Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Kamis, 21 Juli 2011

The Right Man (Chapter 3)



"Lelaki itu lagi," desis ibunya kesal. "Mau apa lagi dia kemari?"

"Siapa, Bu?" tanya Kim So Eun sabar. "Itu yang naik mobil merah! Setiap hari datang mencarimu. Untuk apa?"

"Bu, dia produserku."

"Ini kan rumah. Bukan kantor!"

"Apa salahnya dia kemari? Dia punya peran baru untukku."

"Dia pasti punya maksud tertentu pula padamu!"

"Ibu," keluh Kim So Eun menahan kekesalannya. "Cobalah untuk tidak mencurigai setiap orang, Bu."

"Tapi akhirnya kecurigaanku selalu benar, kan? Waktu kau bergaul dengan Choi Siwon, waktu itu umurmu baru enam belas tahun, sudah berapa kali kubilang, anak itu rusak! Jangan dekati dia. Tapi semakin hari kalian malah semakin lengket! Nah, apa yang terjadi? Sesudah menitipkan Park Ji Yeon di perutmu, dia kabur entah ke mana!"

Kim So Eun mengatupkan rahangnya menahan marah. Cepat-cepat dia keluar sebelum ibunya mengoceh lebih panjang lagi.

Kim Hyun Joong sudah duduk di ruang tamu. Dia langsung bangkit begitu melihat Kim So Eun.

"Selamat siang," sapanya lembut. “Tidak ke mana-mana?"

"Malas."

"Bagaimana dengan skenario yang kemarin? Sudah dibaca?"

"Masih segan." Kim So Eun duduk di hadapan tamunya.

"Oh." Kim Hyun Joong tersenyum tipis. "Sedang lesu darah? Aku tahu obatnya. Kita pergi makan steak."

"Jangan hari ini. Aku sedang diet.”

“Tundalah dietmu sampai besok. Aku lapar."

"Diet bukan shooting yang dapat di-break sesukamu."

"Kalau begitu kau minum saja. Temani aku makan.”

“Tahu berapa kalori yang terdapat dalam segelas es krim?"

"Jangan es krim. Air putih saja."

"Kenapa tidak minum di rumah saja? Di sini banyak air putih."

“Tapi di sini tidak ada steak!”

"Bawakan saja bahan-bahannya kemari. Akan kubuatkan kau steak yang paling lezat!"

"Benarkah? Kapan?"

"Kapan saja. Tapi jangan hari ini. Buku masakku hilang!”

Kim Hyun Joong tertawa geli. Begitu lepas tawanya sampai terdengar ke dapur. Dan bunyi panci jatuh menyambut tawanya dari sana.

"Kau jujur dan lucu!" Kim Hyun Joong mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Kim So Eun.

"Aku semakin menyukaimu. Kim So Eun!"

Kim So Eun belum sempat menjawab ketika terdengar bunyi panci-panci berjatuhan dari dapur. Bukan hanya sekali dua kali. Seakan-akan ada gempa di sana. Dan semua panci berjatuhan ke lantai. Seperti diisyaratkan, Kim Hyun Joong langsung melepaskan genggamannya.

"Ibumu alergi sekali padaku," gumamnya sambil tersenyum pahit. "Sudah kausampaikan maksud kita?"

"Maksud apa?" Kim So Eun berpura-pura bodoh.

"Untuk hidup bersama."

"Aku harus bicara dulu dengan anak-anak."

"Ah, itu di luar kebiasaanmu."

"Sekarang mereka sudah besar."

"Kalau mereka menolak?"

"Aku harus menjaga perasaan mereka."

"Dan kita tidak dapat hidup bersama?"

"Anak-anakku tidak rela ibunya menjadi istri muda orang, Kim Hyun Joong. Apalagi wanita simpanan!"

"Apa salahnya jadi istri muda asal bisa hidup bersama?"

"Aku pernah dimaki-maki seorang perempuan yang mengaku istri pertama suamiku. Padahal waktu menikah, dia mengaku masih bujangan."

"Yang seperti itu tidak akan terjadi pada kita."

"Tapi aku tetap tidak mau jadi istri muda."

“Kita saling mencintai, Kim So Eun!”

“Kalau begitu, ceraikan istrimu.”

“Tidak mudah, perlu waktu lama.”

“Katamu kalian sudah tidak cocok.”

“Tapi Jung So Min belum mau kuceraikan."

“Kenapa? Kalian belum punya anak, Kan?"

"Kami sudah 10 tahun menikah, Kim So Eun. Dalam perkawinan yang telah berumur sepuluh tahun, mungkin cinta itu sudah tidak ada lagi, Cinta itu sudah berubah menjadi persahabatan."

“Kalau begini sampai kapan aku harus menunggumu? Sampai sepuluh tahun lagi, kalau persahabatanmu telah berubah menjadi kebencian?”

"Kim So Eun, kumohon pengertianmu..."

“Dan pengorbananku?”

"Untuk apa kalau cuma untuk beberapa tahun saja.”

"Apa maksudmu?”

"Dulu, kau juga mencintai Jung So Min, bukan?"

"Aku ingin punya anak.”

"Hanya anak?"

“Ini rantai yang akan mengikat cinta kita selamanya.”

"Bagaimana kalau kau yang tidak mampu mempunyai anak?”

“Aku sehat!” Kim Hyun Joong mengatupkan rahangnya.

“Istrimu tidak?”

"Dia yang mandul."

“Mengapa tidak mengangkat anak saja?"

“Aku ingin anak kandung!”

“Tapi kau lupa, Kim Hyun Joong. Aku tidak ingin punya anak lagi."

"Bertahun-tahun aku mendambakannya, Kim So Eun." Kim Hyun Joong menatapnya dengan penuh permohonan. "Kapan aku bisa jadi ayah!"

"Segera setelah menikah denganku, kau akan jadi ayah dari lima orang anak."

“Tapi aku menginginkan yang keenam, Kim So Eun. Anak kita berdua, Buah kasih sayang kita. Seorang anak laki-laki. Yang akan mewarisi nama dan hartaku!" Kim Hyun Joong meraih tangan Kim So Eun. Dan menatap wanita itu dengan sungguh-sungguh. "Beri aku seorang anak, Kim So Eun!"

Kim So Eun memandang ke dalam mata yang sedang berlabuh dalam lautan permohonan itu dengan terharu. Seorang laki-laki yang perkasa, Tampan, Kaya raya, Dan berkuasa. Sekarang lelaki itu memohon di hadapannya. Memohon seorang anak!

Bagaimana harus menolak permintaannya? Hanya kepada Kim Hyun Joong, Kim So Eun dapat mempercayakan anak-anak gadisnya. Dia bukan hanya baik hati. Dia juga sangat mencintainya. Di mana lagi harus dicarinya laki-laki semacam ini? Kalau masih ada seorang laki-laki di dunia ini yang dapat dipercaya untuk menjadi ayah bagi anak anaknya, lelaki inilah orangnya!

Bertahun-tahun Kim So Eun telah mencari seorang ayah bagi anak-anaknya. Sekarang setelah ditemukannya lelaki yang dicarinya itu, dia telah terlambat. Lelaki itu telah beristri.

Berdosakah menceraikan lelaki ini dari istrinya? Salahkah menenggelamkan sebuah bahtera perkawinan yang telah hampir karam?

"Kami hidup seperti dua orang asing," kata Kim Hyun Joong terus terang. "Serumah tapi tidak sekamar."

"Kalau begitu kenapa kalian tidak bercerai saja? Buat apa hidup dengan menipu diri begitu?"

"Sebelum bertemu denganmu, aku tidak, menemukan alasan mengapa harus bercerai. Bagiku, perkawinan cuma status sosial. Kepuasan bisa kucari di tempat lain."

"Lelaki seperti ini yang berani melamarku jadi istrinya?"

"Sesudah bertemu denganmu," kali ini bukan hanya suara Kim Hyun Joong yang mengalun lembut, matanya pun ikut bersinar mesra. "Aku merindukan sebuah rumah dengan senandung seorang istri dan tawa anak-anak di dalamnya."

"Wah. dasar seniman!"

“Tapi yang begini ini tidak ada dalam skenario, Kim So Eun!"

Kim Hyun Joong memang lain dari suami-suaminya yang terdahulu. Kalau sedang dimabuk cinta, dia bisa menjadi lelaki yang paling romantis di dunia. Tetapi kalau sedang marah, dia kadang-kadang lupa, rumah bukan studio.

Kata-katanya bisa lebih jorok dari pengemis di kolong jembatan. Dan kemarahannya dapat meledak seperti bom atom. Dia dapat memaki orang seperti memarahi krunya di lapangan.

Namun bagaimanapun Kim So Eun menyukai lelaki ini. Banyak persamaan di antara mereka berdua. Mereka sama-sama orang yang gagal dalam perkawinan. Mempunyai profesi dan hobi yang sama pula.

Tidak heran kalau hanya dalam beberapa bulan saja, mereka sudah merasa demikian dekat. Bukan baru sekali Kim Hyun Joong mengajukan lamaran untuk hidup bersama. Tetapi ada dua hal yang memberatkan Kim So Eun. Kim Hyun Joong telah beristri. Dan anak-anaknya tidak mau punya ayah lagi.

Park Ji Yeon langsung menyingkir setiap kali Kim Hyun Joong datang ke rumahnya. Baek Suzy mengunci diri di kamar. Dan tidak mau keluar lagi dari sana sampai Kim Hyun Joong pulang.

Kim Yoo Bin, anaknya yang terkecil, yang baru berumur empat tahun, langsung menghambur ke dalam pelukan neneknya sambil menangis. Hanya Lee Young Yoo dan Kim Yoo Jung, yang masih dapat disogok dengan cokelat dan es krim yang dibawa Kim Hyun Joong. Barangkali cuma mereka berdua yang tidak keberatan Kim Hyun Joong menjadi ayah mereka, asal setiap hari membawa es krim!

***

Sekali lagi Kim So Eun melihat jam. Hampir pukul sembilan malam. Tetapi Park Ji Yeon belum pulang juga.

"Pukul berapa biasanya Park Ji Yeon pulang les?" tanyanya kepada Baek Suzy.

"Pukul tujuh," sahut Baek Suzy singkat. Tanpa mengangkat wajahnya dari jahitannya.

"Kalau begitu ke mana dia?" desah Kim So Eun gelisah. "Sudah hampir jam sembilan. Tadi dia tidak bilang mau ke tempat lain dulu?"

Kim Soo Eun cuma menggeleng.

"Itulah kalau kau tidak pernah di rumah," gerutu Nenek sambil mengurut-urut kakinya dengan obat gosok. "Anakmu pulang malam terus kau tidak tahu."

"Aku kan harus kerja, Bu. Kalau aku di rumah terus, kita mau makan apa?"

“Tapi kan tidak perlu keluar tiap malam!"

"Kalau shooting-nya malam, masa aku harus datang siang?"

"Carilah pekerjaan yang pergi pagi pulang sore, Kim So Eun. Jangan seperti ini. Pergi pagi pulang pagi."

"Sudahlah," potong Kim So Eun kesal. "Ibu temani saja Lee Young Yoo dan Kim Yoo Jung tidur. Biar Kim Yoo Bin denganku."

"Aku tidak mau tidur dengan Kim Yoo Jung, Bu!" protes Lee Young Yoo keras. "Dia menendangku terus!"

"Aku juga tidak mau tidur dengan Nenek, Bu!" teriak Kim Yoo Jung tidak kalah kerasnya. "Nenek kalau tidur suka bicara sendiri! Aku takut!"

"Hus!" belalak Nenek kesal. "Kalau tidak mau tidur dengan Nenek, kau mau tidur di mana, Kim Yoo Jung? Mau tidur dengan Paman yang di bawah itu? Nanti malam-malam, kau akan dicekiknya!"

"Jangan menakut-nakuti mereka, Bu!" protes Kim So Eun kesal.

“Aku mau tidur dengan Ibu!" kata Kim Yoo Jung.

"Aku juga!" Tambah Lee Young Yoo.

"Sudah, jangan ribut," keluh Kim So Eun letih. "Kalau semua mau tidur dengan Ibu, Kim Yoo Bin tidur dimana?"

"Aku tidak peduli! Pokoknya aku tidur dengan Ibu!" kata Lee Young Yoo.

"Ayo, suit!" tantang Kim Yoo Jung lantang. "Yang menang tidur dengan Ibu!"

"Tidak!" bantah Lee Young Yoo ketus. "Kau selalu curang!"

"Lee Young Yoo, Kim Yoo Jung, coba dengar, Ibu mau tanya." Kim So Eun meraih kedua anaknya ke dalam pelukannya. "Lee Young Yoo, kau sayang Kim Yoo Bin tidak?"

"Sayang," sahut Lee Young Yoo terpaksa.

"Kim Yoo Jung?"

"Sayang, Bu."

"Jadi Kim Yoo Bin boleh tidur dengan Ibu?"

Kim Yoo Jung menoleh pada Lee Young Yoo sebelum menjawab. Ketika Lee Young Yoo mengangguk, walaupun dengan wajah cemberut, barulah dia menganggukkan kepalanya dengan ragu-ragu.

"Ah, Lee Young Yoo dan Kim Yoo Jung memang kakak yang baik. Anak Ibu yang manis. Sekarang tidur dengan Nenek, ya? Jangan lupa sikat gigi dulu!" Dengan lembut Kim So Eun menepuk pantat kedua anak itu.

Berlomba Lee Young Yoo dan Kim Yoo Jung berlarian ke kamar mandi. Sebentar saja semua gelas plastik berikut sikat-sikat gigi di dalamnya berjatuhan ke lantai.

"Ini sikat gigi milikku!" teriak Kim Yoo Jung sambil memungut salah satu sikat gigi yang jatuh itu.

"Bukan! Itu sikat gigi milikku!" teriak Lee Young Yoo tidak mau kalah.

"Tidak! Ini sikat gigiku!"

"Sikat gigiku!"

"Sikat gigiku!"

Lee Young Yoo mencoba merampas sikat gigi itu dari tangan adiknya. Tetapi Kim Yoo Jung dengan gesit membawa lari sikat giginya.

"Ibu! Ibu!" teriak Lee Young Yoo sambil lari mengejar adiknya.

"Kim Yoo Jung mengambil sikat gigiku, Bu!"

"Bukan, Bu! Ini sikat gigiku!"

"Astaga!" Kim So Eun mengurut dada. "Kenapa kalian jadi lebih nakal kalau Ibu ada di rumah?"

"Bukan lebih nakal," komentar Nenek kering. "Kau yang tidak pernah tahu bagaimana nakalnya mereka!"

“Kim Yoo Jung, kemarikan sikat gigi itu!"

Dengan patuh Kim Yoo Jung memberikan sikat giginya kepada ibunya.

"Ini bukan sikat Kim Yoo Jung, bukan juga sikat milik Lee Young Yoo. Ini sikat gigi Kim Yoo Bin." Kim So Eun membagikan sebuah sentilan masing-masing ke telinga mereka, "Sekarang ambil sikat gigi kalian! Sikat gigi, cuci kaki, cuci tangan, tidur! Awas, kalau berkelahi lagi!"

Dengan kepala tunduk kedua anak itu berjalan ke kamar mandi. Hati-hati Lee Young Yoo menutup pintu kamar mandi itu. Mengambil salah satu sikat gigi yang ada dengan mulut terkunci Dan mulai menyikat giginya.

Dengan sedih dia memandang ke dalam cermin di hadapannya. Ada dua tetes air mata yang mengalir di pipinya.

Mula-mula dia tidak boleh tidur dengan Ibu karena harus mengalah kepada adiknya. Sekarang dia tidak dapat menyikat gigi dengan sikatnya sendiri karena Ibu tidak tahu yang mana sikat giginya!

Lalu dia mendapat sebuah sentilan di telinganya. Sakit memang. Tapi lebih sakit lagi hatinya. Lee Young Yoo merasa tidak diacuhkan. Ibu hanya sayang pada Kim Yoo Bin. Mentang-mentang dia sakit! Ibu tidak pernah memperhatikan dirinya!

O, rasanya Lee Young Yoo ingin menangis. Nangis menjerit-jerit. Tapi kalau dia menangis, Ibu pasti marah lagi!

***

Sudah beberapa kali Kim So Eun bolak-balik ke pintu depan. Melongok ke luar. Mengintai ke jalan, kalau-kalau Park Ji Yeon telah kelihatan di sana. Tetapi hampir pukul sebelas malam, dia belum muncul juga.

Sambil menggendong Kim Yoo Bin yang malam ini mendadak tidak mau ditinggal tidur sendiri di kamar, Kim So Eun menunggu di ruang tamu. Dan sarafnya yang memang sudah tegang tambah terganggu melihat sikap Kim Bum.

Entah mengapa sejak pukul sepuluh tadi lelaki itu mendadak pindah tidur ke sofa. Tidak mau masuk ke kamar.

"Tidak bisa tidur," kilahnya.

"Nanti kepalamu pusing lagi, Lebih baik tidur di kamar."

"Kalau berbaring begini tidak terasa apa-apa.”

“Berbaringlah di ranjang!"

"Kenapa? Aku membuatmu senewen?"

"Kau menakut-nakuti Kim Yoo Bin saja!"

"Kenapa memangnya? Aku kan tidak berbuat apa-apa!"

"Kau terus-terusan melihat ke sini!"

"Masa melihat saja tidak boleh?"

"Dia takut!"

"Kurang bergaul."

"Jangan sok tahu!"

“Setiap hari dikurung di rumah terus. Dia jadi penakut Masa lihat orang saja takut!"

"Dia sakit."

"Sakit apa? Dia cuma takut orang. Berikan padaku. Akan kujadikan dia singa betina."

"Kim Yoo Bin bisa mati ketakutan kalau kuberikan padamu."

"Ah. itu cuma anggapan-mu. Anak kecil harus dibiasakan bergaul. Masa cuma mau dengan ibunya sendiri? Mau jadi apa nanti? Sebentar lagi kan dia sudah harus masuk sekolah!"

“Tidak mungkin."

"Kau tidak mau menyekolahkan anakmu?"

"Bukan tidak mau. Tidak bisa!"

"Kau tidak bisa menyekolahkan anakmu? Tidak punya uang?"

"Kim Yoo Bin tidak bisa sekolah. Dia terbelakang."

“Terbelakang? Retardasi Mental*) maksudmu?"

*) Retardasi Mental > gangguan perkembangan inteligensi, disebabkan oleh gangguan sejak dl kandungan sampai masa perkembangan dini sekitar lima tahun

"Imbesil *). Jangankan masuk sekolah, bicara saja belum bisa. Padahal umurnya sudah empat tahun. Satu-satunya kata yang dapat diucapkannya cuma 'Ibu'."

*) Imbesil > keadaan mempunyai kecerdasan berpikir yg sangat rendah pd orang dewasa (IQ sekitar 40—60); dungu; bodoh sekali, Idiot, tunagrahita.

"Ada trauma waktu lahir? Atau... sewaktu dalam kandungan?"

"Mana aku tahu? Aku tidak pernah memeriksakan diri."

"Itulah kesalahanmu yang pertama!" Tidak tahu Kim Bum, mengapa tiba-tiba saja dia merasa marah. "Kau bukan ibu yang baik!"

"Jangan mengajariku!" desis Kim So Eun tersinggung.

"Pantas saja anak-anakmu tidak ada yang beres!"

"Anakku yang lain normal!"

"Tapi kau jarang di rumah! Makanya mereka jadi nakal!"

"Aku tidak minta pendapatmu! Urus saja dirimu sendiri!"

"Tahu kenapa anak laki-lakimu tidak pulang lebih sore seperti biasa?"

"Aku tidak punya anak laki-laki!"

"Jadi anak yang rambutnya seperti laki-laki itu anak perempuan? Astaga!"

Kim So Eun merasa kesal. Tapi tidak bisa marah. Bajingan ini memang tidak salah lihat. Park Ji Yeon memang persis anak laki-laki. Rambutnya dipotong pendek. Pakaiannya celana jins butut dengan T-shirt kedombrongan. Kalau pergi dia memakai topi bisbol. Tingkah laku dan cara berjalannya pun persis anak laki-laki!

"Dia sengaja pulang lebih malam supaya kau menegurnya! Dengan begitu dia mendapat perhatian yang selama ini didambakannya dari seorang ibu!"

"Ah, jangan sok tahu!"

"Dia tahu malam ini kau ada di rumah. Dia sengaja memancing perhatianmu. Untuk mencoba menarik perhatianmu pulalah dia mengidentifikasikan dirinya seperti laki-laki!"

"Pasti salah satu teman-teman jalananmu ada yang punya bakat jadi ahli jiwa," ejek Kim So Eun sinis.

"Kau marah karena tahu aku yang benar," kata Kim Bum santai. "Kau menganggapku hina karena aku anak jalanan...."

"Kau lebih hina lagi daripada itu!"

"Kau sama kotornya dengan aku!"

"Aku mencari nafkahku dengan halal!"

"Kata siapa aku tidak?"

"Kalau kau orang baik-baik, kau tidak takut polisi?"

"Kau harus mencari suami lagi," sengaja Kim Bum membelokkan arah percakapan mereka.

"Untuk dititipi anak lagi?"

"Untuk melindungi keluargamu. Menggantikan-mu mencari nafkah. Kau harus lebih banyak tinggal di rumah bersama anak-anakmu."

“Terima kasih. Khotbahmu indah sekali. Kaubaca di mana?"

"Aku juga pernah punya ayah. Tapi ayahku seperti ayah anak-anakmu. Tinggal semalam di kamar ibuku. Lalu pergi menghilang untuk seribu malam berikutnya."

"Tapi ibumu pasti bukan aku. Kalau tidak, kau tidak jadi begini."

"Dia menukar diriku dengan sebuah gelang emas."

"Sayang sekali. Padahal kau sama sekali tidak berharga."

"Aku dilemparkan begitu saja ke tangan orang lain. Kau tahu, aku menangis setiap malam menunggu kedatangan Ibu. Aku begitu rindu untuk dapat tidur lagi bersamanya."

"Aku punya lima anak. Tidak mungkin aku tidur bersama mereka berlima!"

"Untuk berada di dekat anak-anakmu, kau tidak perlu selalu harus tidur bersama mereka."

"Sudahlah, hentikan khotbahmu! Pergilah tidur. Nanti kepalamu pusing lagi."

"Pusingku sudah hilang."

"Tentu saja. Sudah pindah ke kepalaku!"

Dengan kesal Kim So Eun membawa Kim Yoo Bin ke atas. Tetapi baru saja sampai di tangga, Kim Bum sudah memanggilnya lagi.

"Tidurlah di kamarmu saja. Lebih mudah menunggu anakmu di sini daripada di atas."

"Terima kasih untuk undanganmu. Tahu berapa tarifnya?"

"Hmm, untuk tidur di kamarmu sendiri kau tidak perlu bayar!"

"Bukan aku yang bayar, tapi kau!"

"Aku tidur di sini. Di sofa tidak perlu bayar, kan?"

"Untung kau tahu diri. Tapi aku akan lebih berterima kasih lagi kalau besok pagi kau tinggalkan rumahku."

"Tidak mungkin. Aku belum bisa jalan. Masih pusing."

"Akan kuantarkan kau ke rumah sakit."

"Itu berarti kau harus menggendongku."

"Jadi kau tidak mau pergi dari sini?"

"Paling sedikit aku harus beristirahat tiga hari lagi."

“Tapi jangan di sini! Rumahku bukan rumah sakit!"

"Lalu kenapa kaubawa aku kemari?"

"Kau yang minta!”

"Kenapa kauturuti?"

"Aku takut."

"Kau bisa minta tolong tetanggamu. Memanggil polisi untuk mengeluarkanku."

"Aku yang menabrakmu!"

"Kau masih percaya mobilmu yang membentur kepalaku?"

"Apa bedanya dengan kepalamu yang membentur mobilku?"

Kim Bum tersenyum.

"Apa yang lucu?" sambar Kim So Eun antara heran dan kesal.

"Kau tidak menabrakku, Ny. Kim!"

"Apa maksudmu?”

"Kau mengerem mobilmu pada saat yang tepat! Kau memang perempuan hebat! Tidak heran kau bisa punya empat orang...."

"Jangan main-main!" geram Kim So Eun sengit. "Kalau bukan mobilku, setan mana yang menabrakmu?”

"Aku yang menabrak mobilmu ketika sedang lari melintas di depan mobilmu. Tapi luka-luka di kepalaku bukan akibat kecelakaan. Aku berkelahi. Dan melarikan diri karena takut dikeroyok!"

"Ya Tuhan! Bodohnya aku!" geram Kim So Eun gemas.

"Kau benar-benar penipu!"

"Kapan aku menipumu? Aku hanya minta tolong...."

"Kau memaksaku! Mengancam...."

"Terpaksa. Aku sedang panik."

"Oh, aku benar-benar sial!"

"Seharusnya namamu Ny. Sial."

"Sekarang jangan kau tambah lagi kesialanku. Tinggalkan rumahku!"

"Malam-malam begini?"

"Besok pagi."

"Sudah kukatakan, besok aku belum bisa jalan."

"Lusa. Janji?"

"Kenapa tidak mengusirku saja?" Kim Bum menahan tawa. "Kau bisa minta tolong satpam."

"Aku kasihan padamu."

"Aku mulai percaya bahwa kau sebenarnya orang baik."

"Tentu. Aku tidak takut polisi." Kim Bum tersenyum pahit.

"Kaupikir aku orang jahat?"

"Kau membunuh korbanmu dalam perkelahian itu?"

"Tidak tahu. Mereka memukuli kepalaku. Entah dengan botol. Mungkin juga dengan kayu."

"Kau pasti maling. Tertangkap basah waktu mencuri."

"Kami sedang berpesta."

"Kau mabuk? Minum obat?"

"Lupa. Waktu mereka mengeroyokku, aku kabur. Dan bertemu denganmu."

"Sial. Aku melindungi seorang penjahat."

"Kau bisa melaporkan diriku pada polisi kalau mau."

"Buat apa? Kerjaanku sudah banyak."

Sambil mengawasi Kim So Eun yang sedang menggendong Kim Yoo Bin ke kamarnya di atas, Kim Bum merenung seorang diri.

Perempuan itu sebenarnya baik hati. Lembut. Nasibnya yang jelek dan lingkungannya yang tidak bersahabat menempanya menjadi seorang wanita yang tampak keras dan tegar. Sebenarnya dia perempuan yang menarik. Wajahnya cantik. Penampilannya menggiurkan. Tubuhnya indah.

Sikapnya sering menggemaskan. Pantas saja banyak lelaki yang tertarik untuk menaklukkannya. Sayang, nasibnya tidak sebaik penampilannya. Tidak gampang menjadi janda dalam usia tiga puluhan. Apalagi dengan lima anak perempuan yang penuh komplikasi!

"Berapa sebenarnya umurmu?" tanya Kim Bum ketika Kim So Eun turun kembali. Sekarang tanpa Kim Yoo Bin.

"Mau apa tanya-tanya umur?" balas Kim So Eun ketus.

"Karena kuduga umurmu pasti sudah empat puluh."

"Siapa bilang?" belalak Kim So Eun tersinggung.

"Aku baru tiga puluh!"

Kim Bum tersenyum.

"Biasanya perempuan tidak suka menyebutkan - umurnya. Jadi kupancing kau untuk menyebutkannya!"

"Kata siapa aku menyebutkan umurku?"

"Jadi sudah kau korupsi lebih dulu?"

"Mengkorupsi milik sendiri namanya bukan korupsi!"

Saat itu, pintu terbuka. Park Ji Yeon masuk menuntun sepedanya. Dia cuma memandang ibunya sekilas.

"Ibu belum tidur?" gumamnya, entah kepada siapa. Lalu dia menuntun sepedanya melewati tempat ibunya.

"Kemari, Park Ji Yeon," desis Kim So Eun menahan marah.

Park Ji Yeon berhenti melangkah. Menoleh sekilas ke arah ibunya.

"Ibu mau bicara."

"Tentang dia?" tanyanya dingin sambil melirik Kim Bum yang masih berbaring dengan santai di sofa.

"Tentangmu!"

"Jangan di sini. Aku tidak mau didamprat di depan dia!"

"Bawa sepedamu ke belakang, Ibu tunggu di atas."

"Boleh mandi dulu?"

"Park Ji Yeon," geram Kim So Eun gemas.

"Ibu tidak main-main! Kau tahu pukul berapa sekarang? Apa kau tidak malu, anak perempuan kelayapan sampai tengah malam begini??”

Park Ji Yeon mengawasi ibunya dengan sorot yang amat dingin sampai Kim So Eun terkejut sekali melihatnya. Tidak menyangka anaknya dapat memandangnya dengan tatapan yang demikian membeku.

"Aku lebih malu kalau teman-temanku menanyakan Ibu," katanya pahit. "Ibu juga selalu pulang pagi."

Tidak menyangka mendapat jawaban demikian dari putri sulungnya yang berusia 16 tahun. Kim So Eun terenyak sedih.

"Ibu mencari nafkah, Park Ji Yeon," katanya getir. "Untuk menghidupimu dan adik-adikmu. Beginikah balasan yang Ibu terima?"

"Ibu bukan cuma mencari uang," sahut Park Ji Yeon lantang. "Ibu mencari lelaki!"

Ya Tuhan! Kim So Eun menebah dadanya dengan terkejut Seolah-olah sebuah pukulan yang tidak kelihatan dan amat menyakitkan baru saja menghantam dadanya Anaknya yang berumur 16 tahun sudah demikian pandai mencerca ibunya!

Terus terang Park Ji Yeon agak menyesal setelah mengucapkan kata-kata itu. Dia melihat perubahan air muka ibunya. Dan melihat bagaimana perlahan-lahan mata ibunya mulai memerah. Tetapi Kim So Eun tidak menunggu sampai air matanya bergulir ke pipi. Dia pantang menangis di depan anak-anaknya.

"Masuk!" perintahnya datar tapi tegas.

"Kalau besok kau pulang malam lagi, lebih baik tidak usah pulang! Dengar, Park Ji Yeon? Ibu serius!"

Tetapi Park Ji Yeon tidak menunduk. Tidak pula mengangguk. Dia malah membalas tatapan ibunya dengan berani.

"Besok malam Ibu ada di rumah?"

"Mulai malam ini Ibu selalu di ramah."

Park Ji Yeon mengawasi ibunya dengan bimbang. Seolah-olah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

***

Ketika Park Ji Yeon masuk ke kamarnya sesudah mandi, Kim So Eun belum tidur. Dan dia tidak dapat menahan dirinya lagi untuk bertanya.

"Mengapa kau tidak suka memakai rok, Park Ji Yeon? Kau toh seorang gadis. Mengapa tidak berdandan seperti teman-temanmu. Memilih gaun yang bagus-bagus. Memakai lipstik...."

"Itu soal selera," potong Park Ji Yeon kesal.

"Aku juga tidak pernah tanya kenapa Ibu tidak menikah dengan pejabat saja supaya kita cepat kaya!"

"Jawab dulu pertanyaan Ibu, Park Ji Yeon," keluh Kim So Eun putus asa.

"Kau tidak ingin terlihat cantik?"

Dengan tenang Park Ji Yeon duduk di sisi pembaringannya.

"Apakah aku cantik, Bu?"

"Kau cantik, Park Ji Yeon! Asal kau mau berdandan! Bukan keluyuran ke sana kemari memakai jins butut dan kemeja komprang!"

"Untuk apa?"

"Untuk apa?" gumam Kim So Eun bingung. Aduh, dia benar-benar tidak mengerti kemauan anaknya!

"Kau tidak ingin dikagumi teman-temanmu?"

"Untuk apa? Aku kan bukan barang! Dikagumi supaya cepat laku. Atau Ibu sudah ingin aku cepat-cepat menikah?"

"Park Ji Yeon!" cetus Kim So Eun marah.

"Kau belum pantas mengucapkannya! Kau masih kecil!"

"Umur berapa ketika Ibu menikah dengan ayahku? Atau... Ayah tidak pernah menikahi Ibu?”

Seali lagi Kim So Eun mati langkah. Anak ini benar-benar kurang ajar! Atau… dia bukan kurang ajar. Dia hanya terlalu polos. Tidak dapat menahan lidahnya untuk mengemukakan apa yang dirasanya benar. Bukankah justru itu ciri khas anak muda? Dan justru itu yang kadang-kadang menimbulkan pertentangan tajam dengan generasi yang lebih tua?

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...