Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Rabu, 13 Juli 2011

Pernikahan Simulasi (Chapter 9)



Pilihan yang sulit… Kim Bum atau Ok Taecyeon?

"Kita tidak bisa bertemu lagi Ok Taecyeon,” ujarku kepada Ok Taecyeon di telepon. Separuh jiwaku rasanya terbang dan hilang saat kata-kata itu kuucapkan.

“Kenapa? Kim Bum melarangmu?”

“Dia tidak tahu apa-apa.”

“Kenapa kau terus memikirkan dia, Kim So Eun. Pikirkan dirimu sendiri. Apa kau sudi menghabiskan hidupmu dengan orang yang tidak kau cintai, sedangkan denganku kau bisa mendapatkan semuanya?”

Kugigit bibirku saat setetes air bergulir di pipiku.

“Kim So Eun, akuilah. Aku menemukan separuh hatiku kepadamu dan hidupmu baru akan lengkap denganku. Selama ini, aku sendirian dan kau dengan Kim Bum, hidup kita hanya mimpi, cacat, timpang. Dan kita baru akan memulai hidup, setelah kita bersama. Saat ini kau tidak punya apa-apa, Kim So Eun, tidak juga masa depan, tapi berdua, kita akan miliki segalanya ….”

“Hentikan,” potongku dengan suara bergetar.

“Kalau kau minta aku untuk berhenti berusaha mendapatkanmu lagi, kau hanya buang-buang waktu dan tenaga. Kau tahu aku tidak semudah itu disuruh mundur. Ini menyangkut sisa hidupku dan hidupmu. Tidak ada yang lebih penting dari itu dan aku tidak akan berhenti sampai kau kembali padaku.”

“Aku tidak bisa ….”

“Kenapa tidak?”

Ya, kenapa tidak. Pernikahan ini hanya sebuah permainan. Menyenangkan memang. Tapi tetap hanya sekadar sandiwara. Tapi kenapa rasanya berat sekali memutuskannya?

“Kau tidak mencintai Kim Bum, Kim So Eun. Kau berbeda dengannya, jadi bukan kesalahanmu kalau kau tidak bisa mencintainya. Satu-satunya perasaan yang layak kau simpan untuknya cuma iba, karena ia tidak akan pernah bisa mendapatkan hatimu dan ia akan selamanya menikah dengan perempuan yang mencintai lelaki lain.”

“Aku ….”

“Akuilah, Kim So Eun, kau mencintaiku. Kebersamaan kita adalah takdir.”

Kututup mikrofon dengan tanganku dan menghela napas panjang. Seluruh tubuhku rasanya terbakar dan lunglai dan dunia seperti berputar makin cepat. Kupejamkan mataku.

“Aku tidak mencintaimu,” gumamku.

“Lebih keras lagi.”

“Aku tidak mencintaimu.”

“Kau berbohong.”

Lama sekali aku terdiam sebelum akhirnya sanggup mengucapkan, ”Ya.”

“Kim So Eun,” suara Ok Taecyeon gemetar. “Aku berjanji untuk selalu membuatmu bahagia.”

Aku tahu sejak awal bahwa permainanku dengan Kim Bum akan berakhir, cepat atau lambat. Tapi hatiku tetap enggan berdamai dengan kenyataan bahwa aku harus bicara padanya tentang perpisahan. Aku sadar bahwa Kim Bum sendiri tidak berhak dan tidak mungkin menghentikanku. Bahkan, mungkin ia akan merasa lega dengan keputusanku itu, karena akhirnya ia bisa membenahi hidupnya sendiri lagi. Mustahil ia akan menolak berpisah denganku. Apalagi, aku juga tahu ia sangat menyayangiku dan ingin aku bahagia. Dan aku tahu, keputusan untuk kembali kepada Ok Taecyeon adalah yang terbaik untukku dan masa depanku, sesuatu yang pasti akan didukung oleh Kim Bum. Aku yakin keputusanku itu tidak merugikan siapa pun. Kenapa aku harus segan menyampaikannya pada Kim Bum?

Mula-mula aku berjanji kepada diriku sendiri untuk mencari waktu yang tepat. Tapi saat itu tak pernah datang. Setiap kali, aku dilanda keraguan dan akhirnya membatalkan niatku. Ok Taecyeon tidak bisa mengerti itu.

“Aku ingin kita menikah sebelum aku kembali ke Jerman, Kim So Eun. Persiapan pernikahan kita. Belum lagi kita harus memikirkan pendapat orang lain yang pasti berkomentar kalau kau menikah denganku segera setelah perceraianmu selesai diurus. Dan aku hanya di sini sepuluh bulan lagi.”

“Aku tahu. Aku juga berpikir begitu. Tapi … Entahlah.”

“Apa kau tidak yakin aku akan membuatmu bahagia?”

“Aku ….” aku tergagap dan menggeleng.

“Jadi, bicaralah dengan Kim Bum.”

Sore itu, aku pulang dengan hati berat. Aku sudah bertekad untuk bicara dengan Kim Bum malam itu juga. Aku tak akan menundanya lagi.

Begitu aku tiba di rumah, Kim Bum sudah menungguku di teras. Matanya berbinar dan wajahnya berseri saat aku mendekati teras, hingga aku jadi berpikir, ada apa sebenarnya.

“Kenapa kau sudah di rumah?” tanyaku.

Kim Bum menyilangkan telunjuknya di depan bibir dan menggandeng tanganku ke dalam rumah.

“Ada apa?”

“Sst!”

Ia membawaku ke serambi samping. Dengan bangga dikembangkannya tangannya.

Di sana ada sebuah ayunan rotan berwarna putih, cukup lebar untuk tiga orang, dengan bantal-bantal yang kelihatan sangat mengundang, berwarna hijau dengan gambar … mawar putih?

“Ini hadiah ulang tahun pertama perkawinan kita,” katanya.

Mataku beralih cepat dari ayunan rotan itu. Wajah Kim Bum benar-benar sumringah. Di matanya ada sekelumit keheranan melihat wajahku yang pasti telah berubah warna.

“Aku … aku tidak punya hadiah apa-apa,” gumamku sambil kembali menatap ayunan itu, menyembunyikan kalutku. “Aku lupa ….”

Kim Bum tertawa. “Kau bahkan tidak ingat ulang tahunmu sendiri,” katanya. Ia duduk di ayunan itu. “Ayo,” katanya sambil menarik tanganku.

Aku duduk di sampingnya, tak tahu harus mengatakan apa. Aku benar-benar tidak ingat bahwa setahun lalu hari itu, aku dan Kim Bum menikah, simulasi. Kenapa Kim Bum harus menganggap hari itu demikian istimewa sementara aku sendiri sama sekali tak mengingatnya?

Kim Bum mulai berayun-ayun pelan sambil menggenggam tanganku. Ia sedang menceritakan sebuah kejadian lucu di kantornya, tapi aku sama sekali tak mendengarkan. Di kepalaku berdenging ribuan kata-kata yang akan segera kuucapkan padanya. Aku telah berlatih dalam hati untuk mengutarakan segalanya, tegas dan jelas. Tapi sekarang, semua ketetapan hati yang telah kubangun runtuh berserpihan.

“Kim So Eun, kau tidak menyimak kata-kata Guru Ini, anak nakal,” teguran Kim Bum membuyarkan renunganku. “Ada apa?”

Kutatap matanya. “Kim Bum, Ok Taecyeon pulang.”

Dahinya berkerut. “Ok Taecyeon?”

“Mantan kekasihku yang pergi ke Jerman.”

“Oh,” ia mengangguk. “Kapan?”

“Sebulan lalu, waktu aku ulang tahun.”

Ia mengangguk lagi. Aku tak bisa mengucapkan apa-apa setelah itu.

“Dia sudah menikah?” tanya Kim Bum, seperti mendorongku bicara.

Aku menggeleng.

“Lalu?”

“Dia ingin menikah denganku,” ujarku cepat-cepat, tanpa memandang wajahnya. “Ia hanya di sini sepuluh bulan lagi. Karena itu, aku ingin kita segera bercerai.”

“Oh.”

Kim Bum tak mengatakan apapun selama beberapa saat. Pertanyaan berikutnya ia ajukan dengan ringan, seolah-olah sambil lalu, ”Kau yakin ia mencintaimu?”

Aku mengangguk.

“Kau yakin akan bahagia dengannya?”

Sekali lagi aku hanya mengangguk.

“Kalau begitu, selamat,” ketulusannya terdengar hangat. “Aku ikut bahagia.”

Kuberanikan diri untuk menatap wajahnya. Dan aku tidak menemukan setitik pun kekecewaan di sana. Rasa lega memenuhi hatiku.

Kim Bum bertanya beberapa hal tentang Ok Taecyeon dan semuanya kujawab dengan antusiasme gadis belasan tahun yang mabuk asmara. Tapi setelah beberapa waktu, aku sadar kalau ia tidak sungguh-sungguh memperhatikan ceritaku. “Kim Bum?” tegurku.

“Ya?”

“Kau tidak mendengarkan. Apa yang sedang kau pikirkan?”

“Aku sedang berpikir, gadis mana yang bisa kuajak selingkuh, supaya kau punya alasan untuk bercerai denganku.”

* * *

Malam itu aku terbangun saat Kim Bum mengguncang bahuku. “Kim So Eun, bangun!”

“Ada apa?” gumamku. Jam alarm di sisi ranjangku baru menunjukkan pukul satu dini hari.

“Ganti baju cepat, kita harus ke rumah sekarang. Ibu meninggal.”

Aku terlonjak duduk. “Apa?”

“Ganti baju,” perintah Kim Bum sambil meninggalkan kamarku.

Aku terpaku sejenak sebelum akhirnya lari mengejar. “Kapan.”

“Baru saja.”

“Di?”

“Rumah. Ganti bajumu. Kita berangkat lima menit lagi.”

“Kim Bum ….”

Ia membanting pintu kamar di depanku.

Aku kembali ke kamarku dan bergegas mengganti piyamaku dengan baju yang pantas. Ketika aku keluar, semua lampu belum menyala dan pintu depan masih tertutup. Juga pintu kamar Kim Bum. Kuketuk pintu itu perlahan.

“Kim Bum, aku sudah siap.”

Tidak ada jawaban.

Aku menyelinap masuk. Kamar Kim Bum gelap, tapi dengan cahaya samar lampu taman aku bisa melihatnya meringkuk di sudut, wajahnya tersembunyi di balik kedua tangannya. Ia menepis tanganku, bahkan mendorongku terjungkal saat aku menyentuh bahunya. Tapi ketika untuk ketiga kalinya kuulurkan tanganku, ia tidak lagi menghindar, dan dalam rangkulanku ia menangis.

Hanya saat itu Kim Bum tidak bisa mengontrol emosinya. Setelah itu ia kembali menjadi Kim Bum yang rasional dan berkepala dingin, yang mengurus pemakaman, menerima para tamu dan menghibur keempat kakak perempuannya dengan ketenangan yang nyaris mengerikan.

Sore harinya, saat aku tengah membantu merapikan kembali ruang tamu, kakak tertua Kim Bum, Han Ga In Eonni, menghampiriku.

“Kim So Eun, bawa Kim Bum pulang.”

“Apa tidak sebaiknya dia di sini dulu, Eonni?”

Han Ga In Eonni menggeleng. “Coba lihat sendiri,” katanya sambil menunjuk ke halaman belakang.

Kim Bum kutemukan di sana, sedang mengisap sebatang rokok. Ia sudah tujuh belas tahun berhenti merokok dan melihatnya kembali pada kebiasaan itu membuatku sadar ia sedang bergelut dengan kepedihan yang lebih dalam dari yang ditunjukkannya. Ketika aku mendekat, kulihat asbak di sampingnya telah penuh dengan puntung rokok dan kotak di atas meja tinggal berisi sebatang.

Kucabut rokok itu dari antara jemarinya dan kubunuh di asbak. Kim Bum tidak memprotes, ia bahkan tidak menatapku. Aku sadar Han Ga In Eonni memang benar. Aku harus segera membawa Kim Bum jauh-jauh dari semua kenangan tentang ibunya.

“Aku mau pulang, Kim Bum,” ujarku sambil memegang tangannya.

Ia menggeleng pelan. “Aku akan menginap di sini. Kau pulanglah sendiri. Besok aku pulang naik bus saja.”

“Aku tidak mau sendirian di rumah.”

Kim Bum menghela napas berat dan akhirnya bangkit. Ia berpamitan kepada kakak dan iparnya dan keluar untuk mengambil mobil. Saat itu Han Ga In Eonni menggamit tanganku dan berbisik, ”Aku senang Kim Bum sudah menikah denganmu. Kau pasti bisa menghiburnya dalam saat-saat seperti ini. Ia paling merasa kehilangan dengan meninggalnya Ibu. Kau tahu, ia tinggal dengan Ibu selama tiga puluh tiga tahun.”

Bersambung…

1 komentar:

  1. akhiRnyaa.....AQ MENANGIIIIIIIIIIIIIIIIIIISSSSSSS....KIm BuuuuuuuuuuuMMM...BIG HUG.....Ya ampUuuuun kasian bgt..TP SaLuuuuDD..TEgaR bgt KIm BUm..Ampuuun DaH..!! So saaaaaaaaaaaaDDDd...
    >> mIRiP PiLem BoLLywooD jadinya ThoR..PLaaakkk..hahaha!!tp jd Drama Korea jg BaguuuuuZZ..ketawa+nangis..Owwwww owwwwww nano nano rasanya..

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...