Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Kamis, 07 Juli 2011

Kisah Cinta Tak Sempurna (Chapter 1)



Pesta pernikahan ini selesai. Dengan malas aku menghapus sisa-sisa make up dan melepas gaun putihku. Kutatap bayanganku di cermin, terpantul sesosok perempuan putus asa.

Aku menarik napas dalam-dalam, sandiwaraku tadi cukup baik. Senyumku mengembang sepanjang acara. Tak ada gurat kekecewaan, apalagi ketidaksetujuan akan pernikahan itu. Aku berdiri sempurna di tengah–tengah kerumunan undangan. Sesekali tertawa kecil, sesekali menyapa para undangan dengan hangat. Bahkan, saat pengantin pria menghampiriku, aku dengan santai bicara dengannya. Tak ada luka itu, entah bersembunyi di mana.

Malam ini, semua selesai. Aku bersedia ’berpesta’ dengannya, dengan imbalan beberapa dolar. Menangis menyesali segalanya, tak ada gunanya. Kepalaku telah mengangguk setuju kala ia ajukan tawaran itu. Cinta adalah anugerah bagiku, namun anugerah itu kali ini pada akhirnya menyakitiku.

“Terima kasih untuk penampilanmu yang sangat mengagumkan dan cantik. Kau berlakon sempurna tadi,” suaranya membuyarkan renunganku.

Aku tersenyum tipis. “Bukankah kita sudah menyetujui akan menyelesaikan ’pesta’ ini dengan sempurna, hingga kita berdua tidak akan melupakan malam ini?” jawabku, sedikit sinis.

Dia mencoba membantu merapikan sisa peralatan riasku. Kutampik lembut tangannya, tapi dia malah menarikku dalam pelukannya. Dia cium lembut keningku. Selembut saat pertama ia minta izin menciumku.

“Terima kasih atas semuanya. Kalau hari ini semuanya akhirnya harus terjadi, bukan karena Aku mau, tapi karena harus,” dia mengulang kalimat itu lagi. Kalimat yang terlalu sering kudengar belakangan ini.

Perutku mual. Bukan saja karena kecupannya, yang pasti akan membuatku semakin sulit melupakan malam ini, tapi karena kalimat itu. Ya, semuanya memang seharusnya begini. Dia sudah mengatur semuanya, dan seperti inilah baginya yang terbaik.

“Uangnya kapan Oppa mau transfer?” tanyaku, sambil melepaskan diri darinya. Sedikit takut–takut aku melihat ke arah pintu, cemas kalau-kalau seseorang melihat apa yang kami lakukan barusan.

“Besok. Kau cek besok, ya. Semoga uang itu cukup,” harapnya, terlihat tulus.

Aku tersenyum sinis, tiba–tiba luka itu muncul. Sadarkah lelaki ini bahwa tak akan pernah ada nilai yang cukup untuk membayar semua yang sudah dia lakukan? Tidak akan pernah ada jumlah nominal sempurna untuk penampilanku malam ini. Senyumku, suara ceriaku atau tawaku tak akan bisa ia bayar lunas. Jika saja kuikuti kata sahabat–sahabatku untuk tak melanjutkan tawarannya, tak akan ada malam ini. Malam ini aku pasti telah terlelap, meski sebelumnya ritual menangis tetap kulakukan.

Tapi, aku tetaplah aku, Kim So Eun. Wanita dari keluarga sederhana yang terlalu mencintai Kim Hyun Joong, Seorang Pria dari keluarga kaya raya dan terhormat. Aku berusaha tidak mendengar saran dua sahabatku agar menolak pekerjaan malam ini. Tapi, aku mau bersamanya sekali ini saja. Melihatnya sepuasnya, sambil bersiap melupakannya kemudian.
Berhari-hari sebelum pesta malam itu.

Aku seorang mahasiswa magang pada sebuah Koran di Alferindo yang membuka kantor cabang di Dreamlight. Tapi, aku juga melakoni pekerjaan sampingan sebagai MC. Berkat pekerjaan sampingan itu, kini tabunganku tak pernah kosong. Bahkan, beberapa perusahaan akhirnya mengontrakku untuk jadi MC tetap di setiap acara mereka. Aku juga telah berhasil membeli sebuah mobil mungil yang kini terparkir di garasi rumahku. Sedangkan pekerjaan sebagai karyawan magang ini, hanya untuk merampungkan tugas akhirku di kampus.

Hari itu, mobil yang kugunakan untuk liputan lapangan mogok. Padahal, janji wawancara tinggal sejam lagi, dan lokasinya masih jauh. Aku harus menunggu sepekan demi membuat janji dengan narasumber ini. Jika hari ini gagal, terbayang wajah sangar redaktur pelaksanaku. “Owww, tidak boleh,” kataku, membatin. Kutinggalkan sopir kantor untuk mengecek kondisi mobil. Aku berusaha mencari taksi, sampai tiba–tiba suara itu menyapaku.

“Hei, kenapa bengong di pinggir jalan?” tanyanya. Dia melambai–lambaikan tangannya di depannya. “Kau Kim So Eun, ’kan?” tanyanya lagi.

“Ya, Apa kita pernah bertemu sebelum ini?” Tanyaku heran.

Dia tertawa sesaat. “Kau MC saat opening showroom saya bulan lalu. Kita tidak sempat bertemu saat itu. Tapi, saya mengikuti acara dari awal hingga akhir. Saya puas dengan kerjamu, dan sudah saya katakan pada Tn. Lee Pil Mo untuk pakai kau saja di event kami lainnya.”

Dia menggeser sedikit berdirinya mendekatiku. Ia berusaha agar aku melihat wajahnya, mungkin berharap aku sedikit membuka ingatanku tentangnya. Tapi sia–sia, tak sedikit pun aku menemukan sisa ingatan tentang pertemuan kami sebelum hari ini.

Lalu, refleks aku melihat ke arah sepuluh jari tangannya, bersih. Tidak ada benda bundar melingkar pada salah satu jarinya. Diam–diam hatiku bersorak. Secepat itu ketertarikan padanya datang.

“Heiii, bengong lagi. Kau mau ke mana? Sopirmu sepertinya butuh waktu lama memperbaiki mobil kalian. Bagaimana kalau kau ikut saya. Hari ini saya punya waktu untuk mengantarmu.” Matanya berbinar, seperti anak kecil meminta ibunya untuk membelikan mainan baru.

“Ayolah, jangan pikir macam–macam, anggaplah sebagai salam perkenalan dari partner bisnis,” dia mengulang lagi tawarannya, meyakinkanku.

“Ehh, iya, ehmm, maksud saya, saya akan wawancara hari ini. Di daerah Crossline. Ya, ini wawancara penting, narasumbernya sulit saya temui.” Aku mengutuk diriku mengapa begitu gelagapan menjawabnya.

Dia tersenyum lagi. “Kalau begitu, ayolah, saya antar. Asalkan setelah wawancara, kau traktir saya kopi, ya,” selorohnya.

Dan dia benar–benar menemaniku. Setelah aku merampungkan sesi wawancara, kami berjalan menyusuri pantai. Sesekali ia menarikku menjauh dari ombak. Ada desir yang tak biasa memenuhi dadaku. Bersamaan dengan itu, aku merasa ada ribuan kunang-kunang seolah menggelitiki perutku.

Ah, aku teringat lagi saat perkenalan tadi. Aku hanya seorang wanita dari keluarga sederhana, sedangkan dia yang akhirnya kuketahui Seseorang dari keluarga Kaya raya, terpandang dan terhormat. Bentangan perbedaan itu, menyesakkan dadaku. Bukankah aku pernah berjanji tidak akan jatuh cinta dengan Pria dari keluarga berada?

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...