Silahkan Mencari!!!
I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
Jumat, 15 Juli 2011
Jodoh Sempurna (Chapter 2)
Ruang tamu dan keseluruhan rumah Kim So Eun sebetulnya kecil. Namun, Kim Bum merasa, calon istrinya ternyata pintar memilih perabot-an. Walaupun perabotan yang mendominasi rumahnya dari kayu jati, dengan pemilihan ukuran yang tepat, perabotan tersebut tak terkesan berat. Bahkan, sangat cantik ketika dipadukan dengan hiasan topeng, lukisan kaca, dan beberapa benda etnik lainnya. Sebagai pengusaha furniture, dia tahu kualitas suatu barang dengan satu kali lihat. Dari hasil pengamatannya, calon istrinya punya cita rasa seni yang tak bisa diabaikan, juga dalam ketelitian pemilihan bahan.
“Itu bukan sesuatu yang patut dibanggakan. Aku, toh, menirunya dari majalah interior, lalu mencari barang-barang sejenis di toko ba¬rang antik, dan menatanya persis seperti di majalah itu,” jawab Kim So Eun ketus, sambil menata minuman di meja.
Kim Bum terlihat kaget dengan keketusan Kim So Eun. Seingatnya, gadis yang diajaknya mengobrol dulu adalah seorang yang ramah, sangat menyenangkan untuk diajak bicara. Bukan gadis ketus seperti ini. Apa karena perjodohan ini? Kemudian, dia tersenyum. Ingin diketahuinya langkah Kim So Eun selanjutnya.
“Silakan diminum. Kamarmu yang di depan itu. Tapi, kamarmu tak ada kamar mandinya. Kalau mau ke kamar mandi, kau harus ke kamar mandi itu,” tunjuk Kim So Eun. Kim Bum mengangguk.
Kim So Eun kemudian kembali ke belakang, sambil membawa nampan. Ibunya mencegat Kim So Eun dan mengusirnya agar dia kembali ke ruang tamu. “Ayo, sana, temani Kim Bum. Masa dia ditinggal sendiri.”
“Kan nanti ada Ayah. Aku mau ke kamar mandi dulu.”
“Ayahmu sedang istirahat di kamar. Sudah, jangan banyak alasan,” kata ibunya, yang langsung mendorong Kim So Eun ke ruang tamu. Rupanya, ibunya tahu bahwa Kim So Eun berbohong.
Kim So Eun melihat Kim Bum sedang mengamati lukisan yang ada di depannya. Namun, ketika diketahuinya Kim So Eun datang menghampiri, Kim Bum menengok sambil menyunggingkan senyuman. Melihat senyuman Kim Bum, Kim So Eun jadi tambah kesal. (kenapa hrs kesal Kim So Eun, menurutku senyum Kim Bum adalah senyum terindah di muka bumi ini. Setuju??? Harus setuju!!! Author maksa ) Dia seolah diejek oleh Kim Bum. Jangan merasa puas dan lega dulu. Kau kira aku mau saja digiring ke gereja untuk mengucap janji suci bersamamu, ujarnya dalam hati.
“Apakah aku nanti bisa bicara empat mata denganmu?” tanyanya sengit, walau masih dengan nada berbisik, takut didengar ibunya.
Melihat nada sengit yang dilontarkan, Kim Bum kembali tersenyum. “Rupanya, kau tak mau buang-buang waktu, ya? Boleh. Kapan saja aku siap. Kalau ingin bicara berdua tanpa gangguan, lebih baik kita bicara di luar saja.”
“Baiklah, bagaimana kalau sesudah makan siang?” tanya Kim So Eun tak sabar, melihat Kim Bum terus tersenyum-senyum begitu. (Bayangkan sendiri betapa indahx senyum Kim Bum…Author ngecess…)
“Baiklah,” jawab Kim Bum, masih ramah.
“Kenapa kau mau saja disuruh meminangku?” tanya Kim So Eun langsung, ketika kendaraan yang mereka tumpangi sudah berjalan, dan bayangan kedua orang tuanya sudah tak kelihatan.
Sebelum menjawab, Kim Bum meliriknya. “Tak ada yang memaksaku. Aku bersedia sendiri tanpa ada paksaan dari siapa pun.”
“Tapi, kenapa?” tanya Kim So Eun penasaran.
“Kenapa? Apakah kau merasa dirimu tak layak untuk dipinang orang?” Kim Bum balik bertanya.
“Bukan itu yang kumaksud. Kita bahkan tidak saling mengenal. Kenapa, kau mau-maunya disuruh meminangku?”
“Kita sudah kenal. Kakakku pernah kos di rumah milik kedua orang tua-mu ketika dia jadi murid ayahmu. Saat itu aku sering datang berkunjung bersama ibuku. Bahkan, sering bermain bersamamu. Mungkin, kau lupa. Selain itu, baru-baru ini juga, saat Ibumu pulang dari rumah sakit, aku datang ke rumahmu. Bahkan, aku sempat mengobrol banyak denganmu.”
“Mana aku ingat, aku bertemu siapa saja di masa kecil. Juga saat ibuku pulang dari Rumah sakit. Saat itu tamu yang datang sangat banyak dan silih berganti. Otakku bukan komputer, yang mampu merekam semua orang yang datang,” sembur Kim So Eun kesal. “Baiklah, ketika kau datang menengok ibuku, apakah kau sudah tahu kalau kau dijodohkan denganku?” kejarnya lagi.
“Tidak. Aku tahu bahwa kita dijodohkan baru-baru ini.”
“Lantas, kau begitu saja setuju?” tanya Kim So Eun tak mengerti.
“Kenapa tidak? Apakah kau memandang rendah dirimu? Apakah kau merasa tidak layak dinilai tinggi oleh seorang lelaki?”
“Jangan kau kira aku akan tersanjung dengan jawaban yang kau berikan! Itu omong kosong! Aku tak percaya, di masa sekarang ini ada yang mau begitu saja menerima perjodohan yang diatur orang tua. Pasti ada alasan lain. Coba katakan alasanmu!” serunya, tak sabar.
“Eh, apa salahnya? Ingatlah, jodoh dan kematian tetap merupakan misteri Tuhan. Apakah tak pernah tebersit di pikiranmu kalau bisa saja lewat jalan ini kita berjodoh? Mungkin memang Tuhan menggariskan kita berjodoh lewat campur tangan orang tua.”
“Kau, toh, belum mengenalku dalam arti sebenarnya. Siapa diriku, bagaimana kebiasaanku, bagaimana karakterku, apakah aku ini cocok denganmu atau tidak. Sebaliknya, aku juga sama sekali tak tahu apa-apa tentang dirimu,” ujar Kim So Eun, mencoba bersabar.
“Kita kan tidak akan menikah hari ini juga. Orang tua kita memberi waktu untuk saling mengenal. Aku siap membuka diri. Kuharap, dirimu juga demikian. Kita bisa saling mengenal lebih dalam lagi tentang diri kita masing-masing.”
“Tak ada gunanya pengenalan lebih jauh. Kita akhiri omong kosong ini sekian saja. Aku tak ingin menikah!” seru Kim So Eun, kesal.
“Karena aku tak memenuhi kriteriamu?”
“Baik denganmu atau orang lain!”
“Jangan sedramatis begitu. Bila memang Tuhan menghendaki kau menikah, kau tak akan bisa menolaknya. Sekuat apa pun kau mencegahnya.”
“Kalau memang Tuhan menghendaki aku menikah, kenapa bukan sejak dulu aku menikah? Mungkin, memang Tuhan menghendaki aku tak mempunyai jodoh. Siapa yang menjamin bahwa jalan inilah yang dikehendaki Tuhan bagiku untuk mendapatkan jodoh?”
“Siapa juga yang bisa menjamin bahwa takdirmu memang tak berjodoh? Bisa saja takdirmu memang baru berjodoh kali ini,” balik Kim Bum, tak mau kalah.
Kim So Eun melirik Kim Bum dengan sengit. Dilihatnya sinar keras kepala terpancar dengan kuat di wajah Kim Bum. Berdebat begini terus, tak akan ada habisnya, pikir Kim So Eun. Aku harus mengubah strategi. “Kita masuk ke restoran itu saja. Makanannya enak dan suasananya sangat nyaman. Kita bisa mengobrol di sana dengan tenang,” ujarnya, kala melewati sebuah restoran yang biasa dikunjunginya.
“Baiklah,” sahut Kim Bum, sambil membelokkan mobilnya.
“Kau ingin tahu siapa aku sebenarnya?” ujar Kim So Eun, tanpa membuang waktu, setelah mereka berdua memilih tempat duduk yang jauh dari pengunjung lainnya. “Aku anak keempat dari ayah-ibuku, kukira itu kau sudah tahu. Aku dulu bekerja sebagai wartawan di sebuah majalah wanita. Kini, aku tak lagi terikat dalam suatu majalah, tapi bekerja sebagai freelancer di berbagai majalah.” Selanjutnya, Kim So Eun pun menceritakan tentang kejelekannya. Semua yang negatif perihal dirinya dia kemukakan. Bahkan, yang sebetulnya tak terlalu jelek, dia buat seperti terdengar jelek. Dia harap, Kim Bum mundur mendengar sifat buruknya.
Kim Bum mendengarkan dalam diam. Tak ada satu pun komentar yang dilontarkannya, selama Kim So Eun menceritakan sisi negatif dirinya. Dia malah asyik memerhatikan wajah Kim So Eun. Wajah Kim So Eun yang menurutnya sangat cantik tak bisa dipungkiri (Author setuju). Tapi, ada sesuatu yang lain juga di wajah ini. Ada kesan puas diri. Seolah, apa yang dicarinya di dunia ini telah diperolehnya dan dinikmatinya dengan puas. Tak ada kesan gelisah dan mencari-cari, seperti yang dijumpainya pada wanita-wanita yang lebih muda.
Mata Kim So Eun juga menunjukkan dirinya. Matanya sebenarnya sangat lembut. Tapi, kali ini mata itu sedang tak ingin berlembut-lembut padanya. Justru, sinar yang terpancar di sana sangat tegas. Namun, sinar kelembutan tersebut tak berhasil disembunyikan pemiliknya, terutama kalau bukan Kim Bum yang sedang jadi objek pandangnya. Ketika pelayan datang menyuguhkan minuman, misalnya, sambil mengucapkan terima kasih, sinar mata Kim So Eun melembut dengan otomatis. Namun, saat pandangannya beralih ke dirinya, sinar mata itu berubah tegas kembali. Sangat menarik, batin Kim Bum.
“Terima kasih telah memercayakan semua rahasiamu padaku,” sindir Kim Bum, setelah Kim So Eun menyudahi penjelasannya.
“Tak sesuai dengan bayanganmu semula, ‘kan?” ejek Kim So Eun.
Kim Bum hanya menanggapinya dengan senyuman. Dia pun lantas menceritakan siapa dirinya. Tak seperti Kim So Eun yang sengaja hanya menampilkan sisi buruknya, Kim Bum menceritakan semua perihal dirinya. “Nah, karena kita telah saling membuka diri, kurasa tak ada lagi kata tak saling mengenal, bukan? Yang kita perlukan selanjutnya adalah berusaha lebih akrab, sebelum kita melangkah ke pernikahan,” tandas Kim Bum, akhirnya.
“Aduh, perkawinan lagi…. Jadi, kau tetap ingin meneruskan perjodohan ini, setelah kau mengetahui tentang diriku?” seru Kim So Eun, tak percaya.
“Jangan dikira aku tak menangkap maksud yang tersirat di balik semua penjelasanmu itu. Kau sengaja tak menampilkan sisi positif dirimu, bukan?” ujarnya, sambil tersenyum. Walau dia mencoba menyembunyikannya, Kim So Eun menangkap nada geli di suaranya. Lemaslah kakinya. Ternyata, Kim Bum tak bisa dibodohi.
“Meski begitu, sudah terlihat dengan jelas bahwa kita sangat berbeda. Kita tak akan cocok. Buat apa diteruskan ke tahap pendekatan segala. Kita sudahi sampai di sini saja. Kita tak perlu buang-buang waktu dan energi lagi. Aku yakin, kehidupanmu pun sudah cukup sibuk, tanpa perlu memikirkan diriku.”
Kim Bum mengerutkan kening, mendengar penolakan Kim So Eun yang terus-menerus. Tak urung hatinya agak panas juga mendapat penolakan begitu. “Jangan khawatir, akan kuluangkan waktu yang banyak untuk mengenal dirimu,” jawabnya, tak mau kalah.
“Sebenarnya, ada apa denganmu? Kenapa kau ngotot mau menikahi wanita yang jelas-jelas tak mencintaimu, yang aku yakin, tak kau cintai pula. Wanita yang masih asing bagimu. Kalau begitu, kenapa tidak kau nikahi saja semua perempuan yang lewat di depan rumahmu?”
“Perumpamaan itu sangat kasar diucapkan oleh seorang berpendidikan sepertimu. Tentang cinta, cinta, toh, bisa tumbuh setelah kita menikah nanti. Lihatlah orang tua kita dulu, tanpa didahului saling mencintai, buktinya mereka bisa langgeng dalam perjodohan. Semuanya bisa terjadi, asalkan masing-masing mau menerima dan belajar mencintai pasangannya.”
“Kau kira hal itu masih mungkin terjadi di zaman sekarang ini?”
“Apanya yang tidak mungkin? Tuhan bisa membuat segalanya bisa terjadi, jika memang dia menghendakinya. Kau harus ingat itu. Kita tak pernah tahu apa yang dikehendaki Tuhan terhadap diri kita di masa datang. Jadi, kenapa kita harus bersikap antipati dengan usulan perjodohan orang tua kita. Siapa tahu ada hikmahnya. Toh, mereka tak menyuruh kita langsung menikah. Mereka memberi kesempatan kita untuk saling mengenal lebih jauh. Kukira, mereka juga tak akan menutup mata, kalau hasilnya nanti tak seperti yang diinginkan. Setidaknya, kita telah berusaha sebaik mungkin.”
“Kau tak mengerti juga, ya? Aku tidak mau menikah denganmu! Kau dengar? Carilah wanita lain yang mau. Kurasa, dengan penampilanmu, juga kekayaanmu, akan banyak wanita yang bersedia menikah denganmu dengan mudah,” sembur Kim So Eun, tak sabar.
Kim Bum tampak mengeraskan rahangnya. Melihat Kim So Eun yang tetap ngotot, Kim Bum jadi kehilangan kesabarannya. “Baiklah. Pernikahan memang tak bisa dipaksakan, jika salah satu pihak tak mau. Tapi, tolong, karena prakarsa pernikahan ini datang dari orang tua masing-masing, kau kemukakan saja keberatanmu itu pada ibumu. Nanti, bagian ibuku adalah tugasku. Bagaimana?”
Bersambung…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
GiLaaaaaaaaX..Di dunia per-FF-an AQ heran soEun Makin Hari makiN Baboooooo..(Dikeroyok para angeL!!)..
BalasHapusAQ jd malaH ikud emosi de Belakang si Kim BUm..(Ikud masuk Restoran saya!!!haahahahah)