Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Kamis, 07 Juli 2011

Kisah Cinta Tak Sempurna (Chapter 5)



Pukul 11 malam…

Angin malam Pantai Crossline mulai mengusik lamunanku. Untunglah Vogue malam itu tak seramai biasanya. Hanya ada aku dan beberapa pengunjung yang sedang pemanasan untuk melanjutkan malam mereka di klub-klub di seputaran Crossline. Malam ini grup band Rainbow manggung di Twilight. Im Yoona dan Park Shin Hye menungguku di sana, lengkap dengan tiket masuk gratis.

Terharu jika menyadari betapa dua sahabatku itu berjuang keras mengeluarkanku dari ratapan kehilanganku. Bahkan, mereka rela menonton konser Rainbow tanpa pacar masing–masing demi tak membuatku mati gaya. Lima menit lalu mereka memastikan lewat SMS agar aku datang.

Kutenggak habis sisa kopiku. Pahit itu…aroma itu…entah berapa lama tak aku nikmati. Kali ini kutandaskan minuman itu tanpa omelan dari Kim Hyun Joong. Ampuun, aku ingat dia lagi. Selalu ada sesuatu yang mengingatkanku padanya. Ahhh, baru kusadari, betapa banyak bagian hidupku telah terisi akan segala hal tentangnya.

Aku di tengah histeria lantunan lagu–lagu mellow Rainbow....

Sesekali kupejamkan mata. Aku benci mengakuinya lagi dan lagi, ingat Kim Hyun Joong. Ingat dulu saat ia mengejekku yang sangat senang mendengarkan lagu–lagu patah hati. “Awas nanti kau terpengaruh dengan cerita lagunya. Salah–salah jadi terobsesi dan kejadian di kehidupan nyata.”

“Biarkan saja. Oppa, kau ini memang benar-benar tidak romantis,” belaku, sengit.

Lalu semua akan berakhir dengan aku larut dalam dekapannya. Pelukannya... ciumannya… belaiannya. Mengapa semuanya menjadi nyata lagi bersamaan dengan lagu–lagu yang dilantunkan oleh salah satu grup band favoritku ini. Arghhh, aku frustrasi lagi. Pun ketika aku berada di tengah keramaian ini. Aku merasa asing. Kesepian. Percuma semua usaha Im Yoona dan Park Shin Hye. Tidak semudah itu mengeluarkanku dari semuanya.

Bipppp.... Bipppp... Bippp grrttttttt....

Besok bisa tolong jemput aku di airport? Nanti aku SMS lagi schedule flight-ku. Akhirnya aku boleh cuti panjang, Dreamlight I’m coming… Ada banyak oleh-oleh untukmu.
Jung Il Woo.

Aduuh…apa kata Jung Il Woo kalau tahu aku keluyuran malam–malam. Kugamit lengan Park Shin Hye dan Im Yoona menuju pintu keluar Twilight, padahal Rainbow baru selesai dengan lagu keempatnya.

”Apa-apaan kau ini, Kim So Eun. Konsernya masih panjang!” protes Im Yoona, sambil bersiap masuk lagi.

”Aku pulang duluan. Kakakku datang besok. Aku harus jemput dia pagi-pagi,“ jelasku, setengah panik. Kutinggalkan mereka, kami berpisah di parkiran Twilight.

Aku tidak memutuskan pulang. Sudah pukul 3 dini hari, pesawat Jung Il Woo akan tiba pukul 8 pagi. Aku beli beberapa bungkus permen mint. Mengunyah banyak–banyak, sambil menatap pantai. Masih setia bermain dengan bayangannya. Sungguh, aku tak pernah bisa melupakannya.

Di perjalanan menuju Bandara Eclipse....

Apa yang harus aku jawab, jika Jung Il Woo tanyakan Kim Hyun Joong. Bukankah saat dua tahun lalu mengantar Jung Il Woo ke bandara untuk bertolak ke Boulevard, ada Kim Hyun Joong menemaniku. Bahkan, Jung Il Woo wanti–wanti pada lelakiku itu agar menjagaku baik–baik. Ia mempercayakanku pada seorang sahabat yang ia yakini tepat untukku.

Kim Hyun Joong tidak bisa ikut, dia ada urusan kantor....

Ohhh aku tidak sempat bilang, kalau kau kembali hari ini.......

Atau, sudahlah Oppa, tidak usah bahas dia lagi. Sebentar lagi dia akan jadi suami orang. Dia sudah membuang adikmu ini dari hidupnya....

Fiuhhh... susahnya memilih jawaban yang menenteramkan hati. Mobilku hampir memasuki parkiran bandara. Dag-dig-dug... hatiku kian tak menentu.

”Kim So Eunnnn...!” Kami berangkulan erat. Sungguh damai hati berada dalam dada kokohnya. Hanya lelaki ini dan Kim Hyun Joong yang senang memanggilku Kim So Eun dengan nada panjang. Dia mengusap–usap kepalaku lembut. Seolah mendapatkan secercah embuh ketenangan, aku langsung merebahkan kepala ke dadanya.

”Kau kurusan, Kim So Eun?” matanya memicing mengamati ubun–ubun sampai kakiku.

Aku mengambil beberapa tas bawaannya. ”Kita pulang dulu, katanya kau cuti panjang. Kita punya banyak waktu untuk mengobrol,” saranku.

Kami mampir di sebuah Cafe. Untunglah ada dua kursi kosong. Kami sama–sama diam menandaskan makanan.

Lagi–lagi aku menarik napas dalam. Entahlah, sepertinya ada sebongkah batu yang ingin sekali kutanggalkan, namun sia–sia. Jalan di depanku semakin padat, hari semakin siang. Geliat Crossline tampaknya memang baru dimulai pada malam hari.

”Ada apa, Kim So Eun? Aku baru tinggalkan kau 2 tahun, berapa banyak ceritamu yang terlewati oleh kakakmu ini?” Ia menyeruput habis teh panasnya. Lalu menggeser duduknya, menyampingiku.

”Hmmm... baiklah, aku tahu tempat yang bisa membuatmu menceritakan semuanya,” katanya, lalu membayar makanan. Aku dilarangnya mengemudikan mobil. Dia mengarahkan mobil ke arah Pantai Crossline.

Ahhhh... Oppa, tempat ini memang tempat favoritku, tapi juga tempat yang akan menyakitiku karena akan mengingatkanku pada lelakiku lagi.

”Apa?” tanyanya lagi. Kami kini sudah duduk bersisian, tidak begitu jauh dari bibir pantai. Udara tidak begitu dingin.

Hening....aku tak menemukan kalimat yang pas untuk memulai menceritakan apa yang sedang aku alami. Bagaimana mungkin aku menceritakan bahwa sahabat yang ia percaya untuk menjagaku dan ia restui berpacaran denganku, pada akhirnya mencampakkanku.

Hening....

Lalu aku mendesah pelan, ”Kim Hyun Joong sebentar lagi akan menikah.” Hanya itu kalimat pembuka yang bisa kuucapkan. Takut–takut aku berusaha melihatnya, ia diam. Aku menebak–nebak, sakitkah ia mendengar kalimat dengan nada getirku itu atau justru ia pikir Kim Hyun Joong akan menikahiku.

Lama sekali Jung Il Woo Oppa terdiam. Pandangannya masih lurus. Dan dia meraihku dalam pelukannya. Ooh, aku mendengar ada isakan.

Aku mencari–cari jawaban, bagaimana mungkin kakakku yang tangguh ini menangisi nasibku.

”Kenapa kau yang menangis, Oppa?” Aku berusaha tertawa, seolah aku tak terpengaruh oleh perlakuan Kim Hyun Joong.

”Sebulan lalu Kim Hyun Joong datang padaku. Dia minta izin untuk menikah dengan perempuan lain. Saat itu Aku marah sekali. Akutidak terima waktu dia bilang, bagaimanapun dia harus menikah dengan perempuan dari kalangannya. Apa yang salah dengan kita yang terlahir dari keluarga sederhana tanpa harta berlimpah?” katanya.

Napasnya memburu. Sedangkan aku hanya bisa diam. Setengah hatiku terkaget–kaget, Jung Il Woo nyatanya sudah tahu semuanya, bahkan sebelum aku mengetahuinya. Tapi, ia rapi menyembunyikan dariku.

Aku sadar saat bulir bening itu berhamburan loncat dari bola mataku. Sesaat aku terisak. Jung Il Woo Oppa membiarkanku menangis.

”Jelas aku salah. Bagaimana bisa aku membiarkan cinta tumbuh, padahal aku tahu yang namanya percintaan beda latar belakang keluarga pasti akan ada banyak halangan.”

”Aku yang tidak realistis, Oppa....” Aku meyakinkan hati bahwa yang baru saja kukatakan sama sekali bukan niat membelanya. Apalagi membersihkan namanya di mata Jung Il Woo Oppa.

Jung Il Woo Oppa lagi–lagi menghela napas. ”Lalu, sekarang bagaimana denganmu?”

”Bagaimana apanya? Aku, ya, aku. Aku akan jadi pemandu liburanmu.” Aku mengembangkan senyumku selebarnya, meski sakit masih merajaiku.

* * *

Kembali pada malam sesudah pestanya

”Kim So Eun...? Kau kenapa?” Ia mengguncangkan badanku lembut.

Huhhh... aku melihat selintas bayanganku di cermin. Dia masih dengan baju pengantinnya. Berapa lama aku terombang–ambing pada ingatan masa lalu itu. Apakah ia menyadari reuni masa lalu yang baru kulakukan.

”Apa kau bawa mobil, atau aku bisa minta izin istriku untuk mengantarmu?” tawarnya yang dengan segera kutolak. Tampaknya ia telah fasih memanggil perempuan itu dengan sebutan istri. Ooh, sakit sekali mendengarnya.

Niatku sudah bulat. Ini malam terakhir kisahku dengannya. Cukup sudah ketololan demi ketololan yang aku lakukan deminya. Menjadi MC untuk resepsi pernikahannya dengan perempuan dari kalangan-nya adalah hal terakhir yang menjadi alasan kami untuk bertemu.

”Aku pulang dengan taksi saja.” Aku bergegas merapikan perlengkapanku. Memasukkan semuanya sekenanya, lalu berpamitan padanya.

Di luar kamar ganti aku berpapasan dengan pengantin perempuannya. Aku tahu, sungguh perempuan ini tak pantas aku benci. Namun, sama kuatnya dengan ketidakinginanku marah padanya, sekuat itu juga rasa benci itu aku perlihatkan.

”Terima kasih,” ucapnya, sungguh–sungguh.

”Untuk apa? Untuk ’Kim Hyun Joong-ku’ yang akhirnya berhasil kau rebut atau untuk pestamu yang berakhir indah dengan kehadiranku di atas panggung?” kataku, sinis. Aku lalu tertawa dengan wajah licikku, berlalu meninggalkan wanita itu.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...