Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Jumat, 15 Juli 2011

Jodoh Sempurna (Chapter 3)



Kim So Eun membuka mulut, lalu menutupnya kembali. Ia melotot pada Kim Bum dengan kesal. Sepertinya, Kim Bum tahu benar kartu apa yang harus digunakannya untuk memenangkan permainan ini.

“Kau sengaja, ‘kan? Kau pasti tahu aku tak bisa menyetop ibuku. Justru, aku ingin dari pihakmulah yang membatalkan hal ini, sehingga Ibu tak akan memaksaku lagi,” sahut Kim So Eun, kesal.

“Dari pihakku tak ada keinginan mundur, kenapa harus mundur? Kalau memang dari pihakmu yang ingin mundur, kenapa harus aku yang mengusahakan?” sahut Kim Bum, keras kepala.

Kim So Eun hanya menatap Kim Bum dengan marah. Dia kalah set sekarang. Dengan kesal dia langsung berdiri dari kursinya dan berjalan keluar dari restoran. Kim Bum, yang tak menyangka Kim So Eun akan pergi begitu saja, segera membayar minuman mereka, lalu bergegas mengejar Kim So Eun. Untung, Kim So Eun belum sampai ke jalan raya.

“Begini caramu menyelesaikan masalah?” desisnya marah, sambil mencekal tangan Kim So Eun.

“Aku mau pulang! Buat apa bicara pada manusia keras kepala,” jawab Kim So Eun, dengan ketus.

“Kau menuduhku keras kepala, lalu dirimu sendiri bagaimana? Baiklah, kalau kau memang mau pulang. Tapi, tak perlu pakai cara ngeloyor begitu saja,” desis Kim Bum, kesal. Dia langsung membuka pintu mobilnya dan mempersilakan Kim So Eun masuk.

Kim So Eun langsung masuk tanpa berkata-kata. Sepanjang jalan dia hanya diam dan sibuk berpikir. Kim Bum yang sesekali melirik, membiarkan Kim So Eun dalam kebisuan. Namun, dia sama sekali tak menyangka, ketika sesaat kemudian Kim So Eun menengok ke arahnya dan mengamatinya secara terang-terangan. Bukan pandangan marah seperti tadi, tapi lebih ke arah penilaian.

Kim Bum yang belum pernah diperhatikan dengan cara demikian, agak kaget juga. Wanita ini benar-benar unik. Belum pernah dirinya diamati secara terang-terangan oleh seorang wanita. Kebanyakan wanita yang dikenalnya, jika ingin mengamatinya, akan melakukannya secara diam-diam. Tapi, wanita ini lain.

“Sudah selesai melakukan penilaian?” tanya Kim Bum akhirnya, sambil menengok ke arah Kim So Eun. Untuk sesaat pandangan mereka bertemu.

Kim So Eun bukannya bingung atau malu. Ia hanya mengangkat bahunya dengan cuek, lalu mengalihkan pandangannya ke arah jendela di sampingnya. Dia masih bingung dengan motivasi Kim Bum untuk tetap ngotot melanjutkan perjodohan mereka. Jelas-jelas mereka tak saling mengenal. Dia tak percaya bahwa Kim Bum sangat menyukainya, hanya dengan satu kali mengobrol dengannya saat kunjung¬annya di rumah ibunya. Pasti ada alasan lainnya. Inilah yang masih belum terungkap. Kalau dilihat dari sikapnya, Kim Bum bukanlah tipe penurut dan mau begitu saja dicocok hidung untuk melakukan hal-hal bodoh. Terlebih itu menyangkut masa depannya.

Dari samping, profil Kim Bum sangat menawan. Akan mudah bagi orang ini untuk mencari seorang istri yang tercantik sekalipun, terlebih dengan kesuksesan usahanya. Pasti akan banyak wanita yang antre dan bersedia jadi istrinya. Jadi, kenapa ia malah ngotot memilihnya? Wanita yang jelas-jelas tak mencintainya, yang pasti tak dicintainya pula. Jadi, apa motivasinya? Apa karena harga diri yang terluka? Ya, bisa jadi.

Manusia sombong ini pasti sangat menyadari ketampanan dirinya. Dia pasti tak pernah ditolak oleh teman-teman wanitanya. Dan, kini ia telah menolaknya mentah-mentah. Mungkin harga dirinya merasa telah direndahkan olehnya. Pasti ini yang membuatnya ngotot untuk melanjutkan perjodohan mereka. Baiklah, kalau begitu. Kita boleh uji, sampai di mana kesabaranmu. Jangan harap kau bisa menyeretku ke gereja untuk mengucap janji suci. Akan kubukakan matamu bahwa kau hanya membuang-buang waktumu! Pemikiran ini sedikitnya membuat perasaannya lebih tenang dan berhasil melontarkan senyuman di bibirnya.

Kim Bum meliriknya dengan heran, ketika dilihatnya Kim So Eun tersenyum dengan puas. Namun, dia tak berkomentar apa-apa. Kim So Eun pun tetap tenang sesampainya di rumah. Ibunya sampai heran. Ketika dipancing tentang apa yang dilakukannya saat pergi dengan Kim Bum, Kim So Eun hanya mengangkat bahunya dengan cuek. Akhirnya, ibunya menyerah dan menganggap memang dirinya telah berhasil ‘dilunakkan’ Kim Bum. Hatinya pun lega, sehingga dia pun banyak tertawa dan mengobrol selama makan malam.

Ketenangan Kim So Eun yang luar biasa ini membuat Kim Bum juga heran. Wajah Kim So Eun sangat tenang. Bahkan, hampir tak terlihat riak apa pun. Berbeda dari gadis yang marah-marah tadi siang. Benar-benar gadis yang tak bisa diduga, batinnya. Ia memilih untuk tak berkomentar dan menunggu langkah apa yang akan diambil Kim So Eun selanjutnya.

“Bagaimana? Aku setengah mati ingin tahu. Tak tahan rasanya menunggu,” seru Park Ji Yeon, keesokan harinya di telepon.

Kim So Eun yang telah seharian memendam kesal karena ‘kekalahannya’ dan terpaksa setuju dengan perjanjian Kim Bum, seakan menemukan tempat untuk memuntahkan kekesalannya. “Aduh, Park Ji Yeon, mungkin, kalau bisa membunuh, aku akan membunuhnya!” ujarnya, gemas.

“Sepertinya, gawat. Semuanya berada di luar kontrolmu, ya?” tebak Park Ji Yeon.

“Dia benar-benar manusia yang tak bisa diberi pengertian. Coba, aku harus bilang apa lagi padanya? Lelaki yang normal pasti akan bersedia mundur bila calon istri telak-telak menyatakan tak mau menikah dengannya. Entah terbuat dari apa hatinya!” seru Kim So Eun, tak mengerti.

“Seperti apa dia?”

“Manusia angkuh yang keras kepala! Yang tidak bisa diberi pengertian sama sekali.”

“Berarti, dia benar-benar jatuh cinta padamu.”

“Impossible! Menurutku, bukan karena cinta, tapi lebih karena egonya yang terluka. Dia malu dan tersinggung karena aku menolaknya mentah-mentah. Makanya, dia pun ngotot mempertahankan.”

“Bisa jadi. Kau tak pakai cara diplomatis?”

“Saat itu aku sudah terlanjur marah padanya. Aku tak menyangka bahwa hasilnya semakin rumit. Dia benar-benar manusia psikopat, yang senang melihat orang lain menderita.”

“Dia pakai cara apa hingga kau mati kutu?” tanya Park Ji Yeon, penasaran.

“Ibuku. Dia pasti tahu bahwa titik kelemahanku ada pada ibuku. Dia menyuruhku bicara langsung pada ibuku. Kalau memang bisa, sejak kemarin-kemarin sudah kulakukan.”

“Lantas, apa yang hendak kau lakukan selanjutnya?”

“Belum tahu. Saat ini aku belum bisa berpikir apa-apa. Tapi, jangan dikira aku akan tunduk begitu saja untuk digiring ke gereja bersamanya.”

“Wah, gawat juga! Aku rasa lebih baik kau endapkan dulu masalahnya. Tenangkan pikiranmu. Juga, berdoa yang banyak biar diberi jalan keluar. Baru sesudahnya kau tentukan langkahmu. Toh, dia tak akan menikahimu dalam waktu dekat, ‘kan? Kau masih punya waktu untuk membuat siasat baru.”

“Pasti! Aku tak mau kalah lagi lain kali. Akan kubuat dia menyadari bahwa dia manusia yang hanya membuang-buang waktu,” seru Kim So Eun, berapi-api.

“Sudah, sudah. Singkirkan dulu perkara itu dari pikiranmu. Nanti kau malah frustrasi. Kita hang out nanti sore, ya. Biar kau tidak stres,” ajaknya, mengalihkan persoalan.

“Kita lihat saja nanti. Hari ini aku ada rapat dengan klien. Aduh, aku sudah hampir terlambat. Sudah dulu, ya,” jawab Kim So Eun kaget, ketika melihat jam.

“Jangan banyak dipikirkan, ya,” pesan Park Ji Yeon, sebelum telepon ditutup.

Untunglah, siang itu Kim So Eun benar-benar disibukkan oleh kliennya, yang agak cerewet dengan naskah pidato yang telah dibuat Kim So Eun untuk pembukaan kantor cabangnya. Mau tak mau, Kim So Eun harus membuat ulang naskah tersebut. Hal ini sedikit banyak menyita pikirannya, sehingga dia pun agak lupa dengan masalahnya sendiri.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...