Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Jumat, 15 Juli 2011

Jodoh Sempurna (Chapter 10)



Pagi itu matahari sangat cerah di Jepang. Walau udara masih terasa dingin bagi kulitnya yang terbiasa terpanggang udara panas kota Namchoseon, cuaca musim semi di Jepang sangat cerah. Bunga-bunga aneka warna bertebaran di taman-taman kota. Setelah urusan bisnisnya selesai, hari ini Kim Bum bermaksud jalan-jalan dan mencari oleh-oleh untuk putrinya, sebelum kembali ke Korea. Dia memutuskan melihat-lihat kuil-kuil kuno yang bertebaran di kota ini.

Hari itu ia bermaksud mengunjungi Kuil Kimigawa. Ia sama sekali tak menyangka, di sanalah ia bertemu Kim So Eun. Walau lama tak berjumpa, dia hafal benar pada bentuk tubuh Kim So Eun dari belakang. Di antara para turis lain, dia melihat Kim So Eun dengan kameranya sedang mengabadikan taman dari batu-batu karang yang terserak di antara butir-butir pasir putih.

“Selamat pagi,” sapanya pada Kim So Eun, yang tak menyadari kehadirannya.

Kim So Eun menoleh. “Kau! Kenapa ada di sini?” serunya, heran.

“Bisnis. Bagaimana kabarmu?” tanya Kim Bum, sambil meneliti keadaan Kim So Eun. Walau terlihat agak kurus, secara keseluruhan Kim So Eun baik-baik saja.

“Baik. Wah, bisnismu tambah maju rupanya. Berapa lama kau di sini?”

“Hari ini aku pulang. Sudah berapa lama kau di sini? Kau menetap di sini?” tanya Kim Bum. Melihat penampilan Kim So Eun, sepertinya Kim So Eun bukan turis yang datang sesaat di kota ini.

“Aku sudah beberapa hari di sini. Kau sudah pergi ke mana saja?” tanya Kim So Eun, seakan-akan di antara mereka tak pernah terjadi apa-apa.

“Aku belum ke mana-mana. Kau menginap di mana?”

“Di rumah seorang teman. Kau di hotel apa?”

Kim Bum menyebutkan nama hotelnya. “Sepertinya, kau baik-baik saja. Apakah kau bahagia?” tanyanya, melihat penampilan Kim So Eun yang segar ceria.

“Ya. Aku cukup senang di sini.”

“Ya, aku bisa melihat kalau kau cukup senang. Apakah kita bisa mengobrol sebentar, sambil minum-minum?” pinta Kim Bum.

Kim So Eun tampak berpikir, lalu mengatakan, “Baiklah. Kulihat di sana ada beberapa restoran. Beberapa di antaranya menyajikan makanan yang enak di lidah kita,” ujarnya, sambil menarik tangan Kim Bum.

Mereka memilih salah satu restoran Jepang dan duduk menikmati teh dan kue-kue kecil di situ.

“Bagaimana Namchoseon?” tanya Kim So Eun, setelah mereka berdua duduk dan pesanan mereka sudah datang. Dia tahu, sejak tadi Kim Bum sibuk meneliti dan mengamatinya dengan cermat.

“Tak terlalu baik sejak kepergianmu. Kenapa kau pergi sedramatis begitu? Ada apa sebenarnya?”

“Ah, masalah itu lagi. Tak ada topik yang lebih menarik?”

“Tidak. Aku justru ingin tahu tentang itu. Masalah kita belum selesai. Suratmu tak menjelaskan apa-apa tentang kepergianmu.”

“Sudahlah. Aku tak ingin membahas. Kita tutup saja lembaran itu.”

“Ini belum berakhir, Kim So Eun. Sampai sekarang aku tak mengerti dengan tindakan yang kau ambil. Aku butuh penjelasan.”

“Sederhana saja. Aku memutuskan untuk kembali bebas dan mencoba meraih kehidupan seperti yang selalu kuimpikan sejak kecil.”

“Jadi, kehidupanmu denganku, walau sesaat, kau anggap mengikat?”

“Ya. Aku sangat bodoh karena setuju pada rencana orang tua kita.”

“Bagaimana dengan perasaanmu sendiri? Apakah kau menyangkal bahwa kau pun mencintaiku dan ingin hidup bersamaku?” tanya Kim Bum pelan, tapi tajam. Matanya mulai berkilat marah.

“Harus kuakui, aku sempat terhanyut perasaan tersebut, walau kini kusesali keberadaannya. Seharusnya, aku tak jatuh cinta pada¬mu. Dengan demikian, tak perlu ada rasa sakit ketika cinta itu tak bisa terwujud.”

“Apa maksudmu tak terwujud? Rasa sakit? Jelaskan semuanya, Kim So Eun, jangan berputar-putar terus!” bisik Kim Bum, masih dengan suara pelan.

Kim So Eun menatap Kim Bum dengan kesal. “Sebenarnya, aku sudah tak ingin membicarakan hal itu lagi. Tapi, baiklah, kalau kau memaksa. Aku memutuskan kita kembali ke kehidupan masing-masing. Itu saja. Aku membebaskanmu. Kembalilah kau ke kehidupanmu dulu, ke Jung So Min, ataupun gadis lain, yang aku tak tahu. Kau bebas, Kim Bum, sebebas-bebasnya. Sama seperti diriku kini.”

“Maksudmu Jung So Min, sekretarisku? Kau cemburu? Jadi, ini pangkal permasalahannya?” kata Kim Bum, sambil menepuk keningnya. Lalu, ia tertawa keras.

“Ya, Jung So Min sekretarismu. Bukankah ia kekasihmu? Aku tak berhak merebut dirimu dari tangannya. Sama tidak berhaknya dirimu menjadikan aku sebagai istri kamuflasemu hanya demi mematuhi keinginan orang tuamu.”

“Ya, ampun, Kim So Eun! Kau menuduhku main gila dengan sekreta¬risku sendiri? Apa-apaan ini! Apa pikiranmu sudah tak waras? Siapa yang akan menjadikanmu istri simpanan? Atau, apa istilahmu tadi… istri kamuflase?”

“Jangan kau kira aku sebodoh itu. Aku sudah menyelidikinya, sebelum memutuskan pertunangan kita. Jung So Min pernah jadi kekasihmu, bukan? Dia pula yang selalu mendampingimu merawat anakmu, setelah istrimu meninggal.”

“Ya, itu benar. Tapi, hubungan kami sudah tak ada apa-apanya lagi. Jung So Min sudah kuanggap keluarga sendiri, adik sendiri. Sama seperti hubunganmu dengan Kim Hyun Joong. Hubungan kami tak lebih dari itu.”

Kim So Eun menatap mata Kim Bum sangat lama. Di matanya tersirat ketidakpercayaan. “Bagaimana dari pihak Jung So Min sendiri? Apa Jung So Min juga beranggapan yang sama denganmu?” tanyanya, dingin. “Bagaimana tanggapan teman-teman kantormu? Apakah mereka tak menganggap kalian berpacaran?”

“Aku tak tahu tanggapan orang-orang. Aku, toh, tak bisa mendikte orang agar beranggapan sesuai kehendak kita. Kukira, aku juga tak perlu menerangkan pada semua orang tentang bentuk hubunganku dengan Jung So Min.”

Kim So Eun memandang Kim Bum dengan mimik tak percaya. Kim Bum yang melihat sikap Kim So Eun demikian, rasanya sudah gemas ingin mencekiknya.

“Lantas, kenapa dia akan resign saat tahu kau mau menikah denganku? Kenapa kau harus mengiba-ngiba padanya untuk tak meninggalkanmu? Karena kau masih mencintainya? Kau tak bisa hidup tanpanya?”

“Memang aku tak bisa hidup tanpanya. Tapi, itu dalam pekerjaan. Jung So Min adalah sekretaris, sekaligus tangan kananku. Dia sangat handal dalam menangani pekerjaannya. Aku tak ingin kantorku berantakan gara-gara dia mundur. Saat ini kantorku sedang banyak pekerjaan. Tanpa dirinya, aku pasti akan kelabakan sendiri. Memang, aku bisa mencari sekretaris baru, tapi belum tentu sekretaris itu bisa sehandal dirinya. Keinginannya untuk mundur sudah lama ia ungkapkan. Jadi, tak ada hubungannya dengan rencana pernikahan kita.”

Kim So Eun menyipitkan matanya, meneliti kebenaran di wajah Kim Bum.

“Kalau tak percaya, kau boleh telepon Jung So Min sekarang juga.”

Kim So Eun diam, sambil memandangi Kim Bum. “Baiklah, kalau penyelidikanku salah, aku minta maaf. Tapi, terus terang, aku benar-benar terpukul ketika karyawanmu mengatakan bahwa aku merebut diri¬mu dari tangan Jung So Min.”

“Siapa yang mengatakan begitu?” tanya Kim Bum, berang.

“Aku tak tahu. Aku mendengarnya dari balik toilet ketika mere¬ka membicarakan tentang diriku,” jawab Kim So Eun, sambil mengangkat bahunya.

Hening. Mereka diam.

“Aku minta maaf kalau aku salah menafsirkan hubungan kalian,” ujar Kim So Eun, setelah dia cukup lama mencerna penjelasan Kim Bum.

Kim Bum lega. “Kim So Eun… kenapa harus ada kesalahpahaman demikian? Kenapa kau tak datang langsung padaku. Kenapa harus lari?”

Kim So Eun tak menjawab. Sesudah itu mereka bercerita tentang topik lain. Tentang situasi Namchoseon, tentang beberapa negara yang telah dikunjungi Kim So Eun. Mereka kembali ke hotel ketika hari sudah senja. Kim Bum bertekad membawa Kim So Eun pulang. Karena itu, dia memutuskan menginap lebih lama lagi di Jepang. Dia tak mau Kim So Eun menghilang lagi.

“Kau akan pulang bersamaku, bukan?” tanya Kim Bum, ketika mereka tiba di hotel.

“Aku masih harus mengerjakan beberapa tulisan. Kau pulang duluan saja. Aku masih akan mengunjungi beberapa negara lagi.”

“Kau mau ke mana?” tanya Kim Bum, tak mengerti.

“Aku berencana ke Thailand, sebelum akhirnya aku memutuskan mau menetap di mana.”

“Maksudmu, kau tak akan tinggal di Korea lagi?”

“Mungkin. Sudah saatnya aku mencoba peruntunganku di negeri orang.”

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...