“Mungkin, benda ini bisa menjelaskan maksudku dengan lebih tepat, kata Kim Bum, sambil menyelipkan sesuatu ke tangan Kim So Eun, yang sedang digenggamnya. “Kuharap, kau mau menerimanya.
Kim So Eun membuka telapak tangannya dan di atas telapak tangan itu tergeletak sebentuk cincin emas putih dengan satu berlian berkilau di tengahnya. Berlian itu berkilau seperti bintang di langit gelap, namun terikat erat pada cincin, sehingga hilang kebebasannya.
“Apakah… apakah…,” Kim So Eun tidak bisa menyelesaikan kata-katanya.
“Ya, aku meminangmu sebelum kembali ke New York. Maukah kau bertunangan denganku?”
Cincin itu terasa panas di telapak Kim So Eun. Diulurkannya cincin itu kembali ke tangan Kim Bum, lalu menggeleng kuat-kuat. “Tidak, tidak bisa. Aku tidak bisa bertunangan denganmu.”
Kim Bum seperti disambar petir. Wajahnya yang tadi bersinar, sekarang menjadi pias. Sambil masih menggenggam tangan Kim So Eun erat-erat, dia bertanya, “Kenapa tidak bisa?”
“Pokoknya, tidak bisa,” jawab Kim So Eun, tegas. “Begini, kita ini bukan lagi hidup di zaman Romeo dan Juliet, yang ternyata sama-sama punya orang tua yang suka seenaknya menjodoh-jodohkan anaknya. Ini zaman internet. Kita berhak menentukan jalan hidup kita sendiri. Kau tidak boleh menikah tanpa cinta. Dan, aku jelas-jelas juga tidak mau.”
Kim Bum sekarang tampak lega. “Jika itu masalahnya, kukira kita hanya salah pengertian. Aku tidak pernah melamar seseorang yang dipilihkan Ibuku, tanpa memikirkan perasaanku. Jika itu yang ingin kau dengar, baiklah. Sebetulnya, sejak bertemu denganmu, aku sudah jatuh cinta padamu.”
“Itu gila!” bantah Kim So Eun.
“Apa yang gila? Sejak dulu orang sudah mengenal cinta pada pandangan pertama. Ketika kita bertemu di tempat arisan, meski tidak bicara, aku selalu mengamatimu. Saat itulah aku merasa kau seperti lukisan perahu kecil di tengah laut. Begitu kecil, namun kuat. Lukisan yang suram, tapi untukku tampak mempesona. Aku tertarik oleh pikiran itu dan ingin lebih mengenalmu. Ketika kau kabur, aku mengatakan pada ibumu bahwa aku ingin mengajakmu keluar keesokan harinya. Dan, ketika kita sering bertemu, aku semakin tertarik. Sungguh, ini jujur.” Kim Bum mengguncang tangan Kim So Eun, ketika melihat ekspresi tak percaya di wajah itu.
“Aku mencintaimu, Kim So Eun. Aku sungguh-sungguh mencintaimu.”
Kim So Eun ketakutan. “Aku tidak bisa menerimanya.” Lalu, dia merenggut tangannya dari genggaman Kim Bum dan berlari masuk ke rumah.
Kim So Eun gelisah di tempat tidur. Dia tidak mengantuk, tapi juga merasa letih. Keponakan-keponakannya sudah terbang ke alam mimpi sejak tadi, namun matanya tidak juga mau terpejam. Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas. Malam yang sungguh sepi. Bahkan jangkrik pun sepertinya enggan bernyanyi.
Kim So Eun berdiri mengambil notebook-nya. Jam berapa sekarang di Amerika? Mungkin, dia bisa chatting dengan Emma Watson. Sedang apa dia, ya? Kim So Eun menyalakan notebook dan memikirkan apa yang akan ditulisnya. Kepalanya buntu. Tidak! Kim So Eun menggigit bibir kuat-kuat. Aku tidak boleh melarikan diri seperti anak kecil. Meski tidak baik, aku harus memberi penjelasan. Diketiknya alamat tujuan dan mulai menulis kalimat pendek, “Bisakah kita bicara sekarang?”
Setelah mengirim e-mail, Kim So Eun kembali ke tempat tidur. Menunggu detik demi detik yang berlalu sangat lambat. Mungkin dia tak ingin bicara? Beribu pertanyaan dan kemungkinan bermain di kepalanya. Sepuluh menit kemudian, ketika jawaban yang ditunggunya tak juga datang, Kim So Eun membuka pintu, lalu berjalan ke luar. Di luar terasa lebih sepi lagi. Kakinya melangkah ragu-ragu menuju ruang tamu. Tidak seyakin ketika tadi mengambil keputusan.
Di ruang itu tampak Kim Bum duduk di sofa, sambil menonton televisi. Kim Bum tidak menoleh ketika mendengar dia datang. Matanya lurus ke arah televisi, walaupun Kim So Eun yakin, sesungguhnya pikirannya tidak di situ. Wajahnya muram. Dia tetap diam saat Kim So Eun duduk tidak begitu jauh dari sisinya. Mereka bisa bicara lebih pelan, karena malam begitu sunyi, sehingga suara sekecil apa pun bisa terdengar keras seperti jika memakai speaker.
Mereka tetap diam. Kim So Eun tak tahu bagaimana harus memulai. Ini semakin sulit karena dia harus membuka cerita yang tidak ingin diingatnya kembali.
“Ehm,” Kim So Eun melicinkan tenggorokannya, mungkin dia harus minta maaf dulu. “Maafkan aku karena memanggilmu malam-malam begini.” Aduh, apa yang harus kukatakan, desahnya dalam hati.
Karena Kim Bum tetap diam, Kim So Eun melanjutkan kata-katanya, “Aku harus menjelaskan semuanya. Aku tidak ingin kita berpisah dengan menyimpan amarah.” Apa dia marah, ya? Jika melihat wajahnya, pasti dia marah. Kim So Eun terus membatin.
“Aku tidak ingin semua menjadi buruk, mengingat ibumu dan ibuku berteman baik. Aku tidak ingin hubungan mereka yang sudah terjalin baik jadi rusak karena perbuatan anak-anaknya.” Kim So Eun menggigit-gigit bibirnya lagi.
Kenapa aku jadi berputar-putar? Seharusnya aku kan bisa langsung ke pokok persoalan. Aku mohon, bicaralah. Kim So Eun berdoa dalam hati. Tanyakan sesuatu agar dia bisa memberi penjelasan. Jangan berpura-pura nonton televisi saja. Aku tidak bisa begini, tidak bisa bicara dengan orang yang tidak memberi respons.
“Baik,” suara Kim Bum terdengar, “kenapa kau mempermainkanku?”
Sekarang Kim Bum memandangnya. Wajah tampan itu berselimut kabut.
“Apa?” Kim So Eun bertanya, tak yakin.
Kim Bum memandangnya tajam. Matanya gelap, segelap malam berhujan badai. “Jika kau tidak menyukaiku, kenapa kau mempermainkanku? Memberi harapan dengan pertemuan-pertemuan itu, membuatku berpikir bahwa ada sesuatu yang istimewa di antara kita. Jika kau tidak menyukaiku, seharusnya berterus terang dari awal.”
“Aku tidak pernah berkata bahwa aku tidak menyukaimu. Tapi, hubungan ini tidak bisa berlanjut. Kita berdua sangat berbeda. Aku orang yang biasa mandiri. Hidupku adalah milikku sendiri dan kuperjuangkan sendiri. Sementara, hidupmu adalah milik keluargamu. Kau punya orang-orang yang selalu ada di sisimu, membantumu, menolongmu. Pola pikiran kita berbeda. Kita tidak akan bisa cocok.”
“Maksudmu, aku ini tipe anak mama? Orang yang tidak bisa apa-apa jika tidak diurus oleh keluarganya? Orang yang bahkan dalam berkarier pun hanya karena mendompleng nama besar orang tua? Menurutmu, aku ini manusia manja yang tidak perlu berusaha apa-apa?” Kim Bum menyahut dengan nada getir. “Jadi, aku tidak setara dengan superwoman, yang mandiri dan sukses?”
“Maksudku, bukan begitu,” bantah Kim So Eun.
“Sudahlah, tidak perlu berbaik hati karena aku sudah biasa. Selama ini orang-orang selalu mengatakan hal yang sama tentangku. Jika mereka melihatku, mereka selalu berkata, ‘Ah, dia, wajar bisa begitu. Kan dibantu Ayahnya.’ Tapi, apakah kau pernah berpikir, aku bisa menjadi seperti ini hanya dengan bermalas-malasan dan pengaruh orang tua? Aku juga harus berusaha, bahkan lebih keras daripada mereka semua. Lalu, jika aku berhasil, apakah itu juga karena orang tuaku? Ya… mungkin, mereka memang membantu, tapi selebihnya itu usahaku sendiri.”
Kim So Eun menarik napas. “Bukan maksudku membuatmu marah seperti ini. Aku percaya bahwa kau berhak mendapatkan pengakuan atas kerja keras itu. Tetapi, aku sudah terbiasa tinggal di sana dan tak ingin meninggalkannya.”
“Apakah hidupmu di sana begitu menyenangkan sehingga tak ingin kau tukar dengan yang lain?”
“Aku tak bisa menjawabnya, namun separuh hatiku tertinggal di sana.” Kim So Eun menerawang lurus ke depan, seakan dia bisa melihat apartemen dan kebahagiaannya.
“Ketika pertama menginjakkan kaki di sana, aku baru berumur tujuh belas tahun, baru tamat sekolah dan sangat bangga bisa mendapat beasiswa. Remaja yang mengejar mimpi yang indah dan hidup dalam dunia kecil yang bahagia. Sampai menyelesaikan kuliah, aku tetap tak berubah. Keberangkatan yang kedua kali, untuk melanjutkan ke jenjang sarjana. Namun, kali ini atas kemauanku sendiri dan beasiswa sudah tidak ada lagi. Aku masih bermimpi bahwa semua seindah dalam cerita. Meski sadar bahwa aku tak bisa bersantai-santai lagi, semua tetap kelihatan mempesona. Dan, kota itu sekali lagi tersenyum menyambutku.
Senyum itu hanya sebentar, lalu berubah menjadi seringai jahat. Aku harus pontang-panting ke sana kemari, mencari uang untuk makan dan tempat tinggal. Aku tak bisa meminta uang lebih dari biaya sekolah. Karena, meski Ibu dan Ayah sama-sama bekerja, pendapatan mereka tidak begitu besar, sehingga tidak mampu menyekolahkan anak ke luar negeri. Lagi pula, kakak-kakakku juga masih kuliah. Semua jadi tak indah lagi ketika aku harus melakukan apa saja untuk menggapai mimpiku.”
Bersambung…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar