Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Rabu, 27 Juli 2011

The Right Man (Chapter 17)


Kim So Eun langsung bangkit ketika melihat Kim Bum keluar diantarkan oleh seorang petugas rumah tahanan.

"Princess," sapa Kim Bum sambil tersenyum. "Apa kabar?" Masih senyum yang sama. Tatapan yang sama. Meskipun tubuh Kim Bum terlihat lebih kurus. Dan matanya sayu seperti kurang tidur.

"Baik," sahut Kim So Eun tersendat Dia ingin bersikap tenang. Tidak memperlihatkan kesedihannya. Tetapi begitu melihat Kim Bum, air matanya berlinang tanpa dapat ditahan lagi.

Dan melihat air mata Kim So Eun. Kim Bum sudah dapat menerka bagaimana hasil pemeriksaan tumor payudara wanita itu. Dia tampak begitu shock sampai tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun.

Kim So Eun melepaskan genggaman umgm Kim Bum. Dan duduk kembali di kursi. Kakinya terasa lemas sampai rasanya dia tidak kuat lagi berdiri. Sementara air matanya mengalir perlahan ke pipi.

Sebenarnya Kim So Eun tidak ingin menangis. Lebih-lebih di depan Kim Bum. Dia tidak mau menambah kesedihan lelaki itu. Tetapi akhir-akhir ini air matanya memang mudah sekali mengalir.

Kim Bum membalikkan tubuhnya. Lengannya bertumpu ke dinding. Tangannya menutupi wajahnya.

Sesaat hanya keheningan menyakitkan yang mengisi suasana.

"Kenapa. Tuhan?" gugat Kim Bum getir. "Kenapa perempuan sebaik dia harus menanggung penderitaan seberai ini?"

"Jangan salahkan Tuhan, Kim Bum," balas Kim So Eun lirih. "Tuhan tidak pernah keliru. Bantulah agar aku tetap tabah dan pasrah."

Kim Bum menurunkan tangannya. Memutar tubuhnya Dan menatap Kim So Eun dengan sedih sambil bersandar lesu ke dinding.

“Stadium berapa?"

"II"

"Itu berarti belum ada metastasis jauh, Kim So Eun." suaranya kedengaran lebih bersemangat. "Jika anak sebar kankermu sudah mencapai organ yang jauh seperti paru atau hati misalnya, kankermu sudah masuk stadium empat."

“Dokter Song Seung Hun menganjurkan operasi diikuti oleh radiatif.”

"Aku mohon kepadamu, Princess" suara Kim Bum begitu memelas. Matanya menatap penuh harap, "ikuti saran dokter. Aku ingin sekeluarnya dari penjara nanti, kau masih menungguku!”

"Bagaimana perkaramu, Kim Bum?" Kim So Eun menyusut air matanya.

"Aku sudah menandatangani proses verbal. Kata pengacaraku, perkaranya akan segera dilimpahkan ke pengadilan."

"Ada harapan pengadilan akan membebaskanmu?"

"Rasanya tidak mungkin. Korban yang kutabrak itu tewas. Kalau aku beruntung, jaksa hanya menuntutku lima tahun."

"Aku bersedia memberikan kesaksian jika perlu, Kim Bum. Malam itu aku menabrakmu sampai kau tidak bisa melapor ke polsek terdekat."

"Aku tidak mau melibatkanmu. Princess. Menyembunyikan buronan bisa dituntut dengan pasal 221 KUHP. Kau bisa kena sembilan bulan penjara!"

*)Pasal 221 KUHP : tentang upaya menghalang-halangi penyidik polisi dalam mengungkap sebuah kasus

"Kalau dapat meringankan hukumanmu, aku tela mengambil risiko itu."

"Aku yang tidak rela! Kesulitanmu sudah cukup banyak!"

"Waktuku tidak banyak lagi, Kim Bum. Aku ingin masih sempat melihatmu keluar dari penjara."

"Berjanjilah kau mau menungguku, Princess," pinta Kim Bum sungguh-sungguh. "Supaya kita bisa berkumpul kembali."

Aku mau. Kim Bum, bisik Kim So Eun dalam hati. Aku mau! Tetapi masih maukah Tuhan menunggu? Masih sudikah Engkau mendengar doaku, Tuhan?

"Bagaimana anak-anak?" Kim Bum menatap Kim So Eun dengan redup. "Mereka... sudah tahu?"

"Mereka sangat sedih. Begitu sedihnya sampai rasanya lebih menyakitkan melihat mereka menangis daripada mendengar kankerku ganas."

"Kami sama-sama takut kehilanganmu, Princess."

"Dan aku lebih takut meninggalkan kalian daripada menghadapi kematian itu sendiri."

"Paling tidak sekarang anak-anakmu sudah dapat memahami dirimu."

"Tetapi sikap mereka sangat berubah, Kim Bum!"

"Apa salahnya jika perubahan itu membawa mereka lebih dekat padamu?"

"Mereka jadi kehilangan keceriaannya. Mereka seolah-olah takut berbuat salah. Takut membuatku sedih. Mereka sangat tertekan."

"Lama-lama mereka pasti dapat menyesuaikan diri. Jangan salahkan dirimu. Kau harus tetap kuat Jangan terlalu stres supaya daya tahanmu tidak menurun. Dan kau harus cukup makan makanan yang bergizi, kurangi lemak hewani dan perbanyak makanan yang mengandung serat."

* * *

Mati-matian Kim So Eun menahan agar air matanya tidak runtuh ketika mobil tuanya dibawa pergi dari halaman rumahnya.

Pergilah sahabatnya yang setia! Yang telah menemaninya selama hampir sepuluh tahun.

Nilainya sebagai mobil sudah hampir tidak ada. Modelnya sudah ketinggalan zaman. Warnanya sudah pudar. Catnya sudah banyak yang terkelupas. Karat sudah menggerogotinya di sana sini.

Tetapi dia masih letap bertahan. Membawa Kim So Eun dan anak-anaknya menelusuri jalan-jalan di Seoul.

Sekarang Kim So Eun harus menjualnya. Karena dia membutuhkan uang untuk biaya operasinya,

Baek Suzy, Lee Young Yoo. dan Kim Yoo Jung tegak di ambang pintu dengan paras sedih. Sementara Park Ji Yeon memilih pergi meninggalkan rumah biarpun masih terlalu pagi untuk berangkat kerja. Dia juga pasti merasa kehilangan. Besok pagi tak ada lagi mobil yang harus dicucinya.

Kim So Eun membawa anak-anaknya masuk. Dan membereskan uang yang masih bertumpuk di atas meja di ruang tamu.

Lee Young Yoo dan Kim Yoo Jung tegak di samping kursi Kim So Eun. Sementara Baek Suzy duduk di hadapan ibunya.

"Cukup untuk ongkos operasi, Bu?" tanya Lee Young Yoo ragu-ragu.

"Pasti cukup!" sergah Kim Yoo Jung segera. "Uang begini banyak masa tidak cukup. Iya kan, Bu?"

Kim So Eun hanya tersenyum. Tetapi sedihnya senyum itu sudah menjawab pertanyaan Lee Young Yoo. Mobil mereka hanya laku 5 juta. Belum ada separuh biaya operasi yang dibutuhkan!

Sementara Kim Hyun Joong sudah mencoret nama Kim So Eun dari daftar pemain dalam produksi filmnya. Memang tidak sulit menghilangkannya begitu saja. Dia cuma pemain pengganti. Tidak ada yang mengenali wajahnya. Diganti pun tidak ada yang tahu. Tidak merusak kesinambungan cerita.

Sia-sia Kim So Eun berusaha menemui Kim Hyun Joong. Dia sudah tidak mau menjumpainya lagi. Memprotes pun tidak ada gunanya. Tidak ada kontrak yang mengikat mereka. Dia pemain lepas. Dibayar hanya kalau main. Ke mana lagi dia harus minta tolong?

* * *

"Gajimu hanya 1 juta. Belum setahun bekerja. Bagaimana mungkin kau mau pinjam sampai 10 juta?"

Tn. Song Chang Ui, bagian keuangan di perusahaan farmasi tempat Park Ji Yeon bekerja, sebenarnya baik hati. Orangnya kalem. Tutur bicaranya lambat, sampai kadang-kadang Park Ji Yeon tidak sabar menunggu sampai dia selesai bicara.

Tetapi bagaimanapun baiknya dia, Tn. Song Chang Ui tidak berani meminjamkan uang sebanyak itu kepada karyawan baru seperti Park Ji Yeon.

"Ibu saya harus dioperasi, Tuan."

Mengemis adalah hal yang paling dibenci Park Ji Yeon. Tetapi kali ini, demi Ibu, rasanya dia rela melakukan apa saja.

"Alasan banyak, Park Ji Yeon. Tapi kebijaksanaan perusahaan tak dapat saya langgar."

Sia-sia. Percuma saja mengemis belas kasihan. Tn. Song Chang Ui boleh baik. Tetapi tetap tidak dapat menolong. Padahal di rumah, ibunya sangat memerlukan uang. Kalau tidak, Ibu tidak akan menjual mobil kesayangannya.

* * *

"Ibu perlu berapa lagi?" tanya Park Ji Yeon malam itu kepada adiknya. Tentu saja tanpa setahu Ibu.

Baek Suzy menggeleng sedih.

"Ibu tidak mau bilang. Pasti masih banyak. Ibu sampai jual mobil."

"Tidak bisa pinjam dengan temanmu?"

Sekali lagi Baek Suzy menggeleng.

"Ajaklah aku kerja di pabrikmu, Park Ji Yeon."

Kali ini, Park Ji Yeon yang menggelengkan kepala.

"Kau tidak akan kuat. Lagi pula berapa uang yang bisa kita kumpulkan? Kalau cuma mengandalkan gaji, sampai berapa lama kita baru bisa mengumpulkan uang untuk operasi Ibu?"

"Jadi kita harus minta tolong ke mana?"

"Tidak tahu."

"Kau setuju kalau aku minta tolong pada Paman Kim Hyun Joong?"

"Paman Kim Hyun Joong? Gila! Ibu bisa marah besar!"

"Tapi cuma dia yang bisa menolong!"

"Belum tentu dia mau!"

"Siapa tahu, demi Ibu?"

"Orang seperti dia cuma mau membantu kalau ada maunya!"

"Apa salahnya mencoba?"

* * *

"Kim So Eun," perlahan-lahan Nenek duduk di samping tempat tidur Kim Yoo Bin, "Kim Yoo Bin sudah tidur?"

"Sudah, Bu. Malam ini dia tidak rewel."

"Beberapa hari ini dia memang baik. Barangkali dia juga tahu, kau sedang sakit."

"Aku ingin menyekolahkannya di Sekolah Luar Biasa, Bu."

"Jangan pikirkan Kim Yoo Bin dulu, Kim So Eun. Pikirkan kesehatanmu. Tumormu tidak sakit?"

“Tidak terasa apa-apa, Bu. Makanya orang sering tidak tahu ada pembunuh yang bersembunyi di dadanya. Baru tahu sesudah terlambat.”

"Kau sudah mantap mau operasi?"

"Rasanya itu jalan terbaik, Bu."

"Kapan?"

"Belum tahu."

"Uangmu belum cukup?"

"Oh, kurang sedikit, Bu! Tidak usah khawatir. Kata Dokter Song Seung Hun..."

"Jangan bohongi Ibu. Anak-anak boleh kau bohongi. Ibu tidak bisa."

Kim So Eun tidak menjawab. Percuma memang mendebat ibunya.

"Ibu tidak punya apa-apa lagi, Kim So Eun," kata Nenek setelah lama berdiam diri. "Cuma ini."

Dalam keremangan Kim So Eun melihat ibunya menyodorkan sebuah kantong kecil berwarna biru.

"Apa ini, Bu?" tanya Kim So Eun bingung.

"Pakailah untuk menambah biaya operasimu."

Ibunya menjejalkan kantong itu ke dalam genggaman Kim So Eun. Ketika Kim So Eun menuang isinya ke telapak tangannya, dia melihat sepasang cincin kawin. Terbuat dari emas berbentuk belah rotan.

"Cuma itu peninggalan ayahmu," kata Nenek datar. "Rasanya dia juga setuju kalau kau jual cincin itu untuk biaya operasimu."

Tersekat kerongkongan Kim So Eun oleh tangis. Ibunya, perempuan bawel yang mengesalkan dan paranoid itu, ternyata sangat menyayanginya! Dia rela mengorbankan peninggalan terakhir suaminya. Cincin kawinnya sendiri....

Saat itu pintu perlahan-lahan terbuka. Lee Young Yoo melongok ke dalam. Tetapi tidak berani masuk.

"Ada apa, Lee Young Yoo?" tegur Kim So Eun lunak. "Masuklah."

"Ini tabunganku, Bu," ragu-ragu Lee Young Yoo menyodorkan dompetnya. "Dari hasil uang sewa buku."

"Dan ini celengan-ku, Bu!" Kim Yoo Jung menerobos masuk membawa celengan ayam-ayamannya. Dikocok-kocoknya dengan bangga. "Sudah penuh, Bu! Cukup tidak untuk Ibu berobat?"

Kim So Eun merangkul kedua anaknya dengan terharu.

"Tentu saja cukup, Sayang. Semuanya untuk Ibu?"

Berbarengan Lee Young Yoo dan Kim Yoo Jung mengangguk. Kim So Eun mengecup dahi anak-anaknya dengan air mata berlinang.

Ya Tuhan, bisik Kim So Eun dalam hati. Jika doaku tidak Kau terima karena dosa-dosaku di masa lalu, tolong dengarkan saja doa anak-anakku, Tuhan! Mereka masih sepolos bayi, seputih kapas! Dan mereka sangat mengharapkan kesembuhan ibunya!

Bersambung…

Chapter 10 ... Chapter 11
Chapter 9 ... Chapter 12
Chapter 8 ... Chapter 13
Chapter 7 ... Chapter 14
Chapter 6 ... Chapter 15
Chapter 5 ... Chapter 16
Chapter 4
Chapter 3
Chapter 2
Chapter 1
Prolog

2 komentar:

  1. wuaaaaa, ini ff sedih banget, ga kebayang so eun kehidupannya complicated banget. Q suka ff bergenre angst tapi tetep suka ma yang happy ending...please....happy ending ya....*ngerayumodeon*. Banyak juga yang survive dari kanker bahkan untuk stadium yang lebih lanjut asal setelah operasi bisa jaga pola hidup. Trus untuk kasus Kim Bum bisa diselesaikan dengan baik, misalnya dihadirkan tokoh baru misalnya sahabatnya yang seorang pengacara handal yang menolong Kim Bum dari perkara ini (eh....ini beneran, kasus yg sama pernah menimpa teman abangku, q tau gimana prosesnya bisa bebas yang pasti dia hrs lapor setiap minggu setelah bebas dengan jaminan bersyarat dan memang keluarga korban tidak menuntut atau mengikhlaskannya) hehehe, itu masukan aja

    BalasHapus
  2. aaaaaaaaaaaaw..THoR bwt soEun sembuh...Masalah dwit bisa-bisa authoR lah bantuin SoEun..masa dirimu gak kasian ma anak2nya thoR???...(Apaaaaaaaaaaaa Deeee reader satu nie???hahahahah)
    Kim bum..di penjaRa tag pa..tp bgitu KluaR dah ditungguin ma new Family nyaaaaaaa,,,aaaaaahhhh...
    >>Heppi ending ThoR..AQ dah berkali kali MeWEk nie, sekali meWeK butuh tenaga banyak thor..AQ abis tenaga bisa2...hahaw

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...