Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Jumat, 15 Juli 2011

Jodoh Sempurna (Chapter 6)



Senja hari kala matahari sudah mulai tenggelam di peraduannya, Kim Bum sudah kembali terjaga dari istirahat siang. Saat dilihatnya lampu ruangan dalam dan teras luar masih gelap, dia tahu Kim So Eun masih terlelap. “Kasihan anak itu, pasti kecapekan sekali setelah semalaman tidak tidur.

Setelah mandi, dia pergi sebentar untuk membeli makanan untuk makan malam mereka. Dia tahu, Kim So Eun tak akan sempat memasak. Benar saja, sampai dia pulang, kamar Kim So Eun masih terlihat gelap dari luar. Berarti, Kim So Eun masih nyenyak tidur. Ketika ditunggunya beberapa jam kemudian, belum ada tanda-tanda Kim So Eun terbangun, diketuknya pintu kamar Kim So Eun.

“Kim So Eun, bangunlah. Makan dulu, nanti kau teruskan lagi tidurmu,” ujarnya. Didengarnya suara erangan Kim So Eun, lalu diam kembali. Dia mencoba membuka pintu kamar Kim So Eun. Tak terkunci. Dengan ragu dibukanya pintu tersebut. Kamar Kim So Eun gelap, tapi dari sorotan sinar yang datang dari ruang tengah terlihat bahwa Kim So Eun meringkuk kedinginan. Selimut dan bantalnya bertebaran di bawah tempat tidur, pertanda ia tidur dengan gelisah. Dengan heran Kim Bum menghampiri Kim So Eun, bermaksud membangunkan. Namun, saat tubuh Kim So Eun disentuhnya, dia kaget.

“Kim So Eun? Kau sakit? Tubuhmu panas sekali!” serunya.

“Hmm?” erang Kim So Eun, matanya tetap terpejam.

Tanpa termometer pun Kim Bum menduga, panas badan Kim So Eun sudah di atas 40 derajat Celsius. Anak ini harus segera dibawa ke dokter, batinnya.

“Kim So Eun, kita ke dokter, ya?” ujarnya, sambil membantu Kim So Eun bangun.

Kim So Eun yang mulai pulih kesadarannya mencoba mengelak. “Mau ke mana? Aku mau tidur. Tolong ambilkan selimutku, dingin.”

“Tapi, panasmu tinggi sekali. Kau harus ke dokter. Sudahlah, ayo, kubantu kau bangun,” ujar Kim Bum.

“Aku hanya butuh istirahat. Tolong, selimutku,” ujar Kim So Eun.

Kim Bum menjangkau selimut Kim So Eun yang tergeletak di bawah tempat tidur. Segera diselimutinya tubuh Kim So Eun. Namun, Kim So Eun mengerang dan mengeluh masih kedinginan. Segera dibukanya lemari pakaian Kim So Eun, mencari selimut tambahan dan kaus kaki. Setelah didapatkannya, dipakaikannya kaus kaki ke kaki Kim So Eun, lalu menambahkan selimut di atas tubuh Kim So Eun.

“Kau peluk kompres air hangat, ya?” ujar Kim Bum, lalu mengambil botol bekas sirop dan diisinya dengan air panas. Lalu, dicarinya aspirin di lemari obat. “Peluk botol ini biar hangat, Kim So Eun! Coba minum obat ini,” ujarnya.

Kim So Eun menerima botol dan obat tersebut beserta gelas minumnya, menyerahkan kembali gelas pada Kim Bum, lalu membaringkan badan sambil memeluk botol yang diberikan Kim Bum. Sebentar kemudian dia tertidur kembali. Melihat Kim So Eun tidur, Kim Bum keluar dari kamarnya. Namun, beberapa kali dia menengok Kim So Eun yang tidur gelisah karena demam. Keningnya basah oleh keringat. Kim Bum menyeka keringat di kening Kim So Eun, serta membetulkan selimutnya.

Kim Bum mengelus-elus dahi Kim So Eun, seperti yang biasa dilakukan pada anaknya, kalau anaknya sakit atau rewel tak bisa tidur. Setelah dirasakan tidur Kim So Eun nyenyak, dia menghentikan elusannya. Dia lega karena Kim So Eun bisa tidur nyenyak. Dipandanginya wajah Kim So Eun yang sedang tidur. Polos seperti bayi. Masih terbayang segala tingkah polah Kim So Eun yang seenaknya sepanjang hari kemarin. Dia menghela napas, tak mengerti dengan sikap Kim So Eun. Sebenarnya, seperti apa karakter Kim So Eun? Dia tak percaya pada sifat keras kepala yang ditunjukkan Kim So Eun selama ini. Karena, sesekali ia menangkap kelembutan di wajah gadis ini, terutama bila bukan dia yang menjadi objek pandangnya.

Dia sadar benar, gadis ini banyak akalnya. Dia masih ingat de¬ngan siasat gadis ini, yang hanya menceritakan yang buruk-buruk saja perihal dirinya. Dia tahu benar maksud sebenarnya, agar dirinya merasa takut dan mundur.

Menjelang pagi panas tubuh Kim So Eun agak berkurang dan Kim So Eun dapat tidur nyenyak dalam waktu lama. Kim Bum bernapas lega. Namun demikian, dia memutuskan untuk tidak pulang pagi itu. Dia masih khawatir akan kondisi Kim So Eun. Setelah melakukan beberapa telepon pemberitahuan dan menginstruksikan beberapa hal pada karyawannya, dia membuat sup kaldu ayam kental.

Saat dia mengantar sup ke kamar, dilihatnya Kim So Eun sudah bangun, tapi masih tergolek lemah.

Kim So Eun menatap Kim Bum dengan heran. “Jam berapa ini?”

“Sembilan. Aku buatkan sup kaldu ayam. Makan dulu, ya.”

“Kau tak pulang? Katamu, kau mau pulang hari ini?” tanya Kim So Eun.

“Tidak. Aku akan di sini sampai kau sehat,” jawab Kim Bum.

“Aku jangan kau jadikan beban.”

“Kau bukan bebanku. Sekarang, makanlah sup ini, mumpung hangat,” ujarnya, sambil mencoba menyuapi Kim So Eun. Namun, Kim So Eun menggeleng.

“Nanti aku makan. Aku mau ke kamar mandi dulu.”

Kim Bum membantu Kim So Eun bangun dari tempat tidur, tapi Kim So Eun melarangnya. “Biarkan aku lakukan sendiri,” ujarnya, sambil bangun dari tempat tidur. Karena badannya lemah, hampir saja dia jatuh. Selain itu, rasa pening yang hebat juga menghantamnya. Melihat kening Kim So Eun mengernyit kesakitan, Kim Bum pun membopong tubuh Kim So Eun ke arah kamar mandi.

Kim So Eun kaget. Namun, belum sempat memprotes, dia sudah diturunkan di dalam kamar mandi.

“Nah, sekarang lakukan apa yang mau kau lakukan. Setelah selesai, panggil aku,” ujar Kim Bum tegas, sambil menutup pintu kamar mandi. Ketika dilihatnya pintu kamar mandi terbuka dan Kim So Eun hendak keluar, disodorkannya sepasang baju ganti. “Ganti bajumu yang basah!” ujarnya, tegas.

Kim So Eun hanya menurut dan kembali masuk ke kamar mandi. Ketika dia sudah selesai dan melihat Kim Bum hendak membopongnya, dia menggeleng. “Biarkan aku berjalan,” pintanya, pelan. Kim Bum pun menurut dan menuntunnya ke tempat tidur kembali. Sesudah itu diselimutinya Kim So Eun dengan rapat.

“Nah, sekarang makanlah supmu,” ujar Kim Bum, membujuk.

“Biar aku sendiri saja,” ujar Kim So Eun.

Tapi, baru dua suapan, dia menyerah. “Aku tak kuat lagi, mual.”

“Minum teh hangat ini, biar mualmu berkurang.”

Kim So Eun menurut.

“Jam berapa dokter langgananmu ada?” tanya Kim Bum kemudian.

“Aku tak mau ke dokter. Sudah sering ini terjadi. Biasanya, dengan istirahat dan tidur, pasti akan sembuh.”

“Kalau sudah sering terjadi, kenapa tidak kau cegah sebelumnya? Jangan-jangan, kemarin kau sudah tidak sehat. Tapi, kau tetap menerima pekerjaan yang mengharuskan kau begadang semalaman,” omel Kim Bum.

“Mereka kan klienku. Kalau klienku lari ke orang lain, aku nanti dapat uang dari mana?”

“Kau harus bisa mengatur dirimu sendiri. Mereka memang klien, tapi kau juga harus tahu batas. Kalau sakit atau kelebihan order, kau harus berani melimpahkannya pada orang lain. Kau tinggal mengawasinya agar sesuai standar. Jadi, tak semuanya harus kau tangani sendiri. Akibatnya kan fatal.”

“Aku juga tahu batasku. Aku juga tak serakah untuk mengambil semua order,” jawab Kim So Eun, kesal.

“Lalu, kenapa kau kemarin rela tidak tidur untuk mengerjakan order yang datangnya mendadak tersebut? Padahal, kau tahu dirimu sudah tak sehat.”

“Aku butuh kesibukan, agar lupa akan perjodohan ini! Puas?” sentak Kim So Eun.

Kim Bum terkesiap. Sesaat dia tak bisa menjawab. Dia tak menyangka, Kim So Eun yang kelihatan tegar sebenarnya sangat rapuh. Tak urung hatinya jadi kasihan.

“Kau tahu, aku tak ingin menikah. Tapi, kau tetap memaksakan perjodohan ini. Kalau kau ingin menikah, kenapa harus melibatkan aku?” teriak Kim So Eun, ada nada isakan di dalamnya. “Seandainya keluargamu tidak punya prakarsa melamarku, orang tuaku tak akan mendesakku menikah. Mereka sudah menerima kondisiku. Mereka tak lagi mendesakku untuk menikah. Tapi, gara-gara keluargamu menyodorkan tawaran ini, mereka mulai lagi mendesakku untuk menikah. Kalau kau ingin menikah, kenapa kau tidak memilih orang lain saja untuk kau jadikan istri? Kenapa kau dan keluargamu harus memilih aku dan melibatkanku?” keluh Kim So Eun lagi.

“Tapi, kenapa? Kenapa kau tak ingin menikah?”

“Itu urusanku!”

Kim Bum kembali terdiam. Dia masih tak mengerti, kenapa Kim So Eun tak ingin menikah. Ada apa dengan gadis ini? Apakah gadis ini dingin? Sepertinya, tidak. Dia juga merasakan bahwa gadis ini tertarik padanya. Tapi, Kim So Eun sepertinya menahan diri dan tidak mau membiarkan perasaannya berkembang. Kenapa? Karena harga diri? Karena sebelumnya dia menyatakan tak bersedia menikah? Kalau sekadar harga diri, tak mungkin gadis ini sampai memikirkannya begitu dalam, hingga akhirnya sakit. Pasti ada hal lain yang melatarbelakanginya. Teka-teki ini terus menghantui pikirannya.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...