Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Kamis, 21 Juli 2011

The Right Man (Chapter 4)



Dari jendela kamarnya, Kim Bum mengawasi bagaimana cekatannya Park Ji Yeon mencuci mobil ibunya. Sama cekatannya seperti ketika sedang mengganti ban mobilnya yang kempes tadi.

Hanya mengenakan celana pendek dan kemeja komprang dengan sandal jepit, Park Ji Yeon memang lebih mirip seorang pemuda daripada gadis remaja. Jangan-jangan sudah banyak gadis-gadis yang jatuh hati padanya!

Kim Bum hanya menoleh sekilas ketika Kim So Eun masuk membawakan senampan sarapan pagi. Dan meletakkannya di meja kecil di samping tempat tidur.

"Piring kotornya biarkan saja di sini," katanya Sambil beranjak ke pintu.

"Hari ini aku harus berangkat pagi-pagi ke studio."

"Anak laki-lakimu belum selesai mencuci mobil."

"Sekali lagi kau sebut anak laki-laki..."

"Dia memang lebih pantas jadi anak laki-laki!"

"Park Ji Yeon wanita seratus persen!"

"Aku mulai berpikir kitalah yang keliru. Dia lebih cocok jadi laki-laki!"

"Kau memang kurang ajar! Pagi-pagi sudah mengajak bertengkar."

"Itu yang kita lakukan sejak pertama kali bertemu, kan? Hm, kau akan merasa kehilangan setelah aku pergi nanti!"

"Kehilanganmu?" Kim So Eun menaikkan sebelah alisnya.

"Kehilangan orang yang dapat kauajak berdebat. Yang berani menelanjangi kekurangan-kekuranganmu."

"Bukan salahku kalau Park Ji Yeon jadi begitu! Kudidik dia sama seperti anak-anakku yang lain. Kuberi dia gaun yang bagus-bagus. Bukan salahku, kalau dia lebih senang memakai celana! Kau masih menyalahkanku?"

"Sebagian salahmu juga. Tahu kenapa dia mengidentifikasikan dirinya sebagai anak laki-laki?"

"Untuk menarik perhatianku, bukan?" ejek Kim So Eun sinis. "Itu teorimu tadi malam!"

"Ada teori lain. Dia ingin menjadi anak laki-laki dalam keluargamu. Untuk melakukan tugas-tugas yang harus dilakukan oleh seorang pria." Kim So Eun menghela napas jemu.

"Sudahlah," desahnya bosan. "Aku tidak tertarik pada teori-teorimu!"

"Aku semakin yakin, kau harus mencari seorang ayah baru untuk anak-anakmu!”

"Akan kusurati kau kalau sudah kutemukan orangnya nanti!"

***

Ada dua adegan yang harus diperankan Kim So Eun hari ini. Adegan yang pertama, Kim So Eun sendiri tidak tahu untuk apa susah-susah diambil kalau toh nantinya pasti digunting sensor.

Tetapi bertanya memang bukan haknya. Yang penting dia dibayar. Meskipun untuk melakukan adegan itu, mereka harus melakukan sembilan kali retake.

Adegan kedua cukup dramatis. Dan cukup menantang seandainya dialah yang menjadi pemeran utamanya. Sayang, dalam adegan itu dia cuma kebagian peran pembantu.

Entah kapan impiannya baru dapat terlaksana. Menjadi seorang bintang film. Bukan sekadar figuran yang numpang lewat. Atau sekadar peran pengganti yang memamerkan paha dan dada.

"Belum ada peran yang cocok untukmu," sahut Kim Hyun Joong setiap kali dia minta diberi peran yang lebih berarti. Tentu saja itu cuma hiburan. Ungkapan lain dari "kau tidak berbakat".

Karena kalau sampai umur tiga puluhan belum ada peran yang cocok untuknya, sampai kapan dia harus menunggu? Padahal kesempatannya hanya tinggal sedikit sekali... dia tidak bisa menunggu lagi....

***

Tertatih-tatih Kim Bum melangkah dari kamar mandi ke kamarnya. Kepalanya sudah tidak begitu sakit lagi. Tapi masih sedikit pusing kalau berdiri terlalu lama.

Dia ingin cepat-cepat berbaring di tempat tidurnya. Supaya pusingnya tidak bertambah hebat. Dan dia tertegun di depan pintu kamarnya.

Aneh. Pintu kamar itu terbuka sedikit. Padahal tadi sudah ditutupnya baik-baik. Siapa yang berani menyelinap ke dalam?

Tangannya sudah terulur memegang handel pintu ketika sekali lagi dia terkesiap. Ada suara orang sedang membongkar lemari. Dan suara-suara itu datang dari dalam kamarnya!


Gila Siapa yang berani menyelundup masuk dan menggeledah kamarnya? Kim So Eun sudah pergi. Anak-anaknya sekolah semua. Mungkinkah nenek tua itu? Perempuan itu memang selalu curiga. Matanya yang kecil itu selalu bersinar tajam di balik kacamatanya kalau menatap Kim Bum. Tapi menggeledah kamarnya! Sungguh keterlaluan! Apa barangnya ada yang hilang dan Kim Bum yang dikira mencurinya!

Hati-hati Kim Bum mendorong pintu kamarnya. Dan melihat punggung seorang gadis yang sedang berlutut membelakangi pintu. Dia sedang mengaduk-aduk isi lemari pakaian. Tampaknya ada sesuatu yang sedang dicarinya. Dan tepat pada saat dia berhasil menarik sebuah buku dari tumpukan pakaian, Kim Bum menegurnya.

"Cari apa, Nona?" Baek Suzy tersentak kaget. Buku terlepas, dari tangannya. Dan sebelum sempat dipungutnya kembali, Kim Bum telah menginjak buku itu.

"Ini pasti bukan bukumu!" Kim Bum tersenyum pahit. Dibacanya selintas judul buku itu. My Diary.

"Pasti bukan buku harianmu. Iya, kan?"

Sia-sia Baek Suzy mencoba menarik buku itu lepas dari injakan kaki Kim Bum. Akhirnya dengan putus asa dicobanya menyingkirkan kaki Kim Bum dengan kakinya sendiri. Sementara kedua belah tangannya berusaha menarik lepas buku itu.

"Punya kakakmu?"

"Punya Ibu!" desisnya sengit.

"Lepaskan!"

"Aku berani bertaruh, pasti kau mengambilnya tanpa seizin ibumu."

"Bukan urusanmu!" geram Baek Suzy separuh menangis. Dia masih berjuang sekuat tenaga untuk mengambil buku itu.

"Sampai pincang kakimu pun kau tidak akan berhasil, Nona! Tidak baik mengambil barang yang bukan milikmu."

Mendadak saja paras Baek Suzy memucat. Sampai pincang kakimu! Meledak kata-kata itu di telinganya. Usahanya menarik buku itu berhenti dengan sendirinya. Ditatapnya Kim Bum dengan marah.

"Aku memang pincang!" geramnya tersinggung. "Tapi jagalah mulutmu! Jangan sembarangan menghina orang!"

Baek Suzy bangkit dengan gusar. Dan terseok-seok meninggalkan Kim Bum. Ternyata dia memang benar-benar pincang!

“Nona, maafkan aku!" Cepat-cepat Kim Bum memblokir pintu dengan tubuhnya supaya Baek Suzy tidak bisa keluar. "Aku tidak tahu..."

“Tidak perlu minta maaf!" Baek Suzy bergerak ke samping untuk meloloskan diri di celah antara badan Kim Bum dan bingkai pintu. "Aku memang pincang!”

"Maafkan aku." Kim Bum ikut bergerak untuk menghalangi Baek Suzy keluar. "Aku tidak tahu. Ibumu tidak pernah mengatakannya. Kau juga tidak bilang, kan?”

"Untuk apa!" Baek Suzy bergerak ke sisi lain. Mencoba menerobos dari sisi yang satu lagi. Sia-sia, Kim Bum lebih cepat lagi menghalanginya. "Kau juga tidak pernah tanya!"

"Apa aku harus tanya begini pada setiap gadis yang kujumpai, 'Hei, cantik! Siapa namamu? Apa kau pincang?’ ”

"Kalau begitu aku juga tidak perlu mengumumkan cacatku pada setiap orang! 'Hai, namaku Baek Suzy. Aku pincang!’ “

Kim Bum tertawa lepas. Tawanya begitu simpatik. Sama sekali tidak bernada melecehkan.

"Setuju! Kau tidak marah lagi, kan? Namaku Kim Bum. Dan aku minta maaf!"

Baek Suzy sudah berhenti mencoba meloloskan diri. Ditatapnya laki-laki itu dengan murung.

"Ibu tidak pernah cerita tentang kami?"

Baek Suzy sendiri tidak mengerti mengapa kemarahannya begitu cepat surut. Entah mengapa dia menyukai sikap laki-laki ini. Dia terbuka. Wajar. Bersahabat. Dan... tampan.

"Ibumu tidak pernah cerita apa-apa tentangmu."

"Pasti tidak sempat! Ibu kelewat repot!" Kim Bum sendiri terkejut mendengar nada suara gadis, itu.

"Mudah-mudahan aku salah dengar," katanya hati-hati.

"Kau tidak membenci ibumu, kan?"

"Aku sayang Ibu," sahut Baek Suzy dengan suara tertekan. "Tapi Ibu cuma sayang pada Kim Yoo Bin."

"Bukankah Kim Yoo Bin adikmu juga? Dan dia sakit. Pantas saja kan kalau Ibu-mu lebih memperhatikannya?"

"Waktu aku sakit, Ibu tidak perhatian padaku."

"Ah, itu cuma anggapanmu!"

"Waktu aku demam, Ibu tidak ada di rumah. Nenek yang membawaku ke dokter. Kata Nenek, begitu disuntik, aku langsung lumpuh!"

"Kau keliru, Baek Suzy! Bukan suntikan dokter itu yang membuat kakimu lumpuh. Kau mungkin kena polio."

"Nenek bilang, anak yang sedang demam, tidak boleh disuntik! Kalau Ibu ada, pasti aku tidak akan lumpuh!"

"Keliru lagi. Ada Ibu atau tidak, disuntik atau tidak, kalau benar terserang polio, kakimu bisa lumpuh. Jadi jangan salahkan Ibu!"

"Sedang apa kalian di situ?" bentak Nenek dari belakang tubuh Kim Bum. Matanya langsung menatap curiga pada laki-laki itu. Seolah-olah semua laki-laki memang pembawa bencana.

"Cuma mengobrol, Bu," sahut Kim Bum sambil menggeser tubuhnya.

"Mengobrol kenapa di kamar!" gerutu Nenek tidak percaya. Tatapannya lalu berpindah kepada Baek Suzy. "Belanjaan di dapur belum beres sudah lari ke sini. Ayo, ke belakang!"

"Aku kan bukan pembantu, Nek!" protes Baek Suzy kesal. "Masa tidak boleh mengobrol dengan Paman ini?"

"Boleh saja mengobrol, Tapi jangan di kamar. Pamali! Tabu! Tahu tidak?"

"Ah, Nenek! Apa-apa tabu! Ini tidak boleh lah. Itu pantang lah..... Bosan!"

"Eh, anak ini! Kalau diberi tahu orang tua membantah terus! Ayo, jangan di kamar!"

"Huu, cerewet!" gerutu Baek Suzy kesal. Tentu saja dengan suara perlahan supaya Nenek tidak dengar.

Ketika dia melewati tempat Kim Bum, laki-laki itu memberinya sepotong senyum tipis.

"Bukunya Paman kembalikan, ya? Tidak baik mencuri lihat catatan harian ibumu!"

***

"Anak itu sudah besar, Kim So Eun!" datang-datang ibunya langsung mengadu. Kim So Eun bahkan belum sempat melepas sepatunya.

"Kau harus lebih memperhatikan dia. Jangan hanya mencari uang saja!"

"Ada apa lagi, Bu?" tanya Kim So Eun sabar. "Dia pulang dengan anak lelaki itu lagi dari pasar?"

"Lebih dari itu!" tukas Nenek cepat dengan nada seperti ada orang yang memasang bom di rumah mereka. "Tahu tidak, tadi pagi kupergoki dia berduaan saja di dalam kamarmu bersama lelaki itu!"

Kim So Eun mengerutkan keningnya.

"Baek Suzy? Tidak mungkin! Aku kenal anak-anakku, Bu. Aku yang melahirkan mereka."

"Tapi aku yang mengurus mereka, Kim So Eun! Kau jarang di rumah. Mana kau tahu persoalan anak-anakmu?"

"Sedang apa mereka di kamar-ku?"

"Itu yang harus kau selidiki! Ingat, Kim So Eun. Baek Suzy sudah cukup dewasa!"

"Dia tidak mungkin melakukannya, Bu!"

"Kenapa tidak? Kau kan tahu laki-laki! Ingat Choi Siwon?"

"Tapi Kim Bum pasti tidak seperti dia!" potong Kim So Eun kesal.

"Tentu saja tidak kalau di depanmu! Di belakang? Siapa tahu! Sudahlah, Kim So Eun. Lebih baik suruh dia pergi!"

"Besok dia akan pergi dari sini."

"Lebih cepat lebih baik. Sebelum terjadi apa-apa...."

Buset, keluh Kim So Eun dalam hati. Pulang-pulang kepalaku sudah pusing tujuh keliling! Semua gara-gara bajingan itu. Besok dia benar-benar sudah harus pergi. Kalau tidak, aku bisa gila!

***

"Senang melihatmu sudah pulang," sapa Kim Bum begitu Kim So Eun masuk ke kamarnya. "Anak-anakmu pasti lebih senang lagi."

"Dan aku paling senang kalau besok pagi kau juga sudah pergi dari sini." Kim Bum tersenyum. Tanpa perasaan tersinggung sedikit pun di wajannya.

"Aku tidak mau pulang ke rumah. Siapa tahu ada polisi yang mencariku."

"Itu urusanmu. Pokoknya, tinggalkan rumahku."

Kim So Eun mengangkat piring bekas sarapan Kim Bum dan meletakkan sepiring makan siangnya. Ketika dia memutar tubuhnya untuk keluar, Kim Bum memanggilnya

"Princess."

Kim So Eun tersentak kaget Apa katanya? Princess? Gila! Seenaknya saja mengganti nama orang!

"Namaku Kim So Eun," katanya kesal sambil menoleh ke arah Kim Bum yang sedang berbaring tertelentang di ranjang.

"Terlalu panjang," komentar Kim Bum seenaknya. "Lebih enak Princess saja."

“Teman-teman memanggilku So Eun."

"Bagiku Princess lebih cocok."

“Tapi aku tidak suka dipanggil Princess!"

"Kenapa?''

"Kenapa? Karena itu bukan namaku!"

"Bagiku, Princess lebih mengesankan. Tak terlupakan."

Astaga! Orang ini benar-benar menyebalkan! Tapi sudahlah. Princess ya Princess. Apa boleh buat! Dipanggil apa pun masa bodoh! Pokoknya besok dia tidak akan mendengarnya lagi!

"Ada satu hal lagi yang kuingin kau mengetahuinya, Princess. Baek Suzy bukan hanya cacat kaki. Dia juga cacat mental."

"Berhentilah mengurusi anak-anakku!"

"Cacatnya membuat dia minder. Kau juga yang menyebabkannya."

"Aku?" Kim So Eun membelalak gusar.

"Dia kena polio waktu berumur sebelas tahun! Salahkah aku? Aku sudah berusaha mengobatinya. Dia sembuh. Tapi cacat. Salahkah aku?"

"Kesalahanmu yang pertama, kau tidak ada di rumah ketika dia sangat memerlukanmu."

"Aku harus kerja! Kebetulan saat itu shooting-nya di luar kota! Kami harus berada di sana selama seminggu. Dan aku tidak tahu apa-apa tentang kejadian di rumah! Kaukira aku tidak menyesal? Setiap malam aku berlutut di sisi pembaringannya. Kumohon pada Tuhan, jika aku yang bersalah, janganlah hendaknya hukuman dosaku dilimpahkan pada anak-anakku! Tapi dia cacat juga. Haruskah kutuntut Tuhan?"

"Pernahkah kau menyatakan penyesalanmu?"

"Aku harus bagaimana? Menangis setiap hari di kakinya? Tidak! Aku tidak mau memperlihatkan belas kasihanku padanya! Dia harus hidup seperti anak-anak lainnya. Tidak sudi dikasihani. Sampai suatu saat dia sendiri merasa malu dan berhenti sekolah.”

“Itu kesalahanmu yang kedua. Kau membiarkan dia menarik diri dari lingkungannya. Berhenti sekoIah dan tinggal menjahit di rumah. Justru pada saat kau seharusnya menanamkan kepercayaan dan harga diri yang lebih besar di hatinya.”

“Lalu aku harus bagaimana? Memaksanya sekolah?"

"Di sanalah letak masa depannya! Mengurung diri di rumah hanya membuatnya bertambah minder saja!"

Setan ini memang cerewet, pikir Kim So Eun kewalahan. Terlalu banyak mencampuri urusan keluargaku. Terlalu berani menelanjangi kekurangan-kekuranganku. Tapi bagaimanapun, kata-katanya hampir selalu benar dan sulit dibantah!

Bersambung…

1 komentar:

  1. KIm BUMmmmmmmmmmm HEBAAAAAAAAAAAAAAAAAD....Tipe AYaH yg BaeeeeeKK..hahahaha!! NEnek-nya Rada nyebelin ye..bukan Rada tp sangaD...

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...