Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Sabtu, 30 April 2011

Surat Balasan Salah Alamat (FF)



Title : Surat Balasan Salah Alamat
Genre : Criminal, Mystery
Author : Sweety Qliquers
Episode : Prolog + 3 Chapter
Production : www.ff-lovers86.blogspot.com
Production Date : 29 April 2011, 09.15 AM
Cast :
Lee Joon Ki
Lee Joon Hyuk
Rain Bi


Surat Balasan Salah Alamat

Prolog
Chapter 1 “Tahu Luar Dalam”
Chapter 2 “Benih-Benih Paranoid”
Chapter 3 “Dikejutkan Paket” (Tamat)

Surat Balasan Salah Alamat (Chapter 3-Tamat)



Chapter 3
Dikejutkan Paket

Dering telepon sedikit mengejutkan Lee Joon Ki yang siang itu sedang asyik membuat catatan keuangan bulanan di ruang kerjanya. Lee Joon Ki mengangkatnya. Meski saluran telepon tersambung paralel dengan ruang kerja Lee Joon Hyuk, Lee Joon Ki yang selalu bertugas mengangkat setiap panggilan telepon.

“Ya. Halo!”

“Paket kiriman, Tuan Lee, dari East Eden Publishers.” Resepsionis gedung memberi tahu.

Lee Joon Ki mengeluh dalam hati. Ah, pastilah bundel buku dari sebuah galeri dan meminta Lee Joon Hyuk memberi pernyataan promosionalnya. Meski Lee Joon Hyuk tidak pernah bersedia, pihak penerbit sepertinya tidak pernah putus asa. Akhirnya, menjadi tugas Lee Joon Ki untuk memberikan jawaban penolakan, untuk yang kesekian ratus kalinya. Sebuah tugas yang benar-benar membosankan.

“Apakah orang yang mengirimkan paket ini masih ada?” tanya Lee Joon Ki. Setelah diiyakan, Lee Joon Ki melanjutkan, “Kalau begitu, suruh dia ke atas.”

Dua menit kemudian, bel pintu berbunyi. Lee Joon Ki beranjak ke pintu dan menyambut pengirim paket yang sudah berada di depannya. Tak ada yang mencolok dari penampilannya. Ia memegang sebuah kotak berwarna kecoklatan.

“Anda, Tuan Lee?”

“Ya,” ujar Lee Joon Ki tidak sabar sambil menerima kotak itu. “Apakah ada yang harus saya tanda-tangani?”

Lee Joon Ki mengambil pena dari sakunya, tapi sesaat kemudian ia menyadari paket itu kosong. Paket itu ikut tertekan genggaman jari-jarinya tanpa tertahan. “Apa ini? Hei, apa yang kau lakukan?”

Tiba-tiba si pengirim paket sudah merangsek masuk ke dalam, mendorong Lee Joon Ki ke salah satu dinding dan menutup pintu di belakangnya. Ia kemudian berkata, “Nama saya Rain Bi dan saya ke sini untuk bertemu denganmu, Lee Joon Hyuk.”

Perut Lee Joon Ki langsung mengejang. Ini orangnya! Mungkin saja berniat untuk menyerang dan memukul! Ia berkata dengan serak, “Anda salah. Saya bukan Lee Joon Hyuk. Saya sekretarisnya. Tuan Lee sedang tidak ada.”

Mata Rain Bi menyipit. Ia memegang pinggang Lee Joon Ki dengan kuat sekali. “Si penjaga pintu memanggil anda Tn. Lee, dan ketika saya menanyakan apakan anda Tn. Lee, anda mengiyakannya.”

“Saya Lee Joon Ki!”

“Anda baru bilang bahwa anda adalah sekretarisnya.”

“Saya memang sekretarisnya. Saya juga keponakannya, jadi saya punya nama yang sama. Di dalam surat dituliskan 'LJH/LJK'. Sayalah 'LJK'.”

Rain Bi ragu-ragu untuk sesaat. Kemudian ia berkata, “Foto yang ada di buku adalah foto anda.”

“Itu adalah foto yang lama dan ada kemiripan dalam keluarga, tetapi ia dua puluh tahun lebih tua dariku,” ujar Lee Joon Ki panik. Tubuhnya gemetar.

Rain Bi berpikir sejenak. Kemudian berkata, “Aku tak percaya padamu!” Ia mencabut sebuah pistol dari sakunya dan menembakkannya tiga kali. Dor! Dor! Dor!

Tubuh Lee Joon Ki pun langsung jatuh ke lantai, tergeletak, tanpa nyawa.


Tamat
Copyright Sweety Qliquers

Surat Balasan Salah Alamat (Chapter 2)



Chapter 2
Benih-Benih Paranoid

Lee Joon Ki menghela napas, menghentakkan lamunan-lamunannya. Di ruangannya di lantai bawah apartemen di Secret Garden, Seoul. Surat dari Rain Bi kembali dibacanya dengan cermat. Sesuai pesan Lee Joon Hyuk, ia mulai memikirkan kata-kata balasannya di depan komputer pribadinya.

Surat-surat penggemar memang terkadang aneh. Seperti surat yang di tangannya saat itu, pastilah berasal dari seorang paranoid. Dan ini bukan kiriman yang pertama.

Setidaknya dalam sebulan Rain Bi bisa mengirim dua sampai tiga surat dan ini sudah berjalan kurang lebih setahun terakhir.

Lee Joon Ki mencoba menganalisis, mungkin ketegangan sebagai penggemar cerita-cerita spionaselah yang membuat Rain Bi mengirimkan surat-surat seperti itu. Kisah-kisah spionase bisa jadi dapat menimbulkan paranoid. Hiiiy!

Lee Joon Ki sebenarnya berpendapat, reaksi yang tepat untuk surat-surat semacam ini adalah dengan tidak menjawabnya. Tak ada gunanya meladeni orang-orang dengan kepribadian paranoid seperti itu, karena jawaban apa pun tetap merupakan provokasi untuk tindakan selanjutnya.

Namun, celakanya, orang-orang seperti itu tidak akan bosan dan akan terus mengirim surat. Karena dasarnya memang sudah paranoid, mereka mungkin mengira suratnya telah hilang, dicuri di kantor pos, ada pihak-pihak bawah tanah yang menyabotase atau kecurigaan-kecurigaan aneh semacam itu. Karena itu minimal balasan sebagai tanda terima harus dikirim.

Lee Joon Ki menulis balasan untuk Rain Bi dengan kata-kata sesopan mungkin:

Yang Terhormat Tuan Rain Bi, Senang sekali saya dapat menerima surat dari Tuan. Namun sayang sekali, dengan sangat menyesal, saya tidak dapat bertemu dengan Tuan karena kesibukan pekerjaan. Dan itu semua di luar kendali saya.

Lee Joon Ki merasa telah menyusun kata-kata itu sebaik-baiknya. Untuk meyakinkan ia membacanya lagi berulang kali. Ia berusaha menciptakan kesan terbaik, karena ia tidak ingin ada dampaknya di kemudian hari bila kalimat-kalimatnya itu disalahartikan. Bila Rain Bi merasa mendapat angin, bahwa anggapannya tentang konspirasi komunis konyol ternyata “benar”, bisa-bisa malah fatal. F-a-t-a-l! Ya, fatal! Dalam kekosongan pikiran, terlintas kata-kata itu di benak Lee Joon Ki.

Tentu saja tidak ada yang dapat memperkirakan apa yang akan terjadi. Orang-orang semacam itu mungkin akan bertindak menurut kemauannya sendiri, bahkan dengan kegilaannya. Mungkin dapat mengakibatkan kecelakaan-kecelakaan kecil, bahkan mungkin menyebabkan kematian! Sesuatu yang jauh di lubuk hati Lee Joon Ki, sebenarnya ia harapkan terjadi terhadap pamannya. Mungkinkah ini adalah jalannya?

Mendadak, jari-jari tangan Lee Joon Ki yang sigap bergerak cepat, seolah tanpa kendali. Ia mengganti kata-kata surat balasan yang telah disusunnya. Degup jantungnya berdetak sedikit lebih cepat, seiring kedipan kursor di layar komputer.

Dengan hormat, Soal pertemuan makan malam dan lain sebagainya, sebenarnya tidak perlu ditanyakan lagi. Tolong Anda tidak perlu membuang-buang waktu dengan meminta hal ini berulang kali, karena tampaknya sudah jelas bahwa kecurigaan Anda mengenai kegiatan konspirasi sama sekali tidak berdasar. Bagaimana Anda bisa berpikir seperti itu?

Kalimat itu cukup singkat, kasar, pakai sedikit olok-olok pula. Seorang paranoid pasti bereaksi atau paling tidak akan kaget jika membacanya. Lee Joon Ki kembali membacanya, berulang kali, hingga benar-benar yakin kata-katanya sudah cukup menggugah amarah Rain Bi.

Dalam otak Lee Joon Ki, terbersit sebuah skenario. Seperti biasanya, Lee Joon Hyuk akan menandatangani surat balasan itu tanpa membacanya. Lalu, Rain Bi akan merasa sangat benci kepada Lee Joon Hyuk, bahkan mengira pikiran paranoidnya soal konspirasi konyol itu benar-benar ada. Jika Rain Bi penasaran dan menulis lagi, Lee Joon Ki akan membalasnya kembali dengan nada yang sama. Taktik yang sama mungkin dapat digunakan pada surat-surat lain yang datang. Mengapa tidak? Toh, tidak ada yang tahu.

Hmmm, kini Lee Joon Ki bisa tersenyum puas. Tanda tangan asli.

Dua tahun sudah skenario jahat Lee Joon Ki itu berjalan dan semua tampak baik-baik saja.

Bahkan kini sasarannya tidak hanya Rain Bi. Dari puluhan penggemar Lee Joon Hyuk, setidaknya ada enam orang masuk golongan paranoid dan diperlakukan seperti itu. Lee Joon Ki sekarang boleh dibilang memiliki hobi baru, yaitu memainkan kata-kata halus, tapi menusuk.

Semakin keras dan ngawur surat para penggemar yang paranoid itu, semakin senang ia membalasnya.

Toh Rain Bi tetap menjadi kasus yang terbaik. Ada saat-saat tertentu ketika sampai sebulan penuh tidak ada respons apa pun dari orang itu. Lee Joon Ki berpikir, mungkin si gila itu sudah lelah bermain-main. Tetapi biasanya tak lama kemudian datang lagi surat Rain Bi dengan kata-kata yang, seperti biasanya, meracau tak keruan juntrungannya. Belakangan malah sudah mulai dihiasi nada-nada ancaman, “awas kau!”, “kubunuh kau!”, “ingat suatu hari nanti!” Meski ada perasaan khawatir, Lee Joon Ki tetap tersenyum saat membacanya.

Seperti yang diharapkan Lee Joon Ki, Lee Joon Hyuk tidak pernah membaca surat-surat balasan yang disodorkan. Ia hanya menandatangani tanpa melirik satu huruf pun. Selain itu, salah satu kemudahan bagi rencana Lee Joon Ki, karena Lee Joon Hyuk tidak menggunakan stempel tanda tangan. Ia ingin memberi sentuhan pribadi pada setiap surat dan berharap tindakannya akan dihargai penggemarnya. Di setiap pojok kiri atas terdapat tulisan kecil “LJH/LJK” sebagai inisial Lee Joon Hyuk dan Lee Joon Ki. Dengan tanda tangan asli, siapa pun mengira surat itu didiktekan langsung oleh Lee Joon Hyuk.

Sesekali Lee Joon Ki juga bercerita soal surat-surat itu kepada teman-temannya, terutama saat acara mengobrol di pesta. Teman-temannya tentu terhibur dengan cerita-cerita tentang Lee Joon Hyuk, sebagai sesosok manusia aneh, yang telah dibumbui di sana-sini itu. Ajang itu menjadi kesempatan terbaik Lee Joon Ki memutarbalikkan fakta untuk memperkuat alibinya.

“Padahal aku sudah berusaha mengingatkan pamanku agar berhati-hati dengan orang-orang paranoid seperti itu. Tapi tetap saja dia nekat mengirim jawaban yang provokatif,” kata Lee Joon Ki meyakinkan teman-temannya.

“Wah, berani sekali dia!” sahut seorang teman.

“Memang. Ia memang suka nekat.”

“Bagaimana kalau suatu kali orang gila itu yang nekat. Dia datang dan membuat kekacauan? Bahkan membunuh?”

“Wah, aku tidak ikut-ikutan kalau begitu,” kata Lee Joon Ki sambil menggelengkan kepala.

“Memang kadang-kadang agak khawatir juga. Tapi kebanyakan mereka tinggal jauh dari sini. Lagi pula aku kira, mereka cuma menggertak. Saya sudah peringatkan Paman Lee Joon Hyuk soal ini, tapi dia tetap menolak. Saya bisa apa? Dia kan bos saya.”

Sangat sempurna! Bagaimana jika seseorang dengan niat jahat benar-benar datang menemui Lee Joon Hyuk dan Lee Joon Hyuk benar-benar terbunuh? Orang-orang sudah memperhitungkan hal itu, begitu juga dirinya. Yang terpenting, bagaimana mungkin Lee Joon Ki akan disalahkan?

Semuanya akan mengarah pada “kelakuan” Lee Joon Hyuk sendiri. Orang-orang akan berkata, Lee Joon Ki telah mencoba menyelamatkan Lee Joon Hyuk dari dirinya sendiri.

Bagaimana jika ternyata tak seorang pun paranoid yang datang menyambangi Lee Joon Hyuk? Ya, tidak apa-apa. Di sinilah asyiknya rencana Lee Joon Ki. Kasarnya, nothing to loose, karena mungkin saja nantinya tidak akan terjadi apa-apa. Tidak akan ada orang gila yang muncul dengan nafsu membunuh. Lee Joon Hyuk pun dapat hidup dengan aman. Begitu pun Lee Joon Ki, bisa menghabiskan sisa umurnya tanpa perlu menyimpan rasa bersalah. Ia hanya memperagakan permainan yang bisa berbahaya dan menjanjikan hal-hal hebat di dalamnya, atau tidak berbahaya sama sekali.

Bersambung…

Surat Balasan Salah Alamat (Chapter 1)



Chapter 1
Tahu luar dalam

Lee Joon Hyuk sebenarnya bukan penulis novel laris manis. Buku-bukunya tidak ada yang terlalu sukses di pasaran dan mencetak banyak uang. Tapi ia termasuk penulis yang produktif. Karya-karyanya mengalir lancar dan dapat diandalkan penerbit. Penjualannya lumayan, dicetak ulang untuk jangka waktu lama, dijual di luar negeri, bahkan gagasannya sering diangkat ke layar lebar. Dari penjualan yang tidak terlalu banyak itu, investasinya terus meningkat secara perlahan tapi pasti.

Dibandingkan dengan pengarang-pengarang lain, Lee Joon Hyuk punya sifat sedikit berbeda, yaitu tidak menyukai ketenaran. Ia selalu bersembunyi dari publikasi. Jarang sekali, bahkan hampir tidak pernah, ada media memuat kisah tentang sosoknya, karena Lee Joon Hyuk selalu menolak. Bahkan, foto pengarang yang selalu ada di sampul belakang buku-bukunya, menggunakan wajah Lee Joon Ki yang memang sedikit mirip karena adanya hubungan keluarga.

“Aku tidak ingin orang mengenal sosokku. Aku ingin orang menghargai karyaku saja,” begitu pendirian yang selalu diucapkan Lee Joon Hyuk kepada orang-orang dekatnya.

Sebuah sikap yang membuat Lee Joon Ki terkadang merasa bingung.

Perubahan terjadi lima tahun lalu, sewaktu akuntan Lee Joon Hyuk berhasil membujuknya untuk membentuk semacam perusahaan kecil yang mengurusi karya-karyanya. Lee Joon Hyuk tentu jadi pemilik perusahaan sekaligus bendahara. Saat membutuhkan orang kedua, ia mengajak Lee Joon Ki, anak yatim kakak kandung Lee Joon Hyuk, untuk menduduki satu-satunya jabatan di perusahaan itu, sekretaris. Awalnya, tentu begitu menyenangkan bagi Lee Joon Ki. Maklum, ia belum punya pekerjaan tetap.

Belakangan baru Lee Joon Ki sadar, tugasnya sebagai “sekretaris” di sebuah perusahaan kecil milik pamannya itu benar-benar membuatnya bosan. Pekerjaan apa pun di kantor harus dikerjakannya sendirian. Mulai dari akunting, data-data penerbitan, korespondensi, perundingan rutin dengan penerbit, editor, agen, dan - yang paling menyebalkan – harus menampung omelan-omelan pamannya.

Kalau mau diambil sisi baiknya, gaji Lee Joon Ki boleh dibilang lumayan. Ditambah sedikit harta peninggalan ayahnya, Lee Joon Ki bisa hidup layak dengan istri dan anak perempuannya.

Namun yang menarik, jabatannya memungkinkan Lee Joon Ki mengetahui secara pasti perihal pendapatan, investasi, dan aset-aset pamannya. Jumlahnya ternyata lebih banyak daripada yang pernah ia kira. Yang lebih menyenangkan lagi, Lee Joon Ki mengetahui bahwa pewaris semua itu adalah ia sendiri! Soalnya, Lee Joon Hyuk masih melajang.

Ada satu hal yang membuat Lee Joon Ki gundah. Seandainya saja ia dapat menikmati semua warisan itu saat ini, tentu jalan hidupnya akan lain. Masalahnya, meski berusia 40 tahun, Lee Joon Hyuk masih sehat. Bahkan, lebih sehat dari Lee Joon Ki yang 18 tahun lebih muda. Kalaupun umur Lee Joon Ki panjang, ia tetap saja akan makin tua dan sakit-sakitan, sehingga tidak akan menikmati harta itu. Semakin panjang usia Lee Joon Hyuk, memang hartanya bertambah, tapi jika di masa tuanya tiba-tiba ia menikah karena tergoda seorang wanita muda, tentu warisannya akan berkurang.

Dalam situasi seperti itu Lee Joon Ki sering berkhayal seandainya Tuhan mengambil jiwa pamannya dalam waktu dekat. Atau bangunan roboh menimpa Lee Joon Hyuk, atau bosnya itu tertabrak mobil, atau diserang virus yang sangat ganas. Seandainya, seandainya ... begitulah Lee Joon Ki kerap berandai-andai.

Sayangnya, cuma sebatas itu kemampuan Lee Joon Ki. Ia bukan seorang raja tega yang bisa membunuh orang tanpa beban. Sebagai ahli waris tunggal, posisinya juga tidak akan menguntungkan kalau sampai terjadi sesuatu pada pamannya. Ia juga tidak ahli membuat alibi palsu atau membunuh dengan tampak seperti kecelakaan atau bunuh diri. Untuk menyewa pembunuh bayaran pun tidak, karena selain tidak ada uang, ia tidak tahu cara mendapatkan orang semacam itu. Salah-salah malah bisa jadi korban pemerasan, pikirnya. Tak ada yang bisa dilakukan. Ya, untuk sementara, Lee Joon Ki memang hanya bisa berharap dan berharap.

Bersambung…

Surat Balasan Salah Alamat (Prolog)



Prolog

Tugas-tugas rutin pagi hari itu belum lagi selesai dikerjakan, ketika tiba-tiba nada panggil dari interkom memecah keheningan ruang kerja Lee Joon Ki. Suara yang terdengar sangat tidak merdu, cenderung kasar, apalagi keluar lewat speaker dari alat yang terhitung kuno. Suara Lee Joon Hyuk, bos besar dan satu-satunya di kantor itu.

“Lee Joon Ki! Kau di situ? Cepat naik!”

“Ya, Paman.”

Lee Joon Ki beranjak dari meja kerjanya dengan langkah cekatan, layaknya bawahan pada umumnya. Setengah berlari ia menaiki tangga menuju ke ruang atas. Ruangan besar berukuran 10 x 8 m yang selalu tampak rapi itu merupakan tempat bekerja dan disebut kantor oleh Lee Joon Hyuk. Wajah si bos dilihatnya sudah tidak sedap dipandang mata.

“Lee Joon Ki, kenapa ini bisa sampai di mejaku?” kata Lee Joon Hyuk sambil melemparkan secarik kertas ke hadapan Lee Joon Ki.

“Kenapa saya harus diganggu dengan persoalan-persoalan seperti ini?”

Secarik kertas putih bergaris itu adalah surat dari salah seorang penggemar Lee Joon Hyuk.

Sebagai pengarang cerita-cerita kriminal, Lee Joon Hyuk mendapat bermacam-macam surat dari pembacanya, meski jumlahnya tidak terlalu banyak. Namun, Lee Joon Hyuk cuma membaca surat-surat yang berisi pujian-pujian saja dan salah satu tugas Lee Joon Ki adalah menyingkirkan surat yang isinya tidak mengenakkan. Kali ini Lee Joon Ki lalai memisahkan surat yang satu ini.

Sedikit kasar, Lee Joon Hyuk menaruh penanya di meja.

“Kalau saya tidak bisa mempercayaimu, saya harus memecatmu. Masa’ mengurus surat-surat begini saja tidak becus. Apa kau masih bisa dipercaya?”

“Tentu saja, Paman. Sa... saya hanya membalas surat-surat dengan pernyataan-pernyataan biasa. Saya juga tidak tahu mengapa ada yang bernada negatif,” kata Lee Joon Ki tergagap. Ia benar-benar menyesali keteledorannya sehingga harus menikmati “sarapan pagi” dampratan bosnya. Benar-benar ceroboh, pikirnya.

“Seseorang yang bernama Rain Bi, sepertinya yakin ada konspirasi dari gerakan komunis tertentu, atau apalah namanya, yang aku tidak mengerti,” kata Lee Joon Hyuk sambil memandangi puluhan surat yang bertumpuk di hadapannya. “Sepertinya, ia mengira aku sama dengan karakter yang aku ciptakan. Sampai-sampai ia mengajak makan malam segala. Benar-benar aneh.”

Tak ada reaksi. Pada situasi seperti itu Lee Joon Ki hanya bisa berdiri mematung dan menunggu kalimat berikutnya dari Lee Joon Hyuk. Sifat orang itu memang tidak suka dibantah atau dipotong kalimatnya saat berbicara.

“Apakah aku sering menerima surat-surat seperti ini?” Mata Lee Joon Hyuk tiba-tiba mendelik. “Ada satu atau dua, Paman. Tidak banyak.”

“Aku tidak mau melihat surat-surat seperti ini lagi. Aku juga tidak mau bertemu dengan penulisnya. Kirim saja balasannya dengan sopan. Ingat! Harus dengan sopan, tetapi juga harus berupa balasan pribadi.”

“Baik, akan saya kerjakan, Paman. Ini tidak akan terjadi lagi.”

“Bagus.”

Lee Joon Ki mengangguk meminta diri. Masih setengah tertunduk, ia melangkah kembali ke ruangannya, di kantor yang terasa begitu hening. Pada saat-saat seperti itu, kadang Lee Joon Ki merenungi nasibnya yang harus mengabdi kepada Lee Joon Hyuk, yang tak lain adalah pamannya sendiri.

Hubungan kekeluargaan itu kerap jadi beban, di samping rutinitas kerja selama bertahun-tahun, serta tekanan-tekanan karena menjadi pekerja satu-satunya. Sejauh ini, hanya kesabaranlah yang membuatnya tetap bertahan.

Bersambung…

Kamis, 28 April 2011

Secret Of Red Axe (Chapter 1)



Chapter 1
Rapat Super Se7en

"LENCANAKU di mana? Ke mana lagi barang itu?" ujar Sungmin kesal. "Aku yakin, kusimpan di dalam laci ini." Diaduk-aduknya isi laci. Baju, kaus kaki, celana - semuanya berhamburan ke lantai.

"Sungmin!" seru ibunya marah. "Apa lagi yang kau kerjakan itu? Padahal Ibu baru membereskannya tadi pagi. Apa yang kau cari? Lencana anggota Super Se7en?"

"Ya, Bu! Pagi ini ada rapat, dan aku tak bisa hadir tanpa lencanaku itu," jawab Sungmin.

"Yesung Hyung pasti takkan mengizinkan aku masuk ke gudang. Dia itu keras sekali memegang peraturan." Setumpuk kaos menghambur ke udara, menyusul setumpuk lagi yang sudah ada di lantai.

"Sekarang pasti tak mungkin lagi kau temukan di dalam laci," gumam ibunya, sambil membungkuk. Dipungutnya sebuah lencana bundar, dengan dua huruf S.S. tersulam rapi di atasnya.

"Ini dia! Tadi kau campakkan bersama-sama dengan tumpukan kaos-kaosmu. Anak bodoh!"

"Berikan padaku, Bu!" seru Sungmin girang. Tapi ibunya tidak memberikan.

"Tidak. Mula-mula harus kau bereskan dulu semuanya. Masukkan kembali ke laci, dan atur rapi," kata ibunya.

"Tapi lima menit lagi Super Se7en akan memulai rapat," ujar Sungmin kebingungan. "Yesung Hyung sudah menunggu di gudang."

"Apa boleh buat, kau terpaksa datang terlambat," kata ibunya tanpa merasa kasihan.

Sungmin keluar sambil membawa lencana yang dicarinya. Ia mengembuskan napas kesal. Buru-buru dibereskannya barang yang berhamburan, dan dimasukkannya kembali ke dalam laci serapi mungkin. Kemudian ia bergegas lari ke lantai bawah.

"Sudah kubereskan, Bu. Aku berjanji, nanti sehabis rapat akan kurapikan lagi." Ibunya tertawa. Lencana yang dipegangnya diserahkan pada Sungmin. "Ini, ambil! Kau ini ada-ada saja - kau dan rapat Super Se7en kalian. Bisa-bisanya kalian tahan berkumpul dalam gudang kecil pengap begitu, apalagi dalam cuaca panas seperti sekarang! Haruskah pintu dan jendela terus-terusan ditutup rapat?"

"Itu harus, Bu," jawab Sungmin sambil menyematkan lencananya. "Super Se7en adalah Club yang sangat rahasia. Jadi tak boleh sampai ada orang yang mendengarkan perundingan kami, walaupun akhir-akhir ini tak banyak kejadian seru. Kami benar-benar perlu mengalami sesuatu, supaya bersemangat. Misalnya saja, petualangan terakhir kami."

"Ini! Bawalah kaleng biskuit ini ke rapat kalian," ujar ibunya. "Dan bawa pula sebotol air jeruk. Nah - Snoppy sudah datang menjemput!"

Anjing peliharaan mereka itu berlari-lari masuk, lalu menggonggong pelan.

"Ya, ya-aku juga sudah tahu, aku terlambat datang," kata Sungmin sambil menepuk-nepuk kepala Snoppy. "Tentunya Yesung Hyung menyuruhmu menjemputku. Ayo, kita pergi sekarang! Terima kasih, Bu, untuk biskuit dan air jeruknya."

Ibunya tersenyum.

Sungmin bergegas melewati kebun, menuju ke gudang yang terletak di belakang. Kedua tangannya memeluk kaleng biskuit dan botol berisi air jeruk. Ketika sudah hampir sampai ke gudang, didengarnya suara-suara menggumam. Kedengarannya keenam anggota lain sudah hadir semua!

Sungmin menggedor pintu, dibantu oleh Snoppy yang menabrakkan badan.

"Kata sandi!" teriak enam suara dari dalam.

"Petualangan!" Sungmin memekikkan kata sandi ­mereka untuk minggu itu. Kata sandi itu harus disebutkan. Jika tidak, ia dilarang masuk untuk menghadiri rapat rahasia.

Pintu terbuka cepat. Yesung, kakak Sungmin, berdiri di ambang pintu dengan wajah cemberut.

"Untuk apa kau teriakkan kata sandi kita?" tukas Yesung.

"Maaf," kata Sungmin menyesal. "Tapi tadi kalian yang mulai berteriak, meminta kata sandi itu. Jadi aku juga ikut berteriak. Tapi tak ada orang lain yang bisa mendengarnya. Ini, lihatlah! Kubawakan biskuit dan air jeruk!"

Yesung memeriksa apakah adiknya itu menyematkan lencana di bajunya. Hal itu dilakukannya, karena sepuluh menit yang lalu ia melihat adiknya bingung mencari-cari tanda keanggotaan itu. Yesung sudah menetapkan dalam hati, kalau Sungmin tak berhasil menemukannya, ia takkan diperbolehkan masuk. Tapi ternyata lencana sudah disematkan di kaos Sungmin.

Sungmin masuk ke gudang. Yesung menutup pintu kembali, lalu menutup gerendelnya. Daun jendela sudah tertutup. Sinar matahari musim panas yang terik masuk lewat jendela satunya. Sungmin menarik napas panjang.

"Aduh-panas sekali di dalam gudang ini! Rasanya badanku hampir meleleh."

"Kita semua juga begitu," jawab Ryeowook. "Menurut pendapatku, gudang ini sama sekali tak cocok untuk dijadikan tempat rapat pada waktu panas. Tidak bisakah kita bertemu di tempat yang lebih teduh? Misalnya saja di dalam hutan, di bawah bayangan pohon?"

"Tidak mungkin!" jawab Eunhyuk dengan segera. "Adikku Kyuhyun pasti akan berkeliaran di dekat tempat rapat. Akibatnya Super Se7en tidak lagi merupakan perkumpulan rahasia!"

"Bagaimana kalau kita pikirkan tempat lain, suatu tempat yang sejuk! Dan letaknya harus tersembunyi, supaya tak ada yang bisa menemukan," sambung Donghae. "Misalnya saja, aku punya tempat persembunyian di dalam kebun kami. Kalau aku di situ tak ada yang bisa menemukanku. Tempatnya sejuk, lagi pula sangat tersembunyi."

"Di mana tempat itu?" tanya Eunhyuk.

"Di atas pohon," sahut Donghae. "Dalam kebun kami ada sebuah pohon besar. Dahan-dahannya juga besar dan lebar, sehingga bisa dipakai sebagai landasan. Di atasnya kutaruh beberapa bantal, serta sebuah peti tempat meletakkan barang. Tempatnya enak dan sejuk. Dahan-dahannya bergoyang kian kemari. Aku bisa memandang berkeliling dengan leluasa. Jadi aku selalu bisa melihat jika ada orang datang!"

Anggota Super Se7en yang lain mendengarkan keterangan Donghae sambil berdiam diri. Kemudian mereka berpandangan, dengan mata bersinar-sinar.

"Bagus juga idemu itu, Donghae!" ujar Yesung bersemangat. "Kita juga akan melakukannya! Wah, hebat! Rumah di atas pohon, tempat rapat yang tak diketahui orang lain!"

Bersambung...

Secret Cave (Chapter 1)



Chapter 1
Libur

"Aah, akhirnya datang juga liburan Paskah," kata Yesung. "Hampir bosan aku menunggu. Kusangka liburan kali ini dihapuskan!"

"Iya! Rasanya lama sekali kita sekolah," jawab Sungmin "Tapi syukur, sekarang kita libur. Enak ya, hari pertama liburan?"

"Memang. Rasanya bebas," kata Yesung. "Dan masa liburan masih panjang. Masih banyak waktu kita untuk berbuat macam-macam."

Yesung dan Sungmin bukan anak pemalas. Tidak! Mereka bahkan termasuk rajin di sekolah. Tapi di Korea, masa sekolah antara perayaan Natal dan liburan Paskah memang kurang menyenangkan. Saat itu musim salju sedang dingin-dinginnya! Anak-anak berangkat ke sekolah pada saat hari masih gelap, walau waktu masuk tetap seperti biasa. Dan mereka tidak bisa berpakaian leluasa, seperti pada musim panas. Anak yang nekat berpakaian tipis, pasti akan terserang penyakit pilek! Atau bahkan penyakit yang lebih parah lagi. Karena itu mereka selalu berpakaian serba tebal. Setelah itu masih ditambah dengan mantel yang berat. Sudahlah! Pendek kata, bersekolah di Indonesia yang selalu disinari matahari hangat sepanjang tahun, jauh lebih enak daripada di Korea pada musim dingin. Dan karena itulah Yesung dan Sungmin mengeluh, mengatakan bahwa masa sekolah sebelum liburan Paskah terasa begitu lama.

"Hei!" seru Yesung dengan tiba-tiba. "Bagaimana jika kita mengadakan rapat Super Se7en lagi? Ya, kita akan mengadakannya! Sebaiknya langsung besok saja. Karena, piknik dan kesibukan-kesibukan lainnya akan lebih menyenangkan, jika kita pergi beramai-ramai!"

"Setuju!" seru Sungmin. Pemuda ini hampir selalu setuju saja, jika Yesung mengusulkan sesuatu. Yesung adalah kakak Sungmin, dan dia juga ketua Club Super Se7en.

"Selama ini kita sibuk dengan ulangan dan urusan sekolah, sampai melupakan kegiatan club kita," sambung Sungmin lagi. "Paling sedikit tiga minggu aku tak teringat sama sekali pada club kita. Wah — betul juga! Apa password kita yang sekarang?"

"Kau ini bagaimana, Sungmin!" tukas Yesung kesal. "Masa itu saja sampai lupa!"

"Ayo katakan, Hyung." bujuk Sungmin. Tapi Yesung tidak mau mengatakannya. Karena itu Sungmin lantas berusaha memancing. "Hah, rupanya kau sendiri juga lupa! Berani taruhan, kau pasti juga tidak ingat lagi." Tapi Yesung tidak gampang dipancing begitu saja.

"Jangan konyol," katanya ketus. "Kau masih punya waktu untuk mengingatnya kembali sampai besok, apabila kita jadi mengadakan rapat. Nah, sekarang mana lencanamu. Pasti sudah hilang lagi!"

"Punyaku tidak hilang," jawab Sungmin kesal. "Bukankah selalu ada saja yang kehilangan, jika kita agak lama tidak mengadakan rapat."

"Tulis surat pemberitahuan pada kelima anggota kita," kata Yesung. "Tuliskan bahwa mereka harus datang besok. Kau punya kertas surat, Sungmin?"

"Ada! Tapi aku malas menulis pada hari pertama liburan," kata Sungmin. "Kau harus membantuku."

"Tidak bisa," kata Yesung menolak. "Nanti aku yang berkeliling naik sepeda, mengantarkan surat-surat itu pada kawan-kawan kita."

"Sekarang kau yang konyol," kata Sungmin sambil nyengir. "Kalau kau toh akan mendatangi semua teman, kenapa tidak bilang saja pada mereka tentang rapat besok. Untuk apa capek-capek menulis surat. Katakan saja langsung pada mereka!"

"Ya, baiklah." kata Yesung. Karena sebenarnya, ia sendiri juga malas menulis surat. "Aku rasa jika kita memanggil teman-teman untuk menghadiri rapat lewat surat, rasanya lebih resmi. Sekarang enaknya kita adakan pukul berapa?"

"Ya begitulah—setengah sebelas," kata Sungmin. "Dan ingatkan pada Eunhyuk, jangan sampai Kyuhyun adiknya yang bandel itu tahu kita akan rapat. Nanti dia akan datang menggedor-gedor pintu, sambil meneriakkan password asal, keras-keras!"

"Ya itu akan kukatakan padanya," kata Yesung. "Kyuhyun itu memang merepotkan. Anak itu tajam sekali penciumannya. Selalu saja dia bisa mencium urusan yang ada hubungannya dengan Super Se7en!"

"Anak seperti dia, apa tidak lebih baik dijadikan anggota club kita saja, daripada merongrong terus dari luar," kata Sungmin.

"Tak mungkin!" kata Yesung. "Lagipula, club kita namanya kan Super Se7en. Artinya 7 orang super yang mampu dan selalu siap untuk mengungkap misteri! Kalau ditambah dengan Kyuhyun, itu berarti kita akan menjadi berdelapan. Jadi nama Super Se7en sudah tidak cocok lagi!!"

Snoppy, anjing mereka yang ikut mendengarkan obrolan Yesung dan Sungmin, lantas menggonggong-gonggong. Kelihatannya seperti ingin mengatakan sesuatu.

"Sepertinya Snoppy juga ingin dianggap sebagai anggota super Se7en," kata Sungmin. "Kau cuma anak bawang, Snoppy! Tapi tanpa kau rasanya juga kurang lengkap."

"Anak bawang? Anjing bawang, maksudmu," tambah Yesung dengan tertawa. "Ya, aku berangkat saja sekarang naik sepeda, untuk memberitahukan teman-teman. Ayo Ikut aku, Snoppy!"

Yesung mengambil sepeda, lalu berangkat. Mula-mula menuju ke rumah Donghae. Donghae sangat gembira mendengar bahwa besok akan diadakan rapat.

"Hai Yesung!" serunya senang. "Setengah sebelas, katamu? Beres, aku pasti akan hadir. Eh — kata sandi kita apa, Yesung?"

"Kau punya waktu sehari untuk mengingat-ingatnya," jawab Yesung sambil nyengir, lalu melanjutkan perjalanan ke rumah Eunhyuk. Dilihatnya pemuda itu sedang ada di kebun, sibuk membetulkan ban belakang sepedanya yang bocor. Eunhyuk juga gembira melihat Yesung datang.

"Besok ada rapat Super Se7en," kata Yesung padanya. "Di tempat biasa. Dalam gudang di belakang kebun di rumah kami. Mudah-mudahan saja lencanamu tidak ditemukan oleh Kyuhyun dan dipakainya."

"Tak mungkin!" jawab Eunhyuk sambil meringis. "Aku selalu memakainya — ini!" katanya sambil memamerkan lencana yang terpasang di kerah bajunya. "Waktu akan tidur pun, selalu kupasang ke piyama. Jadi selalu aman dari tangan jahil! Eh — apa kata sandi kita, Yesung?"

"Aku tahu!"

Tiba-tiba terdengar suara seorang gadis dari atas pohon di dekat Mereka. Yesung dan Eunhyuk mendongak ke arah datangnya suara itu. Mereka melihat Kyuhyun meringis di atas, sambil memandang mereka berdua.

"Tak mungkin kau mengetahuinya!" kata Eunhyuk marah.

"Pokoknya aku tahu!" kata Kyuhyun sambil melebarkan cengirannya. "Tapi takkan kukatakan padamu. Biar kau tidak diijinkan ikut rapat besok. Hahah — lucu, ada anggota tidak bisa ikut rapat. Hahaha!"

Yesung cepat-cepat pergi, untuk memberi tahu kawan-kawan lain. la kesal pada Kyuhyun. Adik Eunhyuk itu memang benar-benar menjengkelkan. Anak yang paling menjengkelkan di seluruh dunia!

Bersambung…

Love In Vain (Chapter 7)



Dia dan Kim Bum. Mengukir nama mereka di semua tempat yang mereka kunjungi. Di pasir pantai, di pepohonan, di dek-dek kayu kano yang berjajaran, di meja restoran, di semua tempat yang mungkin dicemari oleh cinta mereka di pantai Jongmyo.

Kedua adiknya menggerutu gemas karena dia justru mengajaknya ke pantai ini dan bukan ke Changwon. Di sini tak ada jalanan yang penuh sesak oleh turis, tak ada restoran-restoran seafood kegemaran Park Shin Hye, tak ada jajaran toko pakaian dan aksesori di sekitarnya. Tapi selalu ada ketenangan – selalu ada ketentraman bagi Kim So Eun untuk mengenang sosok seorang Kim Bum.

Selalu ada Kim Bum di bale itu. Di saat mereka bermain catur dan Kim So Eun selalu kalah. Kemudian yang menang akan melemparkan sekeping uang logam ke dalam lautan lalu memohon sesuatu untuk dikabulkan.

Kim So Eun tidak pernah menang dan Kim So Eun tidak pernah bisa memohon. Kim So Eun tak pernah bisa memohon kepada dewa lautan agar menjaga Kim Bum suatu saat ketika mereka terpisah – suatu saat ketika abu jenazah Kim Bum dibenamkan di tengah laut.

Dan betapa permohonan Kim Bum selalu dikabulkan. Permohonan yang selalu untuknya, selalu untuk Kim So Eun dan cinta mereka berdua.

“Eonni, kenapa kau menangis?”

“Kau ingat Kim Bum Oppa?”

Dia mengangguk. Selalu mengingatnya.

Bersambung…

Love In Vain (Chapter 6)



“Sayang, Ayahku masih di luar negeri. Mungkin kami tidak bisa datang hari ini.” calon suaminya mengabarinya, “Titip maafku ke calon mertuaku ya, Sayang.”

Dia terhenyak. Untunglah. Ada perasaan lega memenuhi dadanya. Bahwa mungkin dia tidak benar-benar siap menikah dengan seseorang – tidak benar-benar siap dilamar oleh seseorang yang sudah hampir tujuh tahun menjalin hubungan dengannya.

“Lain waktu saja kalau begitu,” jawabnya, “Biar kujadikan kepulanganku kali ini sebagai rekreasi. Kau baik-baik di sana?”

“Nothing wrong with me, selain sangat merindukanmu.”

“Baguslah. Jangan selingkuh, ya.” Ujarnya bercanda.

“Pasti. Pasti selingkuh,” Pria di seberangnya tertawa, “Selingkuh dengan tumpukan pekerjaanku.”

“Asal jangan terlalu diforsir selingkuhnya..”

Dan mereka tertawa. “Miss you.”

Lalu mengakhiri pembicaraan.

“So?” Park Shin Hye menatapnya lekat. Tersenyum nakal.

“So, he’s not coming,” Seo Woo menjawab, “Jadi dandanan kita?”

Kim So Eun mengamati kedua adiknya yang kecentilan itu. Full make-up. “Kita jalan-jalan.”

“Wah, kau baik sekali Eonni! Kau akan mentraktir kami kan, Eonni!” Park Shin Hye meloncat-loncat lalu memeluknya.

Dia lebih memilih untuk bisa selalu jalan-jalan di pantai sendirian ketimbang jalan-jalan di pelaminan berduaan.

Bersambung…

Love In Vain (Chapter 5)



“Besok dia akan datang,” dia memelankan temponya mengunyah makanan di mulutnya, “Bersama keluarganya juga beberapa kerabat dekatnya.”

Ayahnya tersenyum sumringah, “Kali kedua Ayah akan beradu mulut dengan pria pilihanmu.”

Ibu dan adik-adiknya tertawa. Suasana di meja makan yang sudah lama tak dialaminya.

“Aku ingat waktu Ayah menginterogasi pacar Kim So Eun Eonni… Waktu Ayah menginterogasi Kim Bum Oppa!” Park Shin Hye – adik bungsunya – angkat bicara. Kim So Eun juga ingat waktu Park Shin Hye memasukkan kecoa ke cangkir teh Kim Bum sewaktu dia bertandang untuk melamar. Dan bagaimana seisi rumah menertawakan Kim Bum yang langsung menjatuhkan cangkirnya di hadapan calon mertuanya.

“Jangan ulangi kenakalan yang sama,” Ayahnya berujar, “Kalau kau tidak mau Ayah jahili calon suamimu.”

“Iya Ayah, iya. Ampun, ampun.”

“Hmm… siapa dia?” Kim So Eun menyahut nakal, “Jangan bawa ke Ayah. Bawa padaku dulu. Nanti biar aku yang interogasi.. Tes ketahanan menghadapi adikku yang bandel ini..”

“Ada, Eonni.” Seo Woo menyahut, “Jung Yong Hwa, namanya.”

Park Shin Hye melempar brokolinya ke piring Seo Woo, “Ssst.. Jangan bilang-bilang!”

Mereka serempak tertawa. Pipi Park Shin Hye merona merah. Dan Kim So Eun sadari, kejadian sepuluh tahun lalu kembali terulang. Tidak ada yang benar-benar berubah.

Bersambung…

Love In Vain (Chapter 4)


Adiknya spontan memeluknya ketika membukakan pintu. Dan dia spontan mengacak rambut adiknya itu. Diperhatikannya, tinggi gadis kecil itu sudah bertambah hampir tiga puluh senti setelah lama dia tinggalkan.

“Apa kabarmu? Aku sudah lama merindukanmu,” ujarnya penuh sayang.

“Tapi Eonni tidak pernah pulang.” Jawab adiknya.

Dia tak pernah pulang – bahkan ketika kakeknya meninggal karena serangan jantung. Ketika adiknya lulus sarjana dengan predikat sangat memuaskan. Ketika cinta pertamanya mengalami kecelakaan pesawat saat bertugas dan lalu dikremasi di tanah kelahirannya.

“Ibu di mana?” dialihkannya tatapannya dan lalu dia melangkah masuk.

“Di dapur, Eonni.”

Ayahnya berjalan ke arahnya. Dipeluknya Ayahnya lalu disalaminya seperti biasa.

“Sudah lama sekali,” Ayahnya berujar. Begitu lama – namun Ayahnya tak pernah mengunjunginya ke tempatnya, “Tiba-tiba pulang, kau bawa berita apa?”

Dia hanya bisa tersenyum, “Pernikahan.”

“Berita bagus.”

Bersambung…

Luka Hati (FF)



Title : Luka Hati
Author : Sweety Qliquers
Genre : Umum, Life Story
Episodes : 6 Chapter
Production : www.ff-lovers86.blogspot.com
Production Date : 17 February 2011, 09.41 AM
Cast :
Lee Hong Ki - Anak dari keluarga broken home
Jang Na Ra – Wali Kelas Lee Hong Ki
Song Seung Hun – Ayah Lee Hong Ki
Park Si Yeon – Ibu Lee Hong Ki
Kim Sun Ah – Nenek Lee Hong Ki

Extended Cast :
Park Shin Hye – Teman sekelas Lee Hong Ki
Jung Yong Hwa - Ketua kelas
Moon Geun Young – Sahabat Park Shin Hye
Sooyoung – Teman sekelas Lee Hong Ki yang pingsan karena ditakut-takuti dengan tikus yang dibawa Lee Hong Ki
Ha Ji Won – Guru piket
Huang Xiao Ming – Guru Matematika
Bae Yong Jun – Kepala Sekolah
Kim Min Joon – Ayah Park Shin Hye
Lee Da Hae – Guru Senior
Jang Hyuk – Guru Senior
Kim Ha Neul – Sekretaris Bae Yong Jun
Minho (Shinee) - Adik Lee Hong Ki
Jang Geun Suk – Teman Park Shin Hye yang dicemburui Lee Hong Ki
Wang Ji Hye – Guru BP / Sahabat Jang Na Ra
Lee Dong Gun – Kekasih Park Si Yeon (Ibu Lee Hong Ki)


Luka Hati

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6 (Tamat)

Luka Hati (Chapter 6-Tamat)



“Ehm…Lee Hong Ki ingat obrolan kita di sore hari waktu itu? saya pernah bilang kalau seorang anak yang baik harus bisa memaafkan kesalahan orang lain. Kau memaafkan Ibumu, berarti kau sudah memberikan kado ulangtahun yang paling bagus. Tidak dijual di toko mana pun, tapi harganya luar biasa mahal. Kau mengerti, Lee Hong Ki?”

“Jadi saya harus memaafkan Ibu, kalau ingin memberikan kado yang bagus?”

“Iya, saya jamin tak ada kado lain yang sebagus ini. Setuju?”

“Baiklah! Besok pagi-pagi, saya akan memberikan kado itu untuk ibu saya. Baiklah kalau begitu, Terimakasih Mrs. Jang Na Ra!” lalu pembicaraan ditutupnya.

Ah, anak itu! Sungguh manis kalau ia masih mengingat ulangtahun Ibunya, mengingat apa yang sudah dilakukan sang Ibu pada Lee Hong Ki.

Esok petangnya waktu aku terkantuk-kantuk menemani Ibu yang masih lelap di ranjang, ponselku berbunyi. Deringnya yang lumayan kencang nyaris membuatku jatuh dari kursi. Sebuah nomor yang belum aku kenal muncul di monitor.

“Mrs. Jang Na Ra? Tolong, tolong Lee Hong Ki! Tolong Lee Hong Ki!”

“Siapa ini?”

“Saya Nenek Lee Hong Ki. Tolong saya, Lee Hong Ki…dibawa ke kantor polisi! Tolong, cuma anda yang bisa menolong Lee Hong Ki!”

Aku tercekat tak bisa berkata beberapa detik. “Tenanglah Ny. Kim Sun Ah, tenang dulu. Saya tidak tahu ada masalah apa. Saya sedang cuti mengajar beberapa minggu, jadi saya tidak tahu tentang persoalan murid-murid. Nah, sekarang coba anda ceritakan apa yang terjadi,” aku mencoba tetap tenang sambil menyudut di koridor kamar rumah sakit. Isak tangis Ny. Kim Sun Ah membuatku bingung dan sulit menangkap kata-katanya.

“Lee Hong Ki…Lee Hong Ki…..dia ditangkap polisi…..”

Klik. Baterei ponselku habis dan hubungan pun terputus. Aku terbengong menatap ponsel di genggamanku. Lee Hong Ki, kenapa lagi kau? Kenapa harus bawa-bawa urusan polisi sekarang? Memukul orang? Menabrak pejalan kaki dengan sepedamu? Melempari rumah tetangga dengan batu? Mencuri uang? Berbagai tuduhan buruk bersliweran di kepalaku.

Ketika kakakku muncul menggantikan tugas jaga sore, aku langsung melarikan motorku secepat mungkin menemui Lee Hong Ki. Rumahnya sepi, tak ada yang membukakan pintu. Dari salah seorang tetangga, akhirnya aku mendapat alamat kantor polisi yang menahan Lee Hong Ki. Jadi ini memang tidak main-main.

Setelah sibuk mencari dan bertanya ke sana ke mari, akhirnya aku menemukan banyak orang bergerombol di salah satu ruangan di kantor polisi itu. Kulihat ayah dan Nenek Lee Hong Ki bersandar lemas di dinding, beberapa orang yang mungkin familinya tampak memeluk dan menghibur mereka. Ketika melihatku, Nenek Lee Hong Ki langsung menarik tanganku dan kembali menangis.

“Tolong Mrs. Jang Na Ra, hanya anda yang bisa menolong Lee Hong Ki. Dari tadi dia tidak mau bicara pada polisi. Dia bilang hanya mau bicara pada anda saja. Sudah lima jam dia ditahan, belum makan dan belum mandi. Kasihan Lee Hong Ki, tolong dia!”

“Iya, tapi kenapa? Apa yang sudah dilakukannya?”

Ny. Kim Sun Ah hanya meratap dan menggeleng-gelengkan kepala. Melihat mataku yang bertanya-tanya, ayahnya yang berwajah kusut berkata berat,”Tuduhan berat.”

“Apa? Mencuri, memukul, berkelahi, tuduhan seberat apa?”

Ayah Lee Hong Ki berulang kali menghela napas sebelum akhirnya menjawab, “Pembunuhan.”

Aku tak bisa mencegah mulutku untuk berteriak. Jantungku terasa lepas dari tempatnya dan merosot ke bawah. Kedua lututku saling beradu, dan cepat aku berpegangan pada tiang kayu di dekatku, sebelum aku benar-benar jatuh.

“Tidak mungkin! Lee Hong Ki tidak mungkin mem…”

“Polisi sedang memeriksanya sekarang,” ayah Lee Hong Ki menuntun tanganku untuk duduk di bangku.

“Tapi bagaimana mungkin? Pembunuhan…ya ampun, siapa .… siapa korbannya?”

“Ibunya.”

“Apa?”

“Lee Hong Ki dituduh menganiaya Ibunya sendiri sampai tewas.”

Aku terkulai lemas. Tak percaya dengan pendengaranku. Tak percaya dengan penglihatanku. Kenapa bisa begini jadinya? Lantas aku teringat percakapan terakhir kami di sore itu, ketika Lee Hong Ki mengamuk. Masih terngiang ucapannya yang begitu marah, “Saya harus bunuh mereka semua! Perempuan murah, harus ditembak! Dor, dor, dor! Semuanya orang jahat, tidak menyayangi saya! Saya mau bunuh orang jahat itu, bunuh semua!”

Selama beberapa waktu kami saling membisu, tak ada yang berniat membuka percakapan. Ayah Lee Hong Ki terus mengepulkan asap rokok sambil berjalan mondar-mandir, berulangkali ia meremas kepalanya. Aku menyeret kakiku yang terasa berat mendekat ke arahnya. “Bagaimana kejadiannya, Tuan?”

Bibirnya bergetar sedikit, lalu menggeleng. “Saya…saya tidak tahu persis. Pukul tujuh pagi saya sudah keluar rumah, anak-anak masih tidur. Tiba-tiba sore tadi saya ditelepon untuk kabar buruk ini.”

Sepanjang malam itu kami berada di kantor polisi tanpa bisa berbuat apa-apa. Penyidikan masih berlangsung dan tidak satu orang pun diperbolehkan untuk menemui Lee Hong Ki, termasuk keluarganya. Dua hari berlalu dan keadaannya masih tetap sama, kami tak bisa melihat keadaan Lee Hong Ki. Polisi hanya mengatakan kalau ia sehat-sehat saja.

Pukul sembilan malam, ketika aku baru sampai rumah dari kantor polisi, telepon rumahku berdering nyaring. “Halo? Halo?” sambutku terengah-engah.

“Dengan Mrs. Jang Na Ra? Anda diminta datang ke kantor polisi sekarang untuk kepentingan penyidikan kasus Lee Hong Ki.”

Tanpa penjelasan lebih lanjut telepon itu ditutup dari seberang. Tanpa menghiraukan keletihan dan rasa kantuk yang mendera, aku kembali bergegas ke luar rumah.

Karena Lee Hong Ki berkeras hanya mau bicara denganku, akhirnya polisi penyidik memutuskan untuk mengizinkan aku menemuinya. Rupanya para petugas itu benar-benar dibikin mabuk, karena Lee Hong Ki sama sekali tak mau membeberkan kejadian yang sesungguhnya.

“Mungkin anda bisa membantu. Dia sama sekali tidak bisa diajak kerjasama. Mulutnya terkunci. Kalaupun dia bicara, kata-katanya ngawur dan tidak kami mengerti. Baru tadi anak itu bilang mau bertemu dengan anda, dan berjanji akan menceritakannya kalau anda hadir bersama kami,” bisik seorang petugas yang mendampingiku.

Di dalam ruang pemeriksaan, ada empat petugas mengelilingi meja persegi. Dengan tangan berkeringat dingin, aku menarik kursi dan duduk di sebelah Lee Hong Ki. Seperti tak terjadi apa-apa, dia hanya mengangguk ketika melihatku datang.

“Lee Hong Ki, apa yang sudah kau lakukan?” tanyaku sambil memegang tangannya yang memainkan ujung kaos yang sudah kumal. Bercak-bercak darah yang warnanya sudah menghitam memenuhi bagian dada dan perutnya. Sesaat aku merasa mual ingin muntah.

Melihat kedekilan tubuh dan kebingungan wajahnya, aku langsung jatuh kasihan. Jiwanya labil, dan sekarang dia harus dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang pasti memusingkan otaknya. Sudah seharusnya Lee Hong Ki didampingi orang dewasa dalam proses interogasinya.

Seorang petugas di sebelah kananku berdehem-dehem lalu memberi tanda agar aku mencoba bicara lagi. Berkali-kali aku harus mengulang pertanyaan yang sama agar konsentrasinya bisa berpindah kepadaku. Tidak heran selama lima jam polisi hampir kehilangan akal dan kesabaran untuk menanyainya. Dengan rasa frustrasi yang amat dalam aku memaksanya dengan suara keras,“Lihat saya, Lee Hong Ki! Lihat semua orang yang sedang menunggumu di luar ruangan ini! Kami semua cemas dan sedih, tidakkah kau tahu? Kenapa kau terus diam dan tidak mau menceritakan kejadian yang sesungguhnya? Kalau kau tidak cerita, polisi tidak bisa tahu apakah kau salah atau benar. Kau bisa dipenjara, Lee Hong Ki! Ssya tidak mau kau masuk penjara! Saya tidak mau!” suaraku bergetar menahan tangis yang sudah akan tumpah. Lee Hong Ki melihat usahaku yang menggigit bibir kuat-kuat.

“Anda menyuruh saya untuk memaafkan Ibu, kan? Ya sudah, saya sudah memaafkan Ibu.”

“Bagaimana cara kau memaafkan Ibu?” tanyaku memandang lekat matanya yang mulai gelisah dan menggelepar aneh. Sejenak dia membuang muka. “Saya ke rumah Paman Lee Dong Gun tadi pagi, mau bilang kalau saya sudah memaafkan Ibu.”

Mendengar jawaban itu, semua petugas penyidik langsung menegakkan badan dan memasang kuping lebih cermat lagi. Semua sudah siap dengan pulpen dan notesnya.

“Tahu dari mana kau rumah Paman Lee Dong Gun?”

“Saya pernah menguntit Ibu waktu pulang dari rumah.”

“Lalu?”

Diam lagi. Lee Hong Ki membuang napas melalui mulut dan meraih gelas minumnya. Aku mencoba menahan diri untuk mulai bersikap santai, sedikit acuh tak acuh. Aku sudah mengenal sifatnya, kadang-kadang Lee Hong Ki langsung menarik diri kalau melihat lawan bicaranya terlalu ingin tahu. Beberapa saat aku mendiamkannya saja, melihat Lee Hong Ki seperti sedang melamun.

“Waktu sampai di rumah Paman Lee Dong Gun, Kau bertemu Ibumu? Lalu kau bilang apa?”

Diam lagi, tak terdengar jawaban. Aku melihat mata Lee Hong Ki mulai mengerjap. Dia menangis.

“Saya bawa kue cokelat untuk ibu. Hari ini ulang tahun Ibu. Sengaja saya mampir ke toko, beli kue kesenangan Ibu. Di hari ulang tahun ini, saya mau bilang kalau saya menyayanginya dan memaafkan kesalahannya. Tapi…tapi waktu saya ketuk pintu, tidak ada yang membuka. Saya coba buka sendiri, lalu saya panggil-panggil. Karena tidak ada yang menyahut, lalu saya naik ke loteng. Tapi…tapi….di situ…” kerongkongan Lee Hong Ki mendadak seperti tercekik. Airmatanya makin menetes, dan napasnya berubah menjadi dengusan. Seperti orang yang sedang marah besar.

“Saya naik ke loteng, lalu melihat ada pintu yang terbuka. Saya mengintip sebentar. Ibu sedang teriak-teriak sambil tiduran bersama Paman Lee Dong Gun. Jijik, perempuan murahan. Cih!” Lee Hong Ki meludah ke lantai dan mengagetkanku yang terpana dengan ceritanya.

Petugas yang bertugas mengetik berita acara di sudut ruangan pun terpaku. Tiba-tiba Lee Hong Ki berteriak. Dia mulai menceracau, bicara tak jelas ujung pangkalnya. Kedengarannya seperti sedang memaki-maki. Suaranya kadang meninggi, melengking, lalu bergumam dengan suara berat. Persis seperti ketika dia mengamuk di kelas dulu. Kedua tangannya memukul-mukul meja seperti sedang menabuh gendang, sebelah kakinya bergoyang-goyang. Rasanya aku ingin kabur saja dari sini cepat-cepat, lalu terbang menjemput Wang Ji Hye untuk menggantikanku duduk di sebelah Lee Hong Ki.

“Anda tahu? Dia itu perempuan brengsek! Jauh-jauh saya datang membawkana kue supaya dia senang, tapi yang says lihat di sana itu membuat saya gila!” Lee Hong Ki menggebrak meja dengan sekuat tenaga. Refleks aku bangkit dari kursi dan mundur dengan panik. Dua dari petugas penyidik juga sudah berdiri dan siap mengambil ancang-ancang untuk mengambil senjata di pinggang mereka. Lee Hong Ki membenamkan kepala di antara kedua tangannya yang sudah basah oleh keringat, lalu terisak-isak.

“Saya lihat Paman Lee Dong Gun turun ke bawah, lalu saya masuk ke kamar. Ibu masih ada di ranjang, tidak pakai apa-apa. Waktu dia melihat saya datang, dia kaget lalu memaki-maki. Saya bilang kalau hari ini ulangtahun Ibu. Tapi perempuan itu tidak mau menerima salam dari saya, apalagi memeluk. Dia cuma tertawa terus mengusir saya pergi. Lalu saya bilang kalau ya mau memaafkan Ibu asal Ibu pulang lagi ke rumah yang dulu. Tapi… tapi… Ibu terus tertawa, tawanya tambah keras. Ibu menertawakan saya, Mrs. Jang Na Ra! Tidak boleh ada yang menertawakan saya! Tidak boleh ada yang menolak saya! Tidak boleh ada yang mengusir saya! Tidak boleh! Saya marah! Saya… Saya ambil gunting yang ada di meja, Saya tusuk. Saya tusuk terus, sampai dia tidak tertawa lagi! Tusuk terus, sampai dia tidak tertawa lagi! Tusuk terus, tusuk lagi, lagi, terus... tusuk…. “

Teriakan Lee Hong Ki makin lama makin tinggi melengking, dia histeris. Polisi mulai memborgol tangannya, tapi dia terus meronta. Mulutnya tak bisa ditutup, terus menjerit. Jeritannya mengiringi putaran bintang-bintang yang beterbangan di kepalaku. Entah dari mana datangnya, aku mulai mencium amis darah dan mendengar denting gunting yang ditusuk-tusuk. Cres, cres, cres. Erat-erat kututup telinga, tidak kuat mendengar ocehannya lagi. Makin lama tubuhku terasa ringan, melayang lalu ambruk. Tak mendengar apa-apa lagi. Tak ingat apa-apa lagi.


TAMAT
Copyright Sweety Qliquers

Luka Hati (Chapter 5)



Lee Hong Ki datang untuk memaafkan Ibunya, tapi demi melihat kelakuan buruk wanita itu, ia pun gelap mata.

Karena kau ternyata cukup menyenangkan untuk diajak berteman,” jawabku setelah bisa memunculkan kembali rasa tenang. Jawaban itu aku comot asal saja dari film televisi yang aku tonton semalam.

“Bohong! Anda bohong!” cetusnya sambil memandangku.

“Sungguh!”

“Tidak ada yang mau bicara dengan saya. Bukan cuma teman-teman di kelas, Ayah juga tidak mau bicara dengan saya. Pergi pagi, pulang malam.”

“Kau tidak pernah bertanya pada Ayahmu?”

“Takut Ayah marah. Kalau marah, Ayah biasanya main pukul,” jawabnya mengenaskan. Kini aku tahu dari mana bekas-bekas membiru di tubuhnya berasal.

“Kau harus mengerti, Lee Hong Ki. Ayahmu kan harus bekerja mencari uang untukmu dan adikmu. Jadi tidak punya banyak waktu untuk kumpul-kumpul di rumah. Tapi Hari Sabtu dan Minggu Ayahmu pasti tidak bekerja kan? Eh, ngomong-ngomong soal hari Sabtu, tanggal 16 ini Park Shin Hye ulang tahun kan. Kau datang ya?” ajakku.

“Saya kan tidak diundang. Hanya saya yang tidak diundang,” jawabnya datar. Tangannya sibuk mengorek rumput, entah mencari apa.

“Tidak apa-apa, Park Shin Hye kan temanmu. Datang saja, atau kita pergi sama-sama?”

“Malas! Apalagi ada Jang Geun Suk, huuu…”

“Kenapa malas? Pasti Park Shin Hye cantik sekali waktu ulangtahun besok, seperti Ibumu. Senang ya punya Ibu yang cantik?” aku mulai memancing reaksinya dengan berdebar. Lee Hong Ki berlagak seolah tak mendengar, padahal aku yakin suaraku cukup jelas.

“Ibumu cantik sekali, Lee Hong Ki. Ibu pernah lihat waktu ke rumahmu itu. Wah…kalau saya punya wajah secantik itu, mungkin banyak yang menawari jadi bintang film ya?”

Lee Hong Ki mengangkat bahu, katanya,”Percuma cantik kalau jadi perempuan murahan!”

Aku kaget mendengar jawaban yang keluar dari mulutnya. “Masa kau menyebut Ibu sendiri begitu? Kau tahu apa arti omonganmu barusan?” tegurku dengan kuping memerah. “Itu bukan kata-kata yang sopan untuk diucapkan anak sekolah!”

“Tahu! Perempuan murahan! Semua orang juga tahu kalau Ibu jadi perempuan seperti itu! Semua orang tahu!” serunya kalap sambil berdiri, membuatku makin terhenyak. Rasanya aku sudah salah melangkah sore ini.

“Mrs. Jang Na Ra jangan coba-coba membela Ibu! Perempuan murahan yang cuma bisa tidur dan makan. Seperti binatang! Perempuan kotor! Perempuan brengsek…” aku membiarkan Lee Hong Ki berkata-kata sepuasnya, caci maki dari anak yang merasa terbuang. Beberapa kali dia mengulang kata yang sama menghujat Ibunya. Aku bingung harus bagaimana, memarahinya atau mendengarkannya saja.

“Park Shin Hye dan Ibu sama saja,” desis Lee Hong Ki sambil berjalan mondar-mandir di depanku. “Park Shin Hye, wajahnya cantik seperti Ibu. Saya sayang Park Shin Hye, dari pertama saya melihatnya. Setiap hari saya ingat dia, ingin melihatnya terus. Saya pernah mencium wangi parfumnya, wangi sekali seperti parfum Ibu. Saya semakin menyukai Park Shin Hye. Saya sering memberinya coklat, memberinya boneka beruang yang lucu, tapi Park Shin Hye tidak pernah mengucapkan terimakasih. Saya lalu memberinya surat, Saya bilang kalau saya mau menjadi pacarnya. Saya sudah bilang surat itu jangan diberitahukan pada siapa-siapa, tapi…Park Shin Hye memperlihatkannya pada Moon Geun Young dan Jang Geun Suk, lalu suratnya dibuang. Diremas-remas di depan mata Saya! Surat itu saya buat dengan susah payah, dua hari saya tulis surat itu. Tapi disobek-sobek, dibuang begitu saja ke tempat sampah! Mereka tertawa, Menyebut saya si Banci. Sebalnya lagi, di depan mata saya, Park Shin Hye sengaja pegang-pegang tangan Jang Geun Suk, lalu berbisik-bisik. Park Shin Hye pacaran dengan Jang Geun Suk. Itu yang membuat saya kesal! Saya marah, tidak bisa terima! Tidak bisa terima!!!” teriaknya kencang.

Sorot matanya mengandung ancaman yang berbahaya, seperti bom yang siap meledak setiap saat. Bulu kudukku berdiri sementara otakku menyusun kata-kata dan mencari cara untuk menurunkan emosinya.

“Saya harus bunuh mereka semua! Perempuan murah, harus ditembak! Dor, dor, dor! Semuanya orang jahat, tidak menyayangi saya! Saya mau bunuh orang jahat itu, bunuh semua!” dengan suara serak Lee Hong Ki berteriak, terus menyerukan keinginannya untuk membunuh. Airmatanya turun makin lama makin deras. Ia tersedu-sedu sambil menutup wajahnya.

Kedua kakiku mendadak lemas dan gemetar. Lidahku kelu, otakku buntu. Kalau saja Wang Ji Hye ada di sini, tentu dia tahu harus berbuat apa. Aku sibuk menyalahkan diri kenapa aku begitu lancang memancingnya dengan pertanyaan berbahaya, padahal aku tahu luka batin yang dialaminya tidak sembarangan. Aku takut Lee Hong Ki menjadi hilang kendali dan balik menyerangku. Tapi menyaksikan ia menangis begitu rupa sungguh membuatku tak tega. Entah kekuatan apa yang mendorongku untuk mendekatinya, padahal aku sendiri tengah dilanda ketakutan.

Perlahan dan ragu-ragu aku mengusap kepalanya lalu memeluk tubuhnya yang basah oleh keringat dan air mata. Lee Hong Ki makin mengencangkan tangisannya dan ya Tuhan, ia meraung seperti singa yang luka. Raungannya sangat memedihkan hatiku, membuatku tidak tahan dan guliran airmataku jatuh tanpa bisa kucegah. Kami bertangisan bersama entah untuk berapa lama. Sudah berapa lama anak ini tidak pernah dipeluk? Sudah berapa lama ia menunggu kata-kata sayang di telinganya? Sudah berapa lama ia terkurung dalam kesepian yang membuatnya sakit? Orangtua yang seharusnya melindungi dan menyayangi malah menciptakan neraka baginya Sudah berapa lama ia tersiksa oleh dendam dan kebencian? Punya Ayah yang senang memukul, punya Ibu tapi entah di mana dan tidak peduli lagi pada anak-anaknya. Lee Hong Ki, sudah berapa lama neraka itu ada?

Di sela-sela tangisku, aku berbisik,”Jangan takut, Lee Hong Ki. Ada Tuhan yang sayang padamu, Tuhan yang membuatmu lahir. Tuhan juga yang akan memeliharamu. Dia sayang sekali padamu lebih dari siapa pun. Tidak perduli kau bodoh atau pintar, bagus atau jelek, kaya atau miskin. Tuhan sayang padamu.”

Lee Hong Ki terguguk di bahuku dan makin mempererat pelukannya. Raungannya yang tidak dibuat-buat membuatku menghayati betapa anak ini miskin cinta dan perhatian. Sepertinya anak ini tak memiliki seorang pun yang mau menerimanya dengan tangan terbuka.

Sambil membelai kepalanya dengan tulus, aku berkata hati-hati dengan suara gemetar,”Menangislah Lee Hong Ki, menangislah….supaya hatimu lapang. Saya tahu kau sakit hati dan sedih, pasti berat rasanya. Tapi Tuhan mengajarkan kita untuk saling memaafkan dan mengasihi. Kau mau kan memaafkan Ayah dan Ibu? Mungkin mereka memang berbuat salah dan tidak sayang padamu, tapi pelan-pelan Lee Hong Ki harus belajar mengampuni Ayah, juga Ibu. Kau mau?”

Lee Hong Ki menggelengkan kepala keras-keras,”Tidak mau! Ibu sudah membuat malu Ayah! Ibu juga tidak pernah sayang pada saya dan Minho. Waktu saya sakit, dia malah pergi dengan Paman Lee Dong Gun ke Pulau Jeju. Waktu itu saya hampir mati di rumah sakit, tapi dia malah pergi!”

Aku mengangkat wajah Lee Hong Ki dan menghadapkannya ke mukaku. “Saya tahu, Lee Hong Ki. Ibumu memang sulit dimaafkan. Tapi dengarkan kata-kata saya…memaafkan orang baik itu gampang sekali Lee Hong Ki, tapi memaafkan orang yang jahat itu yang sulit. Tidak semua orang bisa melakukannya. Kalau Kau bisa belajar untuk memaafkan Ibumu, berarti kau sangat hebat. Mengerti?”

Lee Hong Ki terdiam lama lalu perlahan menjauh dariku. Dia duduk di atas batu dan terus diam di situ sampai senja makin datang, menandakan kami harus beranjak pulang. Sepanjang jalan menuju rumahnya, Lee Hong Ki terus menunduk sesekali menendang batu kerikil di jalan dan tidak berbicara lagi padaku sampai kami tiba di depan pagar.

“Saya akan berdoa untukmu. Ingat pesan saya, berbuat baik kepada orang yang sudah berbuat jahat kepada kita, seperti menaruh bara di atas kepalanya. Berjanjilah untuk mencobanya, Lee Hong Ki. Ya, kau mau berjanji pada saya? Kalau kau ingin terbebas dari rasa sakit yang selama ini ada, sekarang saatnya. Waktu kau memaafkan Ibumu, hatimu akan bebas merdeka. Kalau kau butuh teman bicara, kau tahu harus mencari saya ke mana kan?” aku kembali memeluknya.

Ketika aku bersiap pulang, Lee Hong Ki bertanya dengan lirih, ”Kenapa Anda baik sekali, mau menjadi teman saya?”

“Karena kau cukup menyenangkan untuk dijadikan teman,” jawabku kali ini dengan suara bulat dan pasti. Tidak asal-asalan lagi. Lee Hong Ki tersenyum mendengar jawaban yang sama itu dan melihat senyumnya, membuatku percaya Lee Hong Ki akan belajar menepati janjinya.

Esok harinya berita buruk menghadangku. Kali ini serangan stroke Ibu menghantam tiada ampun. Sudah hampir lima tahun ia berbaring di ranjang, tak bisa lagi berkata-kata dan makan seperti biasa. Pagi itu, kakakku berteriak karena mendadak Ibu tidak sadarkan diri. Ketika dokter tiba, ia segera memutuskan Ibu harus masuk ruang operasi hari ini juga. Cairan di otaknya harus segera disedot dan itu berarti kepala Ibu harus dibedah.

Dengan perasaan kecut dan berat hati aku minta izin untuk cuti mengajar beberapa minggu. Tidak mungkin membiarkan Kakak seorang diri mengurus Ibu di rumah sakit.

Di akhir minggu ketiga cutiku, ketika suatu siang aku sedang mendapat giliran jaga, tiba-tiba ponselku berbunyi.

“Mrs. Jang Na Ra? Ini saya, Lee Hong Ki.”

“Oh hai, Lee Hong Ki! Ada apa?”

“Ibu anda sakit? Sudah sembuh?”

“Belum, sekarang masih dirawat dokter. Ada apa, Lee Hong Ki?” tanyaku lagi.

“Ehm…anu, tapi Anda jangan marah ya? Kalau ada yang ulangtahun, bagusnya diberi kado apa ya?”

“Siapa dulu yang ulangtahun? Perempuan atau laki-laki, masih kecil atau sudah tua?”

“Ehm…perempuan dan belum tua.”

“Yah kalau perempuan, biasanya paling suka diberi baju atau alat kecantikan. Siapa, kau membuat saya penasaran saja?”

Hening sejenak. “Lee Hong Ki, halo?”

“Ibu. Besok Ibu saya ulangtahun.”

Kini aku yang ganti terdiam sambil menahan napas. “Oh, Ibumu ya? Bagus sekali kau ingat ulangtahun Ibumu. Kau memang anak yang berbakti.”

“Bagusnya diberi apa ya? Kalau baju atau lipstik, Ibu sudah punya banyak sekali. Hadiah yang lain saja!” desak Lee Hong Ki bersemangat dan membuat aku berpikir lebih keras.

“Ah, saya tahu ada satu hadiah yang pasti kau suka.”

“Anda suka tidak?”

“Ouw pasti!”

“Apa?”

Bersambung…

Luka Hati (Chapter 4)




“Sebenarnya aku juga tidak tahu pasti, karena tiap kali diajak konseling Lee Hong Ki selalu diam. Kalaupun bicara, dia sering tidak terarah pada pertanyaan yang diajukan. Baru kali ini aku mendapat cukup banyak informasi darimu, dan itu sangat membantu. Aku menduga kalau Lee Hong Ki mengalami dualisme. Di satu sisi ia begitu menyayangi ibunya yang cantik, mendambakan kasih dan belaian yang sedari kecil belum pernah ia dapatkan, dan berharap ibunya mau memaafkan dan menerima kehadirannya. Di satu sisi yang lain, ia membenci ibunya amat sangat, karena sudah mencampakkan, menolak, dan berkhianat pada keluarga. Melihat sendiri adegan perselingkuhan ibunya, sangat membuat Lee Hong Ki terguncang. Walaupun neneknya bercerita tidak ada keganjilan pada Lee Hong Ki, guncangan itu pasti ada,” tutur Wang Ji Hye sambil memandangku lekat.

“Tentang pemukulan Park Shin Hye itu, bagaimana?” tanyaku lagi.

“Kalau aku tidak salah tangkap mendengar ceritamu, sepertinya Lee Hong Ki itu sedang memasuki usia puber. Jangan lupa, dia sudah 17 tahun, dan mulai menyenangi lawan jenis. Kali ini gadis pilihannya jatuh pada Park Shin Hye. Di benaknya, Park Shin Hye yang cantik itu mirip dengan sang ibu. Ia ingin bisa lebih dekat dengan Park Shin Hye, sama seperti ia ingin lebih dekat dengan ibunya sendiri. Karena itu bisa dimaklumi kalau ia sangat marah melihat gadis pujaannya dekat dengan lelaki lain, di depan matanya. Bayangan perselingkuhan ibunya lima tahun yang lalu, begitu kuat mencengkeram sehingga ia sukar membedakan apa, siapa, dan kenapa. Secara refleks Lee Hong Ki bertindak, dan memukul Park Shin Hye. Bentuk pelampiasan kemarahannya pada sang ibu ditujukan pada gadis itu, tapi itu tidak berani ia lakukan pada ibunya sendiri.”

“Jadi sebetulnya, dia itu cinta sekaligus benci pada ibunya?”

Wang Ji Hye mengangguk,”Kurang lebih begitu.”

“Aneh.”

“Hubungan Lee Hong Ki dengan orang rumah lainnya, bagaimana?” tanya Wang Ji Hye.

“Ayahnya? Tahu sendirilah. Tipe ayah yang tidak mau tahu perkembangan anaknya, sibuk cari uang dari pagi sampai malam. Tidak heran kalau Lee Hong Ki sangat kacau dalam pelajaran. Di rumahnya tidak ada yang menolong dia belajar. Neneknya sama juga. Kasar, pemarah, dan juga tidak bisa mengawasi cucu-cucunya setiap hari. Paling dia hanya mampir untuk memasak makanan, selebihnya urusan pembantu.”

“Produk keluarga masa kini,” cetus Wang Ji Hye lalu kembali menyendok makaroni di piring. “Tambah lagi! Masih banyak di dapur,” katanya. Hm…tawaran yang sulit ditolak. Aku beringsut maju dan mengambil lagi sepotong.

“Pulang dari sini, siap-siap jalan kaki untuk membakar kalori dari makaroni yang kau makan,” seloroh Wang Ji Hye yang tahu aku paling ribut kalau perutku maju.

“Kemarin waktu aku tanya, apa yang dia sukai di sekolah ini jawabnya karena dia suka dengan teman-teman. Kalau memang dia suka, kenapa dia selalu membuat keributan, ya? Itu kan malah membuat semua orang kesal padanya.”

“Mungkin karena dia ingin cari perhatian. Dia ingin punya banyak teman, tapi tidak tahu caranya. Jadi dipakailah cara-cara yang konyol seperti itu, membuat sesuatu yang dia pikir sangat lucu, tapi buat orang lain sangat menjengkelkan.”

“Lee Hong Ki itu idiot ya?” Tanyaku pada Wang Ji Hye.

“Bukan idiot, tapi kurang cerdas. Kalau anak biasa sanggup mengerjakan soal 5 menit, dia harus diberi waktu beberapa kali lipat.”

“Soal bicara dan gaya jalannya yang seperti banci itu….”

“Perlu lebih banyak observasi lagi,” tukas Wang Ji Hye lalu menoleh ke dinding.

“Mau pergi, ya?”

“Ada janji makan siang dengan teman,” Wang Ji Hye meraih sisir dan menyisir rambut pendeknya.

“Wah, kemajuan sekarang. Biasanya kalau hari Minggu begini, acaramu cuma baca buku dan memasak,” usikku sambil turun dari ranjang.

“Jangan cerewet! Bawa pulang semua, makaroninya!”

“Wang Ji Hye, aku minta tolong sekali lagi.”

“Apa?”

“Soal keluarnya Lee Hong Ki dari sekolah. Rapat guru Senin besok akan memutuskannya.”

“Lalu?” Wang Ji Hye asyik mematut diri di depan cermin.

“Biasanya Mr. Bae Yong Jun paling suka mendengar saranmu. Bisakah kau memintanya untuk….ehm, maksudku begini. Terus terang, aku tidak tega melihat Lee Hong Ki dikeluarkan dari sekolah untuk yang kesekian kalinya. Aku melihat kegembiraan yang besar waktu aku membohonginya kemarin.”

Alis Wang Ji Hye terangkat,”Maksudmu?”

“Aku belum menyerahkan surat dari Mr. Bae Yong Jun kemarin. Di rumahnya tidak ada siapa-siapa, masa aku harus menyerahkan surat sepenting itu pada neneknya yang tidak simpatik? Mestinya kau lihat sikap Lee Hong Ki kemarin, Wang Ji Hye. Dia begitu gembira waktu aku meyakinkan bahwa dia tidak dikeluarkan. Dia melompat, dia memegang tanganku, dia berlari dan berteriak! Begitu gembiranya. Aku tahu bahwa sekolah mempunyai nilai yang besar untuk Lee Hong Ki, dia senang tetap sekolah lagi. Dan aku pikir, kau dan aku bisa membuat keinginannya itu tercapai. Kau tadi bilang kalau jiwanya terguncang, dan aku yakin soal tidak naik kelas dan dikeluarkan dari sekolah itu juga punya andil besar bagi keguncangan jiwanya. Apakah sekarang kita harus menambah lagi luka batinnya, setelah semua kepahitan yang dia alami? Apakah kita tega mengambil harapannya yang cuma sedikit itu, dan melihatnya kembali terpuruk?”

“Apa yang bisa kita lakukan, Jang Na Ra sayang? Bukan aku yang jadi penentu. Aku tahu dedikasimu, keloyalanmu, perhatianmu untuk murid, tapi… aku tidak bisa berbuat apa-apa. Maaf,” Wang Ji Hye mendekatiku dan mengusap bahuku perlahan.

“Sebelum rapat Senin nanti, kita bisa menghadap Mr. Bae Yong Jun dan menceritakan apa yang kita tahu. Kau harus membantu Lee Hong Ki, Wang Ji Hye! Cuma omonganmu sebagai konselor sekolah yang mau didengar Mr. Bae Yong Jun. Setelah itu, kita minta supaya Lee Hong Ki diberi waktu beberapa bulan agar kita bisa mendekatinya. Syukur kalau kita bisa menolongnya agar kelakuannya berubah. Dia butuh pertolongan, Wang Ji Hye, itu yang dia butuhkan! Bukan surat pemecatan sekolah!”

“Aku tidak tahu apakah….”

“Ayolah, Wang Ji Hye! Kau tahu bagaimana rusaknya kondisi Lee Hong Ki, kau lebih tahu dari aku. Apakah kau bisa menyaksikan orang yang sudah jatuh tertimpa tangga pula? Keluar dari lubang singa masuk ke mulut harimau? Cuma itu yang bisa kita lakukan untuk mempertahankan Lee Hong Ki di sekolah kita, Wang Ji Hye!”

Wang Ji Hye terdiam lalu meghela napas. “Kenapa kau ngotot sekali? Kenapa dia jadi begitu istimewa buatmu?”

Aku mengambil tas sambil menggelengkan kepala, aku juga tidak tahu kenapa. Mungkin mimpi beberapa malam kemarin sangat membekas dan mempengaruhi penilaianku pada Lee Hong Ki. Lalu kuceritakan sekilas tentang mimpi itu.

“Bukan aku menjadikannya istimewa. Pertama kali aku juga bersikap seperti kebanyakan guru lain, jengkel dan muak. Tapi lalu aku sadar, itulah alasan kenapa aku ingin menjadi guru. Untuk menunjukkan kepada murid-muridku hal yang benar dan tidak, bukan cuma ilmu hitung atau baca tulis agar mereka jadi sarjana. Juga untuk memberikan bekal supaya mereka punya nilai lebih di masa depan. Bisakah kau bayangkan, nilai lebih apa yang bisa Lee Hong Ki raih kalau setiap kali ia harus dibuang oleh sekolah yang berlainan, karena orang beranggapan dia adalah sampah. Bagaimana dengan masa depannya, yang tanpa ia sendiri minta sudah terluka karena kondisi keluarganya? Alangkah berdosanya kita Wang Ji Hye, yang tahu sesuatu tapi tidak melakukan apa-apa untuk membantunya….” aku menatap Wang Ji Hye yang berdiri mematung.

“Kau memang guru yang baik, aku akui itu. Oke, temui aku di ruang konseling Senin nanti sebelum rapat mulai. Aku akan menemanimu menghadap Mr. Bae Yong Jun. Oke Nona manis, puas? Sekarang kau bisa membiarkan aku dandan dengan tenang, ‘kan?”

“Terima kasih, Wang Ji Hye! Kau memang bisa diandalkan!”

Dengan mengerahkan segenap kosakata yang dimilikinya, Wang Ji Hye membantuku berusaha meyakinkan Mr. Bae Yong Jun tentang kondisi Lee Hong Ki. Senin pagi itu, sekolah diliburkan karena ada rapat guru. Selain membahas materi kurikulum baru, salah satu agenda pentingnya adalah membicarakan tentang keputusan apakah Lee Hong Ki tetap berstatus sebagai murid SMA Shinhwa atau tidak.

Mr. Bae Yong Jun mendengarkan dengan tenang, sambil sesekali menyeling dengan pertanyaan. Raut mukanya tak bisa kubaca.

“Jadi yang kalian usulkan adalah....”

“Sekolah memberikan kesempatan beberapa waktu lagi kepada Lee Hong Ki untuk memperbaiki diri, mungkin dengan beberapa pendekatan kita bisa membantunya bersikap lebih baik,” aku langsung menyambar.

“Berapa lama? Kalian sendiri tadi mengatakan kalau luka kejiwaan yang dialaminya mungkin sudah mengendap bertahun-tahun dan cukup berat, dan tidak cukup waktu sebulan dua bulan untuk memulihkannya. Dan selama waktu itu pula, Lee Hong Ki tidak bisa diharapkan 100% tidak membuat keributan seperti yang sudah-sudah. Apakah kalian sudah siap dengan konsekuensinya? Berarti masalah akan terus timbul, ‘kan? Bagaimana dengan murid-murid Anda, Mrs. Jang Na Ra? Mereka pasti terganggu dan akan telantar karena Anda harus bolak-balik mengurusi Lee Hong Ki. Bagaimana dengan guru-guru yang lain? Mereka juga membutuhkan suasana yang tenang untuk mengajar. Lagi pula kalau memang sudah kalian analisis masalahnya, tinggal beri tahu saja orang tuanya untuk membawa Lee Hong Ki periksa ke psikolog atau apalah itu. Bukan kita yang harus repot-repot, ‘kan?”

Aku dan Wang Ji Hye saling berpandangan, lalu aku berujar pelan, “Tapi di sekolah, Lee Hong Ki milik kita, Mr. Bae Young Jun. Kita yang harus merawat dan membesarkannya sebagai anak. Ehm, saya rasa, kita harus berani mencobanya, berani memberinya kesempatan. Anak itu sekarang butuh dorongan dan kepercayaan, bukan penghakiman seperti yang sudah diterimanya selama ini. Dan usaha untuk membantunya membutuhkan kerja sama di antara kita, karena ia murid yang dititipkan kepada kita.”

Mr. Bae Yong Jun membutuhkan waktu beberapa menit untuk mencerna tawaran kami, lalu katanya, ”Tiga bulan saya pikir cukup sebagai bentuk toleransi sekolah. Setelah itu, saya akan mengevaluasinya berdasarkan laporan Anda sebagai guru kelasnya.”

Tak ada kegembiraan yang melebihi rasa gembiraku saat ini. Tanpa sadar aku berdiri lalu menyalami tangan Mr. Bae Yong Jun sampai berguncang-guncang sebagai tanda terima kasih. Akhirnya aku bisa memberitakan kabar baik itu kepada Lee Hong Ki hari ini.

Sepulang sekolah, kuhampiri Lee Hong Ki yang sedang menunggu di pelataran parkir.

“Hei Lee Hong Ki, tunggu dijemput, ya?” sapaku.

Lee Hong Ki tampak terkejut, kepalanya sedikit mengangguk.

“Hari ini kau pendiam sekali di kelas, kenapa? Sedang tidak enak badan?”

Lee Hong Ki hanya diam. Beberapa pertanyaan basa-basi kuajukan lagi, tapi jawabannya juga anggukan atau gelengan saja.

“Es krim yang kemarin itu enak sekali, ya? Saya jadi ingin membelinya lagi.”

“Memang enak, Makanya Mrs. Jang Na Ra main lagi saja ke rumah saya,” katanya dengan mimik berharap. Nah, ini dia, jawaban panjang yang akhirnya keluar juga dari mulutnya.

“Memangnya saya boleh sering-sering main?” tanyaku balik, sambil menawarkan cokelat. Diambilnya sepotong.

“Tentu saja, boleh! Nanti kita makan es krim lagi, sekarang es krim rasa vanilla! Kan kemarin es krim cokelat. Kapan, nanti sore, ya? Nanti saya kenalkan dengan Minho, adik saya.”

Aku tersenyum lalu menjabat tangannya tanda setuju. Lee Hong Ki melambaikan tangannya dengan bersemangat, lalu berseru sambil naik ke mobil, ”Betul ya, nanti sore!”

Aku harus mulai belajar mendekatkan diri dengan Lee Hong Ki, keputusan yang kuambil setelah mengonsultasikan masalah ini lebih lanjut dengan Mr. Bae Yong Jun dan Wang Ji Hye. Di luar dugaanku, Mr. Bae Yong Jun cukup tanggap dan mendorongku untuk lebih aktif masuk dalam kehidupan Lee Hong Ki. “Dia sudah percaya kepada Mrs. Jang Na Ra. Satu hal yang tidak bisa dia lakukan pada orang lain,” kata Mr. Bae Yong Jun tadi.

Yang kupikirkan, bagaimana aku menolongnya supaya beban jiwanya bisa diperingan. Aku bukan orang yang paham tentang ilmu jiwa, tapi menganjurkan ayah Lee Hong Ki untuk membawa anaknya berkonsultasi dengan psikolog tentu merupakan hal yang memalukan bagi keluarga itu. Maaf Tn. Song Seung Hun, sebaiknya Lee Hong Ki diperiksa oleh psikolog karena gangguan jiwa yang dideritanya. Sebuah pukulan telak. Jadi sementara ini satu-satunya yang bisa aku lakukan adalah dengan mengambil posisi menjadi sahabat Lee Hong Ki yang bisa dipercaya. Wang Ji Hye juga sudah menjadwalkan pertemuan rutin dengan Lee Hong Ki dua kali seminggu, khusus untuk memantau perkembangannya.

Bulan-bulan berikutnya, ia sudah bisa lebih terbuka padaku. Mulai banyak bercerita tentang pelajaran, makanan kegemaran, adiknya, atau hobinya bermain komputer. Tapi tak ada satu pun cerita tentang Ibu dan Ayahnya. Kelakuannya agak berubah dan lebih bisa dikendalikan, walaupun begitu sebagian besar teman sekelasnya masih enggan untuk mendekat. Memang ia masih sering berbuat jail, tapi kadarnya sudah tidak separah dulu. Keluhan dari guru lain juga mulai berkurang.

Tak terasa waktu tiga bulan yang diberikan Mr. Bae Yong Jun sudah lewat beberapa hari. Ketika aku dan Wang Ji Hye melaporkan evaluasi terakhir kami, beliau tersenyum. “Usaha keras kalian membuahkan hasil. Sudah lama ia tidak membuat keributan lagi, kan?”

Suatu sore ketika kami sedang duduk di taman dekat rumah Lee Hong Ki, ia bertanya, ”Mrs. Jang Na Ra, kenapa anda mau menjadi teman saya? Padahal, di kelas saya tidak punya teman, tidak ada yang mau bicara dengan saya. Kenapa?”

Aku terpana, sama sekali tidak siap dengan pertanyaan itu dan lebih tidak siap lagi untuk memberikan jawabannya.

Bersambung…

Luka Hati (Chapter 3)



Mata Lee Hong Ki langsung berbinar ketika tahu bahwa ia tidak akan dikeluarkan dari sekolah.

Sudah tiga hari kau tidak masuk sekolah. Ke mana saja, Lee Hong Ki?” tanyaku dengan suara pelan. Lee Hong Ki mengangkat bahu, tampangnya kusam.

“Kalau memang sakit atau ada keperluan, semestinya kau mengirim surat pemberitahuan ke sekolah. Kau tahu peraturannya, ‘kan?”

“Buat apa? Aku kan sudah dikeluarkan. Sama seperti sekolah yang dulu-dulu,” jawaban yang lugas itu membuatku tercekat.

“Siapa bilang? Kau tetap murid saya, tidak ada yang mengeluarkanmu.”

“Bohong!”

“Tidak, Saya tidak bohong. Hari Senin kau harus masuk sekolah lagi, ya? Eh, pipimu kenapa? Biru begitu,” refleks aku mengulurkan tangan hendak memeriksa. Cepat Lee Hong Ki mengelak,” Cuma kebentur pintu.”

“Nanti diobati, ya? Eh Lee Hong Ki, Saya haus. Boleh minta air putih sedikit?” aku berkelit mengalihkan pembicaraan. Tak perlu diulang dua kali, ia masuk ke dalam dan keluar membawa segelas besar air putih.

“Makan es krim lebih enak daripada minum air putih, Bu!” ujarnya tiba-tiba.

“Oh ya?”

“Ya! Warung depan jualan es krim…” kata Lee Hong Ki lagi sambil menunjuk.

“Kau mau? Ayo, kita pergi beli es krim!” aku langsung menyambar kesempatan. Siapa tahu aku bisa lebih banyak mengorek cerita dari mulutnya kalau ditemani beberapa bungkus es krim. Bak gayung bersambut, tawaran itu lantas membuat mata Lee Hong Ki bergairah.

“Boleh ambil dua, Bu?” tanyanya ketika kami sampai di depan pendingin es krim yang ada di warung, tak jauh dari rumahnya. Sambil berjalan kaki meninggalkan warung, Lee Hong Ki terus asyik menjilati makanan favoritnya.

“Apa saja yang kau lakukan selama tidak masuk sekolah, Lee Hong Ki?”

“Main, makan, nonton tv, naik sepeda.”

“Dan kau tidak memberi tahu orang tuamu kalau saya ingin bertemu?”

“Ah, bosan! Paling juga buntutnya saya keluar dari sekolah. Jadi, untuk apa saya memberitahu ayah.”

“Kau suka sekolah yang sekarang?”

“Suka.”

“Kenapa?”

“Karena ada Park Shin Hye….” Kata-kata itu terlontar keluar dan cukup jelas terdengar di telingaku. Tapi, buru-buru Lee Hong Ki meralat, ”Bukan… maksudnya eh… banyak teman baru, jadi saya suka.”

“Kalau Kau suka punya banyak teman, lalu kenapa kau pukul Park Shin Hye kemarin? Kasihan kan, pipinya diperban.”

“Salah sendiri! Siapa suruh dia pegang-pegang tangan Jang Geun Suk, lalu bisik-bisik,” jawabnya terdengar sewot. Dengan cepat ia menghabiskan sisa es krimnya.

“Memangnya kenapa?” kejarku lagi.

“Itu namanya perempuan tidak baik, pegang-pegangan dengan laki-laki. Ayah yang bilang begitu. Nenek juga,” jawabnya lugas. “Lagipula, Park Shin Hye sering mengatakan yang tidak-tidak tentang saya pada Moon Geun Young.”

“Apa katanya?”

“Dia bilang saya banci, lalu dia ketawa-ketawa sambil lihat-lihat ke belakang. Saya tahu dia sedang membicarkan saya.…”

“Lali kau marah, dan memukul Park Shin Hye? Juga melukai pipinya? Itu bukan cara marah yang baik, Lee Hong Ki. Dengan teman kita harus saling sayang, apalagi Park Shin Hye itu kan perempuan. Kalau dia jadi cacat dan bekas lukanya tidak bisa hilang, bagaimana? Kau kan bisa tanya baik-baik kenapa Park Shin Hye menertawakanmu. Sekarang akibat peristiwa ini, kau jadi tambah tidak punya teman.”

“Biarkan saja! Siapa suruh dia buang surat…” Lee Hong Ki menghentikan bicaranya, lalu memandangku sedikit salah tingkah.

“Surat apa, Lee Hong Ki?” tanyaku dengan lagak acuh tak acuh.

Lee Hong Ki menggeleng lalu katanya, ”Kita pulang saja, bu. Saya gerah, mau mandi!”

Menyadari Lee Hong Ki tidak bisa dipaksa untuk buka mulut lebih jauh, aku berusaha menyabarkan diri untuk tetap bertahan dengan pendekatan sebagai teman baginya.

“Mrs. Jang Na Ra,” kata Lee Hong Ki melangkah sambil memegang tanganku. “Betul saya tidak dikeluarkan dari sekolah?” pertanyaan yang lagi-lagi membuatku hampir sesak napas. Bagaimana mungkin aku katakan kalau nasibnya akan ditentukan dalam rapat guru minggu depan? Dan kemungkinan besar, guru-guru lebih memilih untuk mengeluarkannya. Lee Hong Ki masih memegang tanganku dan menunggu jawaban.

“Asal kau mau bertingkah laku yang baik,” sahutku mengambang sambil berharap ia puas dengan jawaban itu.

“Jadi besok Senin saya tetap bisa sekolah?” tanyanya, kali ini dengan gembira. Baru kusadari kalau binar-binar di balik kacamata tebalnya begitu hidup. “Saya tetap sekolah! Tetap sekolah!” pekiknya sambil berlari mendahuluiku. Dari kejauhan aku mengamati lonjakan gembiranya. Kesenangan yang meluap karena ia pikir sekolah tetap menerimanya. Dengan galau, aku menendang batu di depan kaki sambil memikirkan apa yang bisa aku lakukan agar kegembiraan Lee Hong Ki bisa terus dimilikinya. Kegembiraan untuk terus sekolah.

“Ayahmu sudah pulang, ya?” tanyaku ketika akhirnya kami sampai di rumah Lee Hong Ki.

“Bukan mobil Ayah. Mobil siapa itu?” Lee Hong Ki balik bertanya. Detak keras suara hak sepatu tinggi membuat kami berpaling.

“Ibu!” Lee Hong Ki melambaikan tangan dan cepat menghampiri wanita yang sedang menutup pagar di belakangnya. Wajahnya lumayan tebal dengan make up, gaya busananya modern, dengan dua jari tangan menjepit rokok yang mengepul.

“Main terus! Tidak naik kelas lagi baru tahu rasa!” semprotnya tanpa mengacuhkan tangan Lee Hong Ki yang terbuka minta dipeluk.

“Mobil baru ya, Bu? Mau ke mana, Bu? Aku kan belum …!” teriak Lee Hong Ki penuh protes melihat Ibunya membuka pintu mobil. Dia mengejar dan menahan pintu mobil, tapi tangan Lee Hong Ki segera ditepisnya dengan kasar. “Apa-apaan kau ini? Minggir!” Bentakannya membuat Lee Hong Ki mundur menjauhi mobil.

“Hei, bilang pada Ayahmu, mana uang bulanannya? Janji jam 5 sore, malah dia belum pulang. Sialan!”

Lee Hong Ki cuma terlongo mengikuti deru mobil yang berputar meninggalkan rumahnya. Gerakan tangannya yang dalam posisi siap melambai perlahan turun dengan lemas. Aku hampir tidak percaya kalau adegan barusan adalah adegan antara ibu dan anak. Lebih mirip adegan nyonya besar dengan kacungnya.

“Lee Hong Ki!” panggilku. “Itu Ibumu?”

Dia memandangku dari balik kacamata tebalnya dan mengangkat bahu, lalu berbalik masuk dan menutup pintu. Dari balik kaca ia mengawasiku melangkah pulang. Aku melambaikan tangan pamit pulang dan melaju membawa kegalauan besar dalam hati. Surat panggilan yang diberikan Mr. Bae Yong Jun tadi masih tersimpan di dalam tasku.

Aku menguap panjang sambil melemaskan otot-otot pinggang. Uah, masih ada enam karangan lagi yang harus aku baca. Di kelas aku paling suka memberikan ulangan dalam bentuk esai dan pelajaran favoritku adalah pelajaran mengarang. Karena dari hasil tulisan yang mereka tulis itulah aku bisa membaca jalan pikiran murid-murid. Sekaligus melatih mereka menuangkan ide dan kreasi dalam bentuk kalimat. Hitung-hitung memberikan bekal kalau kelak mereka menginjak kuliah nanti, harus membuat laporan praktikum dan menyusun skripsi. Menurutku bahaya kalau mereka terus terkondisi dengan kemudahan memilih jawaban pilihan berganda, yang mendorong kegiatan mencontek tumbuh dengan subur.

Seperti hari ini, aku menyuruh murid-murid membuat karangan tentang sosok ibu masing-masing. Ada yang menulis, ibunya galak seperti tentara tapi ia sangat sayang karena ibunya jago memasak mi ayam kesukaannya. Yang lain bercerita, ibunya selalu pergi ke kantor pagi-pagi dan pulang malam hari, padahal ia ingin berbagi cerita tentang aktifitasnya hari itu sebelum tidur.

Aku melihat sisa karangan yang tergeletak sembari menimbang untuk menunda memeriksanya, besok pagi saja. Tapi sehelai kertas bertuliskan nama Lee Hong Ki menarik perhatianku. Karangannya teramat singkat, kalimat-kalimatnya pendek dan sederhana, dengan alur cerita yang tidak terarah.

Aku punya Ibu. Ibu yang melahirkan aku. Ibuku cantik. Bajunya bagus-bagus. Ibu sering pergi. Aku ingin pergi ke Taman Hiburan dengan Ibu. Tapi Ibu pergi terus. Ibu sayang padaku.

Rasa kantukku berangsur hilang, berganti dengan keprihatinan. Sedari pertama ketika melihat ayahnya mengantar Lee Hong Ki ke sekolah di hari pertama, aku tergelitik dengan sikap anehnya. Dan ketika berkunjung ke rumah Lee Hong Ki serta melihat seperti apa keluarganya, aku langsung mengerti mengapa Lee Hong Ki begitu berbeda dengan anak-anak lain. Bukan hanya hatinya yang sakit, tapi juga jiwanya. Rasa tertolak karena kehadirannya tidak dikehendaki oleh sang ibu berbaur dengan pendaman kerinduan untuk merasakan kehangatan kasihnya, bercampur dengan kemuakan karena sang ibu mengkhianati keluarganya. Apalagi dia sedang menginjak puber, yang sering krisis karena mencari jati diri. Masih segar di mataku, guratan kecewa yang tidak bisa disembunyikan Lee Hong Ki ketika ibunya sama sekali tidak menyapanya dengan manis sore itu, apalagi berinisiatif memeluknya. Bahkan, untuk sebuah lambaian tangan yang sederhana.

Aku tidak bisa membayangkan seperti apa pedihnya, tidak dicintai oleh ibu sendiri sedari bayi. Ditambah lagi harus menyaksikan ulah tak terpuji dari ibu yang sangat dipujanya. Aku juga tak bisa membayangkan seperti apa rasanya menjadi orang yang terbelakang mental, dengan tubuh sebesar remaja tapi berpikiran seperti anak-anak. Dikeluarkan dari sekolah, dijauhi teman, dimarahi guru, tidak memiliki siapa pun untuk diajak bicara, dan selalu dianggap sebagai orang aneh yang membawa masalah. Tidak ada yang mau mengerti, seorang pun tidak. Ya Tuhan, seperti apa rasanya? Malam itu sebelum tidur, aku menyelipkan nama Lee Hong Ki dalam permintaan doaku. Tanpa sadar aku ikut menangis.

"Jadi begitu ceritanya?” Wang Ji Hye mengangsurkan sepiring makaroni skotel di depan hidungku. Aku mengiyakan sambil mengunyah. Sepulang dari took buku aku menyempatkan mampir ke tempat kos Wang Ji Hye. Usianya 5 tahun di atasku, tapi tidak pernah bersikap sok senior dan sok tahu seperti kakak kelasku yang lain. Kami dulu sudah saling mengenal ketika kuliah di perguruan tinggi yang sama dan sekarang kebetulan mengajar di sekolah yang sama pula. Tapi sesuai dengan latar belakang pendidikannya di fakultas psikologi, ia ditempatkan di bagian BP dan konseling.

“Ternyata masalahnya kompleks. Maksudku…kita harus melihat kenakalan Lee Hong Ki itu karena jiwanya yang terguncang. Jadi kita tidak bisa menghakiminya begitu saja, mengeluarkan dari sekolah lalu urusannya beres. Bagaimana menurutmu?”

“Ya, aku setuju.”

“Mendengar cerita tadi, bagaimana kira-kira analisismu?” aku berguling ke sudut tempat tidur dan menemukan bantal berbentuk gajah yang cukup empuk untuk kutiduri.

“Lee Hong Ki mengalami trauma, itu jelas. Ia tidak menerima cukup cinta dari orang-orang yang semestinya memberikan itu. Sejak kelahirannya saja, ia sudah ditolak oleh sang ibu. Mengingat kesenangannya berdandan dan kepeduliannya pada tubuh, mungkin ia menganggap hamil dan melahirkan adalah kerusakan yang bisa mengancam keindahan tubuhnya. Dan ancaman itu berwujud seorang anak, yang langsung ia benci. Luka batin yang sudah ditaburkan sejak bayi terus menambah parah keadaan, ditambah lagi perbuatan ibunya yang gemar gonta-ganti pasangan. Kenyataan itu agaknya terlalu berat bagi Lee Hong Ki, sehingga jiwanya labil dan kita bisa lihat dari sikapnya sehari-hari, ‘kan? Kadang mengamuk, kadang alim, kadang agresif.”

“Kenapa bisa begitu?”

Bersambung…

Luka Hati (Chapter 2)



Sekadar iseng mau tahu, kulongok isinya. Kertas surat rupanya sudah disobek-sobek menjadi beberapa potong, dan karena iseng juga aku menyusunnya lagi seperti menyusun puzzle. Walaupun surat itu tak mencantumkan nama penulis, tapi aku hafal tulisan tangannya. Surat dari Lee Hong Ki untuk Park Shin Hye.

Ketika melihat sekretaris Mr. Bae Yong Jun melintas, aku langsung mengejarnya,”Mrs. Kim Ha Neul! Mr. Bae Yong Jun masih sibuk tidak?”

“Sudah pulang dari pukul 5 tadi. Memangnya ada janji bertemu?”

“Tidak, hanya saja urusan yang tadi belum beres.”

“Ehm, masalah anak itu ya, siapa namanya?”

“Lee Hong Ki,” jawabku.

“Sudahlah Mrs. Jang Na Ra, besok lagi saja. Sekarang lebih baik kau pulang, istirahat supaya pikiran jadi jernih lagi. Mau pulang sama-sama? Kebetulan saya bawa mobil,” ajak Mrs. Kim Ha Neul yang langsung kusetujui.

Betul juga, lebih baik pulang. Mandi air hangat sambil berendam. Berpikir dengan kepala suntuk begini tidak ada gunanya sama sekali. Besok apa pun yang terjadi, terjadilah.

Mandi air hangat memang manjur untuk menyegarkan pikiran. Ditemani segelas susu coklat, aku menghabiskan waktu di ranjang sambil memejamkan mata. Pikiranku menerawang. Apakah Lee Hong Ki itu menyebalkan? Jawabnya, ya. Apakah dia selalu membuat kekacauan? Ya. Setiap hari? Ehm…tidak juga. Ada hari-hari tertentu anak itu berlaku seperti pertapa, tidak suka diganggu. Apakah dia dibenci semua orang? Ya, termasuk aku. Gara-gara anak itu, karirku terancam. Apakah dia tidak memiliki sesuatu yang bisa membuat orang menyayanginya? Ehm, rasanya tidak ada. Semua dalam diri anak itu memang menyebalkan. Pantas saja, sering tidak naik kelas dan dikeluarkan dari sekolah. Mana ada orang yang tahan dekat-dekat dengannya? Aku menguap lalu memutuskan untuk mencoba tidur walaupun mataku masih betah terbuka.

Ketika subuh aku terbangun, dan mengingat-ingat apa yang kualami semalam. Mimpi atau bukan, ya? Aku seolah berada di ruang persidangan dengan Lee Hong Ki sebagai tertuduh utama. Mr. Bae Yong Jun memakai jubah hakim dan memegang palu. Sementara aku berdiri kebingungan, harus duduk di mana. Di ruangan itu ada dua meja yang kosong. Yang satu bertuliskan PEMBELA, dan yang satu bertuliskan SAKSI. Anehnya, di meja jaksa berkumpul banyak sekali orang.

Persidangan dimulai dengan cepat. Banyak orang berebut menudingkan jari ke arah tertuduh supaya dipenjara saja. Tertuduh hanya diam, tak bisa membela diri. Sementara para jaksa membacakan tuntutannya, ia hanya menangis. Airmatanya makin lama makin deras, membasahi lantai dan akhirnya memenuhi ruang sidang. Kasihan sekali. Kulihat di sekeliling, tak seorang pun yang membawa saputangan untuk diberikan pada tertuduh agar tak lagi menangis.

Tiba-tiba entah dari mana datangnya, tangan kananku menggenggam sehelai saputangan merah. Dan entah bagaimana juga, tahu-tahu aku menghampiri tertuduh, mengelap wajahnya yang basah. Ajaib, airmatanya berhenti. Lantai tidak lagi basah, dan ruangan jadi kering. Ketika palu hakim akan diketuk, suara jam weker mengagetkanku. Saat itulah aku terbangun.

Sambil mandi dan menyiapkan bahan pelajaran untuk hari ini, aku terus sibuk mengartikan mimpi barusan. Kebetulankah? Atau bermakna khusus? Mendadak aku teringat nasib pekerjaanku yang di ujung tanduk, dan hatiku pun menciut.

Hari ini dua muridku tidak masuk kelas, Park Shin Hye dan Lee Hong Ki. Perasaan bersalah yang makin besar membuatku tidak tenang mengajar. Ditambah lagi dengan kemungkinan aku mendapat sanksi keras karena peristiwa kemarin. Kalau hanya teguran atau peringatan, itu masih lebih baik. Tapi kalau aku sampai dipecat?

Setelah anak-anak kelas pagi pulang, aku langsung menghambur ke ruangan Kepala Sekolah dan menemui sekretaris Mr. Bae Yong Jun. “Mrs. Kim Ha Neul, apa Mr. Bae Yong Jun ada?”

“Sedang rapat di kantor pusat,” jawab yang ditanya sambil terus mengetik di komputer.

“Pulangnya jam berapa?”

“Ehm..sampai sore rapatnya. Mungkin tidak balik ke sekolah.”

“Oh, terimakasih ya.”

Esok harinya jawaban yang sama kuterima lagi.

“Rapatnya berapa hari?”

“Sampai Jumat ini.”

“Mr. Bae Yong Jun tidak menitipkan apa-apa untuk saya? Surat misalnya?”

“Surat? Tidak, kalau memang penting sekali, telepon saja ke ponselnya.”

“Apa kau yakin, tidak ada surat sama sekali yang harus disampaikan kepada saya?”

“Tidak ada, Sayang….”

Tanpa sadar aku menghembuskan napas lega. Tapi kelegaan itu umurnya tak lama. Hari Sabtu, tiga hari setelah kejadian itu, aku dipanggil menghadap Kepala Sekolah. Dalam ruangan aku melihat Mr. Bae Yong Jun sedang menimang-nimang sepucuk surat. Sekuat tenaga aku menahan perasaan.

Jadi, memang ini akhirnya…. Susah payah aku melamar kerja di sini, bukan kondite baik yang aku dapatkan malah surat pemecatan karena sakit perut yang konyol. Tak bisa kubayangkan kata-kata yang tertulis di dalamnya.

“Menyambung pembicaraan kita tempo hari, tindakan apa yang sudah Anda ambil sehubungan dengan kejadian kemarin?”

“Ehm…saya sudah menghubungi bagian konseling dan guru BP untuk berdiskusi tentang masalah ini, tapi belum tuntas. Saya juga sudah memerintahkan orangtua Lee Hong Ki untuk datang, tapi sampai hari ini mereka tidak menemui saya. Lee Hong Ki sendiri tidak masuk sekolah sejak peristiwa itu. Saya sudah mencoba menghubungi lewat telepon rumahnya, tapi tidak diangkat.”

“Kalau begitu, langsung saja Anda berikan surat panggilan terakhir ini untuk orangtua Lee Hong Ki. Anda antarkan sendiri saja ke rumahnya,” Mr. Bae Yong Jun mengangsurkan surat yang sedari tadi ditimang-timangnya.

“Hah? Jadi…ini….ini surat untuk Lee Hong Ki?” ekspresi kekagetanku tak bisa ditutupi.

“Memang Anda pikir surat apa?” Mr. Bae Yong Jun balik bertanya. Syukur Tuhan, syukur! Aku pikir surat yang diberikannya adalah surat ‘kematianku’.

“Apakah dengan surat ini juga berarti Lee Hong Ki sudah dikeluarkan?”

“Rapat guru Senin depan akan memutuskan hal itu. Tapi Anda tidak perlu memusingkannya, Anda sendiri sudah sangat jengkel dengan kelakuannya bukan?”

Ya, aku memang jengkel dengan kelakuan Lee Hong Ki. Amat sangat jengkel. Kadang kalau emosiku sudah terlalu mendidih, ingin rasanya melumat kepala anak itu dan melihat apa saja isi otaknya. Tapi untuk mengeluarkannya dari sekolah, rasanya aku tidak tega. Kasihan, mungkin itu alasan yang lebih tepat.

Aku merapikan rambut sebelum memencet bel pintu. Dari dalam rumah yang tidak terlalu besar itu terdengar langkah kaki yang diseret. Seraut wajah wanita tua menyembul sedikit dari balik kaca.

”Cari siapa?” tanyanya judes.

“Saya Jang Na Ra, guru sekolah Lee Hong Ki. Saya ingin bertemu orangtuanya karena masalah yang Lee Hong Ki alami di sekolah. Saya sudah meminta mereka datang ke sekolah kemarin, tapi orangtua Lee Hong Ki tidak datang. Maaf, Nyonya ini…”

“Neneknya,” jawab wanita itu tanpa berniat membuka pintu lebih lebar, apalagi mempersilakan masuk.

“Maaf, kita bisa bicara di dalam? Saya rasa Lee Hong Ki mempunyai masalah yang cukup membutuhkan bantuan,” aku memasang senyum sedikit memohon, berlagak tidak tahu wajahnya sudah seasam cuka. Setelah yakin aku tidak bertampang mirip penjual barang keliling, wanita tua itu mau juga melebarkan pintu.

Begitu masuk, suasana sumpek langsung terasa. Rumah itu penuh sesak dengan barang yang ditumpuk begitu saja. Aku mencari-cari potret keluarga di tembok, tapi tak kutemukan.

“Ada perlu apa?” tanya Ny. Kim Sun Ah - nenek Lee Hong Ki setelah kami duduk berhadapan. Rupanya dia penganut paham tembak langsung.

“Bisa saya bertemu dengan orangtua Lee Hong Ki sekarang?”

“Ayahnya sedang pergi. Kerja.”

“Oh, ibuanya saja kalau begitu.”

“Dia tidak di sini!” Ny. Kim Sun Ah mendengus dengan mulut mencibir. Aku mengerutkan kening menunggu penjelasan lebih lanjut.

“Di dapur banyak pekerjaan, jadi cepat saja kau katakan ada perlu apa datang ke sini. Kalau hanya ingin bertemu orangtua Lee Hong Ki, bukankah sudah saya katakan tidak ada!” cetusnya tanpa tedeng aling-aling.

Aku meremas ujung amplop surat yang terasa menonjol di tas kecilku, dan siap melaporkan tentang berbagai kenakalan yang dilakukan cucunya di sekolah. Sekaligus membawa hadiah surat panggilan yang tidak main-main.

“Saya…begini, saya ingin berkenalan lebih dekat dengan keluarga Lee Hong Ki. Dia murid baru di kelas saya, jadi saya pikir saya ingin mengenalnya lebih dekat. Saya juga sering mengunjungi murid-murid yang lain, kebetulan hari ini giliran Lee Hong Ki. Ibu Lee Hong Ki sedang ke mana?” aku sedikit berputar-putar mencari celah.

“Buat apa aku tahu ke mana perginya wanita itu! Dia sudah tidak tinggal di sini lagi!” jawabnya ketus.

“Wah, bagaimana ya? Saya harus menyampaikan surat panggilan dari sekolah untuk orangtua Lee Hong Ki. Mungkin Nyonya tahu di mana saya bisa menghubunginya? Kenapa Lee Hong Ki tidak bilang ya kalau punya rumah baru,” kataku dengan nada bingung.

“Kau ini bagaimana? Aku bilang tidak tahu ya tidak tahu! Sudah lama dia tidak tinggal di sini, kabur dengan laki-laki lain. Caci maki pun meluncur dari mulut wanita tua itu. Kini aku baru tahu darimana Lee Hong Ki belajar makian seperti itu. Belum sempat aku bertanya lagi, Ny. Kim Sun Ah menyambung lagi.

“Salah Song Seung Hun juga, pilih istri model begitu! Dari dulu aku sudah bilang, cari penyakit kalau dapat istri yang tukang dandan seperti dia. Aku sudah bosan memperingatkan bakal terjadi apa-apa, nah kenyataannya begini kan? Perempuan itu minggat setelah tertangkap basah berselingkuh di rumah ini,” wajah masam di depanku berubah bersemangat waktu menceritakan keburukan menantunya. Gayanya bercerita seperti tukang gosip yang membawa berita hangat.

“Jadi sekarang mereka bercerai?”

“Tidak tahulah apa namanya. Bodohnya Song Seung Hun terlalu cinta pada Park Si Yeon, sudah dikhianati tetap saja tidak mau pisah! Mungkin Song Seung Hun sudah diguna-guna…Sebulan sekali wanita brengsek itu datang kemari. Bukan untuk bertemu anak-anaknya, tapi hanya mengambil jatah uang dari Song Seung Hun.”

“Lalu bagaimana dengan anak-anak? Pasti mereka kehilangan sekali….”

“Ah, kehilangan bagaimana? Kau tahu, Lee Hong Ki dan Minho - adiknya sejak lahir tidak pernah diurus. Anak menangis minta susu, dia malah pasang musik kencang-kencang di kuping. Ganti popok saja dia tidak mau. Perempuan itu hanya pintar mengurus badan, rambut, bedak, dan kuku. Cuma itu saja bisanya! Oh, ada lagi kebisaannya, main bentak dan main pukul. Kalau ditegur pelan-pelan, segala macam benda pasti dibanting sampai berantakan. Adat perempuan itu memang luar biasa jeleknya! Kasihan Lee Hong Ki, padahal ia sayang sekali pada ibunya itu. Pernah sekali waktu ia menabung untuk membelikan cat kuku untuk ibunya, tapi boro-boro dipakai, dilihat saja tidak,” lagi-lagi Ny. Kim Sun Ah mencibir. Kelihatannya ia ingin semua orang tahu keburukan apa saja yang dibuat menantunya.

“Ah, tadi Kau bilang kalau Lee Hong Ki punya masalah. Kenapa lagi dia di sekolah? Berkelahi lagi?”

“Begitulah. Seorang teman perempuan dipukulnya tapi Lee Hong Ki tidak mau cerita kenapa ia berbuat begitu.”

“Maklumi saja, siapa namamu?”

“Jang Na Ra.”

“Ya, Maklumi saja Mrs. Jang Na Ra. Namanya saja anak-anak, wajar kan kalau nakal sedikit, berkelahi sedikit? Lee Hong Ki memang kurang mendapat perhatian, tapi bagaimana lagi? Ayahnya setiap hari harus kerja, ibunya minggat, dan aku harus mengurus toko di rumahku sendiri. Asalkan mereka bisa sekolah di tempat yang bagus, makan enak dan punya mainan banyak, rasanya itu sudah cukup bagus,” Ny. Kim Sun Ah menatap mataku dalam-dalam, seolah bilang bahwa aku tak berhak ikut campur dalam urusan keluarganya.

“Ny. Kim Sun Ah tahu kenapa Lee Hong Ki sampai dikeluarkan dari beberapa sekolah?”

“Hah, memang sekolahnya saja yang brengsek! Mereka bilang Lee Hong Ki terlalu bodoh, terlalu nakal. Mereka bilang, seharusnya Lee Hong Ki masuk ke SLB. Penghinaan itu namanya! Mereka tidak lihat kalau di rumah Lee Hong Ki itu manis seperti bayi! Sekolah kalian tidak seperti itu kan?” tanyanya dengan nada sedikit mengancam.

“Oh tidak….Ehm, maaf Ny. Kim Sun Ah, tapi kalau saya boleh tahu… apakah Lee Hong Ki tahu tentang perselingkuhan ibunya?”

“Oh tentu! Aku yang menceritakannya. Malah Lee Hong Ki sendiri pernah menangkap basah perbuatan Ibunya, lima tahun yang lalu. Waktu itu kami pergi ke Incheon, ada famili yang menikah. Dan Song Seung Hun mempercepat kepulangan sehari karena kuatir dengan Park Si Yeon yang sedang mengandung tua, Minho - adik Lee Hong Ki. Begitu sampai di rumah…” Ny. Kim Sun Ah berhenti sebentar lalu meneruskan dengan kedua tangan saling meremas, ” Lee Hong Ki yang pertama turun dari mobil. Dia lari masuk ke dalam sambil membawa dua kotak kue oleh-oleh untuk Ibunya. Tapi begitu Lee Hong Ki membuka pintu kamar, ia melihat adegan yang semestinya tidak boleh ia lihat. Laki-laki itu ada di sana, bersama dengan Ibunya. Ia tidak menjerit atau berteriak, tapi ia hanya memandang mereka lalu keluar sambil meremas kue di tangannya, satu per satu hingga remuk semuanya. Kue itu berceceran sampai ke ruang ini.

Lee Hong Ki juga melihat ketika Ayahnya menghajar laki-laki itu sampai babak belur, tapi ia hanya diam sambil duduk bersandar di tembok. Waktu itu suasananya kacau sekali, tidak ada yang ingat kalau anak itu tidak boleh menonton kesadisan yang tidak patut. Setelah dihajar, mereka lantas kabur dan hidup serumah sampai hari ini. Sudah aku bilang supaya menceraikan perempuan itu, tapi Song Seung Hun tetap tidak mau. Kasihan anak-anak, katanya. Kasihan apa? Setiap hari dia ada di rumah ini juga tidak pernah menyentuh anak-anaknya.”

“Apakah Lee Hong Ki menunjukkan perubahan sikap setelah kejadian itu, Ny. Kim Sun Ah?”

Dengan pasti Ny. Kim Sun Ah menggeleng. “Tidak. Hari-hari berikutnya sampai sekarang ini, ia tetap bersikap biasa. Ya kalau nakal-nakal sedikit wajarlah, namanya juga anak-anak. Sebenarnya dia tidak bodoh, tapi malas belajarnya itu yang minta ampun! Aku juga heran kenapa sampai tiga kali tidak naik kelas, dipanggilkan guru les sudah, tapi ya tetap saja begitu. Jangan-jangan memang gurunya yang tidak becus mengajar… Bukan begitu, Mrs. Jang Na Ra?” cemoohnya.

Aku berusaha mencerna kembali apa yang barusan aku dengar. Mengejutkan sekaligus membingungkan. Apakah latar belakang keluarga yang kacau menyebabkan Lee Hong Ki berperilaku aneh seperti itu?

Suara pintu terbuka membuat kami berpaling. Lee Hong Ki berdiri sambil mengucek mata, baru bangun tidur tampaknya. “Hei Lee Hong Ki, kemari! Ini ada Gurumu, katanya mau menjengukmu. Ayo kemari!” Ny. Kim Sun Ah melambaikan tangan menyuruh Lee Hong Ki mendekat. Aku mendengar ia dipanggil berkali-kali dengan ucapan kasar, dan sang Nenek hilang sabar. Dengan bengis ia menyeret Lee Hong Ki ke luar, memaksanya bertemu denganku.

“Itu Gurumu, mau bertemu denganmu! Duduk!” bentaknya lalu menghilang ke dalam. Lee Hong Ki duduk dengan pantat hanya setengah menempel di sofa hijau yang sudah pudar warnanya. Matanya menatap curiga.

Bersambung…
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...