Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Jumat, 15 Juli 2011

Jodoh Sempurna (Chapter 8)



Ketika keesokan harinya Kim Bum hendak pulang, Kim So Eun dan Kim Hyun Joong pun memutuskan ikut serta untuk berlibur di kampung. Mereka pun memutuskan naik kereta. Sepanjang jalan mereka tetap mengobrol santai. Tak pernah sekali pun disinggung tentang perjodohan ataupun hubungan mereka. Benar-benar pandai bersandiwara, batin Kim Bum. Kali ini Kim So Eun tak duduk berdampingan dengan Kim Hyun Joong, melainkan memilih di sebelah Kim Bum. Kim Bum lebih banyak diam. Dia hanya mengobrol sekadarnya.

Setelah memesan makan siang di kereta, kedua lelaki di sebelahnya tertidur, sementara Kim So Eun memilih membaca novel. Sesekali kepala Kim Bum jatuh ke bahunya. Dipandanginya wajah Kim Bum dalam tidurnya. Timbul rasa kasihnya pada diri lelaki ini. Dengan lembut dia tarik kepala Kim Bum untuk bersandar di bahunya. Selanjutnya dia meneruskan membaca bukunya.

Kim Hyun Joong terbangun lebih dulu, lalu mengajak Kim So Eun mengobrol.

Mendengar orang mengobrol, Kim Bum pun terbangun. Dia kaget karena tertidur di bahu Kim So Eun. “Kau mau gantian bersandar ke bahuku?” tanyanya.

Kim So Eun menggeleng, sambil tersenyum. “Nanti saja kalau aku capek.”

Kim Bum merapikan rambut Kim So Eun yang agak berantakan. Gadis ini baik, pikirnya. Hatinya bisa lembut keibuan juga kalau dia mau. Kim Bum duduk diam, sambil merenungkan sikap Kim So Eun.

Namun, ternyata bukan padanya saja Kim So Eun bersikap lembut. Pada Kim Hyun Joong pun sikap Kim So Eun tak kalah lembut. Dia membantu mengancingkan tas ransel Kim Hyun Joong dengan telaten, layaknya seorang ibu yang mengancingkan tas anaknya. Semua yang dilakukannya bersama Kim Hyun Joong sangat wajar. Apakah karena pria ini, Kim So Eun ngotot menolak perjodohan mereka? Jika benar, tak heran Kim So Eun melakukannya. Mereka saling menyayangi. Ini terbaca jelas dari sikap mereka.

Kala melihat sambutan keluarga Kim So Eun pada Kim Hyun Joong, Kim Bum yakin bahwa hubungan Kim So Eun dan Kim Hyun Joong sudah terjalin lama. Ia pun semakin penasaran. Namun, dia tidak mau mengambil tindakan sebelum mendapat penjelasan dari Kim So Eun.

Suatu sore, ia mendapati Kim So Eun seorang diri.

“Ke mana Kim Hyun Joong?” tanya Kim Bum.

“Memancing di laut dengan adikku.”

“Kebetulan, kalau begitu. Aku ingin mengobrol denganmu. Sejak kemarin aku penasaran dengan Kim Hyun Joong. Melihat keakraban kalian, juga dengan keluargamu, dia bukan orang yang asing bagi kalian, bukan? Bahkan boleh dibilang hubungan kalian sangat akrab.”

Sesungging senyuman menghias bibir Kim So Eun. Dia mengerti ke mana arah pembicaraan Kim Bum selanjutnya. “Ya, hubungan kami memang sangat akrab. Bagaimana tidak akrab? Aku sudah mengenalnya hampir 15 tahun. Aku pernah jadi asisten penelitiannya. Dia juga pernah homestay di sini. Kau merasa terganggu dengan hubungan kami?”

“Aku agak kaget karena hubungan kalian sangat istimewa.”

Kim So Eun terkekeh melihat Kim Bum tak menutupi kecemburuannya.

“Kalau aku boleh bertanya, apakah hanya sebatas teman biasa saja hubunganmu dengannya? Hal ini kutegaskan agar aku tahu di mana posisiku sebenarnya,” kata Kim Bum.

“Ya, kami hanya teman, tepatnya sudah seperti saudara. Bukankah sudah kubilang aku punya teman-teman yang sangat akrab. Mungkin, hubungan kami dan cara kami mengungkapkan keakraban itu dirasa sangat ekstrem bagimu. Tapi, begitulah bentuk hubungan kami,” kata Kim So Eun.

Kim Bum menatap Kim So Eun, mempelajari kedalaman hatinya. Kelihatannya Kim So Eun jujur. “Jadi, aku tak perlu mengkhawatirkannya?”

“Kalau yang kau maksud apakah aku berpacaran dan menikah dengannya kelak, tentu saja tidak,” jawab Kim So Eun, santai. “Aku menemukan sosok lebih daripada teman. Mungkin, sahabat sejati. Aku bisa leluasa menceritakan semua masalahku, tanpa perlu pertimbangan apakah dia akan mengumbar rahasiaku itu atau tidak. Aku juga bisa bersikap santai, tanpa harus berpura-pura sopan. Pokoknya, aku bisa menjadi diriku sendiri bila bersamanya. Aku merasa nyaman. Itulah mungkin yang membuat hubungan kami jadi khusus. Kau cemburu?” tanya Kim So Eun, dengan wajah jenaka.

“Sangat. Dadaku hampir terbakar rasanya.”

“Apakah ini pertanda kau mulai mencintaiku atau kau hanya merasa tersinggung karena aku akrab dengan pria lain?” tanya Kim So Eun.

“Tentu saja aku mencintaimu. Kenapa kau ragukan itu?”

“Wah, terima kasih. Senang juga ada yang mencintaiku,” ujar Kim So Eun santai, sambil meraih pipi Kim Bum dan mengecupnya sekilas.

“Apakah ini pertanda kau pun sudah mulai mencintaiku?” tanyanya. “Atau, di luar ciuman tadi, apakah ada setitik perasaan cinta itu di hatimu padaku?”

“Jangan GR dulu. Memang berapa lama kita bertemu?” elak Kim So Eun.

“Tapi, kau merasa nyaman bersamaku, ‘kan?” kata Kim Bum.

“Ya, tapi perasaan nyaman belum menjamin bahwa aku mencintaimu. Seperti halnya dengan Kim Hyun Joong, aku pun merasa nyaman dengannya. Aku dan dia juga saling menyayangi. Kami sudah saling memahami siapa diri kami masing-masing. Tapi, kami tak mungkin menikah. Kenapa, coba tebak?” tantang Kim So Eun.

Kim Bum hanya menggelengkan kepala.

“Karena tak ada titik api di antara kami. Kalau orang Barat menyebutnya tak ada chemistry di antara kami. Awalnya, aku beranggapan bahwa aku juga jatuh cinta padanya. Aku makin lama makin sayang padanya. Dia pun sama. Tapi, akhirnya aku menyadari bahwa di antara kami tak ada keinginan sedikit pun untuk melakukan hubungan cinta. Yang ada adalah kasih sayang tulus sahabat.”

“Apakah denganku kau tak merasakan chemistry itu?”

”Sabar dulu, kita kan baru berkenalan,” ledek Kim So Eun.

“Ayolah, Kim So Eun, kalau apa yang kuduga itu benar, apa lagi yang kita tunggu? Kau sudah tahu, ke mana hubungan ini akan mengarah. Kita sudah saling menjajaki, dan kenyataannya kita cocok. Apa lagi yang kita tunggu?”

Kim So Eun menatap Kim Bum dengan rasa ngeri saat membayangkan pernikahan. “Kenapa kita tak begini saja. Berteman baik.”

“Kim So Eun!”

“Aduh, Kim Bum, mengertilah. Aku tak bisa memberikan jawaban untuk komitmen yang akan mempertaruhkan masa depanku,” kata Kim So Eun, ngeri, walau rasa sayang pada lelaki ini mulai tumbuh.

“Baiklah, mungkin aku terlalu cepat mendesakmu,” desahnya, sambil menepuk-nepuk tangan Kim So Eun, menenangkan. “Tapi, kau tak keberatan kan, kalau kita melanjutkan hubungan?” tanya Kim Bum.

Kim So Eun menatap Kim Bum dengan serius. “Apakah kau men¬cin¬taiku?”

“Aku sudah jatuh cinta sejak pertama kali aku datang ke rumahmu. Namun, cinta baru tumbuh ketika kau bersikeras menolakku. Itu membuatku semakin tertarik padamu. Sesudahnya, semakin aku mengenalmu, perasaan itu semakin kuat mengikat hatiku.”

“Kenapa kau tak cerita?”

“Dan membuatmu lari ketakutan, sehingga semakin ngotot menolak perjodohan kita?”

“Apa itu sebabnya kau ngotot melanjutkan perjodohan ini?”

Kim Bum mengangguk.

“Tapi, seberapa besar cintamu?” tanya Kim So Eun. “Kau tak akan ber¬paling pada orang lain ketika cintamu memudar?” tanya Kim So Eun.

“Tuhan saksinya, Kim So Eun. Aku berjanji akan jadi suami yang setia.”

Kim So Eun masih menatap Kim Bum. Melihat Kim So Eun diam, Kim Bum mencoba meyakinkan. “Maukah kau belajar mempercayaiku? Mungkin, kepercayaanmu padaku masih tipis, tapi aku ingin kepercayaanmu padaku bertambah. Aku akan sabar menunggu sampai kau yakin bahwa aku berkata jujur. Aku akan buktikan bahwa aku akan melindungimu, menyayangimu, juga mencintaimu selalu.”

Kim So Eun mendesah. Ia percaya akan ketulusan pria ini. “Ya, tapi beri aku waktu untuk memahami perasaanku sendiri.”

“Jadi, kau setuju kita menjalani perjodohan ini?” desak Kim Bum.

Kim So Eun menimbang-nimbang. Kalau lelaki ini begitu yakin pada langkahnya, kenapa dia harus takut melangkah ke sana.

“Baiklah, kita coba saja jalani perjodohan ini,” ujar Kim So Eun.

“Apakah tak sebaiknya kita kabarkan hal bahagia ini pada kedua orang tua kita?” tanya Kim Bum lagi, dengan wajah berseri-seri.

“Nanti dulu. Jangan tergesa-gesa. Aku belum yakin akan hatiku. Aku tak mau jika kelak ternyata hatiku berubah atau hatimu juga berubah. Apa yang akan terjadi pada keluarga kita kalau kita batal menikah?” kata Kim So Eun, panik. “Lagi pula, masih banyak hal yang harus kita pikirkan,” desah Kim So Eun.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...