Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Kamis, 22 Desember 2011

Cupid (FF)



Title : Cupid
Genre : Romance
Author : Sweety Qliquers
Episode : Prolog, 13 Chapter, Epilog
Production : www.ff-lovers86.blogspot.com
Production Date : 05 Desember 2011, 10.13 AM
Cast :
Kim So Eun
Kim Bum
Jung Yong Hwa of CN Blue
Lee Seung Gi
Kim Hyun Joong

Extended Cast :
Lee Ki Kwang of Beast
Jung So Min
Go Ah Ra
Park Ji Yeon of T-Ara
Park Shin Hye
Choi Siwon of Super Junior
Lee Min Ho
Baek Suzy of Miss A
Moon Chae Won
Kim Tae Hee


Cupid

Karakter
Prolog
Episode 1
Episode 2
Episode 3
Episode 4

Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8

Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12

Episode 13
Epilog

Cupid (Epilog)



2 Tahun kemudian

“Kim Bum, sejak kapan kau mulai menyukaiku?”

“Hmm… dari dulu aku sudah menyukaimu, sejak kita selalu bermain bersama.”

“Kau bohong!”

“Tidak, aku tidak berbohong. Kenapa waktu kita SMP, kau menjauhiku?”

“Aku tidak menjauhimu, kau yang menjauhiku. Kau seperti kehilangan minat untuk bermain denganku saat itu. Tapi dulu, aku juga terlalu minder untuk menggabungkan diri denganmu. Kepopuleran membuatmu begitu mudah bergonta-ganti pasangan. Bukan sekadar bergonta-ganti, kau juga suka punya banyak pasangan dalam satu waktu. Dari dulu kau sudah dikaruniai daya tarik yang turun langsung dari langit. Sekali melihat, kaum hawa pasti tak kuasa untuk melirik, mengerling, dan mencuri-curi pandang lagi, mencari-cari apa sebenarnya yang menarik. Bahkan, dalam keramaian sesesak apa pun, ketika kepadatan seharusnya mengaburkan fokus pada satu sosok, pesonamu tetap mampu membuatmu sebagai figur paling bersinar untuk menjadi pusat semua pandangan.“

“Wow, sebegitu sempurnanyakah diriku dimatamu, Kim So Eun?”

“Huh, GR!” kataku manja sambil mencubit gemas pinggangnya. “Kau itu playboy kelas kakap, apa kau tidak sadar itu?”

“Aku tidak playboy, lagipula aku mendekati semua wanita hanya untuk menarik perhatianmu. Tapi sepertinya itu tidak berarti bagimu, kau tetap saja tidak peduli padaku.”

“Oh, benarkah? Aku benar-benar tersanjung.” Kataku tersipu malu. “Kim Bum, Kau ingin anak pertama kita, laki-laki atau perempuan?”

“Anak perempuan yang cantik seperti dirimu.” kata Kim Bum sambil mengelus lembut perutku yang mulai membesar.

“Aku ingin anak laki-laki yang tampan sepertimu.”

“Kalau begitu lahirkan untukku, sepasang anak kembar yang lucu.”


Tamat
Copyright Sweety Qliquers

Cupid (Chapter 13)



Hari kelima belas

Aku berangkat ke kantor. Berusaha bersikap seperti biasa. Terlalu takut berharap. Andaikata hari terakhir ini tidak terjadi apa-apa, apa lagi yang bisa kupercaya, jika berharap pun tidak lagi berani?

Biasa. Biasa. Biasa. Mobil yang sama. Rute yang sama. Jalan yang sama. Kemacetan yang sama. Akankah besok hariku lebih membosankan? Sebentar. Rupanya, ada yang tidak biasa. Freonku habis. Bagus benar! Kubuka jendela mobil, berharap udara pagi masih cukup sejuk untuk mengganti fungsi AC.

Ketika semakin jenuh oleh jalan tersendat-sendat, dari sudut mata kulihat mobil di sampingku juga membuka jendela. Kenapa? AC mati juga? Aku terpaksa menoleh, ketika klaksonnya berbunyi dan terbengong-bengong, mendapati seseorang yang cute di sana, sedang melempar senyumnya, sebelum melaju mendahului. Ada apa? Apakah tadi aku sempat menyuarakan kekesalanku, sehingga terlihat seperti gadis sinting?

Tapi, sesuatu yang aneh kembali terjadi ketika sedang menunggu lift. Semua orang menatapku. Bahkan, beberapa pria mencuri-curi pandang lewat bayangan pada cermin yang tertempel di dindingnya. Kenapa? Ada apa? Ketika sampai di lantai yang kutuju, dengan tak sabar aku masuk ke dalam toilet dan memeriksa diriku pada kaca lebar yang tertempel di atas wastafel. Make up-ku biasa saja, malah cenderung pucat. Rambutku tidak sedang mengembang aneh. Pakaianku juga netral, atasan cokelat muda dan bawahan cokelat tua. Tidak ada yang aneh. Lalu, apa yang mereka lihat?

”Kim So Eun, kau kelihatan beda hari ini,” pekik Baek Suzy.

Aku tiba-tiba baru menyadari pantulan di cermin itu. Mungkin karena vitamin-vitamin yang kuminum selama sakit. Atau, kemung¬kinan, mantera Cupid tiba-tiba manjur. Dengan berdebar aku mulai mengamati bayanganku. Masih orang yang sama, gaya yang sama, penampilan yang sama. Tapi, ada sesuatu yang mirip kilau samar yang berpendar di seluruh tubuhku. Seperti kilau berlian yang tertimpa sinar. Atau, pantulan cahaya pada kristal. Kilaunya hanya pendar samar yang terputus-putus. Tapi, tetap saja kilau yang menarik, seperti laron terpesona cahaya lampu.

Ponselku bergetar. SMS masuk. Dari Jung Yong Hwa. Ia tuliskan puisi panjang lebar, bahwa ia menyimpan semua kenangan tentangku dalam kotak waktu berlabel ‘Tak Pernah Ada’. Ia tegaskan, tak ada jalan untuk kami berdua.

Aku mendesah. Dulu pun tidak pernah ada jalan untuk kita. Apalagi, sekarang. Masih dengan bingung aku keluar dari toilet, berjalan melewati lobi. Jantungku berhenti berdetak. Jung Yong Hwa ada di situ. Juga Lee Seung Gi. Mereka berdiri bersamaan. Menyapa hampir serempak, lalu saling menoleh mendapati bahwa mereka menunggu orang yang sama. Tapi, Jung Yong Hwa melangkah lebih cepat.

”Kim So Eun, bisa bicara sebentar?”

”Eh, sebentar, aku menunggu lebih dahulu,” tukas Lee Seung Gi.

”Kau punya urusan apa?”

Jung Yong Hwa menjadi ungu wajahnya. Sementara Lee Seung Gi yang biasanya penuh sopan-santun berkacak pinggang menantang Jung Yong Hwa. Hawa permusuhan menaik. Tapi, semua terlalu berlebihan. Ini seharusnya tidak terjadi. Sepertinya mantera Cupid terlalu manjur.

Jung Yong Hwa menarik paksa tanganku, Lee Seung Gi dengan cepat menepiskan lengan Jung Yong Hwa, hingga pegangannya terlepas. Jung Yong Hwa mendorong Lee Seung Gi dengan kasar. Lee Seung Gi balas mendorong hingga Jung Yong Hwa hampir terjengkang. Jung Yong Hwa cepat berbalik, mendorong kembali dengan kedua tangan yang membuat Lee Seung Gi terjatuh, Namun, ia cepat berdiri dan melayangkan pukulan. Jung Yong Hwa mengaduh. Tapi, cukup! Kudorong Lee Seung Gi menjauh, sebelum menerima balasan Jung Yong Hwa.

”Apa kalian sudah gila? Aku tidak akan pergi dengan siapa pun!”

Cupid, kau keterlaluan! Jung Yong Hwa sudah punya istri, Lee Seung Gi pria yang tak pernah lepas dari bayang-bayang kekasih lamanya. Bukan seperti ini yang kuharapkan dari manteramu. Aku hanya ingin satu. Satu cinta sejati.

Di ruanganku sudah ada Lee Ki Kwang. Ketika melihat caranya memandang, aku mengeluh dalam hati. Kim Hyun Joong tiba-tiba memanggil, mengajakku ke kantor cabang. Tapi, kami hanya berdua, karena sopir Kim Hyun Joong sakit. Ya, Tuhan, seperti yang tadi belum cukup saja!

Mobil melaju. Sepanjang 10 menit perjalanan, hanya kesunyian yang mengisi. Rupanya, hari ini memang dimaksudkan tidak pernah menjadi hari yang biasa. Kim Hyun Joong membuka suara.

”Kim So Eun, maafkan aku. Selama ini aku menjauh darimu. Tapi, sekarang aku sadar, yang kuinginkan hanyalah kau. Maukah kau jadi milikku?”

Matahari mungkin telah menabrak bumi yang cahayanya membutakan mataku, membuat tubuhku bergetar panas. Aku hampir pusing karena tidak percaya, ketika yang kuangankan jutaan kali akhirnya terjadi. Inderaku tak punya kesiapan untuk merespon.

”Maaf, Tn. Kim. Saya tidak bisa. Maafkan saya.”

Aku mencintai seseorang. Tentu saja bukan Lee Ki Kwang. Bukan Lee Seung Gi. Bukan pula Jung Yong Hwa. Apalagi, Kim Hyun Joong. Seseorang yang telah jauh lama berada di hatiku. Sesuatu telah berbisik, bahwa ia juga merasakan hal yang sama denganku. Ia memang selalu punya wanita lain. Namun, ada keyakinan tak berdasar yang mantap berbicara, bahwa mulai malam tadi, hanya akulah yang menempati tempat terbesar di hatinya. Aku tak tahu bagaimana bisa tahu. Tadi malam adalah pertemuan dua lekukan puzzle yang telah lama saling mencari. Kukira aku akhirnya telah lengkap dan menemukan.

Aku pulang ke rumah. Tak ada lagi nyali untuk menghadapi semua kegilaan di dunia luar sana. Memang, tak pernah ada jalan mudah untuk mencari cinta.

Rumah sepi. Kamarku gelap oleh tirai tebal yang berjurai. Kubuka satu tirainya. Kulihat sosoknya mengawasi di depan jendela kamarnya, mengirim senyum. Kedua telapak tangannya menapak pada kaca jendela, sama denganku. Ia jauh di atas, tersekat oleh jarak. Tapi, kurasakan permukaan jari-jari kami bersentuhan, membaurkan batas dan mengalirkan hangat.

Tiba-tiba ponselku berdering.

“Halo?”

“Kim So Eun, ada yang ingin aku katakan padamu! Turunlah! Aku tunggu di depan teras rumahmu.”

Dengan senyum yang tersungging di bibirku, Aku menemui Kim Bum di depan teras rumah.

“Hai!”

“Hai!”

“Malam ini kau menginap di rumah orang tuamu lagi?”

“Ya, begitulah! Karena aku merindukanmu.”

“Eh…jangan coba-coba untuk merayuku, Kim Bum. Rayuanmu itu tidak akan mempan untukku.”

Kim Bum mengusap rahangnya, lalu berkata, “Kau mau pergi kencan denganku malam ini?”

Kepalaku berputar cepat ke arah Kim Bum. “Apa?”

“Kau mau pergi kencan denganku malam ini?” ulang Kim Bum.

“Kencan?”

Kim Bum mengangkat bahu. “Ya. Pergi makan malam dan semacamnya. Itu dinamakan kencan, bukan?”

Aku tersenyum lebar. “Baiklah!! Kita akan ke mana?” seruku penuh semangat.

“Ah, itu akan menjadi kejutan,” kata Kim Bum sambil menyunggingkan senyum lebar yang memikat itu. “Sekarang kau hanya perlu bersiap-siap. Satu jam lagi aku akan menjemputmu.”

Aku tertawa. “Menjemput,” kataku. “Kau membuatnya terdengar begitu romantis, padahal aku hanya tinggal di sebelah rumah orang tuamu. Kau hanya perlu berjalan beberapa langkah dari rumah orang tuamu ke rumahku.”

“Kim So Eun.” Aku mendengar Kim Bum memanggilku ketika aku berbalik hendak membuka pintu rumah.

Aku berputar. “Hm?”

Kim Bum berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana jinsnya. “Berhati-hatilah,” katanya dengan nada serius, namun matanya tersenyum.

“Hati-hati? Hati-hati pada apa?” tanyaku was-was.

Senyum lebar tersungging di bibir Kim Bum. “Setelah kencan ini, kau mungkin akan jatuh cinta padaku.”

“Benarkah?”

* * *

“Bagaimana penampilanku?” tanyaku ketika Kim Bum datang menjemputku satu jam kemudian. Aku memutuskan mengenakan Gaun pendek sederhana berwarna putih.

Kim Bum memandangiku dari ujung kepala sampai ke ujung kaki dan tersenyum. “Sejauh ini, di antara semua teman kencanku, kau yang paling cantik,” pujinya.

Aku tersenyum, “Benarkah?”

“Begitulah kenyataannya.”

* * *

Kim Bum membawaku ke salah satu restoran terkenal di Seoul.

Seorang pelayan pria menempatkan kami di salah satu meja di tengah ruangan.

Aku memandang ke sekeliling dengan kagum. Restoran itu bagus dengan interior yang indah. Aku menyukai lantai kayunya, taplak mejanya yang berwarna putih, tirainya yang tebal, lilin kecil dalam gelas, dan setangkai mawar yang diletakkan di setiap meja.

Aku mendesah senang dan kembali menatap Kim Bum yang duduk di hadapanku.

“Restoran ini tidak banyak berubah, tetap terlihat nyaman,” komentarku.

“Kau pernah datang ke sini?” tanya Kim Bum.

Aku mengacungkan jari telunjukku. “Cuma satu kali, ketika restoran ini baru dibuka.”

Pelayan yang tadi kembali membawakan menu. Setelah melihat sekilas daftar makanan, Kim Bum lalu mulai menyebutkan pesanannya kepada si pelayan yang mencatat dengan patuh.

Setelah si pelayan pergi dengan daftar pesanan mereka, Aku kembali mendesah dan memandang berkeliling. “Aku suka sekali tempat ini. Sangat romantis. Lihat, orang-orang yang datang ke sini semuanya berpasangan.”

“Kudengar restoran ini memang dijalankan dengan konsep seperti itu,” kata Kim Bum. “Pemiliknya memang berjiwa romantis walaupun sampai sekarang belum menikah.”

“Kau kenal dengan pemiliknya?”

Kim Bum mengangkat wajah. “Oh, tidak. Aku hanya pernah mendengar gossip tentang dia,” sahutnya cepat. “Aku juga mendengar banyak orang mengajukan lamaran pernikahan di tempat ini.”

“Oh, ya?”

“Ya. Kalau kau datang ke sini pada Hari Valentine, kemungkinan besar kau akan melihat seorang pria berlutut di hadapan kekasihnya sambil mengacungkan cincin berlian.”

Mataku melebar senang. “Aku ingin sekali melihatnya,” kataku, “Kim Bum, kau mau mengajakku ke sini lagi pada Hari Valentine nanti?”

Kim Bum menatapku dengan mata disipitkan. “Kenapa? Jangan katakan kau ingin aku melamarmu di sini pada Hari Valentine?”

Aku tertawa. “Aku tidak berani memimpikannya,” kataku ringan. “Siapa tahu aku bisa menjadi saksi acara lamaran pernikahan. Bagaimana?? Kau akan mengajakku ke sini lagi?”

Setelah berpikir-pikir sejenak, Kim Bum mencondongkan tubuhnya ke depan. “Baiklah, aku akan mengajakmu,” katanya. “Dengan satu syarat.”

Alisku terangkat. “Apa syaratnya?”

“Berdansalah denganku. Kau bisa berdansa waltz?”

“Tidak,” jawabku sambil tertawa pelan. “Kau sungguh mau kita berdansa waltz di sini? Di depan orang-orang ini?”

“Mereka boleh mengikuti kita kalau mau,” kata Kim Bum ringan sambil mengangkat bahu. “Nah, pegang tanganku. Posisi waltz.”

Aku membiarkan Kim Bum menggenggam tanganku dan merangkul pinggangku dengan ringan. Tanganku sendiri kuletakkan di lengan atas Kim Bum. Kim Bum mulai mengayunkan kakinya dan Aku mengikuti gerakannya dengan mulus. Kadang-kadang Kim Bum melepaskan pinggangku dan memutarku, lalu kembali menarikku ke arahnya.

“Astaga, jangan sampai kau lepaskan aku,” kataku sambil tertawa. “Aku bisa jatuh dan mempermalukan diriku sendiri.” Aku memandang berkeliling dan menyadari beberapa orang memandangi kami sambil tersenyum-senyum. Kami sudah menjadi tontonan yang menghibur.

“Aku tidak akan melepaskanmu.”

Nada suara Kim Bum membuatku mendongak menatapnya. Apakah hanya perasaanku ataukah nada suara Kim Bum agak berbeda daripada biasanya?

“Dan aku sudah pasti tidak akan membiarkanmu mempermalukan dirimu sendiri,” lanjut Kim Bum sambil tersenyum. “Tidak di depan begitu banyak orang.”

Tidak. Tadi memang hanya perasaanku. Kim Bum terlihat sama seperti biasanya. Yang kutahu kini, aku selalu merasa gembira setiap kali laki-laki itu menatapku dan tersenyum padaku.

Seperti sekarang ini.

“Kim Bum?”

Aku menoleh dan melihat seorang wanita anggun dengan rambut yang dicat cokelat sudah berdiri tepat di belakangku. Aku mengerjap. Siapa wanita ini?

“Oh, Park Ji Yeon.” Pekik Kim Bum sedikit terkejut.

Wanita itu menarik lengan Kim Bum mendekat. “Wah, aku tidak menyangka kita akan bertemu disini.”

“Ya, kebetulan sekali. Kapan kau kembali dari Amerika?”

Wanita yang dipanggil Park Ji Yeon itu menoleh ke arah Kim So Eun dan tersenyum. “Kemarin,” katanya. Ia kembali menatap Kim Bum. “Oh, aku sangat merindukanmu Kim Bum.”

Wajah Kim Bum terlihat senang. Lalu ia memandangku, sepertinya baru tersadar, “Kim So Eun, perkenalkan… Ini temanku, Park Ji Yeon,” katanya.

Park Ji Yeon mengulurkan tangan kepadaku, lalu dengan sedikit menunduk aku menyambut uluran tangannya dengan ramah, “Senang berkenalan denganmu.”

Tiba-tiba saja Park Ji Yeon menarik Kim Bum untuk duduk di sebuah kursi di dekatnya. Aku tertegun melihat kemanjaan Park Ji Yeon. Hatiku serasa dicabik-cabik melihat lengan kokoh Kim Bum melingkar nyaman di pinggang Park Ji Yeon, yang duduk berpangku kaki di atas paha kiri Kim Bum.

Aku berdiri terpaku, memandang dua insan yang sedang bermesraan di depan mataku itu. Padahal baru beberapa menit yang lalu, aku merasakan buaian perhatian dari Kim Bum. Sekarang pria yang tadi mengajakku berkencan, makan malam dan berdansa di sebuah restoran romantis itu, tak sedikit pun menoleh ke arahku. Heh… Sempurna…

Dan tiba-tiba saja hatiku terasa sangat nyeri.

Playboy tetap saja playboy, tak akan pernah bisa berubah.

“Kim Bum, lebih baik aku pulang saja sekarang.” Kataku sambil berlalu meninggalkan restoran.

“Oh, Kim So Eun… tunggu dulu… kau mau kemana? Kenapa kau pergi begitu saja?”

“Aku hanya tidak mau mengganggu acara reuni romantismu itu dengannya.” Kataku sambil menunjuk ke arah Park Ji Yeon.

“Kau marah?”

“Tidak.”

“Aku antar kau pulang ya?”

“Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri.”

* * *

Ketika pulang malam itu, Aku tak habis-habisnya merutuki diriku sendiri, kenapa aku bisa saja tergoda pada rayuan Kim Bum yang terkenal Playboy itu.

Tiga puluh menit kemudian aku sudah selesai mandi, keramas, dan duduk di diatas ranjang di dalam kamar sambil menonton TV dan melahap Mie Ramen, aku lapar sekali. Karena makanan yang aku pesan di restoran tadi bersama Kim Bum belum sempat aku makan, Aku sudah keburu pergi, karena merasa risih melihat kemesraan Kim Bum bersama gadis yang bernama Park Ji Yeon itu.

Tayangan berita di televisi tidak berhasil menarik perhatianku. Pikiranku selalu kembali kepada kejadian di restoran tadi dan tanpa sadar aku mengaduk-aduk Mie Ramen-ku dengan tenaga yang lebih besar daripada yang diperlukan.

Tiba-tiba ponsel yang tergeletak di sebelahku berbunyi dan membuyarkan lamunanku. Alisku terangkat ketika membaca nama yang muncul di layar.

“Apa?” kataku singkat setelah ponsel kutempelkan ke telinga.

“Kau marah padaku?”

Hehhh… aku tidak percaya ini, hanya mendengar suara Kim Bum saja bisa membuat sudut-sudut bibirku melengkung ke atas membentuk senyuman. Seperti sekarang.

“Aku tidak marah,” kataku, mencegah senyumku terdengar dalam nada suaraku.

“Tapi, nada suaramu terdengar seperti orang yang sedang marah.”

Aku mendengus. “Sudah kukatakan, aku tidak marah padamu.”

“Kalau begitu kau mau aku menutup telepon?”

“Kenapa kau meneleponku?”

Kim Bum tertawa, lalu berkata, “Ada yang ingin kukatakan padamu.”

“Apa? Katakan saja.”

“Sekarang kau ada di rumah?”

“Mmm.”

“Aku ingin kau melihat ke luar jendela. Ada sesuatu di sana.”

Aku mengerutkan kening. “Apa maksudmu? Jangan menakutiku, Kim Bum.”

“Tidak, tidak. Justru yang akan kau lihat itu akan membuatmu gembira. Lihatlah ke luar jendela.”

Aku berdiri dan berjalan ke jendela. “Apa yang harus kulihat?” tanyaku sambil menyibakkan tirai dan mendongak menatap langit gelap di atas sana. Tetapi tidak terlihat apa pun. Bintang pun tidak ada. “Tidak ada apa-apa, Kim Bum. Memangnya menurutmu langit yang hitam bisa membuatku gembira?”

“Itu karena kau melihat ke arah yang salah,” kata Kim Bum.

“Apa?”

“Lihat ke bawah.”

Aku menunduk menatap jalan di bawah sana dan mataku langsung melebar melihat Kim Bum berdiri di di depan rumahku. “Oh, Tuhan,” gumamku tanpa sadar.

Kim Bum tersenyum lebar dan mengangkat tangannya yang tidak memegang ponsel. “Halo. Kau gembira melihatku, bukan?” katanya.

Aku mendesah berat, namun aku tidak bisa mencegah diriku untuk tersenyum.

“Kim Bum, sedang apa kau di situ?”

“Kau bisa turun sebentar?”

“Tunggu di sana,” kataku ke ponsel. “Aku akan segera turun.”

Tidak lama kemudian kami sudah duduk di ayunan di taman bermain anak-anak yang tidak jauh dari rumahku.

Aku berdeham pelan. “Bagaimana Makan malammu tadi dengan Park Ji Yeon? Menyenangkan?”

Kim Bum mengangguk. “Tentu saja.”

“Sudah kuduga,” kataku, tidak sanggup menyingkirkan nada tajam dalam suaraku. Lalu aku melirik Kim Bum, “Sepertinya, dia tertarik padamu.”

Kim Bum menoleh menatapku dan tersenyum. “Begitukah menurutmu? Apa kau cemburu padanya Kim So Eun?”

“Aku?? Tentu saja tidak!” Aku mencengkeram erat ujung kaosku.

“Bisa dibilang dia benar-benar tipeku,” kata Kim Bum. “Tapi...”

Aku meliriknya. “Tapi apa?”

Kim Bum mengangkat bahu. “Entah tipe seperti itu tidak lagi menarik minatku,” katanya terus terang. Lalu ia menatapku dan berkata, “Aku rasa sekarang ini aku menginginkan sesuatu yang dulunya bukan tipeku.”

Aku tidak mengerti. Jadi aku hanya balas menatap Kim Bum tanpa berkata apa-apa. Sedetik kemudian Kim Bum mendesah dan merogoh kantong celananya. Mengeluarkan sebuah kotak cincin berwarna merah tua dihiasi pita merah. Lalu berlutut di hadapanku, bersiap untuk memasukkan cincin itu ke dalam jari manisku.

“Kim So Eun, dengarkan aku baik-baik. Gadis yang kucintai kini sedang berdiri di hadapanku. Sebenarnya semenjak di restoran tadi aku sudah ingin melamarmu. Tapi kedatangan Park Ji Yeon menggagalkan semua rencanaku.''

''Kim Bum...aku...''

“Aku tahu… Aku bukan dia… Aku bukan mereka… Aku tidak seperti mantan-mantan kekasihmu terdahulu… Aku berbeda… Aku tidak akan mengumbar kata-kata indah… Aku tidak ingin hanya terucap dari bibir saja… Aku ingin kau percaya, seperti kupercaya padamu sepenuhnya… Sejuta rasa ini tidak cukup diungkapkan
hanya dengan kata-kata… Karena rasa ini sangat jauh lebih dari itu.
Sungguh… Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu, Kim So Eun…”

“Kim So Eun, apa kau mau menjadi istriku?”

Aku tersenyum dan mengangguk. “Ya.”

Kim Bum kemudian memasukkan cincin indah itu ke dalam jari manisku. Lalu spontan aku memeluknya dan rasanya kali ini aku tidak mau melepasnya lagi. Tidak akan pernah!!!

Ah…akhirnya Cupid memberiku jodoh yang terindah.

Bersambung…

Cupid (Chapter 12)



Hari keempat belas

Aku sudah sehat dan siap pergi berburu pria lagi. Namun, hari penantian hampir berakhir. Mengapa tetap tidak terjadi apa-apa? Haruskah aku tetap melakukan upacara terakhir ini? Bulan di atas bulat penuh dalam sinar kuning yang terlalu terang, mengajakku tertawa. Namun, inderaku sedang terlalu tumpul untuk menanggapi gurauan sehalus apa pun.

Kugeser kedua lilin. Mereka bertemu tepat di tengah hati. Dua warna berlainan yang kelihatan cantik dan serasi dengan nyala yang berkedip-kedip, mencoba bertahan dari sentilan-sentilan angin kecil. Cupid, setelah kugantungkan seluruh harap hanya padamu, menga¬pa engkau berkhianat? Kutiup mati nyala lilin-lilin itu dengan kesal.

“Cupid. Kau memang tidak ada. Pasangan sejatiku juga tidak ada. Selamat tinggal dan kurasa aku tak merasa perlu mengucapkan terima kasih!”

Dengan langkah panjang aku masuk ke dalam dan menutup pintu belakang. Namun, lewat lubang kotak berkaca yang menempel di pintu, sempat kulihat tempat yang semula pernah menjadi altar yang kupuja-puja selama 15 hari terakhir. Sekarang ia kelihat¬an suram. Bayang-bayang dari sinar bulan memberi warna yang memperkelam. Mungkin, bukan cuma masalah lilin mati yang melunturkan keindahannya. Namun, lebih karena ketika harapanku akhirnya mati, tempat itu turut kehilangan suasana kegaibannya.

Aku berjalan ke arah kamar. Bayangan kelabu itu masih berkabut tebal di ingatanku, ketika terdengar dering ponsel membelah nyaring.

“Kim So Eun, ini aku Kim Bum.”

Tumben.

“Tadi aku mau merokok di taman atas, ketika melihat kau menyalakan lilin. Aku tidak bermaksud mengintip. Tapi, apa kau sedang melakukan ritual untuk Cupid?”

Aku merasakan semburan rasa malu yang membakar wajahku. Bagaimana ia bisa tahu? Andai saja tubuh bisa mengecil jika diinginkan. Sekecil mungkin untuk menjadi tidak terlihat. Kenapa harus Kim Bum yang memergoki?

“Lalu, kau mau apa? Ini pekaranganku sendiri,” jawabku berusaha marah untuk melindungi harga diri yang sudah tidak terselamatkan.

“Jangan marah-marah. Kau tidak perlu malu.”

Aku terkesiap, bagaimana mungkin suaranya bisa selembut itu. Apa iya, dia bisa mengerti dan memahami apa yang kulakukan.

“Ke rumahku sekarang. Aku mau memperlihatkan sesuatu padamu.”

Biasanya aku selalu menolak atau waspada, menduga maksud terselubung di balik itu. Namun rasa ingin tahu mengalahkan rasa-rasa yang lain. Aku ke luar rumah dan berbelok masuk ke halaman rumah orang tua Kim Bum. Ia telah menunggu dengan pintu depan terbuka. Tanpa berkata-kata, aku mengikutinya naik ke taman atas. Sesampai di sana, sinar bulan tampak dominan, walau tidak sempurna menerangi semua benda. Semua bentuk dan warna tetumbuhan yang ada, larut dalam warna yang sama, hitam atau kelabu. Tapi, aku tahu, ini masih taman yang indah. Sudah puluhan tahun aku tidak ke sini, padahal dulu ini adalah salah satu tempat bermain favorit kami.

Kim Bum terus berjalan ke ujung taman untuk menyalakan lampu. Ketika menjadi hidup oleh terang, Kim Bum menunjuk pada suatu sudut yang terlindung dari hujan oleh perpanjangan atap rumah. Pada bagian itu terdapat meja kayu yang sudah tua. Di atasnya terdapat dua lilin, yang sudah separuh batangnya, tanda pernah dinyalakan. Dua lilin berbeda warna yang berdiri berdampingan di atas gambar hati yang dibuat dengan kapur….

Aku terkejut. Lalu, tertawa terbahak-bahak. Senang sekali, ternyata bukan aku yang paling bodoh di dunia ini. Mungkin wajar saja jika aku yang melakukannya, karena aku hanyalah wanita di usia kritis, yang hampir mendekati masa tidak laku lagi di bursa pencarian jodoh. Tapi, Kim Bum, ternyata ia juga panik karena belum menemukan pasangan hidup.

Kim Bum pun tertawa. Tertawa ternyata membuat kami berdua terduduk lemas menempel pada tembok pembatas. Bulan tampak menguasai langit dengan sinarnya. Bintang-bintang kecil tampak tak kalah bersanding dengan kedip kilaunya. Cakrawala hampir terlihat biru seolah malam tidak ingin jadi kelam. Suasana redup tapi hangat. Sungguh malam yang tidak biasa.

Aku memandangnya. Ia memiliki semua modal yang membuatnya mudah mendapatkan siapa saja. Tapi, tetap tidak menjamin kemudahan untuk menemukan yang ia cari. Mungkin benar jika cinta dikatakan sebagai anugerah. Ia datang kepada siapa saja ketika harus datang, tanpa perlu berkorelasi dengan penampilan, kekayaan atau status.

“Jangan dilihat bahwa ini adalah sihir yang tiba-tiba mewujudkan semua impianmu. Ketika melakukan upacara ini, yang terpenting adalah kata-kata. Kata-kata bisa memiliki kekuatan, karena ketika diucapkan secara berulang kali, mereka mampu mensugesti diri kita pada suatu pemikiran, yang pada akhirnya mendorong perilaku kita untuk mengarah pada suatu tujuan.“

”Sadar tidak, selama ritual ini berlangsung, banyak sekali peristiwa yang terjadi karena pikiran dan perilaku kita memang jadi lebih fokus terarah pada pencarian pasangan. Bukan sihirnya yang berhasil. Tapi, kemampuan sugestilah yang bekerja untuk memberi dorongan pada kita, agar benar-benar mau berusaha. Jadi, jika belum berhasil, kita jangan berhenti. Mungkin, kita perlu lebih sering berbicara hal-hal yang membuat kita semangat, agar spirit itu selalu terisi penuh energinya. Bagaimana kalau kita sekarang melakukan ritual berdua, tapi lebih untuk saling menyemangati?”

Mungkin kata-kata Kim Bum benar. Sayangnya, aku sudah kehilangan minat dengan segala macam mantera ini. Tapi… menyenangkan juga punya teman untuk mencobanya lagi. Kim Bum berdiri, menyalakan kedua lilin dan menyerahkan salah satunya padaku. Dengan satu tangannya yang bebas, Kim Bum meraih jemariku dan memejamkan mata. Dalam jarak sedekat ini aku bisa melihat betapa tampannya dia. Sinar bulan memberi bayang-bayang misterius, yang menegaskan lekuk-lekuk rahang dan alis indah yang ia punya.

Suasana menjadi hening. Jalan langit terbuka bebas untuk melepaskan mantera. Kami mengucapkan keinginan dengan perlahan-lahan, seolah seluruh jiwa lepas satu-satu lewat setiap kata. Mungkin, ini hanya imajinasi atau memang benar-benar terjadi. Jutaan kerlip kecil terbang membelah angkasa, lalu menyebar di ketinggian. Kami hanya memandang takjub pada langit yang menjadi benderang.

Kim Bum menatap, sinar-sinar kecil tampak memantul di matanya. Tiba-tiba saja diriku diraja oleh suatu keinginan, yang ia tahu pasti, lewat caraku memandang tepat ke bola matanya. Kami saling memejamkan mata dan mencari bibir satu sama lain. Rasanya, sungguh fantastis. Seperti seluruh anggota tubuh yang lain melebur dan hilang menjadi partikel udara. Hanya tinggal bibir yang bergerak, memberi dan diberi dalam kenikmatan yang tak pernah habis tersalurkan.

Tapi... apa-apaan? Dia kan Kim Bum! Kuhentikan gerakanku. Ia masih terpejam mencari. Tuhan, pria ini sungguh indah. Bersamaan dengan ia membuka matanya, aku sudah berbalik dan bergegas ke rumah. Gila! Bodoh benar! Aku hanya akan jadi wanita kesekian Kim Bum. Lupakan! Lupakan! Anggap yang tadi tak pernah ada. Aku hanya akan jadi koleksinya. Tidak! Terima kasih!

Bersambung…

Cupid (Chapter 11)



Hari kesebelas, kedua belas, ketiga belas

Tak ada jalan keluar dari kamar ini untuk membuka peluang tercapainya target 15 hari menemukan pasangan hidup. Jangankan keluar kamar, melakukan ritual malam untuk Cupid pun tak mungkin. Kecuali, Ibu mengizinkanku merangkak inci demi inci untuk sampai ke altar.

Namun, selama 3 hari ini mimpiku penuh dengan mimpi-mimpi yang membuatku semakin ingin berlari menjelang kemungkinan hidup di luar kotak 4 kali 4 meter ini. Terkadang aku bermimpi terjebak di kamar sampai hari ke-30, sementara ketika kuminta pada Ibu untuk membawaku keluar, yang keluar hanya gemeletak bunyi tanpa kata dan tak bisa dimengerti.

Terkadang aku bermimpi tentang Baek Suzy dalam bentuk laba-laba bertangan 12, yang mengawini semua pria yang tersisa. Aku hanya berteriak sampai serak, memohon untuk menyisakan seorang pria untukku. Tapi, dengan kejamnya ia menepisku, dengan tangan berbulunya yang ke-11, sementara tangan ke-12-nya memeluk pria terakhir yang tersisa.

Pernah juga aku bermimpi, Cupid ternyata seorang hakim pria dengan rambut palsu pirang yang mengetuk palu dan berkata, ”Kau tidak melakukan pemujaan kemarin, ulang dari hari pertama!” Dan, ratusan mimpi lain, yang membuatku tidak henti mengutuki, kenapa virus flu tidak seperti virus komputer yang memakan habis memori.

Bersambung…

Cupid (Chapter 10)



Hari kesepuluh

Sebelum membuka mata kutahu sesuatu yang tidak menyenangkan telah terjadi. Tenggorokanku seperti ditancapi puluhan biji kedondong yang serat menyangkut. Kepalaku lekat di bantal karena begitu berat diangkat. Seluruh sendiku sulit digerakkan, seperti sudah kehilangan pelumas.

Yang mengerikan, wajahku bengkak. Astaga! Kupaksa tubuhku keluar kamar. Mana bisa bertemu jodoh kalau terkurung di sini? Tapi, aku ambruk di depan pintu.

Bersambung…

Cupid (Chapter 9)



Hari kesembilan

Agoraphobia adalah istilah untuk orang yang memiliki kecemasan berlebihan terhadap tempat terbuka. Claustrophobia adalah kebalik¬annya. Lalu, bagaimana dengan aku yang selalu ketakutan, ketika melihat lift atau mendengar ponsel berdering. Mungkin ini bisa digolongkan sebagai penyakit liftphobia? Atau, JungYongHwaphobia?

Ketakutanku pada Jung Yong Hwa rasanya tidak berlebihan. Aku bukan malu pada apa yang telah kami lakukan. Bukan takut pada berbagai kemungkinan reaksi yang akan ia keluarkan jika kami bertemu. Aku takut menemukan kenyataan bahwa ada sesuatu yang telah aku simpan begitu dalam untuknya.

Aku sedang sendirian berjalan keluar dari mal, ketika seseorang mendekatiku. Dia. Lagi-lagi dia. Dengan cepat kulangkahkah kaki, membuka pintu, dan melesak duduk di sampingnya.

“Kim Bum, Ayo kita pulang!”

Ia mengangguk, lalu membelokkan mobil keluar dari area mal.

“Kita makan dulu, ya?”

“Boleh. Di mana?”

“Malam-malam begini enaknya makan Sup Kimchi Octopus.”

Aku hanya menurut ketika mobil Kim Bum membawa kami ke daerah yang tidak kukenal dengan baik. Jalannya sempit dan lengang, namun padat oleh perumahan. Kami berhenti pada suatu areal kosong. Di dekatnya ada sebuah warung tenda dengan penerangan dan tempat duduk seadanya. Memang pengunjungnya cukup banyak, tapi masa iya, Kim Bum biasa makan di sini? Seorang Kim Bum yang biasa memakai baju branded, clubbing, dan bermobil mewah, makan di warung tenda? Ini baru kejutan!

“Kau tidak keberatan makan di warung tenda, ’kan?”

Kim Bum, ternyata aku tidak pernah mengenalmu.

Kami duduk di sebuah meja kosong. Bekas tetesan kuah sup dan minuman terasa lengket di permukaan meja, yang hanya ditutup alas plastik sekadarnya. Beberapa tumpukan mangkuk masih teronggok di depanku. Seorang pelayan segera datang menyingkirkannya, namun bau apek menguar tajam dari sisa kain lap yang baru saja disekakannya pada permukaan meja. Tapi, semua itu tertutup rapi oleh aroma Sup Kimchi Octopus yang gurih.

Kim Bum memesan makanan dan dua botol Soju.

Dalam perjalanan pulang, kami saling bercakap-cakap dengan lepas. Betapa tahun-tahun yang telah lewat seperti tidak pernah memisahkan kami.

”Terima kasih, Kim Bum. Malam ini menyenangkan sekali.”

Ia mengangkat dagunya, menempelkan jari telunjuknya di pipi, mengisyaratkanku untuk menciumnya. Aku mencibir. Namun, rasa senang di hatiku mendorongku untuk menciumnya. Aku kaget sendiri. Lebih terkejut lagi mendapati reaksi Kim Bum yang tercengang.

Aku melangkah masuk ke teras rumah. Sesuatu membuatku menoleh lagi. Kim Bum masih di posisi yang sama, menatapku. Sebuah pandangan berpanah yang menembus sesuatu yang berdenyut di dada. Ada sesuatu yang berdesir. Namun, apa benar kini ia memandangku dengan pancaran mata berbeda? Itu kan Kim Bum?!

Bersambung…

Cupid (Chapter 8)



Hari kedelapan

Senin pagi. Aku tak ingin ke kantor. Tak ingin bangun. Tak ingin i¬ngat apa yang terjadi kemarin. Tak ingin aku pernah ada. Bodoh benar! Mabuk di Jumat malam. Mencium suami orang di hari Minggu.

Ingatan bahwa upacara semalam untuk Cupid lebih banyak berisi makian, membuatku merasa semakin kehilangan pegangan. Sudah satu minggu. Tapi, tidak ada yang terjadi. Aku mulai cemas, apakah engkau benar-benar ada, Cupid? Semalam kugeser kembali kedua lilin itu. Sudah hampir bertemu di tengah gambar hati.

Mungkinkah hanya dalam sisa separuh waktu ini, aku berhasil menemukan seseorang yang sudah kutunggu hampir separuh hidupku? Apakah kau memang hanya murni hasil fantasi dan imajinasi orang yang lelah menghadapi realitas. Ataukah, kau di atas sana sedang tertawa-tawa, Cupid? Karena, kalau kau memang bekerja seperti seharusnya, tidak akan banyak kemalangan cinta bertebaran di muka bumi ini. Lihat saja selama ini. Begitu banyak kisah yang terjadi, namun hanya merupakan tambahan ironi dalam lembar-lembar buku kehidupanku.

“Cupid, kau sama sekali tidak membantuku. Jika kau memang Malaikat Cinta, dalam dua hari ini kau harus mempertemukanku dengan pasangan hidupku. Kau benar-benar Malaikat yang tidak becus dalam bekerja. Jangan sampai aku menganggapmu cuma Malaikat payah yang tidak punya kekuatan. Berhentilah bermain-main. Jangan coba-coba menjodohkanku dengan orang yang lebih parah dari yang kemarin-kemarin. Jangan sampai berani melakukan itu. Bantulah aku. Segera!”

Kuingat bagaimana lilin kutiup dengan sangat cepat. Sama sekali bukan upacara pemujaan.

Pagi ini matahari memancarkan sinarnya dengan kekuatan panas. Aku sudah kusut sebelum sampai di kantor. Lorong depan lift sudah sepi dari para karyawan yang biasanya mengantre. Aku sudah terlambat. Sekali lagi kusiapkan alasan yang sudah kuno selalu ampuh… macet.

Lift kosong. Di lantai lima lift terbuka. Masuklah manusia yang paling pandai menambah malapetaka. Lee Ki Kwang. Saat melihatku, ia menyeringai lebar. Aku mengernyit masam. Benar-benar pagi pembuka hari yang menyebalkan. Dia lalu mulai bertanya-tanya hal menyebalkan soal keterlambatanku. Semua kujawab dengan acuh, hingga kemudian....

“Kim So Eun, lift-nya jalannya agak aneh, ya?

Kudiamkan saja. Bosan menanggapinya!

“Kim So Eun, jadi melambat.

Tapi, aku merasakan hal yang sama. Tarikan tali lift seperti tersendat, membuat kotak kecil ini bergoyang. Rasa panik mulai merambat naik. Dan…

Bruk! Lift berhenti total.

Cupid! Aku ingin berteriak sekerasnya. Bercandamu sama sekali tidak lucu! Kalau aku harus terjebak di dalam lift, kenapa harus dengan Lee Ki Kwang? Aku merinding. Apakah kau mencoba menjodohkanku dengan dia? Cupid, kumohon, maafkan caci makiku tadi malam. Jangan lakukan ini!

Bergegas aku memencet tombol dengan goresan bergambar lonceng. Sebuah suara petugas terdengar.

“Apa lift-nya macet? Tunggu sebentar, ya!”

“Ya, Tuan. Jangan lama-lama. Panas sekali di sini.”

Aku mendesah. Berapa lama lagi? Tidak mengertikah mereka bah¬wa waktu satu detik di luar sana setara dengan hitungan satu jam di dalam lift? Aku ingin berjalan mondar-mandir untuk membunuh rasa gelisah, tapi takut membuat talinya putus oleh detakan kecil dari hak sepatuku. Lee Ki Kwang diam saja. Mungkin, rasa takut telah mencekik pita suaranya. Syukurlah, ia bisa bersikap sesuai kehendakku.

Sepuluh menit yang panjang berlalu sudah. Aku berulang kali mendesah, mengeluh, mengumpat. Berulang kali kutekan tombol hanya untuk mendapat jawaban yang sama… Petugasnya sedang dipanggil. Aku bukan takut lift ini akan terempas, melainkan takut Cupid sedang menjalankan hukuman untukku dalam bentuk jatuh cinta dengan Lee Ki Kwang!

Wahai, Cupid, aku bersumpah, jika bisa keluar dari lift dengan selamat, dalam arti aku tetap memandang Lee Ki Kwang dengan kaca mata yang sama, aku akan menimbuni altarmu dengan rangkaian bunga mawar.

Tiga puluh menit berlalu. Udara semakin sesak. Aku melirik Lee Ki Kwang. Ia masih diam. Wajahnya pucat. Rupanya, rasa cemas telah membekukan semua saraf motoriknya. Ia lebih takut daripada aku.

“Lee Ki Kwang, kalau bisa keluar dari sini, aku tidak akan marah-marah lagi padamu. Maafkan aku, kalau selama ini aku selalu judes.”

Ia tersenyum, lalu menunduk. “Kim So Eun, maafkan aku juga. Aku sengaja menjatuhkan presentasimu. Kau yang sebenarnya punya kesempatan lebih besar untuk naik jabatan. Tapi, aku tidak rela kalau kau jadi manajer, sementara aku staf biasa, menjadi orang yang tidak akan pernah kau pandang. Itu semua karena… karena… aku menyukaimu!

Aku membelalak.

“Semua hadiah kecil yang kau dapat itu dariku.”

Hening.

Yang satu hilang rasa karena lega yang melimpah-limpah. Yang satu tak tahu rasa, karena bingung meraba-raba.

Brak! Tiba-tiba lift mulai berjalan lagi.

Sampai di kantor, suasana panik sangat terasa. Pantas saja tidak ada yang memperhatikan kemalangan yang tadi menimpa kami. Tak ada yang duduk tenang di kursinya masing-masing. Saat Lee Ki Kwang memasuki ruangan, semua arus emosi berbelok tersembur padanya.

“Lee Ki Kwang, Flashdisk-mu ada virusnya!”

Baek Suzy berteriak, “Gila, file-ku hilang. Kemarin kau kan yang menyebarkan proposal dengan Flashdisk. Berarti, virus itu dari Flashdiskmu. Lee Ki Kwang, ayo, perbaiki!”

Aku tercekat. File bervirus? Astaga!

“Panggil orang IT saja.”

Semua orang berseru sebal padanya. Tapi, sebenarnya akulah yang duduk di kursi pesakitan. Semua ini salahku. Harusnya akulah yang dimaki-maki, bukan Lee Ki Kwang. Ada sedikit dorongan untuk mengakuinya di depan umum. Tapi, sanggupkah aku menghadapinya? Biarlah kata hatiku memecut-mecut harga diri dengan kata pengecut. Tapi, aku tak mampu menerima kenyataan menjadi tidak disukai banyak orang. Maafkan aku, Lee Ki Kwang. Masalah nama baikmu akan kubereskan dengan cara lain nanti.

* * *

“Nn. Kim So Eun, bisa ke sini sebentar?”

Kim Hyun Joong melongokkan kepalanya dari balik pintu. Ketika kumasuki ruangannya, ia telah menyiapkan selembar kertas.

“Saya memperhatikan hasil kerjamu selama ini. Saya ingin kau menggantikan posisi Choi Siwon. Saya percaya kau bisa. Selamat, ya.”

Kim Hyun Joong mengulurkan tangan. Tuhan, aku sudah menghancurkan nama baik Lee Ki Kwang untuk sesuatu yang percuma, untuk iri hati yang sebenarnya tidak perlu. Mungkin Cupid benar. Mungkin aku harus menebus kesalahanku dengan menikahi Lee Ki Kwang.

Bersambung…

Cupid (Chapter 7)



Hari ketujuh

Hari Minggu pagi. Terkadang kesenangan menjadi lajang itu berubah menjadi hal membosankan. Hal yang membosankan itu bergeser menjadi hal menyakitkan. Seperti hari ini, seluruh temanku yang lajang, yang populasinya sudah semakin langka, tidak ada satu pun yang available.

Bergegas kuganti baju. Kupilih bahan jeans dengan model baju monyet yang kedodoran, dalaman kaos putih longgar, dan topi biru tua. Penampilanku tidak keruan, tapi rasanya nyaman memakai apa pun yang kumau, tanpa peduli apa kata orang. Biar saja!

Aku keluar kamar dan menengok ruang tengah yang terletak di bawah. Sepi. Kututup pintu kamar rapat-rapat. Sekali lagi kuperiksa halaman depan yang berada di bawah kamarku. Tidak ada Ibu, atau Ayah. Aman. Aku berjalan ke cermin dan menarik napas panjang. Sekarang aku siap berjalan-jalan. Penuh percaya diri, meskipun tak punya teman atau pacar.

Pukul sembilan lewat. Suasana masih sepi. Sengaja kuparkir mobil agak terpencil dari dari areal pertokoan, yang sebagian besar merupakan tempat makan. Dengan berjalan santai, kususuri trotoar batunya dan melihat setiap foto menu yang dipamerkan pada setiap pintu masuknya. Matahari menyisip hangat lewat sela-sela dedaunan pada pepohonan yang tumbuh berjejer di sepanjang halaman depan toko-toko.

Di suasana senyaman ini, sebagian orang memilih untuk sarapan di meja-meja yang disediakan di bagian depan setiap tempat makan. Beberapa pasangan tampak menikmati makanan sambil membaca koran, saling mendiamkan satu sama lain, namun tetap bisa menikmati kebersamaan mereka. Aku? Tak ada yang lebih hebat. Pasanganku adalah pagi yang indah ini. Siap menemani. Mudah mengerti. Tidak marah dengan ketidakacuhanku.

Setelah berjalan beberapa lama, kupilih untuk minum kopi di tempat langgananku. Menyenangkan sekali merasakan dingin a¬ngin pagi yang meresap sejuk, terang mentari yang tak henti mengirim senyum, membaca novel yang belum sempat terbaca, sambil merasakan setiap ujung syarafku menggeliat bangkit, ketika cairan hitam itu direguk.

Bau kopi harum di pintu masuk membuat ujung lidahku merasa telah mencicipinya, bahkan sebelum cairan itu terminum. Pilihan yang tepat. Kubuka pintunya. Salah. Tidak tepat. Sangat tidak tepat. Sungguh pilihan keliru! Mungkin elevator di kantor patuh dengan sumpah serapahku. Tapi, tidak dengan seluruh penjuru kota yang lainnya.

Aku hanya membeku, seperti katak yang terpesona melihat roda mobil yang akan melindasnya. Sekarang sudah tidak mungkin lari lagi. Jung Yong Hwa. Ia ada di dalam dengan tangan yang masih menahan cangkir di udara. Menatapku, sama terkejutnya. Beberapa detik kami hanya saling menatap. Memilah respon, meraba reaksi. Lalu, ia tersenyum. Aku lega luar biasa dari hukuman rasa bersalah. Ia sama sekali tidak membenciku.

Ia menyeberangi garis tengah ruang dan meraih tanganku, lalu mengguncang-guncangkannya. Wah, ini Jung Yong Hwa yang berbeda. Yang kuingat, dia dulu selalu kaku dan malu-malu.

“Jung Yong Hwa, sudah lama sekali kita tidak bertemu.”

Kulihat wajahnya, ia memang kelihatan lebih tampan. Kalau aku mau rela mengakui, ia sekarang memang mempesona. Dan, aku, astaga! Baru teringat pada baju rombengan yang kupakai. Kenapa tadi tidak siap perang dengan memakai kaos ketat merah, rok putih, dan sepatu hak tinggi bertali? Seharusnya aku tahu, pergi ke mana pun selalu bersiko bertemu teman lama. Bertemu mereka, berarti jangan pernah sampai memberi kesan bahwa hidupmu sekarang lebih tidak beruntung darinya!

Tapi, kecemasanku terhapus.

“Kim So Eun, kau kelihatan hebat.” Dipandanginya aku dari ujung kepala sampai ujung kaki.

”Bagaimana kabarmu, Jung Yong Hwa?”

“Aku sudah setahun menikah.”

Jantungku berdebar. Apakah keterangan itu membuatku menyesal?

Pesananku datang, kureguk sedikit. Perasaanku lebih tenang.

”Dimana Istrimu?”

Jung Yong Hwa terdiam, wajahnya mengeras. Apa yang salah? Rupanya, sesuatu yang dilihatnya telah merebut semua perhatian. Aku terkejut ketika tiba-tiba ia berdiri. Dari belakangku terdengar langkah tergesa-gesa mendekat. Belum sempat menyadari yang terjadi, kulihat kopiku disambar seseorang dan menyiramkan isinya ke arahku. Aku terpekik, lalu cepat berdiri. Namun, cairan panas itu masih sempat menyiram bagian bawah tubuhku.

”Ooo, ternyata, kau di sini, ya? Kencan dengan wanita lain? Kau!” katanya, menunjuk aku, tak tahu malu bermain dengan suami orang!”

Hei, aku tidak ada urusan dengan suamimu. Kopiku bagaimana? Baru dihirup satu teguk. Kusambar tas dengan kasar dan berjalan pergi dengan langkah lebar dan cepat. Sadar tidak, bahwa yang merebut Jung Yong Hwa itu kau! Dia dulu kekasihku. Harusnya, pagi ini aku masih mengobrol dan bercanda dengannya. Harusnya, aku tidak menghabiskan sisa hari ini dengan kesepian. Harusnya, aku tak pernah menolak Jung Yong Hwa.

Jung Yong Hwa berlari mengejarku, menjajari langkahku. Ia menahan tanganku. Kutepis dengan kasar dan mencari-cari kunci yang memang selalu sulit ditemukan pada saat-saat yang genting. Ketika kutemukan, kubuka mobil dengan tergesa. Jung Yong Hwa menahanku agar tidak bisa masuk ke dalam mobil.

Dengan ganas kutatap matanya. Ia memandangku dengan tegar, namun sedih. Sorot itu meleburkan seluruh keberadaanku. Kemarahanku hilang dalam larutan pesonanya. Aroma tubuhnya yang jantan menggilas hancur semua batas dan memelintir kewarasan akal sehat. Ia begitu tampan.

Kudorong ia ke dalam mobil. Kurampas bibirnya dengan bibirku. Biar istrinya mati melihat kami! Biar dia tahu rasa! Tiba-tiba aku terpekik, karena ia membalas dengan begitu bergairah. Kami terus berciuman, meskipun napas semakin sulit dicari.

Tiba-tiba aku tersadar sesuatu. Kudorong tubuh Jung Yong Hwa. ”Keluar! Keluar sekarang! Keluar!”

Kunyalakan mobil dan kujalankan dengan kasar. Tuhan, apa yang telah kulakukan? Tubuhku masih menggeletar oleh gelora. Bibirku masih kebas oleh bekas bekapan bibirnya. Gairah dari kulit bibir yang mengelupas meracuni udara di mulutku. Aku menangis.

Bersambung…

Cupid (Chapter 6)



Hari keenam

Ketika bangun, yang kuingat pertama kali adalah tadi malam aku lupa melakukan upacara untuk Cupid! Bagaimana ini? Apakah manteranya tidak akan manjur lagi? Haruskah aku mengulang dari hari pertama lagi? Namun, ketika mencoba bangun, jutaan jarum kecil menusuki kepalaku untuk tetap tertanam di bantal. Perlahan-lahan kesadaranku datang. Sebuah lukisan matahari terbenam yang menyilaukan tampak jelas sebagai pemandangan pertama yang kulihat. Lalu, di samping tempat tidur terdapat meja kecil dengan telepon berbentuk Pluto, yang terengah-engah menatapku. Di lantainya terdapat sepotong karpet kecil cokelat muda yang empuk. Aku ada di mana?

“Selamat pagi....”

Kim Bum berdiri di kaki tempat tidur dengan segelas kopi mengepul-ngepul dengan wangi tajam. Selalu begitu dengan seringai lebarnya. Sepertinya ia telah membawaku ke apartemennya. Ketika mencoba duduk, aku terkejut ketika selimut bergambar bendera Amerika tersingkap. Aku memakai baju tidur bergaris-garis, yang sudah jelas bukan merupakan baju terakhir yang kupakai.

“Kim Bum!!!”

“Maaf, semalam bajumu basah. Jadi kuganti.”

Astaga! Kejadian semalam. Samar-sama kuingat menari di depan banyak orang. Separuh mabuk pula. Aku malu.

“Tidak usah malu, Kim So Eun. Ini, minum kopinya. Biar tidak terlalu pusing.”

Kuhirup sedikit. Rasanya pahit. Terlalu pahit malah.

“Sengaja kubuat pahit. Kalau manis, namanya bukan obat, khasiatnya tidak ada,” kata Kim Bum. Walaupun cairan itu memang sedikit membantu meredakan pening, tapi aku merasa keterangannya itu mengada-ada.

Sambil minum, aku memperhatikan kamar Kim Bum. Kamar tidur, ruang tunggu dan dapur semua dapat dilihat dari tempat tidur. Hanya ada sekat-sekat dari bahan kain dan kayu yang ringan untuk memisahkan ruang-ruangnya. Namun, cara ini membuat ruangan ini menjadi luas dan melegakan.

“Apartemenmu nyaman sekali.”

“Oh, tadi malam aku pinjam ponselmu untuk SMS ibumu. Biar beliau tidak khawatir.”

Biarpun Kim Bum punya reputasi seperti kelinci pejantan, entah kenapa aku merasa aman dan percaya padanya, walaupun telah meng¬habiskan malam hanya berdua dengannya, walaupun ia telah melihatku separuh telanjang. Aku yakin, tadi malam ia benar-benar mengurusiku, tanpa pendekatan seksual sedikitpun. Rasanya, aku seperti menemukan kembali Kim Bum yang kukenal puluhan tahun lalu. Namun, yang manakah Kim Bum yang sebenarnya?

“Kubuatkan sarapan, ya!” kata Kim Bum dari arah dapur.

Perlahan-lahan kunaikkan tubuhku agar duduk di bangku tinggi pada sebuah meja kurus panjang yang ada di depan rak piring kecil, sementara Kim Bum membungkuk pada lemari es kecil, yang ada di sudut ruang dapur. Dipilihnya beberapa bahan, sementara tangannya telah menggenggam dua butir telur.

Dengan cekatan ia merajang tomat segar dengan begitu halusnya. Lalu, diambilnya bawang bombay, lalu diiris menjadi kotak-kotak putih kecil, yang membuat aroma tajamnya berbaur dengan udara. Dibukanya bungkusan berisi jamur dan dipotong-potong memanjang, sehingga tidak kehilangan bentuknya yang menggiurkan selera.

Aroma mentega yang telah dipanaskan tercium semakin harum, ketika Kim Bum memasukkan bawang bombay dan mengaduknya. Menyusul tomat dan jamur menari-nari di penggorengan, memberikan warna-warna masakan yang menggugah. Terakhir, dipecahkannya telur pada pinggiran penggorengan dan memasukkan untuk diacak-acak. Dengan gerakan cepat dicipratinya isi pinggan itu dengan garam, merica, dan sedikit gula pasir.

Aroma dari berbagai bahan makanan tercampur sempurna, membangkitkan rasa lapar. Kim Bum membagi hasil masakannya pada dua piring, mengambil nasi dari pemanas dan menyodorkan salah satunya padaku.

Sambil makan, kami mengobrol tentang masa lalu. Aneh, sepertinya, Kim Bum kembali menjadi sahabat karibku yang dulu. Lucu sekali, kami pernah saling menjauh hanya karena memandang rendah diri secara tidak perlu pada satu sama lain. Kini kedekatan itu mulai terbangun lagi. Mata kami saling menatap hangat. Kurasakan telapak tangan Kim Bum melingkupi punggung tanganku. Ibu jarinya membelai-belai perlahan. Aku terdiam kaku. Ia hanya mengusap lembut dan samar, namun permukaan kulitku langsung terbakar panas dan seluruh saraf tubuhku turut merespon.

Bel di intercom berbunyi, membelah hening diam kami. Ia menarik tangannya. Gila! Apakah tadi aku mengharapkan lebih?

Kim Bum berjalan ke arah intercom dan berbicara pada seseorang di bawah sana. Suara penuh nada marah. Kim Bum juga menjawab dengan tidak kalah gusar. Mungkin, itu salah satu kekasih Kim Bum yang tadi malam. Entah apa yang dipertengkarkan, namun ini adalah tanda bagiku untuk segera pulang. Kim Bum menutup pembicaraan dengan tidak ramah. Disambarnya ponsel dan dompetnya.

“Kim So Eun, kau di sini saja. Aku mau pergi dulu.”

“Aku saja yang pergi.”

“Maafkan aku, Kim So Eun, sebenarnya aku berniat mengantarmu pulang. Aku juga mau ke rumah orang tuaku hari ini.”

Kim Bum sudah hendak pergi, ketika tiba-tiba berbalik. “Lucu, ya, Kim So Eun, aku senang kau ada di sini.”

Aku tidak bisa menjawab. Namun perasaanku, telah kembali ke jarum penunjuk netral. Walaupun bukan kejadian biasa, ini bukan salah satu hasil dari mantera Cupid. Dia adalah Kim Bum dan aku adalah Kim So Eun. Sekuat apa pun sihirnya, tidak akan mampu menghadirkan peristiwa teraneh dan terlucu, yaitu kami saling jatuh cinta. Kami terlalu lama menjadi teman bermain, terlalu saling mengenal, terlalu seperti kakak-adik. Lagi pula, mana bisa wanita yang sudah ingin menikah sepertiku, bisa berharap pada pria seperti Kim Bum?

Bersambung…

Selasa, 20 Desember 2011

Cupid (Chapter 5)



Hari kelima

Dua belas missed call dari Lee Seung Gi. Lima SMS permintaan maaf dengan alasan diulang-ulang. Mungkin reaksiku berlebihan. Atau, mungkin Lee Seung Gi memang keterlaluan. Tidak tahulah!

Ketika kulewati ruangan Park Shin Hye, kulihat Lee Ki Kwang sedang membereskan sesuatu di dalamnya. Kuhentikan langkah untuk memperhatikan dengan lebih cermat. Di ruangan terdapat beberapa kardus dan pajangan, yang kutahu milik Lee Ki Kwang sepenuhnya. Melihat barang-barang itu, aku tersadar, Lee Ki Kwang akhirnya berhasil menggantikan Park Shin Hye. Rasa marah itu kembali terpicu seperti peluru panas yang ingin lepas dari selongsongannya.

Menengok ke arahku, Lee Ki Kwang berucap, “Aku sedang bersema¬ngat sekali hari ini. Bagaimana kalau kupanggil Lee Min Ho Sunbae? Oh, aku kan sudah bisa memanggilnya dengan Lee Min Ho saja. Dia harus mulai belajar memanggilku Tn. Lee Ki Kwang.”

Lee Ki Kwang meraih teleponnya. Tak lama Lee Min Ho muncul, sama sekali tidak berusaha menutupi sikapnya yang malas-malasan. Masa kerjanya lebih dari 10 tahun. Kenyang sudah ia melihat semua orang baru melangkahi dirinya untuk naik ke posisi lebih tinggi.

Lee Min Ho sebenarnya karyawan yang hasil kerjanya cukup bagus. Namun, ia bisa berbalik jadi sangat tidak kooperatif, tanpa takut pada jenis atasan mana pun juga dan tanpa peduli apa pun hukuman perusahaan yang diancamkan padanya. Orang-orang di kantor sudah paham benar sifat keras kepalanya, dan memilih menghindari konflik yang tidak perlu dengannya. Jauh lebih menguntungkan untuk mengalah dan menjadi temannya, karena ia akan menjadi sangat suportif dan bersedia membantu.

Aku tersenyum, menanti kejadian yang menyenangkan. Gaya Lee Ki Kwang yang sok tahu pasti hanya akan memancing kebandelan Lee Min Ho.

“Lee Min Ho, tolong bantu bereskan ruanganku. Masukkan dokumen ke lemari, gantung pigura di dinding, dan ambilkan barang-barangku yang masih tertinggal di meja lamaku!”

Wajah Lee Min Ho langsung kelihatan kesal. Wajar saja. Kalau aku jadi dia mungkin semua barang akan kulempar saja ke luar jendela. Tiba-tiba ide pembalasan dendam melintas di kepalaku.

“Lee Min Ho pasti bersedia.” Aku mengedip ke arah Lee Min Ho.

Lee Min Ho kelihatan tidak mengerti. Aku mengangguk-angguk¬an kepala, mengisyaratkan padanya untuk menurut.

“Aku pergi dulu, ya,” kata Lee Ki Kwang, sambil melangkah.

“Kim So Eun, kau tidak menyuruhku untuk menuruti perintahnya kan?? Untuk membereskan barang-barangnya?!”

“Tenang, Sunbae. Nanti kupanggilkan OB dari lantai bawah.”

Lee Min Ho diam, mencoba meraba isi kepalaku, lalu mengendikkan bahu, menyerahkan masalah ini padaku.

Dua jam kemudian, OB telah membereskan semuanya. Aku pura-pura membawakan sebuah Flashdisk, yang sengaja kuminta untuk disisakan, agar tidak dibawa ke ruangan Lee Ki Kwang. Kalau ada yang iseng bertanya, akan kubilang bahwa pekerjaan OB tadi belum selesai, dan perlu kubantu.

Kuletakkan Flashdisk tersebut di laci meja Lee Ki Kwang. Masih Flashdisk yang sama. Hanya, sekarang semuanya tertempeli satu file berisi virus. Sebelum sampai di ruangan ini, Flashdisk tersebut telah mampir di laptop-ku, yang seluruh datanya sudah rusak termakan virus. Cepat atau lambat, Lee Ki Kwang akan menggunakan Flashdisk itu, dan dalam waktu dua atau tiga hari ia tidak akan dapat membuka file-filenya lagi. Ia hanya akan melihat tampilan hitungan statistik yang aneh, sementara virus ganas itu memakan seluruh hasil kerjanya yang tertanam di situ.

Aku tersenyum. Rasakan kau, Lee Ki Kwang. Ini balasan untuk keli¬cikanmu! Namun, hatiku tetap terasa kosong, tak ada rasa puas. Sungguh aneh! Bukankah sudah sepatutnya aku membalas? Tapi, kenapa ini berbalik membuatku merasa jadi orang terjahat? Aku menghela napas. Hidupku ternyata hanya sekumpulan kegagalan. Tidak hanya dalam pencarian pasangan, tapi juga dalam karier. Tiga puluh lima tahun, tanpa suami, tanpa kemajuan jabatan, ditambah perilaku yang semakin minus!

Ketika aku kembali ke meja dan tidak sengaja membuka laci teratasnya, kulihat ada tas kertas kecil menutupi hampir sepertiga permukaannya. Dengan terheran-heran kudapati kotak panjang seukuran telapak tangan berisi sebotol parfum, tanpa keterangan pengirim. Namun, informasi itu memang tidak perlu. Rasanya, aku bisa menebak pengirimnya. Kim Hyun Joong. Apakah ini tanda penyesalan ataukah lebih seperti yang selama ini kuharapkan?

Kuhirup wangi lembut parfum yang membawaku pada padang rerumputan yang baru ditebas dan aroma rempah yang baru ditumbuk. Kupejamkan mata, perasaanku ternyata tidak pernah terbunuh. Perhatian kecil darinya sanggup mengubur bagian memori yang merekam kenangan pahit tentangnya. Yang tinggal adalah rasa cinta yang meluap-luap, mendobrak pecah semua garis dan batas, membanjiri setiap tujuan gerak dan langkah. Yang aku ingin tahu, bagaimana Cupid akan membawanya jadi milikku.

Aku berjalan ke ruangannya. Hanya sekadar melintas. Berharap menangkap sedikit sosoknya. Biarlah itu hanya setetes air. Namun, ia tetap air. Biarpun kehausanku membutuhkannya dalam volume satu galon penuh. Tidak! Aku tidak akan sekadar melintas. Aku akan mengungkapkan perasaanku.

Namun, dari jauh kulihat sekilas bayangan seseorang telah mendahuluiku masuk. Ketika mendekati pintu masuk, apa yang kulihat membuat mataku ingin terbutakan oleh gelap. Kurasakan pisau dingin yang mengiris tengkukku dalam bentuk lingkaran. Aku terbeku oleh rasa sakit yang lebih dalam.

Aku berbalik. Mataku kabur oleh rasa marah dan kecewa yang membersitkan air mata. Terulang lagi. Selalu begitu. Kenapa? Aku kembali ke tempat dudukku, terdiam memandangi layar komputer.

Siang harinya, sebuah buket karangan bunga diantarkan OB ke tempat dudukku. Apa lagi ini? Aku sudah hampir membuangnya ke keranjang sampah, ketika sekilas kulihat ada kartu kecil tersangkut pada bagian ikatannya. Lee Seung Gi.

Aku tersenyum. Kuambil ponselku dan meneleponnya. Kami tertawa, bercanda. Ah, aku selama ini lupa, Lee Seung Gi sangat menyenangkan. Kami akan berkencan di sebuah Club yang baru buka. Pukul 9 malam kami akan bertemu di lobi.

Tepat pukul 9 malam, aku menunggu di lobi. Ponselku berdering. Telepon yang tidak kuharapkan. Pasti Lee Seung Gi membatalkan janji. Dengan menarik napas panjang, kujawab deringannya. Dia akan menyusul, dengan alasan masih ada pekerjaan. Akhirnya, aku pergi sendiri.

Sebuah kesalahan besar hanya karena mengabdi pada kesabaran. Wanita boleh saja pergi sendirian, sekalipun jaraknya melebihi tempuhan terjauh yang sanggup diarungi para petualang. Tapi, jangan pernah pergi ke Club tanpa teman! Aku baru menyadari kekeliruan itu, ketika sudah beberapa langkah masuk ke dalam ruangan remang-remang yang hingar bingar oleh musik.

Semua datang bergerombol atau masuk dengan pasangan, me¬ngumpul pada tempat-tempat duduk tertentu. Sekarang aku mau duduk di mana? Aku belum senekat dan sepercaya diri itu untuk bergabung dengan salah satu dari mereka yang tak kukenal. Tapi, aku juga tidak mungkin terus berdiri canggung seperti orang-orangan sawah di tengah ladang.

Bodohnya lagi, aku mengira bisa menunggu Lee Seung Gi, sesantai menunggu sendirian di kafe. Saat sedang kebingungan, sang pangeran penyelamat datang. Sayangnya, dia adalah pangeran penyelamat, sekaligus naga penjaga menara, yang lebih suka menggoda putri yang seharusnya dijaganya. Kim Bum.

“Kim So Eun, sendiri saja?” Seringai menyebalkan itu. “Bergabung denganku saja,” katanya, sambil menggamit lenganku.

Dihadapkan pada situasi tanpa pilihan sedikit pun, aku terpaksa mengikutinya. Namun, bergabung dengan kelompok Kim Bum, sama gerahnya dengan berdiri sendirian. Di mejanya ada dua pria dan tiga wanita berpakaian seksi. Wanita-wanita itu tampak bersaing merebut perhatian Kim Bum.

“Teman-teman, kenalkan, ini Kim So Eun.”

Semua teman Kim Bum hanya memandangku sebelah mata. Tak ada yang mengenalkan dirinya. Gerombolan yang menyebalkan.

Tiba-tiba SMS masuk. Lee Seung Gi membatalkan kencan, tapi menawarkan diri untuk menjemputku. Aku tak tahu mau marah bagaimana lagi. Lee Seung Gi, jika kau mau minta maaf, satu truk bunga mawar pun tidak akan cukup!

Cukup sudah! Kupanggil pelayan yang sudah hampir pergi dan memesan minuman. Tak lama, minuman beralkohol itu datang. Kureguk seteguk. Ini untukmu, Lee Seung Gi! Untuk semua pembatalan janjimu. Semoga sampai mati kau tidak akan menikah dengan mantan kekasihmu.

Cairan itu terasa manis, namun membakar di tenggorokan. Kuhirup lagi. Untukmu, Kim Hyun Joong. Persetan dengan semua perhatianmu itu! Rasa panas itu sudah tidak terasa, yang ada hanya ringan yang melegakan. Kuminum lagi. Untuk kalian, teman-teman Kim Bum yang menyebalkan. Semoga suatu hari nanti kalian akan tahu bahwa kalian bukan apa-apa. Dengan tak sabar kuteguk sampai habis. Untukmu, Kim Bum, karena… karena selalu menyebalkan!

Ringan melayang. Begitu nikmat, ketika perasaan yang tidak menyenangkan itu raib, seperti uap yang terbawa naik. Hanya tinggal rasa puas, walau tanpa sebab. Sesuatu di dalam diriku mendobrak keluar. Aku merasa diriku berdiri dan berjalan ke arah Kim Bum. Kuraih tangannya tanpa mempedulikan wajahnya yang tercengang. Ayolah, Kim Bum. Beranikah kau berhadapan dengan sisi liarku?

Aku melangkah mantap ke lantai dansa dan mulai meliukkan tubuh. Baru kutahu bahwa aku bisa juga bergoyang dengan cara yang demikian. Kim Bum tersenyum lebar. Aku merasa super-sensual dan super-seksi.

Kim Bum diam, lalu mendekat, memegangi bahuku.

“Kim So Eun, sudah! Kau mabuk.”

Mendadak aku merasa pusing. Perut terasa meletup-letup panas, seperti magma yang hendak mendorong keluar dari gunung berapi. Aku terhuyung, ketika Kim Bum menangkapku dan menutupi tubuhku dengan sesuatu. Kepalaku semakin berputar-putar. Aku merasa sangat lemah. Setelah itu aku tak tahu apa yang terjadi. Seperti ada jeda waktu yang hilang untuk terekam di ingatan. Tiba-tiba aku sudah duduk di kursi depan mobil Kim Bum.

Rasanya, semakin sulit untuk tetap terjaga. Sebuah lorong gelap yang nyaman terus menarikku untuk memejamkan mata. Sebelum terle¬lap yang kuingat adalah wajah Kim Bum, yang matanya tersenyum geli.

Bersambung…

Cupid (Chapter 4)



Hari keempat

Semalam, sepulang dari malam tidak menyenangkan itu, aku kembali menggeser sepasang lilin itu satu inci lebih dekat. Aku memohon lebih khusyuk. Setelahnya, tiba-tiba aku memiliki kekuatan untuk mengirim SMS luar biasa panjang untuk menjelaskan alasanku berbuat hal memalukan itu. Aku minta pengertiannya untuk memahami keinginanku untuk memulai hubungan yang lebih serius atau tidak sama sekali. Namun, aku tidak berharap Lee Seung Gi membalasnya. Tapi, setidaknya aku bisa sedikit menyelamatkan wajahku.

Cupid tidak berdiam diri. Pagi ini aku terbangun karena bunyi SMS.

“…Ya, sudah. Aku mengerti. Aku juga salah. Kuakui, aku memang masih mencintainya. Namun, semalam kau telah menciptakan malam menakjubkan. Aku sudah lama tidak merasa begitu. Bolehkah aku memintamu membukakan hari baru untukku?...”

Aku tersenyum. Kami berjanji bertemu kembali sore nanti.

Aku berguling mendekap bantal yang dingin, tapi berbau hangat. Bukan sekadar lega, dadaku mengepakkan puluhan sayap kupu-kupu berwarna-warni lepas ke langit-langit kamar. Cinta adalah keindahan terbesar di bumi. Aku ingin terus berbaring dan membiarkan setiap pori di tubuhku meresapkan seluruh rasa ini secara perlahan dalam waktu lama.

Hari ini adalah hari kerja paling panjang. Terkadang waktu tidak bisa diukur dari penjumlahan matematis berdasarkan jam, menit, dan detik. Hari ini, menunggu jarum jam menggeser tongkat pendeknya ke angka lima adalah lebih lama dari menunggu tabloid yang akan terbit minggu berikutnya. Sepanjang hari di kantor, aku begitu gelisah dan ingin menuduh seluruh mur penggerak jarum jam di dunia ini telah berkhianat memperlambat waktu.

Telepon di mejaku berdering.

“Nn. Kim So Eun, bisa ke ruangan saya sebentar.”

Suara itu. Setelah semua yang terjadi, masih sanggupkah ia memberikan suatu getaran? Aku bergegas masuk ke ruangannya. Ia sedang tertunduk menandatangani berkas-berkas yang bertumpuk di mejanya yang lebar. Dalam posisi seperti itu, aku dapat melihat rambut depannya yang jatuh dalam tataan yang menarik di atas dahinya. Jari-jari putihnya bergerak seperti pelukis menggoreskan keindahan di atas kanvas, meskipun yang ia lakukan hanya menuliskan paraf pada setiap lembaran kertas.

“Masuk!” perintahnya, tanpa mengangkat wajah.

Sambil terus bekerja ia menginstruksikan beberapa perintah dan hanya sesekali mengangkat dagu dari benaman pekerjaannya, ketika aku bertanya mengenai beberapa detail mengenai hal yang harus kukerjakan.

Aku sedang menuliskan beberapa hal yang dianggap perlu, ketika kusadar telah terjadi keheningan yang terlalu lama dan sesuatu yang berdesir, ketika tahu ia sedang menatapku.

“Ada lagi, Tn. Kim Hyun Joong?” tanyaku, mencoba seformal mungkin.

“Sudah, hanya itu. Terima kasih,“ katanya, dengan nada sejuk, sambil menggeser letak kacamatanya.

Aku menendang tumit kiriku sendiri. Keterlaluan, bagaimana mungkin gerakan sederhana seperti itu bisa membuatku terpesona? Dengan gugup aku bersiap hendak beranjak pergi, ketika ia memanggil namaku.

Terlihat ragu-ragu, lalu ia membuka laci mejanya.

“Kemarin, waktu ke Jepang, saya membeli ini,” katanya, sambil menyodorkan sebuah kotak dari beludru.

Saat kubuka, di dalamnya terlihat ada sebuah bros bergambar burung dalam posisi mengepakkan sayap dengan menjepit pita panjang berjuntai-juntai di paruhnya. Bentuknya halus dan ukirannya rapi. Matanya terbuat dari berlian terang yang tampak sepadan dengan sepuhan emas yang berkilau lembut di seluruh permukaannya. Bentuknya sederhana, namun berkelas.

Benda itu terasa dingin di telapak tanganku. Aku tak tahu mau berkata atau merasa apa.

“Sejak pertama kali melihatnya, saya langsung teringat denganmu. Burung itu langsing indah berkilau. Bermain-main dengan pita, membumbung membawa kebahagiaan. Lihat matanya yang hi¬dup itu. Maaf, saya baru memberikannya sekarang. Selama ini saya selalu ragu, apakah pantas saya memberikannya padamu. Tapi, semakin saya lihat, saya merasa, pasti bagus sekali kalau sudah disemat di dadamu. Mata kalian sama berkilaunya.”

Tahan, jangan berpikiran macam-macam, ia hanya mencoba bersikap baik. Aku berusaha agar senyumku terlihat sewajarnya. “Terima kasih, Tn. Kim. Bros ini bagus sekali.”

“Mengenai burung yang membawa kebahagiaan itu, sebenarnya itu sama dengan artimu bagi saya. Meski sesaat, kau pernah membawa kebahagiaan itu untuk saya. Sayalah yang harus berterima kasih.”

Aku diam terpaku. Kata-kata itu menyapu habis semua rasa kecewa dan benci seperti kemarau yang tidak pernah ada. Cupid, aku mencintainya. Aku masih mencintainya. Apakah kau sedang mengaturkannya untukku?

“Oh, ya, Nn. Kim So Eun. Laporannya jangan terlalu lama,” lanjutnya dengan nada biasa, sambil meraih gagang telepon, seolah tadi ia tak pernah berkata apa-apa tentang perasaannya. Lalu, perhatiannya terarah sepenuhnya pada lawan bicara di seberang sana. Sebuah pengabaian, tanda pengusiran yang halus.

Ternyata, sikap antiklimaks itu muncul lagi. Setelah membuatku mengira harapan itu ada, ternyata semua hanya kertas kosong semata. Sebenarnya dia tadi bermaksud apa? Mungkinkah aku berlebih-lebihan menangkap makna?

Perlahan aku meninggalkan ruangannya tanpa berkata-kata. Seluruh sore itu rusaklah sudah. Betapa mudahnya pria itu memasang-surutkan perasaanku. Semua emosi sudah dikurasnya habis. Tepat pukul 6 sore aku turun ke kafe dekat lobi. Namun, aku sudah kehilangan kesenangan untuk bertemu Lee Seung Gi.

Sesampai di sana, hampir semua meja telah terisi. Lee Seung Gi belum datang dan aku memilih tempat duduk di pojok. Pelayan bergegas datang mengantarkan selembar kertas menu, lalu pergi. Haruskah aku memesan sesuatu, ketika semua jenis minuman akan terasa hambar di permukaan lidah?

Suasana yang redup membuatku melamunkan hari-hari kemarin. Aku tidak pernah bermaksud jatuh cinta pada pria beristri, namun hatiku memilih perjalanan sulitnya sendiri.

“Nona, mau pesan apa?” pelayan bernama Go Ah Ra itu datang lagi.

Sudah pukul 7 lewat. Ke mana Lee Seung Gi?

“Sebentar, Nona. Teman saya belum datang juga.”

Go Ah Ra tersenyum. “Tidak apa-apa, Nona. Jika perlu sesuatu panggil saya saja. Senang sekali bisa melayani Nona.”

Rasa senang karena mendapatkan kehormatan lewat pelayanan sepersonal itu hilang sudah. Aku melamun lagi. Sudah pukul 7.20. Kafe semakin penuh oleh pengunjung lain. Mereka tertawa-tawa dan mengobrol dengan serunya, sementara aku kering kerontang dalam kesendirian. Karena merasa tidak enak melihat pengunjung lain berdesakkan, aku pindah ke meja lain yang hanya terdiri dari 2 kursi, meskipun tempatnya kurang nyaman untuk melamun.

Lee Seung Gi kau ke mana? Sampai berapa lama lagi aku harus menunggu?

“Nona mau pesan apa?”

Go Ah Ra datang lagi dan aku akan gila kalau ia kembali menanyakan hal yang sama. “Nn. Go Ah Ra, ini tip untukmu. Terima kasih, ya.”

Aku berjalan memunggungi Go Ah Ra yang semakin melongo dengan nampan di tangannya. Lee Seung Gi pasti tidak datang. Kuputuskan pulang.

Disia-siakan dua pria dalam satu hari. Yang pertama mencintai orang yang tak ingin dicintai dan yang kedua dibiarkan sendiri menunggu. Adakah wanita lain yang sudah putus asa dalam mencari pasangan sepertiku mengalami hal yang lebih sial? Sebenarnya, aku tidak mampu kecewa atas ketidakdatangan Lee Seung Gi. Ketidakpedulian Kim Hyun Joong telah menimbulkan rasa hampa yang menyedot kemampuanku untuk bisa merasakan rasa-rasa yang lain. Mungkin hati kecilku tidak berharap bertemu Lee Seung Gi dalam suasana hati seperti ini.

Sampai di rumah, baru kutahu Lee Seung Gi membatalkan janji lewat SMS. Rupanya, aku terlalu banyak melamun. Kata-kata Lee Seung Gi manis dan berbunga-bunga, namun aku sedang tak ingin peduli. Aku hanya ingin mandi air panas dan berkubang di selimutku yang hangat.

Bersambung…

Cupid (Chapter 3)



Hari paling panik sedunia.

Aku kehilangan kemampuan untuk berdandan! Entah apa yang salah, mengapa bedak dan foundation yang kupakai hari ini justru semakin memperlihatkan kerut-kerut di sudut mataku. Ketika kutebalkan, jejak kerut itu justru terlihat semakin dalam, sehingga aku harus pasrah dengan polesan tipis yang tidak menutupi kekurangan. Biasanya, aku selalu penuh percaya diri. Kini, diperlukan pertimbangan panjang untuk memutuskan apakah aku akan memakai polesan pipi atau tidak. Apakah itu akan mempersegar penampilan atau justru membuatku terlihat seperti bayi baru lahir yang tembem?

Memilih warna lipstik pun jadi ikut sulit. Kalau tidak terlalu tua, pilihan yang tersisa tampak terlalu muda, sehingga hampir tidak memberikan kesan lebih. Belum lagi saat aku teringat mataku belum terpermak.

Tiba-tiba mataku jadi setajam mikroskop untuk menangkap kekurangan dari semua koleksi bajuku. Tidak ada yang cukup bagus dan pantas. Semua menempel kaku dan semakin menonjolkan kekuranganku. Jika kupilih setelan resmi berwarna hijau tua, aku semakin terlihat tua dan suram. Jika kuambil setelan merah jambu ketat dengan rok mini dan dalaman seksi berwarna putih, aku seperti ’mengundangnya’. Akhirnya, kupakai jas dan bawahan hitam dengan kemeja putih. Formal, tapi tidak terlalu mengambil jarak. Kalau dia ingin lari, aku pun bisa ikut lari masih dengan harga diri.

Ketika kedua urusan itu selesai, masih ada urusan rambut yang belum tertata. Jika kugulung dengan pemanas sehingga menghasilkan rambut bergelombang, tentunya akan terjatuh di pundakku dengan manis. Tapi, seingatku, hasil seperti itu tidak akan bertahan sampai sore. Kalau rambut itu terjepit rapi di tengkuk, aku akan lebih mirip guru yang galak dan serius. Kepalaku mulai terasa mau pecah....

* * *

Aku sampai di kantor tanpa ada niat sedikit pun untuk bekerja. Namun, ketika melewati ruang Kim Hyun Joong, aku merasa lega luar biasa. Urusan dengan Lee Seung Gi akhirnya membuat seluruh indra mau merespon sesuai kehendakku. Kali ini, tidak ada rasa berdebar-debar, keringat dingin yang membuat mati rasa, kegugupan yang tidak perlu, atau harapan yang hanya membuat putus asa. Semua tenang, lurus dan netral. Aku tersenyum. Selamat tinggal, Kim Hyun Joong!

“Kim So Eun!”

Aduh, apa lagi ini? Tidak bolehkah aku menikmati kegembiraan ini sebentar saja? Saat mendengar suaranya, jantungku kembali tak terkendali.

“Ya, Tn. Kim.” Aku memandang matanya, mencoba bersikap biasa, namun kembali terjerembab dalam gulungan jeratnya. Bagaimana mungkin ia punya mata yang begitu membuatku nyaman? Seolah perjalanan hidup telah mengajarinya rasa pengertian yang mendalam pada semua orang.

“Hari ini kau jadi presentasi, ya. Pukul 9. Tolong panggil semua orang yang terlibat.”

“Baik, Tn. Kim.”

Tapi, aku mengerutkan kening. Presentasi apa? Ya, Tuhan, presentasi proyek yang ditinggalkan Park Shin Hye. Dua bulan lalu, ketika Choi Siwon, atasanku keluar, ia juga keluar pada waktu hampir bersamaan. Otomatis tidak ada yang melanjutkannya, sehingga beberapa minggu yang lalu aku ditunjuk untuk meneruskannya. Astaga, bagaimana aku bisa lupa? Aku memang sudah menyiapkannya sejak lama karena seharusnya sudah dipresentasikan minggu lalu. Pembatalan minggu kemarin membuatku terlalu tenang dan melupakannya. Jika sekarang harus presentasi, masih ingatkah aku tentang beberapa hal yang telah kurencanakan? Sekarang sudah pukul 8.55, tak ada waktu lagi untuk mempersiapkan diri. Ah, masa bodohlah!

Aku masih berkutat menebak kabel mana dicobloskan ke mana, ketika hampir semua orang sudah berkumpul di ruang meeting. Malangnya, aku adalah sejenis orang yang sering dimusuhi oleh semua barang hasil teknologi canggih. Semua kabel telah terpasang seperti seharusnya, namun layar proyektor tak juga memantulkan apa yang telah divisualisasikan komputer. Aku berkeringat. Lee Ki Kwang turun membantu dan dengan mudahnya semua sarana presentasi itu menuruti kehendaknya. Tapi, aku malah semakin kesal. Tidak rela rasanya bila harus berhutang budi padanya.

“Selamat pagi Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya. Terima kasih untuk waktunya.”

Rasa gugup telah membuatku hampir terengah mengucapkan sebuah basa-basi yang telah diformat baku.

“Berikut ini saya akan mempresentasikan usulan perubahan sistem Compensation & Benefit kita. Karena ini masih berupa draft, masukan dari Tuan dan Nyonya sekalian akan sangat berguna bagi kami.”

Sebuah kalimat penghalusan untuk membujuk hadirin agar memaklumi segala kekurangan. Kujabarkan beberapa ulasan tentang latar belakang yang menjadi dasar usulan-usulanku. Kupikir, apa yang telah kusiapkan sudah sangat bagus. Namun, ketika sekilas kuraba respon mereka, kutangkap sesuatu yang membuatku semakin kehilangan rasa percaya diri.

Jika pembukaan tadi berhasil membuat semua mata memandang ke arahku, kini semua orang jelas-jelas terlihat telah kehilangan minat. Jika tidak berbisik-bisik dengan orang di sampingnya, mereka sibuk dengan ponsel. Hanya Kim Hyun Joong yang masih menatap layar presentasi. Itu pun dengan kening berkerut. Aku benci melihatnya hanya diam. Tapi, siapakah diriku baginya, sehingga ia harus menolongku? Keringat dingin semakin membuyarkan kemampuanku untuk menguasai keadaan. Apakah pembukaanku terlalu panjang, sehingga kehilangan fokus? Haruskah kupotong?

“Nn. Kim So Eun, mungkin usulanmu bagus. Tapi, saya tidak menangkap apa yang sebaiknya kita lakukan,” potong Lee Ki Kwang dengan mata menyipit.

Aku ingin tidak memedulikannya. Sebelum aku menjawab, ia sudah melanjutkan. “Para hadirin, saya usulkan agar sistem kompensasi kita yang baru lebih memfokuskan untuk membedakan secara tajam antara karyawan yang berprestasi dengan yang tidak. Saya memikirkan beberapa usulan, misalnya jika karyawan yang mendapat nilai A atau B, mendapat pengurangan bunga pinjaman lebih rendah. Atau, untuk tabungan dana pensiun mereka memiliki bunga investasi yang bergerak naik-turun tergantung prestasi kerja. Dengan begitu, semua karyawan termotivasi untuk mengejar prestasi.

Aku ternganga. Itu kan memang hal-hal yang akan kuusulkan.

“Para hadirin, sebenarnya saya…,” dengan panik aku berusaha merebut perhatian lagi. Tapi, suaraku tenggelam, karena Lee Ki Kwang menukas lagi.

“Saya akan memperlihatkan sesuatu, walaupun pembedaan tersebut akan memberikan jumlah kompensasi yang jauh berbeda, antara karyawan yang berprestasi dengan yang tidak. Namun, sebenarnya, jumlah yang diberikan perusahaan tetap sama.”

Habis sudah! Semua orang sibuk memusatkan perhatian pada Lee Ki Kwang yang dengan cepat menuliskan perhitungan di papan tulis dan memberikan beberapa argumentasi. Hadirin mengangguk-angguk.

“Sebenarnya ide itu juga ada di dalam slide saya,” kukeluarkan jurus terakhir dengan putus asa, tapi tetap tidak ada yang peduli.

Aku marah luar biasa. Memang, perhitungan itu tidak ada di slide-ku. Tapi, keseluruhan pemikiran itu adalah hasil kerja kerasku. Seenaknya saja ia merebut perhatian semua orang dan mendapatkan apresiasi untuk sesuatu yang seharusnya jadi milikku.

Mereka semua berdiskusi dengan asyik, sementara aku hanya diam dan berperan sama pasifnya dengan alat proyektor. Presentasi akhirnya selesai. Lee Ki Kwang menjadi bintangnya. Sementara aku, panglima yang kalah perang, membereskan peralatan presentasi dan keluar paling akhir dari ruangan.

Aku berjalan ke meja kerjaku. Lee Ki Kwang menabrakku sampai terjatuh. Kemarin, gara-gara Lee Ki Kwang, aku menabrak Kim Hyun Joong. Sekarang, di luar segala sebab akibat yang terkait dengan hukum karma, belum cukupkah hari ini untuk dibuat sial olehnya?

“Lee Ki Kwang! Hati-hati, kalau jalan!” semburku.

“Kau yang hati-hati, kau saja jalannya tidak lihat-lihat.”

Lee Ki Kwang selalu punya jawaban menyebalkan. Ia menyodorkan tangan untuk membantuku. Aku tidak menanggapi ulurannya. Jangan beri tanganmu, beri saja seluruh tubuhmu untuk kudorong keluar dari lantai 24 ini! Jangan salahkan aku jika di kantor ini terjadi pembunuhan terencana. Ia tiba-tiba berdiri meninggalkanku. Kalau aku memang tidak menerima pertolongannya, bukan berarti kau lepas kewajiban untuk bersopan-santun dan meminta maaf!

Baek Suzy tiba-tiba sudah menyeringai di dekatku. Kuraih uluran tangannya. “Sudah dengar gosip terakhir?” tanya Baek Suzy, sambil melirik Lee Ki Kwang, yang tergesa-gesa berjalan ke ruangan Kim Hyun Joong dengan setumpuk berkas.

Aku menggeleng, sambil merapikan rokku.

“Mereka yang di atas sedang mencari-cari pengganti Park Shin Hye. Lee Ki Kwang mengincar posisi itu. Karena itu, dia benar-benar unjuk gigi di depan Tn. Kim Hyun Joong.”

Aku terkesiap. Dalam hitungan kurang dari satu detik tiba-tiba aku mendapat jawaban dari semua yang terjadi hari ini. Kutinggalkan Baek Suzy. Dengan jantung berdebar, kubuka komputerku. Kuingat, hari terakhir kubuka bahan presentasiku adalah Selasa minggu lalu, ketika memindahkannya ke dalam flash disk. Namun, kulihat tanggal terakhir file itu dibuka adalah hari Kamis minggu lalu, saat aku training keluar kantor.

Dadaku menggelegak melebihi letupan-letupan magma. Aku marah sampai tubuhku terasa dingin. Lee Ki Kwang! Kenapa aku tidak bisa menebak dari tadi. Biarpun aku memberitahu password komputer pada hampir semua orang, bukan berarti ia boleh membuka-bukanya dan mencuri ideku. Pantas saja! Tidak mungkin ia memiliki pemikiran yang sama, kecuali ia telah membaca bahan presentasiku. Selang waktu sampai hari ini telah memberinya waktu untuk memikirkan kekurangan-kekurangan presentasiku dan memolesnya, seolah-olah itu adalah ide briliannya.

Aku menggertakkan gigi. Baiklah, sekarang kau memang telah merebut kesempatanku. Baiklah, ambillah jabatan Park Shin Hye. Tapi, jangan salahkan jika suatu hari nanti aku juga akan menikammu dari belakang! Tidak hari ini, Lee Ki Kwang. Tapi, suatu hari. Lihat saja, kau akan menyesal telah berurusan denganku.

Dengan gusar aku berdiri. Tanpa sengaja tasku tersenggol jatuh, peralatan make up-ku menggelinding keluar. Melihat begitu banyaknya ‘peralatan perang’ yang kubawa, aku teringat lagi dengan sesuatu yang lebih membuatku panik. Janji dengan Lee Seung Gi. Jika saja hari ini karierku telah dibuat hancur, jangan sampai nanti sore pun sama sialnya.

Akhirnya, tepat pukul 5 sore aku menyelinap keluar kantor. Ma¬sa bodoh jika Kim Hyun Joong mencariku. Ada hal lain yang menyangkut urusan hidup dan mati. Kali ini tidak ada seorang pun yang boleh menyabotase kesempatanku, termasuk diriku sendiri. Jika aku memang kehilangan kemampuan berdandan, masih ada Moon Chae Won, Penata Rias di salon langgananku yang bisa merapikan semuanya.

Tepat pukul 6.30, dengan merasa lebih cantik aku bergerak ke kafe yang sudah kami tentukan. Tapi, semakin mendekati tempat itu, rasa panik mulai membuatku mual. Bagaimana jika dia tidak suka padaku? Dia berada entah di sudut sebelah mana. Ketika secara penampilan aku tidak memenuhi seleranya, ia langsung mengendap pergi, dan tinggallah aku di sini menunggu dan menunggu. Bagaimana pula jika ia jauh dari harapanku? Bayanganku tentangnya sudah telanjur ditempatkan terlalu tinggi, hingga hempasannya juga akan jatuh sangat dalam. Lewat telepon kemarin ia begitu sempurna, aku benar-benar tak siap jika kenyataannya jauh dari itu.

Tapi... Cupid, Engkau memang malaikat cinta. Engkau sengaja merangkai berbagai peristiwa. Begitu melihatnya, aku langsung tidak percaya dengan siapa aku membuat janji. Suatu kebetulan yang hampir tidak mungkin terjadi. Pria dengan dasi personil CN Blue! Bagaimana mungkin aku bertemu lagi dengan pria yang kutemui di lift kemarin lalu. Ia dan Lee Seung Gi adalah orang yang sama. Lihatlah di sana. Mengenakan dasi berbeda, walaupun tetap bermotif para personel CN Blue. Ia semakin tampan dengan wajah bersih dan mata bersinar. Ia menyunggingkan senyum tulusnya yang mendebarkan.

Aku dengan rela memasangkan dada untuk terpanah kembali pada kedua kalinya. Karena, Cupid, dia juga suka padaku!

“Halo,” sapanya ramah, dengan mata danau gelapnya yang gemerlap, “Kupikir, sesaat tadi kita pernah bertemu di kehidupan sebelumnya, karena wajahmu tidak asing. Ternyata, kita pernah bertemu di lift, ya?”

Aku tertawa. ”Kebetulan yang aneh, ’kan?”

“Tapi, fotomu berbeda dari aslinya. Lebih cantik aslinya.”

Aku tersipu. ”Syukurlah, yang diperlihatkan ibuku padamu bukan fotoku yang terpampang di SIM.”

Ia tertawa. Aku hampir tidak dapat melihat garis pembatas antara gigi yang satu dengan lainnya. Begitu putih rata, seperti barisan pualam persegi yang dijejer rapi. Sambil begitu, tangannya melambai memanggil pelayan, sementara matanya tidak lepas menatapku. Tidak ada sanjungan lebih tinggi.

Selama beberapa waktu kemudian kami lalu mengobrol banyak. Sungguh ajaib, bagaimana mungkin kami punya banyak persamaan, sehingga tidak ada jeda keheningan. Kami banyak tertawa. Ia mudah diajak tertawa dan pandai menimpali cerita dengan gaya yang lucu. Sempurna. Sungguh sempurna, sampai akhirnya aku iseng menanyakan sesuatu.

“Dasimu unik sekali. Apa semua bertema CN Blue?”

Seperti baru menyadarinya, ia menyentuh benda yang tergantung diantara kerah baju itu. “Ceritanya panjang. Sekitar 6 tahun lalu, saat aku resign dari perusahaan lama, mereka memberiku kenang-kenangan koleksi lengkap CD CN Blue. Entah mengambil kesimpulan dari mana, yang jelas mereka salah menduga bahwa aku penggemar kelompok musik itu. Kekasihku pada saat itu juga menduga hal yang sama. Lalu aku diberi hadiah berbagai merchandise CN Blue setiap kali ia menemukannya selama 2 tahun kami berpacaran. Kebetulan, yang terbanyak adalah dasi-dasi ini. Aku tidak pernah tega untuk memberitahukan hal yang sebenarnya.”

Memang, kita harus curiga jika sebuah cerita selalu diawali oleh kejadian yang terlalu sempurna. Lalu, untuk apa dia mencari-cari kekasih lain, calon istri malah! Padahal, jelas sekali bahwa ia masih mencintai wanita itu. Buktinya, meskipun sudah tidak berpacaran lagi, ia tetap mengenang wanita itu dengan memakai barang-barang pemberiannya, meski tidak menyukainya.

Kupikir, perahuku sudah hampir berlabuh. Ternyata, sedang terseret angin untuk kandas di karang tajam. Menyebalkan! Lalu apa yang ia cari sekarang? Wanita 30-an yang sudah hopeless sehingga mau melakukan apa saja?

”Kim So Eun, sebentar, ya, aku mau ke toilet dulu.”

Aku tidak menjawab. Mataku tajam memerhatikan ponsel yang ia tinggalkan di meja. Pasti inbox-nya masih berisi pesan-pesan penuh harapan dengan kekasihnya. Taruhan!

Iseng-iseng kubuka inbox-nya. Pada deret paling atas terdapat nama sender yang menggelitik “Black Widow”. Pasti ada kandungan emosi negatif, jika ia sampai menamakan pengirim itu dengan konotasi yang tidak menyenangkan. Tidak mungkin aku tidak tergoda untuk membukanya.

“…Aku tahu jalan kita sudah berbeda. Tapi, aku tetap takut jika kau akhirnya menemukan penggantiku…”

Hatiku langsung panas. Dugaanku benar. Aku tidak pernah sempat membaca kelanjutannya. Sebuah insting tanda bahaya membuatku mengangkat kepala. Lee Seung Gi sudah kembali ke meja kami dan berdiri menatapku dengan pandangan marah bercampur sinis dan merendahkan. Dengan gerakan perlahan diambilnya ponsel itu dari genggamanku. Aku terlalu kuyup untuk sekadar dikatakan tertangkap basah. Tak ada alasan apa pun yang bisa menetralisasi situasi ini. Lee Seung Gi langsung berbalik meninggalkanku, tanpa merasa perlu untuk permisi. Perahuku sudah benar-benar hancur menabrak karang sekarang.

Bersambung…

Cupid (Chapter 2)



Hari kedua

Tepat pukul 6 sore. Dengan hati berdebar-debar aku menunggu lift. Kuucapkan doa dengan khusyuk. ”Jangan sampai bertemu Jung Yong Hwa.”

Sungguh menyebalkan, mulai kemarin aku selalu ketakutan jika hendak memasuki kotak ini. Kumaki-maki setan beton yang telah menyeretnya pindah ke kantor ini. Sayang sekali, kantorku berjarak 18 lantai dari lobi. Jika tidak, aku lebih baik berkeringat naik-turun tangga daripada harus mati sakit jantung setiap kali pintu ini terbuka.

Sebuah bunyi pertanda berdenting.

”Jangan Jung Yong Hwa. Jangan Jung Yong Hwa.”

Bagai menanti tirai yang membuka pertunjukan horor, aku menatap pintu yang perlahan terbuka. Fuih! Doaku terkabul. Pria asing tak kukenal.

Dengan napas lega, aku melangkah masuk. Lift berjalan perlahan. Sebuah bau rumput bercampur rempah menarikku untuk menyadari keberadaannya. Unik sekali. Ia memakai dasi dengan motif para personel CN Blue. Pria jenis seperti apakah yang berani tampil sebeda itu? Penggemar fanatik? Penikmat hidup yang tidak takut komentar sosial? Atau, hadiah ulang tahun dari kekasih galak, yang terpaksa harus dipakai?

Aku menyeringai, tepat ketika ia memandangku. Rasa malu terpergok membungkam senyumku, tapi ia ikut menyeringai lucu, seolah memaklumi apa pikiranku. Senyumnya menguar sesegar harum tubuhnya. Kami akhirnya berdiri bersisian, tanpa saling memandang, namun tersenyum-senyum sendiri.

Tiba-tiba detak jantungku berdegup menembus dinding. Cupid, apakah ini perbuatanmu? Apa kejadian selanjutnya yang akan terjadi? Apakah lift akan macet? Sungguh mendebarkan untuk berjam-jam terjebak. Jam-jam pertama yang akan membawa kami pada obrolan yang semakin menghapus jarak. Jam-jam yang terus merangkak untuk menyadarkan dua jiwa untuk menjadi satu. Jam-jam yang memberi waktu untuk menegaskan kesatuan itu.

Lift sedikit bergoyang. Ayo, jadilah rusak! Mati! Macet! Atau, apa saja. Yang penting terjadi peristiwa yang akan kami kenang seumur hidup. Mungkin, nantinya kami akan berulang kali menceritakan setiap detail kejadian ini pada semua teman kami. Begitu berulang-ulang, sampai tidak peduli lagi, jika ada yang pernah mendengar ulangan cerita itu sampai 3 atau 4 kali. Mungkin, cerita ini juga akan terus menurun sampai anak cucu. Mungkin….

Tapi, lift baik-baik saja dan terus meluncur turun meninggalkan anganku mati di atas sana. Di lobi, pria itu melangkah keluar. Sama sekali lupa bahwa telah memanah mabuk seorang wanita oleh senyumnya. Kupandang punggungnya ketika ia melangkah pergi dari dunia harapku. Aku mencari napas pada udara yang tiba-tiba menjadi padat dan berat. Kucoba menghibur diri sendiri. Bagaimana jika bukan dia orangnya?

* * *

Dengan kesal aku sampai di rumah. Sudah lewat pukul 9 malam. Bisa dibilang, 2 hari ini tidak ada apa pun yang terjadi. Mungkin, Cupid masih sibuk mengurus cinta-cinta yang lain. Mungkin, malam ini aku harus lebih khusyuk merapalkan mantra. Mungkin, aku masih harus menunggu giliranku 13 hari lagi. Tapi, aku tetap tidak merasa terhibur, tetap kesal karena mantra yang belum manjur. Ya, ampun! Ternyata, kekesalanku harus menukik sampai ke puncaknya, ketika menemui ujung belakang mobil Kim Bum menghalangiku untuk memasukkan kendaraan ke dalam garasi.

Oke, Kim Bum. Aku tahu orang tuamu punya mobil lebih dari yang diperlukan, sehingga kendaraanmu terlalu sesak untuk diparkir di dalam halaman. Tapi, itu kan urusan kalian sendiri. Bukan berarti boleh melanggar wilayah teritoriku!

Seharusnya, aku turun dan mengetuk pintu rumahnya. Seharusnya, aku berbicara didahului dengan kata ‘maaf’, memintanya menggeser mobil. Seharusnya, aku juga mengucapkan terima kasih untuk dipenuhinya permintaan itu. Seharusnya! Namun, aku sudah puluhan kali melakukan hal itu dan setiap kali Kim Bum datang menengok orang tuanya, selalu saja terulang kejadian yang sama. Maka, untuk tetangga yang memiliki anak seperti Kim Bum, lupakan dulu semua sopan santun yang sudah ditanamkan orang tua.

Kutekan tombol klakson keras-keras. Tak ada respons. Kutekan lebih keras lagi. Belum juga ada reaksi. Kutekan lagi, berulang-ulang dengan durasi panjang, mirip suara lokomotif kereta api. Masih tak ada tanggapan juga! Aku malah mendapatkan tatapan penuh teguran dari tetangga depan rumah, yang mengintip lewat sibakan tirai jendelanya. Ketika kuputuskan untuk menggedor pintu rumahnya, tiba-tiba saja ia muncul sambil nye¬ngir menyebalkan.

“Aduh, Kim So Eun, kau ingin sekali bertemu denganku, ya. Ha…ha…ha….”

Aku melotot. “Jangan tertawa. Ini sudah kejadian kesekian kali. Tidak bisa, ya, diajak bicara baik-baik? Kalau tidak punya halaman luas, jangan sok punya mobil banyak. Tidak malu makan tanah tetangga?”

“Oh, kau cuma mau menyuruhku memundurkan mobil. Mau bicara begitu saja berbelit-belit,” seringainya dengan nada merayu, seolah aku tadi sedang malu-malu berusaha mengatakan cinta padanya.

Aku tak sanggup mengucapkan apa pun, ketika Kim Bum memajukan kendaraannya. Kemarahan sudah menghilangkan kemampuanku untuk mencari kata-kata. Mungkin, sebaiknya tadi aku menabrak mobilnya saja, lalu pura-pura tidak sengaja menyerempetnya, agar bisa berkelit dari tanggung jawab untuk mengganti. Biar mobilku ikut tergores. Rasanya itu sepadan dengan bayaran kepuasan melihat Kim Bum mengelus-elus bagian belakang mobilnya yang penyok dengan wajah memelas.

“Kalau tersenyum seperti itu, kau jadi terlihat cantik, Kim So Eun!” Ia sudah ada di samping mobilku.

Aku malu sekali tertangkap senyum-senyum sendiri. Sebelum sempat mengambil napas, Kim Bum sudah berbalik melenggang meninggalkanku dengan tangan yang masih tegang mencengkeram bulatnya setir yang terasa lembap oleh keringatku sendiri.

Tanpa kuduga, ia berbalik.

Aku terkejut. “Ada apa lagi?”

“Kalau marah-marah, kau semakin cantik! Jangan sering-sering marah, nanti aku semakin menyukaimu!”

Hah…?

Setelah kehilangan kata, sekarang aku kehilangan kemampuan untuk berpikir. Dasar! Sok paling tampan! Sok banyak yang menyukai. Tapi, kenapa aku merasa senang juga, ya? Kim So Eun, ingat, dia itu Kim Bum. Buaya berkepala empat dengan hati bercabang yang tak terhitung. Tak sulit untuk bilang cinta, karena hal termudah baginya adalah membagi-bagi hati dan perasaannya. Begitu lihainya, sehingga ia tetap dapat dengan cekatan membaginya, meskipun harus diiris setipis rambut dibelah tujuh.

Kim Bum terus berjalan memasuki rumahnya dengan santai. Sewaktu kecil kami sempat jadi teman sepermainan. Terkadang bertengkar. Terkadang rukun. Tapi, itu dulu sekali. Mulai SMP, lingkup pergaulan kami jadi berbeda. Ia kehilangan minat untuk bermain denganku, aku juga terlalu minder untuk menggabungkan diri dengannya.

Kepopuleran membuatnya begitu mudah bergonta-ganti pasangan. Bukan sekadar bergonta-ganti, ia juga suka punya banyak pasangan dalam satu waktu. Ia tinggi dan tegap. Tidak terlalu tampan sebenarnya. Namun, ia dikaruniai daya tarik yang turun langsung dari langit. Sekali melihatnya, kaum hawa biasanya tak kuasa untuk melirik, mengerling, dan mencuri-curi pandang lagi, mencari-cari apa sebenarnya yang menarik. Bahkan, dalam keramaian sesesak apa pun, ketika kepadatan seharusnya mengaburkan fokus pada satu sosok, pesonanya tetap mampu membuatnya sebagai figur paling bersinar untuk menjadi pusat semua pandangan.

Yang paling jelek, Kim Bum menyadari kelebihan itu dan memanfaatkannya untuk mendapatkan siapa pun, tanpa perlu banyak berusaha. Kabarnya, sampai sekarang pun ia masih begitu. Kuduga, dari kariernya yang terus meroket, permainannya dalam menggaet banyak wanita pasti lebih fantastis lagi.

Aku mengeluh. Kalau bukan berstatus lajang, pria-pria yang tersedia hanyalah pria semacam Lee Ki Kwang dan Kim Bum. Tidak heran jika aku sulit mendapat jodoh. Dunia ini isinya cuma pria-pria menyebalkan!

* * *

Ketika membuka pintu, Ibu sudah berdiri di depanku. Di tangannya tergenggam sebuah kartu kecil. Sebelum aku sempat bertanya, ia sudah menyemprotku terlebih dahulu.

“Kim So Eun, kau tidak malu sudah besar masih bertengkar seperti itu? Yang sabar, Kim So Eun. Anak sebaik Kim Bum, kenapa kau galaki seperti itu. Dia itu anak berbakti, begitu rajin menengok orang tuanya. Ibunya bilang, dia sekarang sudah jadi vice president? Lalu, dia baru saja pindah lagi ke apartemen elite. Masih muda sudah sehebat itu, ya?”

Tampaknya Ibu lupa bahwa Kim Bum sebenarnya seumur denganku. Masih muda, katanya? Seingatku, semua nasihat Ibu untukku selalu didahului dengan kata ‘kau sudah berumur’ sebagai penghalusan dari kata ‘sudah tua’.

“Aduh Ibu, itu kan biasa saja. Ibu pegang kartu apa?” tanyaku, mencoba mengalihkan.

“Wah, Ibu sampai lupa. Ada anak teman Ibu yang sedang mencari jodoh juga. Ibu sempat dikenalkan. Dia pria yang tampan. Ibu perlihatkan fotomu dan sepertinya dia berminat. Jadi, Ibu beri nomor ponselmu padanya. Tidak apa-apa kan? Ini kartu namanya.”

Biasanya, aku langsung menolak siapa pun yang ditawarkan Ibu dan marah jika ia telah melakukan inisiatif sejauh itu. Pria yang sampai memerlukan bantuan ibunya untuk mencari jodoh, biasanya aneh. Sempat sekitar 3 atau 4 kali aku mengikuti perjodohan yang diatur oleh para ibu itu. Semua langsung tidak lolos seleksi pada 10 menit pertama. Mereka terdiri dari dua jenis… yang hanya bisa berbicara seputar diri sendiri dan pria yang tidak tahu mau bicara apa. Membosankan!

Tapi, kali ini adalah pengecualian dari yang kemarin-kemarin. Sekarang aku mau mempertimbangkannya. Selain kartu namanya juga mengesankan, kupikir mungkin ini adalah jalan yang ditunjukkan Cupid.
Malamnya, ponselku berdering.

“Halo, apa ini Kim So Eun?”

Suaranya sopan dan tenang. Permulaan bagus.

“Ya, benar. Ini siapa?” tanyaku, berpura-pura.

“Aku Lee Seung Gi. Tadi ibuku mengenalkanku pada ibumu dan ia memberi nomor ponselmu. Kau tahu kan ibu-ibu itu. Aku rasa, kau juga sering kesal dengan segala perjodohan ini. Tapi, tidak tahu kenapa, ketika melihat fotomu, kupikir tidak ada salahnya mencoba. Ini pun kalau kau setuju!”

Pandai berkata-kata dan jujur. Mengesankan.

Aku tertawa kecil. “Oh, begitu. Tapi, ini tidak adil. Aku sama sekali belum melihat fotomu.”

“Kupikir, kalau sekadar foto, aku bisa mengirimimu foto-foto model tampan yang bisa dengan mudah kucari di internet. Bagaimana kalau kau melihat aslinya saja? Besok pukul 7.00 malam di Red Cafe?”

Wah, langkah jitu.

“Baiklah. Kau bisa mengenaliku, ’kan?”

“Sepertinya, bisa. Aku akan pakai kemeja putih bergaris dan celana gelap. Aku tunggu, ya!”

Ugh, itu bukan tanda-tanda yang mencolok. Hampir semua pria mengenakan pakaian semacam itu. Tiba-tiba aku disergap rasa panik. Bagaimana jika ia sengaja memilih baju itu agar bisa cepat menyelinap tanpa ketahuan, jika tidak tertarik melihat penampilanku sebenarnya?

Bersambung…
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...