Ugh! Aku tersentak bangun oleh tangis bayi yang melengking tinggi. Kulirik weker di atas meja. Jam tujuh, masih pagi. Tidur lagi akh. Belum lima detik mataku terpejam, terdengar suara ribut-ribut diringi tangis bayi. Ampun! Inilah dukanya kalau tinggal di rumah yang letaknya berhimpitan dengan rumah tetangga. Berisik! Apalagi Song Hye Gyo Eonni yang tinggal di sebelah rumahku itu punya hobi bertengkar dengan suaminya. Sampai-sampai anaknya yang baru berusia beberapa bulan juga ikut-ikutan ribut. Cengeng! Mengganggu orang tidur saja! Gerutuku dalam hati seraya bangkit dari tempat tidur.
Dengan langkah gontai, aku keluar dari kamar menuju halaman rumah yang super kecil. Hm, segar... Kuhiurup udara pagi sambil merentangkan tangan.
"Ibu, disini bau sekali!" Seru seorang bocah sambil memandang selokan yang terletak di depan rumahku. Aishh! Aku langsung tak bernafas. Pagi-pagi begini sudah membuat polusi udara. Menyebalkan! Dengan hati kesal, aku masuk ke dalam rumah.
"Eh, sudah bangun." Tegur Han Ga In, kakak sulungku.
"Banyak suara ayam yang berkokok, " kataku sambil membuat gerakan senam pagi.
"Sabar, Kim So Eun. Tinggal di 'gubuk derita' memang seperti ini." Han Ga In Eonni memakai sepatunya "Tapi kalau dipikir-pikir, Song Hye Gyo Eonni dan bayinya berjasa juga ya. Kalau tidak kau bisa terlambat terus ke sekolah," katanya lagi.
"Betul sekali, Karena senyaring apapun wekerku berbunyi tidak mampu membangunkanku. " Ujarku geli.
"Tapi, kalau sedang libur seperti ini, suara mereka mengganggu orang tidur," celetuk Lee Hong Ki, kakak laki-lakiku.
“Makanya, sekolah yang benar. Setelah lulus, kerja yang jujur. Kumpulkan uang banyak-banyak buat beli rumah mewah.” Yoon Eun Hye, kakakku yang nomor dua muncul dari ruang tengah. “Ayo, Eonni…kita berangkat,” ajaknya pada Han Ga In Eonni.
“Kerja yang rajin ya?” Ledekkku pada Han Ga In Eonni dan Yoon Eun Hye Eonni yang siap berangkat ke kantor. Mereka tersenyum mendengar ledekanku lalu melangkah keluar rumah. Ah, kakak-kakakku yang manis dan baik hati. Aku memerhatikan mereka, terharu. Mereka telah berkorban banyak untukku, Lee Hong Ki Oppa dan Ibu. Sejak Ayah tiada, mereka berhenti kuliah untuk bekerja membiayai kami.
"Kim So Eun, cepat mandi! Hari ini giliranmu ke pasar!" Suara Ibu menyentakkanku. Dengan malas, aku masuk ke kamar, mengambil baju dan lain-lain, lalu mandi.
"Ini uangnya, Kim So Eun. Dan ini daftar belanjaan yang harus Kau beli.” Ibu memberikan sejumlah uang dan sehelai kertas padaku, setelah itu aku pun siap ke pasar.
* * *
Sambil berjalan menuju pasar yang letaknya tidak begitu jauh dari rumahku, aku melamunkan teman-temanku. Jung So Min, Park Shin Hye dan Baek Suzy. Sedang apa ya mereka? Pasti masih tidur atau dalam perjalanan ke luar kota. Mungkin juga di luar negeri. Shopping, foto-foto dan…. akh, liburan mereka pasti menyenangkan. Kapan ya, aku bisa seperti mereka? Menikmati liburan kenaikan kelas dengan jalan-jalan sepuasnya. Tanpa harus ke pasar yang becek, ramai dan baunya aneka ragam.
Ciiitt!!! Uf, aku melompat ke samping. Jantungku berdegup keras. Wajahku mungkin sudah seperti mayat karena pucatnya.
"Hati-hati, nona! Kalau sedang jalan jangan memikirkan pacar!" ujar si pengemudi mobil. Aku diam saja. Terlalu kaget untuk bicara.
* * *
Dengan semangat penuh, aku berjalan masuk ke kelasku. Hmm, alangkah senangnya kembali ke bangku sekolah, setelah liburan panjang yang sangat membosankan. Alangkah rindunya aku pada Park Shin Hye yang lembut, Baek Suzy yang lucu, Jung So Min yang ....
"Hai, Kim So Eun! " Seseorang menepuk bahuku. Aku menoleh. Jung So Min, si centil tersenyum padaku. “Semakin putih saja kau.” Katanya sambil menggandeng tanganku, mengajak ke bangkunya.
“Bagaimana tidak putih, selama liburan aku hanya di rumah saja.” Kataku kesal. “Kalau liburan ditambah satu hari lagi, aku bisa gila karena rekreasinya ke pasar terus.”
“Sudah, jangan mengeluh. Nanti, kalau sudah bisa cari uang sendiri, puaskan dirimu keliling di seantero dunia.” Jung So Min menepuk punggungku.
“Eh, Kim So Eun…. Kau semakin jelek saja!” Seru Baek Suzy yang baru datang bersama Park Shin Hye.
“Iya, ketularan dirimu!” Ledekku membalas. Baek Suzy tertawa.
“Kim So Eun, Jung So Min…di kelas kita ada murid baru, apa kalian sudah tahu?!” Bisiknya lalu menengok ke pintu kelas. “Itu, dia orangnya. Tampan ya? Baby face.”
Astaga! Itu ‘kan ….aku memandang murid baru itu, kaget.
“Hallo nona…. Kita bertemu lagi! Masih suka melamun?” Belum hilang rasa kagetku, Pemuda itu telah menghampiriku yang tentu saja terbengong-bengong.
“Wah, rupanya Kau kenal dia ya…?” Kata Jung So Min pelan.
“Eh, kita belum berkenalan. Aku, Kim Bum. Kau?” Pemuda itu mengulurkan tangannya.
“Kim So Eun,” sahutku gugup tanpa membalas uluran tangannya.
“Kim So Eun, hmm…nama yang cantik. Secantik pemiliknya.” Puji Kim Bum membuatku tersipu.
“Ehem, ayo kita ke kantin saja! Aku haus sekali!” Jung So Min bangkit berdiri. Disambarnya tangan Park Shin Hye dan Baek Suzy.
“Aku ikut, “ kataku cepat sambil menarik tangan Jung So Min.
“Kau di sini saja, mengobrol denganku.” Ujar Kim Bum.
“Iya, pasti menyenangkan.” Goda Baek Suzy kemudian bergegas mengajak Jung So Min dan Park Shin Hye berlalu.
Kim Bum….Kim Bum…ah, pemuda itu ramah dan simpatik. Lalu, seperti kisah dalam drama-drama remaja, aku jatuh cinta. Dan, cintaku tak bertepuk sebelah tangan. Kamipun menjadi sepasang kekasih yang mesra.
Aku bahagia sekali. Hari-hari yang lewat terasa semarak dan penuh wangi bunga asmara. Dunia cinta memang indah. Dunia penuh rona. Ceria. Tapi….
“Kim So Eun, malam minggu besok aku mau ke rumahmu. berkenalan dengan orang tuamu dan saudara-saudaramu.” Kata-kata Kim Bum inilah yang telah mengurangi kebahagiaanku. Keinginannya untuk datang ke rumahku dan berkenalan dengan Ibu dan saudara-saudaraku kerapkali mengusikku.
“Boleh ya, Kim So Eun? Tunggu aku jam tujuh malam.” Suara Kim Bum menyentakkanku.
“Jangan Kim Bum. Ibuku…” Aku menatapnya gugup.
“Melarang kita pacaran? Bosan, selalu itu alasanmu untuk mencegahku datang ke rumahmu!” Bentak Kim Bum, kasar. “Jangan membohongiku, Kim So Eun. Aku tahu Ibumu bukan orang tua yang kuno. Beliau pasti merestui hubungan kita.”
“Kau yakin?”
“Ya. Park Shin Hye pernah cerita padaku tentang Ibumu. Dia bilang Ibumu baik dan pengertian. Jadi tidak mungkin melarang kita pacaran. Buktinya, hubunganmu dengan Lee Ki Kwang..”
“Cukup, Kim Bum! Apa maksudmu mengorek masa laluku?” tukasku kesal.
“Aku tidak pernah berniat mengorek masa lalumu, tapi aku ingin tahu, mengapa kau begitu gigih melarangku datang ke rumahmu? Apakah hanya karena takut pada Ibumu? Aku tidak percaya, Kim So Eun. Lalu mewawancarai Park Shin Hye. Ternyata…ah, aku tidak mengerti. Apa maksudmu membohongiku? Apakah aku salah ke rumah pacarku sendiri? “ Pertanyaan Kim Bum membuatku diam. Tak tahu harus berkata apa.
“Kenapa diam? Ayo jawab! Apakah salah…..,”
“Jangan paksa aku, Kim Bum!” Sentakku lalu berlari meninggalkannya.
* * *
Aku memandang jam dinding dengan resah. Pukul tujuh kurang beberapa menit. Ah, apakah Kim Bum akan datang? Semoga tidak, harapku resah. Semoga dia marah karena sikapku kemarin siang sehingga tidak jadi datang. Tapi…tapi…kalau dia datang…
“Gelisah sekali kau, Kim So Eun, “ Tegur Han Ga In Eonni. Dinyalakannya televisi. “Menunggu pacar ya?” tanyanya sambil mengecilkan volume suara.
“Wuih, adik kecilku ini sudah punya pacar rupanya. Sudah tidak patah lagi.” Goda Lee Hong Ki.
“Siapa namanya? Kenalkan padaku!” Yoon Eun Hye Eonni ikut-ikutan meledek.
Aku diam saja. Masuk ke kamarku dengan perasaan galau. Tuhan, jangan biarkan ia datang. Jangan biarkan ia melihat keadaanku yang miskin ini. Cukup satu kali saja aku kecewa. Jangan lagi….
“Kim So Eun, “Han Ga In Eonni masuk ke kamarku. Aku menoleh seraya duduk di pembaringan. “Ada apa?” tanya Han Ga In Eonni sambil menutup pintu.
“Kim Bum mau datang, Eonni.” Jawabku pelan.
“Kim Bum? Siapa? Pacarmu?”
Aku mengangguk. Han Ga In Eonni duduk di sampingku. “Kalau begitu, cepat ganti pakaianmu, “ katanya.
“Ah, tidak perlu! Aku tidak mengharapkan dia datang. “ Ujarku ketus.
“Ehhh, baru pacaran kenapa sudah bertengkar?”
“Dia itu menyebalkan sekali! Sudah dilarang jangan ke rumah, eh masih….”
“Dilarang? Aku jadi tidak mengerti.”
“Aku tidak mau dia ke rumah, Eonni. Aku takut peristiwa itu terulang kembali.” Sahutku resah.
“Kim So Eun, tidak semua lelaki seperti Lee Ki Kwang yang hanya melihat kekayaan. Kalau Kim Bum benar-benar mencintaimu, dia tidak akan peduli dengan rumah kita….”
“Tapi, Eonni…”
“Kim So Eun, pacarmu datang!”
Ups! Aku segera berdiri. Kutatap Han Ga In Eonni dengan bingung.
“Eonni, bilang saja aku sedang tidur,” kataku memohon.
“Kim So Eun….Kim So Eun…kalau mau bohong yang pintar sedikit. Yoon Eun Hye sudah meneriakkan namamu dengan kencang. Pasti Kim Bum tahu Kau tidak tidur.”
“Aduh, jadi bagaimana ini?” Aku duduk di kursi, tak berdaya.
“Ganti baju dan temui dia. Toh, dia sudah tahu rumah kita seperti apa. “ Suara Han Ga In Eonni tegas. Aku termangu. Mengetuk-ngetuk meja belajar dengan jari-jari tangan.
“Tunggu apa lagi, Kim So Eun? Hadapilah dengan senyum.” Han Ga In Eonni meraih daguku dengan sayang.
Perlahan, aku berjalan ke ruang tamu. Sengaja kupasang tampang sekecut mungkin.
“Hei, Kau kenapa Kim So Eun? Habis minum cuka ya? Kenapa, cemberut begitu?” Tegur Kim Bum sambil tersenyum mesra. Pemuda itu duduk dengan santainya di sofa panjang yang modelnya sudah ketinggalan jaman. Lusuh dan pudar warnanya.
“Aku suka rumahmu, Kim So Eun. Kecil mungil tapi rapi dan bersih. “ Katanya lalu menyeruput teh manis yang dihidangkan Yoon Eun Hye Eonni.
“Jangan menghina. Rumah jelek begini…”
“Walaupun jelek, asal dijaga kebersihannya pasti terasa nyaman,” Tukas Kim Bum. Diperhatikannya aku dengan seksama. “Ini bukan merayu, Kim So Eun…Hari ini Kau tampak mempesona dengan jins belel dan kaos hitam bersulam bunga. Serasi dengan kulitmu yang putih bersih. “ Ujarnya membuat pipiku panas seketika. Padahal, aku sengaja memakai jins dan kaos ini. Agar terlihat jelek, agar terlihat tidak menarik dan Kim Bum cepat-cepat angkat kaki. Eh……
“Duduklah, Kim So Eun. Kenapa berdiri terus? Kau sudah cukup tinggi.” Goda Kim Bum. Aku mendengus sebal sembari duduk berhadapan dengannya.
“Kita mengobrol di sini saja ya? Tidak usah ke bioskop. “ Kata Kim Bum lagi.
“Kau suka rumah ini, Kim Bum?” Tanyaku masih tidak percaya dengan sikapnya. Kim Bum mengangguk.
“Berapa kali aku harus bilang, nona? “ Tanyanya. Aku tersenyum.
“Kalau begitu, maafkan aku ya?” Ujarku lirih.
“Maaf?” Kim Bum menatapku tak mengerti.
“Ya, aku telah berprasangka yang tidak-tidak terhadapmu. Aku tidak mengijinkan Kau ke rumahku, sebab aku takut Kau seperti Lee Ki Kwang yang meninggalkanku setelah melihat keadaanku. Apalagi Kau anak orang kaya. Aku malu…”
“Kim So Eun…, “ Kim Bum tersenyum lembut. “Aku menyayangimu sebagaimana Kau adanya. Just the way you are, Kim So Eun. Tidak peduli Kau kaya atau miskin.”
“Oooo, I love you…just the way you are….!” Teriak seseorang dari ruang dalam.
“Oppaaaaa!” Aku berteriak dengan wajah memanas.
“Siapa, Kim So Eun?” Tanya Kim Bum.
“Lee Hong Ki, kakak laki-lakiku yang suka menguping!” Jawabku setengah berteriak.
“Siapa yang menguping? Suara kalian saja yang terdengar dengan jelas!” Seru Lee Hong Ki jahil.
Aku tersenyum kecut. “Inilah akibatnya kalau rumah terlalu kecil, “ kataku pelan. Kim Bum tertawa.
“Kalau begitu, bicaranya bisik-bisik saja.” Ujarnya lebih pelan dari suaraku. “Kalau seperti ini pasti lebih mesra kan…” Dia mengedipkan mata. Aku mendelik gemas, tapi tak mampu berbuat apa-apa sebab telinga Lee Hong Ki pasti masih tegak, siap mencuri dengar percakapan kami.
Tamat
Copyright Sweety Qliquers
Copyright Sweety Qliquers
ahahahahhaha ManiiiiiiiiiiiiZZZZ bgt critanyaa...Bener2 One sHot...2 the point lgsung jadian..Prosesnya gak ada...>>YA IYALAH SARIIIIII
BalasHapus(jERIt AuThoR!!)