Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Kamis, 21 Juli 2011

The Right Man (Chapter 5)



"Bagaimana?" tegur Dokter Lee Joon Hyuk ketika Kim So Eun menggendong Kim Yoo Bin memasuki kamar prakteknya. "Ada kemajuan?"

Kim So Eun menggeleng sedih.

"Hampir tidak ada kemajuan apa-apa, Dok."

"Silakan duduk." Dokter Lee Joon Hyuk menunjuk kursi di hadapan meja tulisnya.

Tetapi begitu Kim So Eun duduk, Kim Yoo Bin langsung menangis meronta-ronta. Agaknya dia takut melihat Dokter Lee Joon Hyuk.

"Takut sekali dengan orang lain, Dok," keluh Kim So Eun sambil berdiri kembali. Menggendong Kim Yoo Bin menjauhi Dokter Lee Joon Hyuk dan membujuknya supaya diam.

"IQ-nya memang rendah sekali," gumam Dokter Lee Joon Hyuk sambil meneliti kartu status Kim Yoo Bin. "Hanya lima puluh. Itu berarti Kim Yoo Bin termasuk anak tuna-mental golongan imbesil. Sudah bisa jalan?"

"Baru saja, Dok. Tapi jalannya pun belum normal. Masih tertatih-tatih."

"Padahal umurnya sudah empat tahun." Dokter Lee Joon Hyuk mengangkat wajannya menatap Kim Yoo Bin. "Bagaimana bicaranya?"

"Cuma bisa mengucapkan 'Ibu', Dok."

"Anak tunamental memang selalu terlambat dan terbelakang dalam hal bicara."

"Dokter." Kim So Eun menatap dokter anak itu dengan tatapan amat memelas. "Ke mana saya harus membawanya, Dokter?"

"Menyesal sekali. Bu." sahut Dokter Lee Joon Hyuk dengan suara iba "Anak Ibu menderita keterbelakangan mental yang berat Seperti telah saya katakan tadi. Kim Yoo Bin termasuk anak imbesil. Itu berarti dia tidak dapat mencapai apa yang mungkin dicapai oleh anak-anak lain. Ke dokter mana pun Ibu membawanya percuma saja."

"Jadi dia tidak bisa sembuh, Dok?" Berlinang air mata Kim So Eun ketika mengucapkan kata-kata itu.

"Kim Yoo Bin tidak sakit, Nyonya. Dia cuma terbelakang."

"Tapi kenapa, Dok? Kenapa? Apa kesalahan saya?"

"Jangan tanya mengapa, Nyonya," hibur Dokter Lee Joon Hyuk lunak. "Jawabannya akan panjang sekali. Begitu banyak faktor yang dapat menyebabkan retardasi mental pada seorang anak. Infeksi dalam kandungan, obat-obatan dan zat toksik yang mungkin diminum oleh seorang ibu yang sedang hamil. Atau mungkin juga penyakit-penyakit yang dideritanya waktu mengandung."

“Tapi anak-anak saya yang lain sehat fisik maupun mentalnya, Dok! Mereka normal. Mengapa Kim Yoo Bin berbeda?"

"Trauma waktu lahir dapat juga berpengaruh pada perkembangan mental seorang anak. Defisiensi gizi, kelainan kromosom, asfiksia, Kern Icterus, banyak sekali penyebab yang tak dapat saya sebutkan satu per satu. Faktor penyebab ini bisa terdapat pada anak yang satu, tetapi tidak pada anak yang lain."

"Jadi saya yang salah, Dok? Saya yang menyebabkan anak saya jadi begini?"

"Tidak ada gunanya menyalahkan diri sendiri. Yang penting sekarang adalah bagaimana membantu anak ini agar dia dapat mencapai tingkatan maksimal yang masih dapat dicapainya."

"Apa yang masih dapat dicapainya, Dok?" keluh Kim So Eun putus asa. "Apa yang dapat dicapai oleh seorang anak yang hanya dapat mengucapkan sepatah kata?"

"Itu bisa dilatih, Nyonya. Dengan kesabaran dan kasih sayang, Ibu dapat melatihnya untuk berkomunikasi. Mungkin bicaranya tidak akan sepintar anak-anak anda yang lain. Tapi bukan tidak mungkin lama-kelamaan dia bisa mengucapkan kalimat-kalimat sederhana."

"Dia tidak bisa sekolah, Dok?"

"Kim Yoo Bin memerlukan pendidikan khusus di Sekolah Luar Biasa. Terhadap anak-anak seperti Kim Yoo Bin biasanya diberikan pelajaran pekerjaan tangan, karena dia tidak mampu mempergunakan otaknya. Anak imbesil tidak mungkin membaca buku dan menulis karangan, misalnya. Tetapi kepada mereka akan diajarkan menulis nama sendiri, nama orangtua, alamat rumah, dan sebagainya."

"Apa yang dapat saya perbuat untuk membantunya, Dok?"

“Anda dapat melatihnya dengan latihan-latihan dasar seperti makan sendiri, minum sendiri, berpakaian sendiri. Penting sekali merangsang penglihatan, pendengaran, perasaan, dan gerak tubuhnya sehari-hari. Jika latihan-latihan ini tidak dapat dilakukan di rumah, Kim Yoo Bin harus ditempatkan dalam sebuah lembaga khusus."

"Apa pun yang terjadi, saya tidak ingin berpisah dengannya, Dok. Saya akan mencoba melatihnya sendiri di rumah.”

"Itu yang terbaik. Tapi jika Ibu memperoleh kesulitan. Ibu dapat menghubungi alamat ini."

Kim So Eun tidak menjawab. Disusutnya air matanya. Ditatapnya Kim Yoo Bin dengan sedih. Mengapa harus terjadi padanya? Dia memang tidak menginginkan anak ini ketika masih dalam kandungan. Tetapi kalau Tuhan masih tetap menghendaki Kim Yoo Bin lahir, mengapa dia harus lahir dalam keadaan seperti ini?

"Ini alamatnya." Dokter Lee Joon Hyuk menyodorkan sehelai kertas.

“Terima kasih. Berapa, Dokter?"

“Enam ratus lima puluh."

Eman ratus lima puluh ribu, keluh Kim So Eun sambil mengeluarkan uangnya. Alangkah mahalnya! Padahal Kim Yoo Bin tidak diapa-apakan.

"Perlu Kwitansi?”

"Perlu, Dok," sahut Kim So Eun lirih. Dia sendiri tidak tahu untuk apa. Sudah menjadi kebiasaannya. Minta Kwitansi setiap kali berobat. Padahal dia tidak tahu ke mana harus minta penggantian. Semenjak berpisah, Im Seulong tidak pernah mengirim tunjangan Sepeser pun. Dia harus berjuang seorang diri untuk menghidupi kelima orang anaknya.

***

"Kim Yoo Bin disuntik, Bu?" tanya Baek Suzy sambil memangku Kim Yoo Bin sementara Kim So Eun mengemudikan mobilnya pulang.

Kim So Eun menggeleng lesu.

"Kapan dia bisa bicara, Bu? Memalukan. Sudah sebesar ini belum bisa bicara juga."

"Tutup kacanya, Baek Suzy. Nanti Kim Yoo Bin masuk angin."

"Macet, Bu. Kacanya tidak bisa ditutup."

"Katakan pada Park Ji Yeon. Biar dibetulkan besok pagi. Pakaikan Kim Yoo Bin mantel saja, Baek Suzy. Anginnya kencang. Kim Yoo Bin tidak biasa kena angin."

"Biasa kalau sore dia main di luar, Bu. Mungkin Bosan di rumah terus. Tapi kalau ada orang lewat saja, langsung menangis."

"Sudah Ibu bilang jangan dibawa main ke luar. Nanti masuk angin."

"Tapi kasihan, Bu. Bosan kan di rumah terus!"

Kim So Eun menghela napas. Kadang-kadang dia merasa malu pada tetangga. Punya anak cacat, mental seperti itu. Secara tidak sadar, dia selalu cenderung menyembunyikan anak itu. Barangkali itu sebabnya Kim Yoo Bin jadi takut melihat orang. Atau... memang sudah pembawaannya akibat keterbelakangannya?

"Kim Yoo Bin memerlukan kesabaran dan kasih sayang Ibu." terngiang lagi kata-kata Dokter Lee Joon Hyuk. "Ibu yang harus melatihnya. Jika latihan-latihan itu tidak dapat dilakukan sendiri di rumah, Kim Yoo Bin harus dirawat dalam sebuah lembaga khusus,"

Potongan-potongan kata Dokter Lee Joon Hyuk itu seperti gramofon rusak yang bolak-balik menerpa telinganya. Sepanjang perjalanan pulang, kata-kata itu terus-menerus merongrongnya.

Itu berarti dia harus mendampingi Kim Yoo Bin terus. Melatihnya. Kalau menginginkan Kim Yoo Bin tetap di rumah bersama saudara-saudaranya. Bukan dikurung dalam sebuah lembaga khusus....

Tetapi sampai kapan? Sampai kapan dia bisa mendampingi anaknya?

***

“Ya, mungkin empat tahun. Mungkin lima," kata Dokter Song Seung Hun dulu. "Kalau ternyata benjolan di payudaramu itu ganas. Dan kau tetap berkeras tidak mau membuangnya!"

Dokter Song Seung Hun adalah bekas teman ayahnya waktu SMA. Hanya kepadanyalah Kim So Eun sudi memaparkan kesulitan-kesulitannya. Untung Dokter Song Seung Hun masih tetap menganggapnya putri sahabatnya biarpun ayah Kim So Eun telah lama meninggal.

"Belum tentu kanker. Kita biopsi*) dulu. Kalau ternyata jinak, cukup kita buang benjolannya saja."

*)Biopsi > Kedokteran pemeriksaan thd organisme, organ, atau jaringan yg hidup.

"Dan kalau ganas?"

"Terpaksa payudara kirimu diangkat. Daripada keburu- mengganas ke mana-mana? Tega kau meninggalkan anak-anakmu?"

Tentu saja tidak. Tapi membuang payudaranya, ya Tuhan! Satu-satunya kebimbangannya yang masih tersisa. Satu-satunya modal untuk mencari nafkah!

Kim So Eun tidak dapat membayangkan produser-produser itu masih sudi memakainya sebagai peran pengganti kalau dadanya tidak ada lagi. Kalau parut bekas jahitan itu menampilkan pemandangan yang mengerikan di dadanya....

Justru karena keindahan tubuhnyalah mereka berminat memakainya dalam adegan-adegan yang tak mungkin dilakukan oleh aktris-aktris ternama. Padahal pada saat film Korea sedang hampir mati seperti sekarang, film-film yang berani menampilkan adegan yang agak panas justru sedang in!

"Tidak usah khawatir. Pembedahan estetik payudara kini sudah banyak dilakukan. Jangan pikirkan apa-apa lagi, Kim So Eun. Pikirkan keselamatanmu."

Tapi mampukah pembedahan estetik mengembalikan keindahan payudara seperti yang dimilikinya sekarang? Kalaupun dapat, berapa biaya yang harus dikeluarkannya? Dari mana dia harus memperoleh uang sebanyak itu?

Kim So Eun sadar, waktunya tidak banyak lagi. Kariernya sudah di ambang batas. Di awal tiga puluh, sampai berapa lama lagi dia masih dapat bertahan sebelum tempatnya diambil alih oleh gadis-gadis yang lebih muda dan segar? Apalagi tanpa payudara kirinya!

Lagi pula... dapatkah operasi menjamin keselamatannya?

“Teman saya juga dioperasi. Dok. Payudaranya Diangkat. Disinar. Dan entah diapakan lagi. Tapi enam bulan sesudah operasi, paru-parunya sudah penuh air. Setiap dua hari harus disedot. Cairannya merah, Dok. Seperti air cucian daging. Kata dokter, anak sebar kankernya sudah sampai di paru-paru."

"Itulah kalau ditunggu sampai kankernya ber-metastasis."

"Dua bulan kemudian dia meninggal, Dok. Lalu apa gunanya payudaranya diangkat? Bukankah lebih baik dia meninggal dengan utuh?"

"Kau tidak bisa menyamakan Setiap kasus, Kim So Eun! Temanmu itu mengidap kanker payudara stadium lanjut. Anak sebar kankernya sudah merambah ke mana-mana. Kanker yang ditemukan pada stadium dini masih dapat disembuhkan.”

“Lalu bagaimana saya tahu kanker saya masih dini atau sudah lanjut?”

"Kanker atau bukan saja kita belum tahu. Makanya saya anjurkan biopsi. Dengan pemeriksaan Patologi Anatomi, tumormu bisa diketahui jinak atau ganas."

"Menurut Dokter, seandainya kanker, Saya masih bisa sembuh?”

"Benjolan di payudaramu baru berukuran kira-kira dua sentimeter. Belum ada benjolan di ketiakmu. Kalau belum ada metastasis, Seandainya kanker, Kankermu masih tergolong stadium satu. Masih dapat dioperasi. Harapan untuk survive masih sangat besar, Kim So Eun!”

“Tapi saya takut dioperasi, Dok!” rintih Kim So Eun lirih. Saya takut tidak dapat bertemu lagi dengan anak-anak saya! Dan saya takut tidak mampu membayar biaya operasinya!

"Kalau ternyata kankermu ganas, menunda operasi berarti memperpendek umurmu sendiri! Mau kau kemanakan anak-anakmu yang masih kecil-kecil itu?”

Kim So Eun tidak tahu ke mana harus menyalurkan kebingungannya. Dia tidak tahu lagi kepada siapa dia harus bertanya. Kepada siapa dia harus mengadu dan mengeluh.

Baginya, Anak-anaknya masih terlalu kecil. Saat itu Park Ji Yeon baru 13 tahun. Ibu juga bukan teman bicara yang baik. Lagi pula dia tidak sampai hati membagi penderitaannya dengan ibu dan anak-anaknya. Dia ingin menanggung derita itu seorang diri saja.

Im Seulong yang saat itu sudah menceraikannya, entah di mana buminya. Kim So Eun tak pernah mendengar kabarnya lagi sejak dia pergi, saat Kim Yoo Bin baru berumur satu tahun.

Dokter Song Seung Hun pasti marah sekali ketika ternyata Kim So Eun tidak muncul lagi di kamar prakteknya. Dia memang tidak berani lagi menemui dokter bedah itu. Sungguhpun kini benjolan di payudaranya telah satu setengah kali lebih besar dibandingkan dua tahun yang lalu. Dan beberapa hari yang lalu, Kim So Eun menemukan benjolan lagi di ketiak kirinya.

Tentu saja dia panik. Rasanya Malaikat Maut telah membayang-bayanginya. Tetapi Kim So Eun sudah nekat. Dia tidak mau dioperasi.

Dia akan bekerja sampai helaan napasnya yang terakhir. Dia akan bekerja mati-matian. Mengumpulkan uang. Untuk membeli rumah dan menabung. Dia harus meninggalkan warisan yang cukup untuk menjamin masa depan anak-anaknya.

Tetapi kini muncul persoalan baru. Kim Yoo Bin tidak dapat ditinggal seorang diri. Tidak walaupun seandainya Kim So Eun sanggup bertahan sampai sepuluh tahun lagi sekalipun! Kim Yoo Bin akan menjadi bebannya sampai seumur hidup!

***

"Ibu datang! Ibu datang!" sorak Kim Yoo Jung di depan pintu."

"Bawa martabak tidak, Bu?"

“Dasar, tidak tahu malu!" ejek Lee Young Yoo sambil mendahului adiknya menyambut ibunya. "Masa martabaknya dulu yang ditanyakan!"

Tetapi Kim Yoo Jung tidak peduli. Dia langsung merebut bungkusan di tangan Baek Suzy.

"Martabak ya, Eonni?”

"Awas, masih panas!" teriak Baek Suzy.

Tetapi Kim Yoo Jung sudah lari membawa bungkusan martabak itu ke ruang makan.

"Ibu tidak pergi lagi, kan Bu?" rajuk Lee Young Yoo sambil mengikuti ibunya.

Kim So Eun hanya menggeleng letih. Sambil menggendong Kim Yoo Bin, dia melangkah ke ruang makan. Dan tertegun melihat Kim Bum sudah duduk di sana.

"Boleh, kan?" Kim Bum berpaling sambil tersenyum. "Boleh ikut makan di sini? Malam terakhir sebagai malam perpisahan?"

"Paman mau martabak?" sela Kim Yoo Jung. "Kalau Paman tidur di kamar terus, pasti tidak kebagian!"

Kim So Eun menurunkan Kim Yoo Bin dari gendongannya. Dan ibunya yang baru muncul langsung menyambutinya.

"Bagaimana?" desak Nenek tak sabar. "Apa kata dokter?"

Kim So Eun cuma menggeleng lesu.

"Kenapa belum bisa bicara juga?"

"Nanti lama-lama bisa. Harus dilatih terus."

"Kalau dibawa ke kampung pasti cepat sembuh. Bawa saja ke Ny. Ma Yoo Hee, anak bisu pun setelah diobati langsung bisa bicara!"

"Disembur ya, Nek?" celetuk Lee Young Yoo. "Kim Yoo Bin bisa tidak bernapas!"

"Tolong suapi dulu, Bu," potong Kim So Eun letih. "Aku mau mandi dulu. Park Ji Yeon sudah pulang?"

"Belum."

"Kalau begitu kita tidak akan makan sampai dia pulang."

"Tapi aku sudah lapar, Bu!"

"Bijaksana," tersenyum Kim Bum. "Perhatianmu akan membuatnya pulang lebih sore besok."

* * *

Park Ji Yeon sendiri heran melihat mereka semua sudah menunggunya di meja makan ketika dia pulang.

"Ayo, Park Ji Yeon Eonni, cepat mandi! Aku sudah lapar!" teriak Kim Yoo Jung tidak sabar.

"Untung dia pulang pukul delapan." Kim Bum tersenyum pada Baek Suzy yang duduk di sampingnya. "Kalau tidak, maag-ku bisa kambuh."

"Paman punya sakit maag?"

"Sudah empat tahun."

"Wah, kalau begitu tidakak boleh menahan lapar."

"Mau permen, Paman?" sela Kim Yoo Jung. "Aku ambilkan, ya?"

"Kerupuk saja, Paman!" sambar Lee Young Yoo. "Masa permen! Itu tidak akan membuat kenyang!"

"Bagaimana kalau dua-duanya? Siapa tahu kakakmu mandinya lama!"

Berebut Lee Young Yoo dan Kim Yoo Jung menyodorkan kerupuk dan permen. Kim So Eun sampai tertegun heran. Bagaimana Kim Bum sudah bisa begitu akrab dengan anak-anaknya? Bahkan Baek Suzy tidak menampilkan wajah cemberut lagi!

Dia punya jimat apa, pikir Kim So Eun bingung. Kenapa dia bisa begitu menarik?

"Ibu..." Lee Young Yoo bergayut manja di lengan Kim So Eun. "Kata Paman Kim Bum, Aku harus tunggu sampai kita semua selesai makan. Tapi Aku tidak tahan, Bu. Aku bicara sekarang saja, ya?"

"Tentang apa, Lee Young Yoo?"

"Boleh, Paman?" Lee Young Yoo menoleh ke arah Kim Bum dengan ragu-ragu.

Kim So Eun ikut menoleh dengan curiga. Dan melihat lelaki itu mengangguk sambil tersenyum.

“Paman boleh tinggal sehari lagi ya, Bu?"

Sekarang Kim So Eun melirik Kim Bum dengan dahi berkerut. Tetapi Lee Young Yoo keburu menarik-narik tangan-nya. Terpaksa Kim So Eun menoleh lagi pada Lee Young Yoo.

"Aku terpilih jadi Cinderella, Bu!" tukas Lee Young Yoo dengan paras berseri-seri. "Besok sore latihannya di sekolah. Ibu datang, ya? Kalau aku mainnya bagus, boleh ikut dalam operet Cinderella bulan depan!"

"Dan Aku jadi peri-nya, Bu!" sela Kim Yoo Jung tidak mau kalah. "Aku yang membantu Cinderella agar bisa datang ke pesta dansa!"

"Ibu..." Lee Young Yoo meremas-remas lengan ibunya dengan manja. "Ibu datang ya? Besok sore ya, Bu?"

Kim So Eun merangkul anaknya. Dan mengecup rambutnya dengan lembut.

"Ibu pasti datang, Sayang."

"Benarkah, Bu?" mata Lee Young Yoo berpendar-pendar seperti berlian.

Kim So Eun mengangguk sambil tersenyum.

"Asal kau janji mau bermain bagus."

"Pasti, Bu! Mrs. Sung Yu Ri bilang, Aku punya bakat akting! Nanti kalau aku sudah bisa masuk TV, Ibu tidak usah kerja lagi. Biar aku yang cari uang!" kata Lee Young Yoo.

Tiba-tiba saja Kim So Eun merasa matanya panas.

"Benarkah kau mau membantu Ibu mencari uang?" tanyanya terharu.

"Betul, Bu!" seru Lee Young Yoo bersemangat sekali.

"Aku juga, Bu!" potong Kim Yoo Jung tidak, mau kalah. "Tapi aku tidak mau masuk TV. Aku mau naik pesawat saja. Jadi pilot!" Dia menoleh ke arah Kim Bum dengan lucunya. "Pilot gajinya besar ya, Paman?"

“Tapi pilot kan jarang di rumah, Kim Yoo Jung," kata Kim So Eun geli. "Ibu dengan siapa di sini?"

"Kan ada Park Ji Yeon Eonni, Baek Suzy Eonni, Lee Young Yoo Eonni, Nenek, Paman Kim Bum...."

Tiba-tiba Kim Yoo Jung seperti teringat sesuatu. Dia langsung mengubah pokok pembicaraannya.

"Paman Kim Bum boleh ikut besok sore ya, Bu?"

"Tapi Paman masih sakit, Kim Yoo Jung," sahut Kim So Eun hati-hati.

"Kata Nenek, Paman sudah sembuh! Besok mau pulang!"

"Ah, ya! Paman mau pulang besok...," Kim So Eun menggagap bingung. "Jadi..."

"Paman pulang lusa saja ya, Bu?" pinta Lee Young Yoo serius.

"Tapi Paman banyak urusan..."

"Sehari lagi tidak apa-apa," potong Kim Bum tenang-tenang. "Urusan lain bisa ditunda."

"Boleh ya, Bu?!" sorak Lee Young Yoo dan Kim Yoo Jung berbarengan. "Paman mau, Bu! Boleh ya, Bu? Paman boleh ikut?"

Kurang ajar, Kim So Eun melirik Kim Bum dengan kesal. Tetapi laki-laki itu cuma membalas tatapan berangnya dengan senyuman.

"Boleh ya, Bu?" desak Kim Yoo Jung lagi. "Paman boleh kan tinggal sehari lagi?"

"Biar bisa menonton-ku besok, Bu!" rengek Lee Young Yoo pula. "Paman tidak percaya aku pintar akting!"

Tidak sengaja Kim So Eun melirik Baek Suzy. Dan merasa heran bukan main. Baek Suzy memang tidak berkata apa-apa. Tetapi wajahnya tidak menampilkan protes. Tidak murung seperti biasa kalau ada teman ibunya yang tidak mau pulang! Kim So Eun malah merasa... diam-diam Baek Suzy juga menyokong keinginan adik-adiknya!

"Baiklah," Kim So Eun menghela napas berat. "Sehari lagi."

"Terima kasih." Kim Bum tersenyum puas. Dia mengedipkan sebelah matanya kepada Kim So Eun tanpa terlihat anak-anaknya.

Buru-buru Kim So Eun menunduk. Khawatir kedipan itu terlihat oleh Park Ji Yeon yang sudah muncul di ruang makan. Dia menatap ke sekeliling meja dengan curiga.

"Ada apa? Ada pesta apa? Siapa yang ulang tahun?"

"Ulang tahun!" gerutu Baek Suzy kesal. "Kami semua menunggumu makan!"

"Apa-apaan?" Park Ji Yeon mengerutkan dahinya dengan heran. "Tidak biasanya...."

"Mulai sekarang kita selalu akan makan bersama-sama, Park Ji Yeon," kata Kim So Eun sabar. "Kami tidak akan makan sebelum kau pulang."

"Makanya jangan pulang malam-malam, Eonni!" celetuk Kim Yoo Jung. "Aku sudah mengantuk!"

Park Ji Yeon menatap ibunya dengan curiga. Kemudian tatapannya beralih kepada Kim Bum. Dan kerut di dahinya bertambah.

"Ayo, duduklah," potong Kim So Eun sebelum komentar yang lebih pedas lagi diucapkan Park Ji Yeon. "Adik-adikmu sudah lapar."

Tanpa berkata apa-apa lagi, Park Ji Yeon langsung menarik sebuah kursi.

Bersambung…


Chapter 4
Chapter 3
Chapter 2
Chapter 1
Prolog

1 komentar:

  1. AQ menitikkaN AiR Mata di Part iniiiiiiiiiiii...
    AQ terharuuuuuuu ma thiz family....Sad THoorrr..

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...