Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Senin, 11 Juli 2011

Ramalan vs Lamaran



Dia datang lagi. Membawa sebuah cincin bermata berlian yang cantik berkilau, dengan sejuta bintang harapan di matanya. Bintang harapan yang seolah-olah tak pernah berhenti berkelap-kelip, membuat Kim So Eun tak tahu harus bagaimana. Ini sudah ke tiga kalinya, Kim Bum mengajaknya mengarungi samudra pernikahan. Harus dengan cara apa lagi menundanya?

“Sekarang, tidak ada lagi yang bisa menunda pernikahan kita, Kim So Eun,” suara Kim Bum terdengar lembut. Hati Kim So Eun pun menciut.

Lima tahun yang lalu, Kim So Eun baru lulus Sarjana Ekonomi dan usianya saat itu 22 tahun, ketika Kim Bum melamarnya dalam suatu acara makan malam yang romantis. Sesungguhnya, Kim So Eun sangat bahagia melihat keseriusan Kim Bum. Hanya gadis tolol yang menolak menjadi isterinya. Kim Bum yang sudah menjadi kekasihnya sejak dia masih kuliah di semester dua adalah idaman para gadis. Pemuda itu bukan hanya menarik dari segi fisik, dia juga pintar, baik dan penuh perhatian. Calon Notaris pula. Saat itu, Kim Bum sudah meraih gelar Sarjana Hukumnya dan bekerja sebagai staff legal di suatu perusahaan real estate yang sedang berkembang. Lelaki tampan itu juga melanjutkan kuliahnya di Fakultas Hukum Korean University, mengambil program pendidikan spesialis Notariat.

Namun, kebahagiaan Kim So Eun hanya dipendam dalam lubuk hati. Bayang wajah Han Ga In, kakak sulungnya yang bersimbah air mata. Tangis pilu Yoon Eun Hye, kakaknya yang nomor dua telah meredam kebahagiaan yang timbul di hatinya saat itu. Kebahagiaan yang bercampur dengan rasa takut pada sesuatu yang tak pasti. Sesuatu yang pernah membuatnya takut jatuh cinta. Sebab jatuh cinta tak lepas dari urusan menjalin cinta kasih alias pacaran. Pacaran berarti langkah awal dari suatu pernikahan.

“Aku…aku …tidak bisa, Kim Bum. Aku belum siap…,” Kim So Eun berkata pelan, takut melukai hati Kim Bum.

“Maksudmu….?” Kim Bum menatap bingung.

“Aku…mau bekerja dulu. Aku kan baru lulus, sayang kan kalau ilmuku tidak dipakai. Tunda dulu ya? Biarkan aku kerja dua atau tiga tahun. Sekalian, mengumpulkan uang untuk biaya pernikahan kita.” Kim So Eun menjelaskan dengan hati pilu.

Dia merasa telah menjadi pendusta ulung. Kerja? Mengumpulkan uang? Bukan! Bukan itu sebenarnya yang jadi alasan. Ibu Kim Bum (meskipun telah menjanda sejak Kim Bum masih kecil) adalah seorang pengusaha catering yang sukses. Sedangkan orang tua Kim So Eun mempunyai bisnis fashion di Incheon yang lumayan ramai. Untuk membiayai suatu pesta pernikahan yang wajar, yang tidak berlebihan, pastilah mereka sanggup tanpa Kim So Eun harus bekerja dulu. Tentu saja, tanpa meremehkan tabungan Kim Bum dari gajinya selama ini.

“Sebenarnya, kalau soal biaya, kau tidak usah cemas.” Kim Bum tersenyum penuh pengertian. “ Tapi, kalau kau memang ingin bekerja dulu untuk menerapkan ilmu, aku setuju saja. Mungkin, lamaranku ini terlalu cepat. Aku tidak sadar kalau usia kita terpaut 8 tahun.” Kim Bum menyentuh pipi gadisnya dengan lembut. “Kau masih muda, Kim So Eun…Masih banyak yang harus kau lihat dan kau raih. Demi kebahagiaanmu, aku rela menunda pernikahan kita sampai kau siap.”

Nyatanya, Kim So Eun tak pernah merasa siap. Setelah dua tahun bekerja di suatu bank swasta, Kim So Eun menyatakan keinginannya untuk melanjutkan kuliah lagi.

“Untuk meningkatkan karirku, ternyata S1 saja tidak cukup. Banyak anak baru yang masuk dengan gelar berderet. Aku tak mau ketinggalan! Apalagi, jabatanku akan dinaikkan tahun depan. Masa aku kalah dengan para junior yang lulusan S2,” Gadis itu menjelaskan alasannya ketika dilihatnya tatapan penuh tanya di mata Kim Bum.

Di relung hatinya, Kim Bum memang bertanya-tanya. Ada apa dengan Kim So Eun? Gadis pendiam yang dulu tidak pernah berambisi menjadi wanita karir yang hebat dengan jabatan selangit, kenapa…..tiba-tiba bilang ingin kuliah lagi? Mau ambil S2? Tidak salahkah pendengarannya? Atau….dirinya yang sudah tidak peka lagi sehingga tidak bisa melihat perubahan pada gadis yang sangat dicintainya ini? Tapi….rasanya, perubahan itu terlalu mengejutkan. Selama ini, Kim So Eun tidak pernah menunjukkan gelagat bahwa dia tertarik untuk kuliah lagi. Hmmm…hati manusia memang tidak pernah bisa diterka. Hari ini A, besok bisa B.

“Aku tidak keberatan, Kim So Eun…..Aku selalu mendukung apapun keinginanmu. Selama hal itu baik dan bisa membuatmu bahagia, kenapa tidak? Kau harus menjaga kesehatanmu. Pulang kerja lalu kuliah, itu melelahkan sekali. Aku sudah mengalaminya. Apalagi kalau mau ujian. Aku tidak mau kau sakit, Kim So Eun…. “ Kim Bum berkata penuh perhatian meskipun dalam hati ia merasa heran dengan keinginan Kim So Eun yang tiba-tiba.

Mendengar kata-kata Kim Bum yang begitu penuh pengertian, Kim So Eun menangis dalam kebisuan. Ya Tuhan…..pria ini terlalu baik. Dia selalu ingin menyenangkanku. Selalu mendukungku. Tetapi, kenapa aku tak pernah yakin padanya? Kenapa aku harus berpura-pura mau kuliah lagi? Padahal aku hanya ingin mempunyai alasan yang kuat untuk menunda pernikahan kami. Dua tahun sudah berlalu, sejak penolakanku dulu, bukan tak mungkin tiba-tiba dia mengajakku menikah tahun ini. Sungguh, jika itu terjadi, aku tak tahu harus bilang apa. Bagaimana menolaknya lagi? Aku tidak tega melukai hatinya. Aku tidak sanggup, Tuhan. Hanya dengan cara inilah, aku bisa menghindar….

“Kim So Eun…kenapa diam?” Kim Bum memegang dagu kekasihnya. “Hei….hei….matamu basah. Kau menangis? Kenapa? Apakah aku telah mengucapkan sesuatu yang menyinggung perasaanmu?” Dengan lembut, jemari Kim Bum menghapus sudut mata Kim So Eun.

“Eh…tidak…tidak..ada apa-apa. Aku cuma…merasa bahagia sekali memiliki seseorang sebaik dirimu. Kau selalu mendukungku,“ Ujar Kim So Eun terbata. Dengan manja, diletakkannya kepalanya di bahu Kim Bum.

“Kim So Eun…kau adalah satu-satunya gadis yang kucintai. Aku tidak mau kehilangan dirimu. “ Kim Bum membelai rambut panjang Kim So Eun. “Jadi, wajar kan kalau aku selalu mendukungmu. Apalagi…sebentar lagi, kau jadi isteriku. Nah, bagaimana kalau kita menikah tahun ini juga? Kita sudah menundanya selama dua tahun! Agar dukunganku kepadamu lebih kuat lagi. Kalau kita sudah jadi suami isteri, pasti ….” Kim Bum menghentikan kalimatnya. Dilihatnya Kim So Eun memejamkan matanya erat-erat. Apa yang ditakutkan gadis itu menjadi kenyataan. Kim Bum mengajaknya menikah untuk kedua kalinya. Air matanya pun tumpah lagi. Lebih deras sampai membasahi kemeja Kim Bum.

“Hei.. hei…Kim So Eun…kau kenapa? Kenapa menangis semakin kencang?” Kim Bum merengkuh bahu Kim So Eun dengan sayang.

“Kim Bum…..karena aku mau kuliah lagi, pernikahannya ditunda dulu ya…?” Ujar Kim So Eun akhirnya sambil menyusut hidungnya yang berair. Dihapusnya air matanya. Ditegakkannya kepala dan dengan menguatkan hati, ditatapnya Kim Bum yang termangu. Ucapan Kim So Eun bak aliran listrik yang menyetrumnya tanpa peringatan. Ditunda lagi? Bagaimana mungkin? Sudah berapa usianya sekarang? Kim So Eun memang masih muda. Usianya baru akan 24 tahun ini. Tetapi dia….bulan depan akan berulang tahun yang ke 32. Sudah cukup umur untuk menikah dan mempunyai anak.

Sejak mahasiswa, dia sudah mempunyai keinginan menikah di usia muda. Dia ingin mengasuh dan mendidik anak-anaknya saat masih sehat dan kuat. Kalau bisa, menyaksikan anak-anaknya tumbuh dewasa, menikah dan memberikan banyak cucu yang lucu. Jangan seperti masa kecilnya yang suram dan hanya sekejap merasakan kasih seorang Ayah. Ayah yang hanya lima tahun menemaninya terhitung sejak dia lahir hingga Taman Kanak-kanak. Ayah yang sosoknya bagai bayang samar di benaknya. Ayah yang tidak pernah dikenalnya secara utuh.

Kematian dengan kejam telah memisahkan mereka. Di usianya yang ke 45, Ayah mulai sakit-sakitan. Kanker paru-paru. Padahal saat itu, dia masih terlalu kecil untuk mengenal arti kematian.

Hhh….seandainya Ayah tidak telat menikah. Mungkin akan lebih banyak waktu untuk mengenalnya dan merasakan cintanya. Kim Bum memijit pelipisnya, mencoba mengusir kenangan sendu masa lalunya.

“Mengapa Kim So Eun? Kita sudah menundanya selama dua tahun. “ Kim Bum bertanya kecewa.

“Karena..aku…mau kuliah lagi. Aku pasti sibuk. Mana bisa aku mengurus suami dengan baik kalau sibuk kerja dan kuliah?“ Kim So Eun mencoba tersenyum. Semoga alasan ini diterima Kim Bum, pikirnya tak yakin.

“Aku tidak perlu diurus. Aku bukan bayi, Kim So Eun. Kalau kau sibuk, aku bisa masak sendiri, cuci baju sendiri. Lagipula, kita bisa menggaji seorang pembantu untuk mengerjakan tugas-tugas rumah tangga.”

“Tapi…kalau kita punya anak, bagaimana?”

“Kita bisa memakai baby sitter, dan kau…bisa berhenti bekerja dulu. Jadi, hanya kuliah saja.”

“Tidak…aku tidak mau berhenti bekerja. Ingat, tujuanku kuliah lagi kan demi peningkatan karir juga.”

“Baiklah…terserah kau saja. Yang pasti semua bisa diatur. Setelah kita menikah….”

“Kim Bum….aku mohon!” Tukas Kim So Eun memohon. “Aku belum siap. Aku harus lulus S2 dulu. Kita tunda saja ya? Paling lama juga tiga tahun.” Dengan lembut, Kim So Eun membelai punggung tangan Kim Bum.

“Tiga tahun itu cukup lama, Kim So Eun..”

“Tidak..tidak lama…Aku janji akan belajar sungguh-sungguh agar cepat lulus. Setelah lulus, kita pasti menikah. bagaimana?” Kim So Eun tersenyum manis sekali. Kim Bum pun luluh. Tiga tahun? Yeah…asal Kim So Eun bahagia, pikir Kim Bum ragu sambil menghitung-hitung berapa usianya saat itu.

Maka, pernikahan itu tertunda lagi untuk kedua kalinya. Tapi sampai berapa lama? Tiga tahun yang awalnya terasa lama, ternyata berlalu begitu cepat. Hari ini (seminggu setelah Kim So Eun berhasil meraih gelar “Magister Manajemen”nya), Kim Bum melamarnya kembali. Apakah Kim So Eun tega menampiknya? Lihatlah, mata yang sarat cinta itu! Berjuta bintang harapan berkilau di sana. Apakah Kim So Eun sampai hati meredupkan kilaunya?

“Kim So Eun….” Suara Kim Bum bagai membangunkan Kim So Eun dari kenangan demi kenangan. Kim So Eun tersentak. Menatap Kim Bum dengan bingung. Aku harus bilang apa lagi, Tuhan? Desah hatinya.

“Will you marry me, Kim So Eun?” Kim Bum menggenggam jemari lentik Kim So Eun dengan tangan kirinya. Tangan kanannya mengulurkan sebentuk cincin bertahta berlian.

“Kim Bum….jangan..,” Kim So Eun menarik tangannya dengan gugup. “Aku …tidak…”

“Jangan bilang kau belum siap, Kim So Eun. Lima tahun kita menundanya. Semua keinginanmu telah tercapai. Karir, gelar S2. Apalagi?!” tukas Kim Bum kecewa melihat sikap Kim So Eun.

Kim So Eun terdiam. Menunduk. Bibirnya kaku. Lidahnya kelu. Tak tahu harus berkata apa. Bayang-bayang wajah Han Ga In dan Yoon Eun Hye yang bersimbah air mata diiringi kata-kata seorang wanita berwajah nenek sihir seperti menghantui dirinya.

* * *

“Anak-anakmu perempuan semua? Sayang sekali ya…mereka semua cantik, tapi nasib mereka jelek. Jika mereka menikah dibawah usia 30 tahun, pernikahan mereka tidak akan langgeng. Mereka pasti menjadi janda muda karena bercerai.”

“Dasar nenek sihir! Peramal bodoh! Ramalan seperti apa itu? Aku tidak percaya, Bu!” Terngiang kembali kata-kata Yoon Eun Hye bertahun yang lalu, ketika mereka baru pulang dari rumah Madam Soffel, seorang peramal yang sering dikunjungi Ibunya.

“Ramalan yang aneh! Aku tidak mau menikah di usia 30. Nanti aku Keburu tua!” Han Ga In menimpali. “Lagipula, untuk apa Ibu membawa kita ke sana? Membuat takut saja. Itu bukan ramalan namanya, tapi kutukan. “ Tambahnya gemas.

“Ya….Ibu kan cuma ingin tahu nasib anak-anak Ibu seperti apa. Soalnya, selama ini ramalannya pasti tepat. Waktu bisnis Ayahmu hampir bangkrut, Madam Soffel yang memberi kiat-kiatnya, dan…..ternyata…berhasil. Makanya, Ibu percaya sekali dengannya. “ Ujar Ibu membela diri.

“Aaah… itu kan kebetulan saja. Ibu jangan terlalu percaya dengan ramalannya. Kalau dia bisa meramal nasib kita, apa dia bisa tahu nasibnya sendiri? Dia kan bukan Tuhan, Bu….” Han Ga In menasihati Ibu.

“Betul itu, Bu….. Sebaiknya, Ibu jangan ke sana lagi. Lebih baik kita tidak tahu masa depan kita seperti apa. Iya… kalau diramal yang bagus-bagus, kalau yang menyeramkan... jadi kepikiran terus kan!” Ujar Yoon Eun Hye tidak mau kalah gaya dengan kakaknya.

“Aduh….duh.. kalian ini….masih SMA sudah sok menasehati Ibu. Kalau tidak percaya ya sudah….tapi….Ibu lebih suka kalau kalian tidak menikah muda. Ibu takut….”

“Ya ampun Ibu, masa Ibu percaya dengan ramalan nenek sihir itu?” tukas Yoon Eun Hye sebal.

“Yoon Eun Hye…. Ibu hanya ingin yang terbaik untuk masa depan kalian. Itupun kalau kalian mau menuruti nasihat Ibu. Tapi kalau tidak ya….” Ibu mengangkat bahu. “Ibu juga berharap ramalan itu tidak benar.” Lanjutnya bimbang.

“Bu, percayalah. Ramalan itu tidak benar. Lagipula, siapa yang mau menikah buru-buru? Lulus SMA saja belum.” Han Ga In membelai rambut Ibu. Sebagai anak sulung, dia memang yang paling bisa menenangkan hati Ibu. Beda dengan Yoon Eun Hye yang galak dan suka melawan orang tua.

Kim So Eun yang saat itu baru berusia 13 tahun hanya terdiam mendengarkan pembicaraan kedua kakaknya dengan Ibu. Sifatnya yang cenderung pendiam membuatnya lebih banyak mengamati daripada bicara. Namun, ucapan Madam Soffel, peramal berwajah tirus dan hidung mancung bak nenek sihir itu tidak akan mungkin dilupakannya. Hati remajanya merekam semua kalimat Madam Soffel dan mempercayainya. Sedikit.

Kepercayaannya bertambah ketika ramalan itu sepertinya menjadi kenyataan. Han Ga In menikah di usia 21 tahun tanpa menyelesaikan kuliahnya karena kekasihnya akan meneruskan sekolah di Amerika. Ketimbang lama ditinggal lalu putus, lebih baik menikah segera supaya bisa ikut mendampingi suami. Begitu alasannya waktu itu. Sedangkan Yoon Eun Hye terpaksa “Married By Accident” sebelum usianya mencapai 20 tahun. Ayah dan Ibu pun tak bisa berbuat banyak. Sejak kecil, mereka memang terlalu memanjakan anak-anaknya sehingga setelah dewasa agak sulit dikekang kemauannya.

Pernikahan Han Ga In hanya bertahan tiga tahun. Jae Hee, suaminya selingkuh dengan Britney, teman kuliahnya yang tergila-gila padanya, tanpa peduli Jae Hee sudah beristeri. Pria mana yang tahan dengan godaannya? Apalagi, Han Ga In yang tidak bekerja sering merasa kesepian bila Jae Hee pergi kuliah. Dia menjadi pencemburu dan selalu curiga. Membuat Jae Hee tidak kerasan di rumah dan menyambut kehangatan cinta Britney, gadis Amerika yang sexy menggairahkan. Perceraian pun terjadi. Han Ga In pulang ke Korea dengan wajah kusut, mata bengkak dan bobot menyusut beberapa kilo. Untunglah, pernikahannya dengan Jae Hee belum dikarunia seorang anakpun. Jika tidak, Han Ga In pasti akan lebih menderita.

Apakah semua ini terjadi karena Han Ga In menikah dibawah usia 30 tahun? Tidak ada yang berani menjawabnya. Tapi…Kim So Eun mencatatnya dalam hati, membuatnya takut jatuh cinta. Takut pacaran. Kalau bukan Kim Bum yang membuka pintu hatinya dengan segala kesabaran dan kelembutannya, mungkin sampai saat ini Kim So Eun belum berani pacaran. “Baiklah, kita pacaran. Asal jangan menikah cepat-cepat ….,” batin Kim So Eun saat menerima cinta Kim Bum.

Setahun setelah perceraian Han Ga In, giliran Yoon Eun Hye yang bercerai dengan suaminya. Kang Ji Hwan yang pemabuk dan suka berjudi telah menghabiskan tabungan Yoon Eun Hye yang bekerja sebagai tenaga administrasi di sebuah perusahaan finance. Yoon Eun Hye yang galak dan berani, tentu saja tidak rela melihat hartanya yang tak seberapa ludes di meja judi. Tanpa basa-basi, dia mengajukan gugat cerai. Dia pulang ke rumah orang tuanya dengan wajah layu, mata sembab dan tubuh ringkih. Seperti Han Ga In, dia juga belum mempunyai anak. Dia mengalami keguguran dua minggu setelah pesta pernikahannya yang diadakan sangat mendadak. Usia kandungannya saat itu baru dua bulan.

Apakah ramalan itu benar? Mengapa kedua kakaknya bernasib buruk? Menjanda di saat usia masih muda. Hebat benar, Madam Soffel! Lalu, bagaimana dengan dirinya? Akankah nasibnya seperti kedua kakaknya kalau dia menikah tahun ini, disaat usianya baru 27 tahun? Kim So Eun merasa galau. Tidak! Kim So Eun tidak akan membiarkan dirinya mengalami nasib seperti kedua kakaknya. Tanpa sadar, Kim So Eun menggeleng keras-keras.

“Kim So Eun…ada apa? Kau tampak aneh hari ini.” Kim Bum mengoyak lamunannya. Kim So Eun mengangkat kepala. Ditatapnya Kim Bum dengan mata merebak.

“Maukah kau menundanya lagi, Kim Bum? Setidaknya sampai usiaku 30 tahun…” tanyanya lirih.

“Apaaa…..?!” Kim Bum berteriak kaget. “Aku tidak mengerti, Kim So Eun. Aku tidak tahu, ada apa dengan dirimu? Kau selalu saja menunda pernikahan kita. Apakah kau tidak mencintaiku? Kenapa harus menunggu sampai usiamu 30 tahun? Alasan apa lagi yang ingin kau katakan? Aku sudah cukup bersabar selama ini. Kau mau bekerja dulu, atau Mau kuliah lagi, silakan. Lalu sekarang…….” Kini giliran Kim Bum yang menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku tidak mengerti, Kim So Eun….Aku tidak tahu….”

“Kim Bum….jangan marah dulu.“ Kim So Eun menukas lembut. Dibelainya pipi Kim Bum dengan penuh kasih. “Aku akan ceritakan semuanya! Tapi, kau jangan menyela sebelum aku selesai.” Pintanya. Tak ada lagi yang harus dirahasiakan. Ramalan itu harus diberitahukan kepada Kim Bum. Entah, dia mau percaya atau tidak. Sebenarnya, sejak pertama kali Kim Bum melamarnya, Kim So Eun sudah ingin menceritakan tentang ramalan Madam Soffel. Namun, dia takut Kim Bum akan mentertawainya. Sebab, di lubuk hatinya, ada sedikit keraguan tentang kebenaran ramalan itu. Walaupun, bukti-bukti sudah ada. Lagipula, kelihatannya konyol sekali kalau dia berterus terang soal ramalan itu.

“Astagaaaa….Kim So Eunnnnn!!! Lima tahun aku menunggumu, gara-gara ramalan bodoh itu?!” Suara Kim Bum bagai petir menggelegar di siang bolong. “Hua ha..ha..ha….aduh, aduh….di zaman internet seperti ini masih ada orang yang percaya dengan ramalan nenek sihir?”

Detik berikutnya, wajah Kim Bum yang tadi tampak kaget luar biasa berubah. Tawanya menggema mengisi ruang tamu rumah Kim So Eun. Bila ada orang lain yang mendengarnya (kecuali Kim So Eun), mungkin Kim Bum dianggap sakit jiwa. Untungnya, saat itu tidak banyak orang di rumahnya. Orang tuanya masih di Incheon mengurus bisnis mereka. Sung Yu Ri pembantu mereka sedang mengunjungi anaknya di Seongnam. Lee Pil Mo, supir setianya mengantar Han Ga In dan Yoon Eun Hye ke mal. Sejak bercerai, kedua kakaknya memang kembali tinggal seatap dengan orang tuanya. Mereka belum berniat menikah lagi. Masih trauma dengan pernikahan pertama mereka yang gagal.

“Kim So Eun Sarjana Ekonomi, Magister Manajemen percaya dengan ramalan?” Lanjut Kim Bum setelah tawanya mereda. “Berapa tahun kau dibelenggu dengan ramalan itu, Kim So Eun? Berapa lama kau menderita karenanya? Kau bukan gadis dusun dari desa terpencil yang hidupnya dikelilingi mitos, takhyul dan ramalan. Kau gadis modern yang tinggal di kota metropolitan. Seorang wanita karir dengan dua gelar sarjana, tapi… masih memercayai ramalan tidak make sense begitu?” Kim Bum menatapnya tak percaya.

“Entahlah….aku juga bingung. Maunya tidak percaya, tapi….apa yang dialami kedua kakakku…”

“Bukan karena ramalan itu!” potong Kim Bum tegas. “Mereka bercerai karena sesungguhnya mereka belum siap. Bukan hanya karena usia. Han Ga In menikah karena tidak mau berpisah terlalu lama dengan Jae Hee yang akan kuliah di Amerika. Padahal, secara mental dia belum siap. Kuliahnya saja ditinggalkan. Apalagi Yoon Eun Hye. Dia terpaksa menikah karena sudah terlanjur hamil. Padahal, Kang Ji Hwan bukan lelaki yang baik. Seandainya, Yoon Eun Hye bisa memilih, pasti dia tidak mau menikah dengan Kang Ji Hwan yang pemabuk dan hobi berjudi.” Kim Bum menjelaskan persis seorang dosen.

“Jadi…..apa yang dialami kedua kakakmu tidak membuktikan bahwa ramalan itu benar. Kebetulan saja nasib mereka seperti apa yang diramal Madam Soffel. Jadi…kau jangan mau dibodohi dengan hal-hal seperti itu. Untuk apa kita punya Tuhan, kalau lebih percaya dengan ramalan manusia? Tak ada seorangpun manusia yang tahu masa depan kita akan seperti apa. Hanya Dia yang Maha Tahu, Kim So Eun….Hanya Dia….” Wah, ucapan Kim Bum sekarang seperti seorang pendeta. Membuat Kim So Eun tersenyum geli.

“Kenapa senyum-senyum seperti itu? Ada yang lucu dengan ucapanku?”

“Hi hi hi….kau seperti pendeta yang sedang khotbah saja!” Senyum Kim So Eun berubah menjadi tawa. Kim Bum melotot gemas. Dipeluknya Kim So Eun erat-erat.

“Kim So Eun, aku serius. Aku ingin kita menikah segera,” Bisiknya lirih di telinga Kim So Eun. “Kau jangan mempercayai ramalan itu ya? Aku tidak mau berjanji, tapi aku akan berusaha mempertahankan pernikahan kita. Aku tidak akan membiarkanmu menjadi janda. Kecuali Tuhan menghendakiku mati muda. “

“Ssst….Kim Bum, jangan bicara soal kematian seperti itu!” Kim So Eun melepaskan pelukan Kim Bum. Ditaruhnya telunjuk kanannya ke bibir Kim Bum. “Aku mau menikah denganmu.” Ucapnya mesra.

“Be…benarkah? Kau tidak takut lagi dengan Madam Soffel... eh, dengan ramalan itu…?” Kim Bum menatapnya tak percaya. Kim So Eun menggangguk pelan.

“Aku sudah sadar, Kim Bum. Terima kasih ya? Cinta murnimu telah melepaskanku dari belenggu ramalan Madam Soffel.” Kim So Eun menyandarkan kepalanya di dada bidang Kim Bum.

* * *

“Ih…kenapa….belum tidur?!” seru Kim Yoo Bin dengan suara kekanakannya yang lucu menggemaskan. Tangannya membelai pipi Lee Young Jae, adiknya yang berusia sembilan bulan. Kim So Eun tersenyum geli. Dibelainya kepala Kim Yoo Bin.

“Kau, juga belum tidur kan, Kim Yoo Bin? Sudah malam. Tidur dulu ya? Besok, kan kau harus ke sekolah.” Kim So Eun merapikan bantal guling mungil milik Lee Young Jae.

“Baik, Nenek.” Kim Yoo Bin, gadis kecil berusia tiga tahun itu menjawab dengan suara pelan.

“Pintar. Sekarang, tidurdulu ya. Ayo, Nenek temani.” Dituntunnya Kim Yoo Bin keluar dari kamar Lee Young Jae.

“Aduh….cucu kakek yang cantik belum tidur juga. “ Di ruang tengah, mereka berpapasan dengan Kim Bum. Kim Yoo Bin tersenyum. Diangkatnya kedua tangannya, minta digendong.

“Ups…..! Beratnya…... Kau makan apa saja, Kim Yoo Bin? Kakek sudah tidak kuat menggendongmu.” Kim Bum mencium pipi tembem Kim Yoo Bin. Kim Yoo Bin tertawa geli. Kumis putih Kim Bum menggelitik pipinya.

“Kim Yoo Bin… Kemarilah bersama Ibu. Nanti Kakek capek……. Sudah besar kenapa minta gendong terus?” Baek Suzy, puteri tunggal Kim So Eun dan Kim Bum masuk ke ruang tengah. Di sampingnya, Kim Soo Hyun, suaminya tampak sedang menggendong Lee Young Jae yang belum mau tidur juga.

Hhhh….Kim So Eun menghela nafas. Kalau saja dia memercayai ramalan itu, mungkin dia tidak akan pernah merasakan kebahagiaan seperti sekarang ini.


Tamat
Copyright Sweety Qliquers

2 komentar:

  1. Sukaaaaaaaaaaaaakkk ahahahahah..TERKEJUt terus Baca nie FF..!!GiraNg..ada si Jae Hee, Mantan ku duLu..wlaupun jd Cameo!!Crita Bumsso nya Bwt ngakak..YG HeBoH wktu part anak kecil+bayi..Langsung SHOCK dadakan..KOK Soeun di panggiL NEnek???...ckckck..PkiRQ itu CHiLd-nya ma BEom..HuuuuFt tyata critanya dah TuiR toh..!!
    BaGuuuuZ ada Baek Suzy..TP AkaN LEBIH BAGUS LG KALO PAIRING-nya ma TAECYEON thoR..huhuhuhu..(Dendam ma Kim So Hyun di Dream High masiH kebawa!!)..Over aLL NaiZ lah..\0/..FIGHTIIING

    BalasHapus
  2. huaaaaaaa ceritanya bagus,,

    bener kata kim bum,,soeun kok percaya aja yah sama ramalan wkwkwkwk

    simple tapi bermakna ceritanya,,jaman sekarang walaupun sekolah udah pada tinggi2 kadang msh aja percaya sama ramalan,,sayang ilmunya =,="

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...