Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Kamis, 07 Juli 2011

Kisah Cinta Tak Sempurna (Chapter 4)



Ting... tong... ting... tong.... Pukul 2 dini hari. Aku merasa rindu kehidupan lamaku. Dulu aku sering kali menghabiskan malam keluar-masuk bar dengan teman–temanku. Aku bisa tertawa sepuasnya, melakukan hal–hal yang kumau tanpa berusaha menjadi wanita anggun seperti yang selalu aku coba lakukan jika Kim Hyun Joong ada bersamaku.

Kepalsuan itu akhirnya membuatku terbiasa menjadi Kim So Eun yang berbeda. Aku meninggalkan semuanya. Tidak ada rokok. Tidak ada clubbing hingga pagi tiba. Juga tak ada lagi pekerjaan sebagai MC yang menjadikanku sebagai pusat perhatian dan berlimpah uang hanya dengan sejam atau dua jam berdiri di panggung. Aku tidak hanya kehilangan pekerjaanku, tapi juga komunitasku. Tak ada teman, apalagi sahabat. Hidupku hanya dia dan dunianya. Setahun ini, saat dia menghilang, pantaslah aku limbung. Mencoba memulai lagi semuanya dari awal, aku tak yakin sanggup.

Menjelang pukul 4 dini hari hujan turun. Sengaja aku buka lebar–lebar jendela kamar. Hujan semakin deras. Aku terlelap, dia datang di mimpiku. Kurasakan sakit hatiku semakin menjadi, kucoba terbangun, tapi ia menahanku tetap bersamanya. Dia tak hanya merajaiku di alam nyata, namun juga khayalku. Tuhan, tolong buat aku terbangun.

Keesokan harinya….

Kepalaku masih terasa sedikit pening dan mengantuk. Seperti biasa, efek obat tidur baru aku rasakan utuh sehari setelahnya. Pukul 11 siang, aku belum juga mandi. Bahkan belum beranjak dari ranjang. Aktivitasku hanya mengamati lalu-lalang orang–orang melalui jendela kamar yang terbuka sejak semalam. Bau basah sehabis hujan masih tercium, cuaca pun masih tetap mendung.

Titttt…titttt….drtttt…

Dimana? Aku & Park Shin Hye mau makan siang, bergabunglah bersama kami.
Im Yoona!

Pesan singkat dari sahabatku. Cukup lama kami tidak berkumpul. Meski dengan semangat yang belum terkumpul sempurna, kurapikan sekenanya tempat tidur sambil menjawab SMS Im Yoona, memintanya menungguku.

Mandi.
Berdandan… Aku pilih jeans dan kaus hitam. Aku masih berkabung karena kehilangan ’Kim Hyun Joong-ku’ pada akhirnya.

Aku mencium pipi mereka satu per satu. Mereka tampak dewasa dengan seragamnya. Ah, seandainya kuturuti ajakan untuk bergabung bekerja bersama mereka, tentu seragam itu juga akan membalut tubuhku kini. Tapi, kata Kim Hyun Joong, wanita itu terlahir menjaga keluarga, bukan sebagai pekerja. Kali itu aku tak setuju. Aku sangat fasih bicara tentang kesetaraan gender pada tulisan–tulisanku. Tapi, saat ia mengatakan itu, aku hanya bisa menelan kata–katanya. Ahhhh....

Tidak terlalu banyak senda gurau siang itu. Kami sibuk dengan makan siang masing–masing.

“Ada apa, Kim So Eun. Kau kenapa, kau kelihatan tidak lepas. Apa sedang ada masalah? Ceritakan kepada kami,” bujuk Park Shin Hye.

Im Yoona beranjak dari kursinya. Tanpa meminta persetujuan kami, ia pesan tiga gelas teh lemon lengkap beserta tiga piring kecil makaroni pedas. Sambil diikuti gerak mata mereka, mengalir semua kisah yang terjadi padaku di lobby rumah sakit tempo hari. Kususut perlahan air mataku. Nyatanya ketangguhanku bobol lagi. Aku yang selalu tampil sempurna, kuat, dan mandiri di hadapan mereka, kini datang menjelma menjadi Kim So Eun yang hancur.

Park Shin Hye kehilangan kata–katanya. Ia hanya merangkulku sambil berusaha membetulkan deru napasku. “Ssstttt... sabar, ya,” hanya itu yang mampu ia ucapkan.

Im Yoona menyeruput habis tehnya. Wajahnya tampak bingung. Tak tahu harus bagaimana berlaku padaku. Tak tahu juga harus bicara apa. Selama ini yang ia tahu, aku yang selalu menguatkan pada setiap hal yang ia dan Park Shin Hye hadapi. Aku suporter setia mereka. Aku akan datang dengan semangat dan keceriaanku, juga sedikit kebawelanku. Tapi kali itu, Im Yoona dan Park Shin Hye mendapatiku tak berdaya. Bahkan tak sanggup melanjutkan ceritaku.

“Lalu apa rencanamu sekarang?” tanya Park Shin Hye, saat dilihatnya aku mulai tenang. Kujawab dengan gelengan.

“Tidak bisa begini. Kim Hyun Joong menikah, ya, sudah, tapi kau tidak boleh hancur begini. Bukannya kau yang selalu bilang, tidak boleh kita ditindas oleh laki–laki. Katamu, kita boleh cinta mati pada mereka, tapi tidak boleh mati gara–gara mereka. Ingat?” tutur Im Yoona perlahan, seolah ia takut salah menasihatiku.

“Kau cari kerja saja, ya. Biar ada kesibukan, jangan habiskan waktu di rumah terus. Kau cari kerja di dekat vila tempat kita kerja, ya. Jadi, jam makan siang kita bisa jalan sama–sama, pulang kantor juga bisa hang out. Mau, ya, kita bantu cari…,” kata Park Shin Hye, menatapku dengan semangat. Aku mencoba mentransformasikan semangat mereka berdua, tapi hanya anggukan tak pasti yang aku berikan. Bekerja di dekat vila mereka, berarti bekerja di bidang pariwisata. Mana punya aku keahlian di situ.

“Jangan khawatir, kau pasti bisa melewati semuanya. Pasti...,” bujuk Im Yoona, sambil menyodorkan sepiring makaroni, seolah ia tahu kekhawatiran yang melintas di kepalaku.

“Terima kasih, ya. Seandainya aku mendengarkan kata–kata kalian sejak awal untuk tidak pacaran dengan manusia itu, pasti aku tidak akan seperti hari ini.” lidahku terasa kelu mengucapkan kalimat barusan.

“Sssstt jangan begitu, yang sudah, ya, sudah. Kan kau yang selalu ingatkan kami, jangan menyesali rasa sakit karena suatu hari nanti kita akan berterima kasih pada rasa sakit yang telah membuat kita semakin kuat,” bujuk Park Shin Hye, sembari mengecek jam di layar ponselnya.

Kami lalu berpisah di halaman restoran dan berjanji akan makan siang lagi lain kali. Park Shin Hye dan Im Yoona juga mengingatkanku untuk menyiapkan surat lamaran kerja dan CV. Jadi, kalau mereka menghubungiku, aku sudah siap. Semangat mereka sama sekali tak mempengaruhiku. Aku tetap saja merasakan hampa yang teramat sangat.

Tiga kesalahanku, terlahir dengan usia 7 tahun lebih muda darinya. Kesalahan keduaku, tak lahir dari keluarga kaya dan terpandang. Kesalahan ketiga, yang masih kuingkari hingga hari ini, adalah kebodohanku jatuh cinta padanya, meski menyadari akan kesalahan nomor satu dan dua. Artinya, harusnya aku sudah menyiapkan diri akan rasa sakit dan kecewa ini sejak awal, bukan?!

Aku mengemudikan mobil dengan gamang. Untunglah siang menjelang sore itu Dreamlight tidak sepadat biasanya. Nyaliku semakin ciut manakala setan melankolis membayangiku. Bayangan Kim Hyun Joong selalu setia hadir manakala aku melewati tempat–tempat yang pernah kami datangi bersama.

Mengapa semua seakan tak bersahabat dengan lukaku. Bahkan rasa–rasanya aroma mobil ini pun kuciumi wangi parfumnya. Kim Hyun Joong, wanita bukan duniamu ini akan sulit membuangmu dalam hidupnya, meski jelas–jelas panah tajammu telah mencabik cinta dan harga dirinya.

Cinta itu apa…?

Sama sekali tak pantas disebut anugerah, apalagi mukjizat.

Cinta itu sakit. Cinta itu perih. Cinta itu pengkhianatan. Cinta itu kau, malaikat berwajah tampan rupawan, namun pembunuh. Dan cinta ternyata tak cukup ampuh menawarkan luka.

Jadi berhenti bilang cinta adalah keajaiban. Berhenti mengagungkan cinta di depanku, jika tak mau kuludahi. Pikirkan dulu sebelum bilang cinta tak mengenal batasan. Karena cintamu akhirnya berhenti. Aku bukanlah perempuan dari duniamu yang pantas kau perjuangkan cintanya.

Kutulis kalimat bodoh itu pada selembar kertas, lalu membuangnya di depan rumah Kim Hyun Joong. Masa bodoh jika ia menganggapku gila atau terobsesi padanya. Aku menginginkan ia mengetahui luka ini. Aku tidak mau semuanya hanya selesai dengan kata maaf. Tidak segampang itu membuangku.

Aku menunggu, lima menit….sepuluh menit…dua puluh menit…hingga hampir empat puluh lima menit, tak seorang pun keluar dari rumah yang sempat kuimpikan akan kutempati kelak ini. Padahal, sedannya terparkir rapi di halaman. Aku menstarter mobil, beranjak menjauh dari bangunan yang pernah menjadi saksi kebersamaan kami dan menyimpan sejuta harapanku di masa lalu.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...