Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Rabu, 13 Juli 2011

Pernikahan Simulasi (Chapter 10-Tamat)



Aku terpana sesaat. Dadaku ngilu. Kupeluk Han Ga In Eonni dengan hati menggigil. Bagaimana bisa kukatakan kepadanya bahwa aku dan Kim Bum sudah sepakat untuk mengakhiri pernikahan ini secepatnya?

Sesampai di rumah, Kim Bum langsung menuju ke kamarnya.

“Kau mau kumasakkan nasi goreng, Kim Bum?”

“Nanti saja. Aku tidak lapar.”

“Kau tidak makan apa-apa dari tadi malam. Nanti kau sakit. Mau ya?”

Kim Bum mengangguk dengan mata hampa. Aku jadi semakin khawatir melihatnya.

“Tunggu di sini,” ujarku lagi. “Aku tidak akan lama.”

Ketika aku baru saja mengambil telur dari lemari es, aku mendengar suara Kim Bum di kamar mandi. Ia kutemukan membungkuk di wastafel, menangis dan muntah hampir bersamaan. Untuk sesaat kepanikan melumpuhkanku dan aku hanya bisa terpaku di ambang pintu, tak pasti apa yang harus kulakukan. Insting pertamaku adalah lari keluar mencari bantuan. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan Kim Bum dalam keadaan seperti itu.

Kuhampiri Kim Bum dengan ragu. Perlahan kuelus punggungnya dan sentuhanku agaknya sedikit menenangkannya, dan lambat laun isaknya mereda. Ini membuatku lebih yakin dengan apa yang harus kulakukan selanjutnya. Kupijat tengkuknya dan kuseka keringat di dahinya. Tapi tiba-tiba saja ia terkulai lemas, dan kalau aku tidak segera meraihnya ke dalam pelukanku, ia pasti akan terpuruk ke lantai. Pelan-pelan kupapah ia ke kamar dan kubaringkan di ranjang. Kubuka kemejanya yang basah dan kuselimuti badannya yang menggigil.

“Maaf, Kim So Eun,” bisiknya. “Aku tidak bisa menangis di depan kakak-kakakku. Mereka ….”

“Aku tahu. Tidak apa-apa,” tanganku masih gemetar saat aku mengelus rambutnya. “Aku buatkan teh panas, nanti kau minum, ya.”

Ia mengangguk dan aku beranjak meninggalkannya. Ketika aku kembali, ia kelihatan agak lebih baik. Dihirupnya sedikit teh yang kubawa. Wajahnya tidak lagi pucat setelah itu. Ketika aku merapikan kembali selimutnya, ia memegang tanganku.

“Terima kasih.”

“Kau pernah melakukan lebih dari ini untukku.”

“Bukan untuk tehnya. Untuk tidak memberiku pernapasan buatan,” ia tersenyum nakal.

“Oh, kau ini!” aku ikut tersenyum, lega.

“Dan untuk menikah denganku,” lanjut Kim Bum kemudian, ekspresinya begitu serius. “Setidak-tidaknya sebelum meninggal, Ibu bisa tenang karena mengira aku sudah beristri.”

Aku tertegun sesaat. Suaraku goyah dan terbata saat aku bicara, “Aku yang harus berterima kasih kepadamu.”

“Untuk apa?”

“Untuk setahun yang kau lewati denganku. Untuk kesabaranmu. Pengorbananmu.”

Kim Bum tersenyum kecil. “Aku tidak melakukan apapun yang tidak kusukai. Ini setahun yang sangat menyenangkan untukku. Seharusnya aku yang berterima kasih.”

“Jangan memaksa,” aku mencoba bercanda. “Aku yang harus berterima kasih. Mengalahlah sedikit.”

Kim Bum tersenyum dan mencubit hidungku. Tangannya tidak sedingin tadi dan itu melenyapkan sisa-sisa kekhawatiranku.

“Aku masih tidak mengerti kenapa kau akhirnya mau terlibat dengan ide gilaku ini,” katanya.

“Entahlah, Kim Bum,” aku tertawa kecil. “Mungkin aku sudah sangat capek berkilah setiap kali ibuku merongrong soal perkawinan. Dan aku melihat usulmu itu sebagai jawaban yang paling jitu untuk menyelesaikan dua masalah sekaligus, keenggananku untuk menikah, karena tidak ada calon yang pas dan keinginan ibuku yang menggebu-gebu untuk segera melihatku menikah.”

“Apa yang kau dapat setelah setahun kita menikah?” tanyanya dengan mimik lebih serius.

Aku terdiam sejenak. “Banyak,” jawabku akhirnya. “Aku belajar bahwa aku tidak menikah dengan malaikat atau monster, tapi dengan manusia, yang punya kekurangan yang harus kumaafkan dan keistimewaan yang tidak bisa kuabaikan. Aku belajar bahwa dalam pernikahan, bila kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan tidak selalu berarti kekalahan, tapi boleh jadi suatu kemenangan bersama.”

Aku ingin menambahkan bahwa pernikahan membutuhkan cinta dan kesetiaan seperti gurun memerlukan air, tapi aku tidak punya nyali untuk menyatakan semua itu.

“Kau memang selalu pintar bicara,” Kim Bum tersenyum.

“Kau sendiri? Apa yang kau pelajari selama ini?”

“Hanya satu. Hidupku mungkin tidak akan pernah sebahagia ini lagi setelah kau pergi.”

Aku tertegun. “Apa maksudmu?”

Kim Bum bangkit dan duduk mencangkung menatapku. “Tahun ini adalah saat paling bahagia dalam hidupku. Setiap aku bangun pagi dan mendengar suaramu, aku jadi berpikir aku adalah laki-laki paling bahagia di dunia ini. Dan setiap malam waktu aku pulang dan kau tersenyum menyambutku, aku merasa aku jadi manusia paling beruntung di seluruh jagad raya. Aku jadi sangat terbiasa dengan kehadiranmu bahkan mulai berharap kau akan bersamaku terus, walaupun harapan itu, aku tahu, konyol. Tapi kalau kau mencintai seseorang seperti aku mencintaimu, kau akan kehilangan akal sehat.”

Kutatap wajah Kim Bum lekat-lekat. Ia tidak kelihatan sedang bercanda. Ia tampak sangat tenang dan serius.

“Aku masih belum mengerti,” bisikku.

“Pernikahan ini tidak pernah hanya sebuah simulasi untukku, Kim So Eun. Ini adalah pernikahan sesungguhnya untukku.”

“Apa maksudmu kau mencintaiku?” suaraku tercekik.

“Apa yang tidak kau pahami? Aku mencintaimu,” kata-kata Kim Bum begitu lugas, menghantamku seperti sebuah pukulan keras yang membuatku terempas. “Aku mencintaimu sejak kau memarahiku karena nyaris melindas kelincimu, dua puluh tahun yang lalu, waktu kita masih sama-sama belasan tahun. Dan aku tidak pernah bisa berhenti mencintaimu hingga kini.”

“Kau … kau tidak pernah ….”

“Kau tidak pernah memberiku kesempatan. Kau selalu sedang jatuh cinta dengan orang lain atau patah hati karena orang lain, dan kau selalu datang kepadaku menceritakan semuanya. Aku tahu aku bukan lelaki idamanmu. Aku tidak bisa menggambar atau melukis. Tidak menulis puisi. Kalau kau bilang sebuah lukisan itu bagus, aku tidak mengerti kenapa. Aku bukan jago pidato dan calon ketua OSIS yang kau gilai di SMA. Aku bukan aktivis kampus yang membuatmu mabuk kepayang waktu kuliah dulu. Aku terlalu biasa-biasa saja. Aku tahu ini sangat menyedihkan, memalukan dan aku benci kau kasihani. Tapi selama ini aku benar-benar tidak punya keberanian, belum lagi kesempatan, untuk berterus terang kepadamu.”

“Kau tidak pernah biasa-biasa saja, Kim Bum,” ujarku lirih. “Kau istimewa dengan caramu sendiri.”

Ia mengangkat bahu. “Tidak cukup untuk kau cintai.”

Sesaat aku hanya bisa terdiam, menatap kedua mata Kim Bum, mencari tanda-tanda kalau semua ini hanya salah satu dari sekian banyak permainannya. Tapi ia kelihatan sungguh-sungguh.

“Kenapa kau katakan semua ini kepadaku waktu kita akan berpisah seperti ini? Apa yang kau inginkan?” tanyaku datar.

Kim Bum tersenyum kecil. Ada kepedihan dalam senyumnya, sesuatu yang tak pernah kutemukan sebelumnya. “Aku sendiri tidak tahu kenapa aku harus mengatakan semua ini kepadamu. Aku hanya ingin kau tahu aku mencintaimu. Bukan karena aku masih berharap kau akan mencintaiku juga. Sekarang tidak ada bedanya lagi. Tapi aku ingin kau tahu kalau kau tetap memiliki cintaku, apapun yang terjadi, bahkan jika akhirnya kau benci kepadaku atau melupakanku sekalipun.”

Ia tertunduk sesaat. Ada sorot yang asing berpijar di matanya saat ia kembali menatapku. “Dan kalau kau tanya apa yang kuinginkan, aku ingin kau di sini bersamaku, seumur hidupku. Aku ingin kau belajar dan akhirnya benar-benar mencintaiku, mungkin tidak akan pernah sedalam dan separah cintaku kepadamu, tapi setidaknya kau tidak lagi menganggapku hanya sekedar sahabatmu, tapi juga kekasihmu. Aku ingin mencintaimu lebih dari yang pernah kutunjukkan.”

Ia menghela napas berat. “Tapi itu semua keinginanku. Bukan kemauanmu. Kebahagiaanku, belum tentu kebahagiaanmu juga.”

Lama kami berdua saling berpandangan.

“Terima kasih, Kim Bum,” desahku akhirnya. Kupeluk ia erat-erat, menyembunyikan air mataku di bahunya.

* * *

“Aku sudah bicara dengan Kim Bum, Ok Taecyeon. Tapi aku terpaksa menunda proses perceraian itu. Kim Bum baru saja kehilangan ibunya. Rasanya tidak pantas bicara soal perceraian saat ini.”

“Berapa lama?”

“Entahlah. Sebulan dua bulan mungkin.”

“Kau tahu waktu kita sangat terbatas, Kim So Eun. Aku tidak bisa menunda kepulanganku ke Jerman. Dan aku tidak tahu kapan aku bisa kembali ke sini lagi. Mungkin tidak dalam setahun atau dua tahun ke depan. Dan kita akan kehilangan waktu yang seharusnya bisa kita lewati berdua.”

“Aku tahu, Ok Taecyeon. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan Kim Bum sekarang. Dia membutuhkanku.”

“Aku lebih membutuhkanmu dari dia, Kim So Eun. Dan pikirkan dirimu sendiri. Apa kau tidak ingin kita bisa seterusnya bersama?”

Aku menghela napas panjang. “Entahlah, Ok Taecyeon,” bisikku.

“Apa maksudmu?” suara Ok Taecyeon terdengar kaget.

“Aku …. Aku tidak akan bahagia kalau Kim Bum menderita.”

“Kim So Eun! Kau tidak …. Dengar, pikir baik-baik. Menurutmu, kalau kau tersiksa hidup dengannya, ia akan bahagia?”

“Aku tidak merasa menderita menjadi istrinya.”

“Tapi kau tidak bahagia!”

“Aku bahagia, Ok Taecyeon. Mungkin tidak seperti saat aku bersamamu. Tapi Kim Bum membuatku bahagia.”

“Kau tidak bisa melakukan ini, Kim So Eun. Kau hanya kasihan kepadanya. Sebentar lagi kau akan berubah pikiran dan saat itu kau akan menyesal karena membuang kesempatan ini.”

“Aku bisa belajar memaafkan diriku sendiri.”

“Kim So Eun, kau tidak mencintainya!”

“Ia mencintaiku. Itu lebih dari cukup.”

“Kau hanya bingung, Kim So Eun. Aku mengerti. Tapi apa kau lupa kalau aku sangat mencintaimu?”

“Aku tidak akan pernah lupa, Ok Taecyeon.”

“Lantas apa yang membuatmu berubah pikiran secepat ini?”

“Kim Bum mengajariku tentang cinta.”

“Hanya karena itu?”

“Juga karena aku yakin, aku akan belajar mencintainya.”

“Kim So Eun ….”

“Selamat tinggal, Ok Taecyeon. Mudah-mudahan kau akan sebahagia aku nantinya, atau mungkin lebih bahagia lagi.”

Telepon kututup sebelum air mataku luruh.

“Kim So Eun.”

Aku tersentak dan berbalik seketika. Entah sudah berapa lama Kim Bum berdiri di belakangku. Wajahnya penuh tanda tanya dan ia menggeleng perlahan sambil duduk di lantai di sisi kursiku.

“Kenapa?” tanyanya.

Aku tak bisa menjawab. Air mataku menetes satu-satu dan dengan lembut ia menyeka pipiku dengan jarinya.

“Aku tak bisa melihatmu begini,” lanjutnya pelan. “Ini keputusan yang sangat konyol, Kim So Eun. Kau benar-benar akan membiarkan kesempatanmu berlalu sekali lagi?”

Aku mengangguk.

“Dia akan membuatmu sangat bahagia, Kim So Eun.”

Aku mengangguk.

“Kau akan menyesal.”

Aku mengangguk.

“Kau akan sedih, kecewa ….”

Aku mengangguk.

“Kau tidak mencintaiku.”

Aku menggeleng.

Kim Bum terbelalak.

“Kim So Eun!” pekiknya tertahan.

“Kim Bum! Kau telah mengajarkanku tentang cinta. Dan selama ini tanpa kusadari aku telah belajar mencintaimu. Dan aku rasa, mungkin aku sudah mencintaimu sekarang. Bukan mungkin! Tapi aku yakin, sangat yakin malah. Kalau aku memang benar-benar mencintaimu sekarang dan sampai maut memisahkan kita berdua.”

“Aku mencintaimu, Kim So Eun!”

“Aku juga mencintaimu, Kim Bum.”

Mereka berdua pun berciuman dengan mesra, seakan tak ada seorang pun atau apapun yang dapat memisahkan cinta mereka berdua.


Tamat
Copyright Sweety Qliquers

3 komentar:

  1. Whoaaaaaaaaaaaahhhhhh MasiH dalam Kondisi SesengguKan...AQ PEncet Caps Lock >> GUD JOB THOOOORRR....HUWAAAAAAAAAAAAA..OK BGT DAH CRITANYA.....LUP YUUUU......
    skian, tengKyu

    BalasHapus
  2. wah, maaf yah. tapi ini author copas ya? aku pernah baca sebelumnya

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...