Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Sabtu, 16 Juli 2011

Lelaki Pilihan (Chapter 1)



Kim So Eun berdiri di pinggir jalan, melambaikan tangan ke arah taksi-taksi yang melaju sombong. Jam sibuk begini hampir semua taksi ada penumpangnya. Dimasukkannya tangan dalam-dalam ke saku mantel untuk mengusir dingin. Ini hari terakhir, aku harus sedikit memanjakan diri. Setiap hari mengejar-ngejar bus, hari ini sedikit boros tak apa. Begitu pikirnya.

Walaupun sudah menunggu lama dan kakinya mulai sakit, Kim So Eun tetap bertahan. Sementara, orang-orang di sekitarnya bergerak cepat, ingin buru-buru pulang ke rumah, kantor, kafe, atau ke tempat apa pun, yang suhunya lebih hangat daripada udara luar yang menusuk tulang.

Matanya bergerak cepat mengamati benda kuning lemon yang meluncur ke arahnya. Itu ada satu, dan yang terakhir, pikirnya. Seandainya sudah berpenumpang, dia tidak mau menunggu lebih lama lagi. Barang-barang di rumah belum dimasukkan ke koper, masih banyak yang akan dikerjakan. Dan lagi, jika lebih lama, dia pasti terkena radang paru-paru. Kim So Eun sangat yakin, biaya pengobatan akan menghabiskan uangnya.

Dia melambaikan tangan dengan harapan tipis dan agak kaget ketika taksi berhenti di dekatnya. Kim So Eun masuk ke dalam taksi, separuh senang, separuh prihatin. Sopir ini mungkin orang yang nasibnya sial. Hari begini taksinya kosong. Atau, mungkin, sudah jodohnya.

Dia membenamkan diri dengan senang di jok kursi penumpang, menyebutkan tujuan, dan merasakan kehangatan yang berembus dari pemanas mobil. Dia menoleh ke samping, merekam setiap detail pemandangan yang dilalui, lalu memutuskan untuk berhenti agak jauh dari apartemen tempat tinggalnya.

Ia menghentikan taksi dan membayar ongkos. Dia merasa si sopir agak kecewa. Mungkin, dia berharap, Kim So Eun naik lebih jauh, sehingga ongkosnya lebih mahal.

Digelengkannya kepala. Ia merasa heran, kenapa bisa kasihan pada pria separuh baya itu. Padahal, setahunya, kebaikannya sudah hilang ditelan kota ini. Gedung-gedung tinggi, pencakar langit, asap kendaraan, orang-orang bergerak cepat, berpacu mengejar uang. Citra itulah yang terbentuk di benaknya, jauh sebelum menyelami kehidupan kota ini secara langsung. Citra yang sebenarnya tetap terpatri sampai sekarang, hanya dengan tambahan manusia-manusia individualis, PSK, obat-obat terlarang, dan kekerasan.

Setelah dua belas tahun tenggelam di kota ini, Kim So Eun merasa akarnya semakin tercabut semakin jauh dengan kampung halaman. Dan, kota ini dalam sekejap jadi kampung halaman kedua, yang berat ditinggalkan. Meski Kim So Eun tahu bahwa dia akan kembali lagi ke kampung halamannya, tetap saja dia tak rela pergi.

Sambil tersenyum, dilewatinya penjaga apartemen, yang mengangguk hormat padanya. Satu kebiasaan baik yang masih tersisa, meski banyak penghuni lain yang tak peduli pada orang-orang yang membantu mereka membukakan pintu dengan penuh hormat, menekan tombol lift. Ya, sebagai seorang yang nyaris menjadi gelandangan, di dalam hatinya tentulah masih tersisa nurani.

Kim So Eun berhenti di lantai tujuh belas. Berjalan menuju pintu berlabel B, lalu masuk ke dalam sebuah apartemen besar yang cantik. Dia berjalan melewati ruang tamu, yang berperabotan minimalis namun mengesankan. Sebuah sofa bergaya modern, dihiasi bantal-bantal krem dan cokelat, meja kayu persegi yang besar, sebuah lukisan modern, dan permadani tebal berwarna cokelat kemerahan yang mendominasi ruangan. Di satu sudut dinding terdapat home theater paling lengkap, yang bisa membuat iri tamu-tamu yang datang. Emma Watson, pemilik apartemen ini, memang menyukai ruangan yang luas. Dia paling tidak suka dengan gaya etnik penuh pernak-pernik, yang menurutnya membuat sumpek.

Kim So Eun menuju kamar tidur. Tumpukan-tumpukan baju dalam, celana-celana panjang, kaus-kaus, rok, dan beberapa gaun bertebaran di mana-mana. Tadi pagi sebelum berangkat kerja, dia menyempatkan diri untuk mengatur kopernya. Namun, setelah mendekati waktu kerja, koper itu belum juga rapi. Kim So Eun membiarkan pakaian-pakaiannya tetap pada posisi berantakan ketika berangkat ke kantor. Sesuatu yang sangat jarang terjadi karena dia orang yang menyukai kerapian.

Pada kepulangan kali ini, Kim So Eun berpikir untuk sedikit mengubah penampilan. Sudah hampir sembilan tahun tidak bertemu saudara-saudaranya. Hanya Ibu atau Ayah yang tiga tahun lalu pernah berkunjung. Saat-saat terbaiknya sudah hilang. Meski umurnya baru 29 tahun, dia merasa sudah tua. Untuk ukuran kota besar di negara maju, dia terbilang masih muda. Dan, karena untuk ukuran di negaranya dia sudah perawan tua, wanita malang yang patut dikasihani, dia memutuskan perlu membawa banyak pakaian bagus, sekotak besar perlengkapan make up, dan pernak-pernik perhiasan, yang sangat diperlukan dalam rangka menaikkan harga dirinya.

Sembilan tahun lalu, saat pulang ke Korea, hatinya tidak seberat ini. Malah, dia begitu gembira. Waktu itu dia mahasiswa yang baru tamat kuliah, tak ada beban, penuh kegembiraan untuk kembali ke pelukan Ibu. Namun, setelah pandangannya berubah, setelah menjadi manusia pekerja, setelah sekian lama orang-orang tentu ingin melihat perubahannya. Kematangannya? Atau, lebih tepat, kekayaannya? Sesuatu yang mereka pikir merupakan alasannya tidak mau pulang. Bukankah semua orang berpikir gaji pekerja di luar negeri lebih besar daripada di Negara sendiri, sehingga mereka berbondong-bondong menjadi pekerja di luar negeri?

Kim So Eun melemparkan sepatu berhak lima senti. Dia mengambil sebuah stiletto merah tua, yang sejak dibeli belum pernah dipakai, karena tali pengikat yang mengiris kaki, membuatnya berjalan bak balerina dengan betis besar, dan setiap sepuluh menit mencari tempat duduk untuk mengistirahatkan kaki. Sepatu itu hanya indah untuk dipandang, namun menyiksa bila dipakai. Dia berpikir, wanita-wanita keren yang memakainya, tentulah sudah mengganti kaki mereka dengan kaki besi atau mungkin menyuntiknya agar mati rasa.

Beberapa waktu lalu Kim So Eun sempat membaca majalah yang menyebutkan bahwa stiletto runcing dan tinggi tidak jadi tren lagi. Dia sudah bersorak tiga kali untuk artikel itu, namun masa-masa sepatu datar zaman Romawi atau Yunani tidak juga datang. Para pencinta fashion tetap saja memakainya. Dia merasa dibohongi. Untuk pertama kalinya, dia memperhatikan nama penulis artikel tersebut dan berjanji tidak akan memercayai lagi omong kosong penulis itu.

“Princess, I’m home.”

Seperti angin puyuh, Emma Watson masuk kamar dan memeluk Kim So Eun kuat-kuat. Ia berseru dengan penuh kegembiraan.

Kim So Eun menyahut, “Ada apa?”

Emma Watson melepas pelukannya dengan gaya dramatis, “Aku memenangkan perkara. Suami Goo Hye Sun bersedia membayar tuntutan. Berarti, banyak uang dan liburan.”

“Hebat,” kata Kim So Eun, tulus.

Bersambung…

1 komentar:

  1. Mendadak ShoCk waktu Emma Watson NimbuL..wkwkwkwk..HaRry PotteR pindaH negara!!

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...