Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Rabu, 13 Juli 2011

Pernikahan Simulasi (Chapter 7)



Dalam perjalanan aku kembali memikirkan mawar putih itu. Sejak aku melihatnya, aku tahu kalau itu bukan dari Kim Bum. Kim Bum mustahil bisa seromantis itu. Hanya satu orang yang kutahu pernah dan selalu memberiku mawar putih. Dan dia adalah milik masa lalu yang tak pernah kubayangkan bisa dan akan kembali. Tapi pesan itu?

Restoran itu masih seperti yang kukenang. Sederhana dan tidak mencolok di bagian luarnya, tetapi begitu aku masuk, aku menemukan kedamaian dan ketenangan dalam interiornya yang lapang dan asri, dengan kolam-kolam kecil berisi teratai merah jambu dan putih serta suara gemericik air terjun buatan di sepanjang satu dindingnya.

Tidak ada yang berubah. Dan meja nomor lima itu masih sedikit di sudut, terhalangi serumpun tanaman rumput. Ketika aku menghampiri meja itu, aku tidak lagi merasa sebagai Kim So Eun yang berusia tiga puluh empat tahun, yang dewasa dan percaya diri, tapi seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun, yang tercabik di antara cinta dan ambisi. Di meja itu harusnya seseorang menantiku, seperti sepuluh tahun yang silam. Sebagian hatiku mengingatkan untuk tidak terlalu berharap. Masa lampau mustahil kembali lagi. Tapi segalanya masih begitu serupa dulu, hingga aku sulit memisahkan kini dan saat itu.

Apalagi saat lelaki di meja itu bangkit menyambutku, menggenggam tanganku dan mengucapkan namaku. “Kim So Eun,” kelembutan suaranya masih seperti yang kuingat. Dan wajahnya, walau mulai sedikit berkerut, masih persis seperti yang kukenang. “Kau datang.”

“Apa kabar, Ok Taecyeon?” sapaku sembari duduk di hadapannya, tak melepaskan mataku dari senyumnya. Aku tiba-tiba sadar dengan rasa rindu yang lama tak pernah kugubris, dahaga yang bertahun-tahun tak kuizinkan untuk ada. Perasaanku berkecamuk, galau yang belum pernah lagi kurasakan tentang siapa pun juga. Menggelikan sekali kalau seorang perempuan seusiaku masih demikian terguncang karena pertemuan dengan bekas kekasihnya.

“Terima kasih mawarnya,” ujarku, sedatar yang mampu kulakukan. Sayangnya getaran di suaraku membeberkan semuanya.

“Kau masih ingat.”

“Aku tak bisa lupa, meski mau sekalipun,” katanya tersenyum.

“Kapan kau pulang?”

“Tadi pagi.”

“Dengan anak istrimu?”

Ok Taecyeon tertawa kecil. “Ini agak memalukan. Tapi aku masih sendiri, Kim So Eun.”

Jawabannya begitu mengejutkanku hingga sesaat aku tak tahu harus mengatakan apa.

“Aku tidak bisa membayangkan menikah dengan siapa pun selain denganmu,” senyumnya padam dan di matanya bergelora lagi pesona yang pernah dan mungkin masih bisa meluluhkan hatiku. “Sepuluh tahun aku mencari, dan aku tetap tak bisa menemukan penggantimu.”

Aku menunduk, bibirku terkatup erat. Sepuluh tahun lalu, di tempat ini juga, ia melamarku, dan aku menolak. Aku tak bisa membiarkan peluang karier yang telah susah payah kurebut tersia-sia begitu saja, bahkan untuk satu-satunya lelaki yang ingin kunikahi. Aku tak bersedia hanya menjadi bayangannya, terperangkap dan layu di negeri asing, walau ia adalah orang yang menguasai separuh jiwaku. Dan ia pergi. Di awal perpisahan surat-suratnya datang dengan teratur, tak satu pun kubalas. Bertahun-tahun ia tetap mengirim kartu ulang tahun dan natal, yang semua kubakar, sampai aku tak lagi peduli, sampai suatu hari tidak ada lagi kartu yang datang. Dan dengan sedih aku harus mengakui bahwa lelaki sesempurna Ok Taecyeon pun suatu ketika akan melupakanku.

“Kau sendiri bagaimana, Kim So Eun?”

“Aku sekarang editor senior,” jawaban itu terdengar menyedihkan, hampa makna. Apa artinya seuntai jabatan di sisi… cinta? Kesetiaan?

“Selamat!” ia kedengaran tulus, tapi di hatiku kata itu menyakiti. “Aku selalu yakin kau yang terbaik untuk pekerjaan itu.”

“Kau pernah ingin merenggutku dari ini semua,” ujarku lirih. Apa jadinya kalau dulu kukatakan “ya”? Sepuluh tahun bersama Ok Taecyeon, seperti apa?

Ia menggeleng. “Aku hanya memintamu memilih.”

Matanya tertambat pada cincin di jari manisku. Suaranya pelan saat ia bertanya, ”Kau sudah menikah?”

Aku mengangguk. Ia tertawa kecil, agak gugup. “Siapa?” tanyanya lirih.

“Kim Bum,” jawabku kaku.

“Kim Bum? Kim Bum temanmu?”

“Sahabatku.”

“Sahabatmu,” desahnya. “Sudah berapa anakmu?”

Aku menggeleng. “Belum ada,” bisikku.

Ok Taecyeon menatapku lekat. Dua kali ia tampak seolah akan bicara, tapi setiap kali, ia berhenti. Akhirnya, dengan senyum kecil ia mengeluarkan sebuah kotak mungil dari sakunya.

“Aku…,” dibukanya kotak itu. “…Aku sendiri menganggap diriku gila, karena membawakanmu ini. Tapi, Kim So Eun, maaf kalau aku terus-terang seperti ini, di benakku kau masih Kim So Eun-ku yang dulu. Aku tahu dalam sepuluh tahun segalanya bisa terjadi dan kau pasti sudah menikah. Tapi….”

Dikeluarkannya sebuah gelang mungil berhias berlian. Aku terkesima.

“Aku tahu kau suka berlian. Ada kenalanku yang membuka toko perhiasan di Jerman. Aku membeli ini darinya,” tanpa meminta izinku, ia telah memasangkan gelang itu di tanganku.

“Terima kasih,” gumamku terpesona. “Cantik sekali.”

“Kau suka?”

Aku mengangguk. Dan teringat lagi hadiah ulang tahun dari Kim Bum. “Kau…. Sebetulnya kau tidak perlu repot-repot…,” suaraku keluar dengan susah payah.

“Sebetulnya aku mau membawakanmu vas bunga antik yang aku yakin akan membuatmu tergila-gila. Aku sudah membelinya karena itu mengingatkanku padamu. Setiap kali aku berbelanja barang antik aku tak bisa tidak mengingatmu,” ia tertawa kecil. “Tapi aku tidak bisa membawanya ke sini. Bawaanku sudah banyak sekali. Ibuku memesan oleh-oleh untuk semua sanak famili.”

Aku tersenyum kecil. Tapi dalam benakku berkelebat pertanyaan demi pertanyaan. Apakah Kim Bum tahu hadiah seperti apa yang akan membuatku bahagia? Apa ia mengenal selera dan kegemaranku? Aku menggeleng dalam hati. Tidak. Tidak.

Ok Taecyeon masih bicara panjang lebar tentang bisnis yang dilakukannya di Jerman. Aku kembali diingatkan tentang kecerdasan dan keluasan wawasannya. Apalagi sepuluh tahun berada di negara lain telah menjadikan Ok Taecyeon yang dulu kukenal lembut dan peka, semakin lapang hati dan terbuka. Kalau ada yang berubah dalam dirinya, semua itu hanya menjadikannya sempurna. Dan pikiran itu menorehkan nyeri di hatiku. Sudah terlambat, kataku kepada diri sendiri.

Ia bercerita tentang barang-barang antik yang juga jadi salah satu kegemarannya. “Kalau saja kau bersamaku, Kim So Eun,” katanya dengan mata berbinar. “Kita bisa menghabiskan waktu mengaduk-aduk Eropa mencari barang antik….”

Ia melihat ekspresi wajahku dan berhenti bicara. “Maaf,” katanya sejenak kemudian.

“Aku harus kembali ke kantor,” gumamku kaku.

“Baiklah. Mau kuantar?”

“Aku bawa mobil.”

Ia menahan tanganku saat aku hendak berdiri. “Kim So Eun, aku tahu semuanya berbeda sekarang. Tapi, kalau kau tidak keberatan, bisakah kita bertemu lagi sekali-sekali selama aku di sini? Aku perlu teman yang bisa mengantarku jalan-jalan mengunjungi galeri dan art shop.”

Undangan yang sangat menggoda, yang memenuhi benakku serta merta dengan masa lalu dan janji akan sesuatu yang lebih istimewa lagi, kalau saja aku bisa mengucapkan ya.

Ok Taecyeon membaca keraguanku dan sesaat sorot matanya meredup.

“Kita bisa jalan-jalan bertiga, kau, Kim Bum dan aku,” katanya. “Aku tidak punya banyak teman di sini.”

“Aku pikir-pikir dulu,” jawabku cepat-cepat, sebelum hatiku dikuasai kehausan untuk berlama-lama dengan Ok Taecyeon.

Ok Taecyeon merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kartu nama. Di belakangnya ia menuliskan sederet nomor. “Hubungi aku kalau kau bersedia. Aku menunggu.”

Malamnya aku berbaring di kamar, menatap kartu itu lekat-lekat seperti gadis belia yang sedang mabuk kepayang. Aku bukan remaja lagi dan seharusnya aku lebih bisa menguasai diriku sendiri. Tapi aku tak bisa membohongi hatiku sendiri. Kehadiran Ok Taecyeon membangunkan lagi semua harapan dan khayalan yang kukira telah lama lenyap. Tapi masih adakah kemungkinan antara aku dan Ok Taecyeon? Ia mengira dan aku telah meyakinkannya, kalau aku telah menikah dan segalanya telah berakhir. Yang ia tidak ketahui, pernikahanku dengan Kim Bum hanya sebuah permainan yang bisa kusudahi kapan pun aku mau. Tapi, kalau pun ia tahu, apakah segalanya akan berbeda? Apa pendapatnya kalau aku menceritakan semua padanya?

Aku ingin tidak memikirkan Ok Taecyeon lagi. Apa yang kuharapkan bersamanya mustahil terjadi. Tapi, hidup dengan Kim Bum seperti ini selamanya juga tidak mungkin. Semua ini hanya sandiwara yang akan berakhir, cepat atau lambat. Apakah kembalinya Ok Taecyeon suatu kesempatan kedua yang seharusnya kuraih karena mungkin tidak akan pernah ada lagi? Tapi bagaimana?

Kiriman bunga kedua datang dua hari kemudian.

Aku memikirkanmu.

Tahukah ia bahwa aku pun tak bisa menghapuskan senyum, mata, wajah dan suaranya dari benakku?

Bersambung…

1 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...