuk lutut pada wanita lain. Kalau saja bukan karena alasan pekerjaan, sudah kutinggalkan meja ini. Seketika rasa muak dan kesal menderaku.

”Kita mulai saja meeting-nya, ya, Tn. Kim Bum.” Aku menghidupkan laptop-ku, dan mulai menjabarkan semua hal yang kupikir patut ia ketahui sebelum berinvestasi penuh pada proyek vila kami.

”Baiklah, apakah segala urusan proyek vila ini nantinya kau yang akan tangani?”

Lagi–lagi aku dibuatnya naik pitam. Kutarik napas sedikit. Panjang lebar aku presentasi, dia malah tanyakan hal yang tidak prinsip itu.

”Ya, Tn. Kim Bum. Bos saya akan ke Macau beberapa minggu ini. Jadi, sementara beliau tidak ada, semua urusan kantor menjadi tanggung jawab saya, termasuk proyek ini,” jelasku.

”Baiklah, kau kembali ke kantor. Sampaikan pada bosmu, Aku 100% jamin akan jadi investor proyeknya. Kalian siapkan saja draft kerja samanya. Masalah lebih lanjut, aku akan telepon langsung bosmu secepatnya.” Tegukan terakhir cappuccino-nya ia selesaikan dengan sedikit senyuman yang tak kumengerti.

Aku hampir melonjak kegirangan. Bonus di akhir bulan sudah terbayang berkat keberhasilanku meloloskan proyek ini. ”Baik, terima kasih Tn. Kim Bum. Sampai ketemu lagi. Saya akan siapkan surat-suratnya dulu.” Kali ini kuberikan ia sedikit senyumanku. Kami berjabatan tangan, lalu berpisah saat mobil kantorku tiba di pelataran coffee shop.

”Sempurna, Kim So Eun. Kerja yang sangat bagus,” puji bosku, sesaat setelah aku selesai menyampaikan hasil meeting-ku dengan Kim Bum. Senyum Tn. Lee Ji Hoon itupun sumringah.

”Terima kasih, Tn. Lee Ji Hoon. Saya tunggu instruksi anda selanjutnya untuk proyek ini.”

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...