Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Kamis, 30 Juni 2011

True Love (Chapter 6-Tamat)



Chapter 6
Kembalilah

Matahari menyibak malam. Fajar menyingsing. Kim Bum tertatih setengah berlari memasuki kamar Kim So Eun. Semalam ia bermimpi tentang gadis itu, bermimpi tentang Kim So Eun yang belum gemuk, saat-saat ia mengejar cintanya. Tapi ia tak percaya dan mencoba memahami bahwa itu hanyalah mimpi. Meskipun begitu kakinya melangkah cepat, menyeruak masuk ke dalam kamar Kim So Eun dan mendapati kekosongan di sana. Kasur yang disprei dengan rapi, lantai bersih, harum semerbak bunga lavender.

“Kim So Eun!” Kim Bum berteriak, mengelilingi setiap sudut rumah. “Kim So Eun!” teriaknya. “Kim So Eun! Buatkan aku sarapan! Heii…!” teriaknya kesal. Ia tak dapati sosok Kim So Eun dimanapun.

Han Hyo Joo sedang menyiram tanaman di halaman luar.

“Dimana Kim So Eun?” tanyanya pada gadis itu.

“Tidak tahu, Tuan,” jawab Han Hyo Joo menyembunyikan sesuatu.

Ia mematikan keran dan menggulung selang.

“Ibu dan Ayah mana?”

“Kan, belum pulang dari luar kota, Tuan…”

Han Hyo Joo pamit untuk menyiapkan sarapan.

“Han Hyo Joo! Siapkan juga pakaianku…!” teriak Kim Bum ke dalam rumah. Ia masih berdiri di depan halaman, memandangi beberapa mobil yang melintas pelan.

Kim Bum berjalan ke arah garasi. Ia sudah cukup kuat untuk bisa menyetir sendiri hari ini. Ia dan Jung So Min berencana pergi ke butik terkenal untuk memilih gaun pengantin berbahan satin yang pas untuk Jung So Min. Kim Bum mengeluarkan mobilnya dan menyetir perlahan-lahan. Sekonyong-konyong ia teringat pertengkaran terakhirnya dengan Kim So Eun semalam. Bayangan gadis itu muncul samar-samar di kaca mobil. Kim Bum menepis cepat. Sedari pagi hingga sore hari, ia tak melihat Kim So Eun di rumah. Ia merasa cukup kesusahan juga. Tak ada yang bisa ia suruh. Han Hyo Joo sibuk dengan urusan rumah, belanja, membersihkan perabotan.

Kim So Eun tak ada di mana-mana. Ia tak tahu harus menghubungi siapa.

“Masa bodo dengan gadis itu,” gumam Kim Bum mengambil keputusan. Ia mulai tancap gas, mobilnya pun memasuki jalan raya yang padat merayap.

Tak sampai satu jam, mobilnya sudah tiba di halaman apartemen Jung So Min. Gadis itu segera turun dari kamarnya dan mengecup pipi Kim Bum penuh arti. Mereka masuk ke dalam mobil dan melaju memasuki kawasan pertokoan di bilangan Jasmine Road. Jung So Min masuk ke dalam butik.

“Aku ke toko seberang dulu, ya, mau beli sesuatu untukmu,” ujar Kim Bum sambil membelai rambut Jung So Min.

“Baiklah, jangan lama-lama, ya. Aku butuh saranmu untuk memutuskan gaun mana yang terbaik untuk aku pakai.”

Kim Bum mengangguk lalu berjalan menjauh dari butik. Ia memasuki toko bunga yang terletak di seberang butik. Membeli seikat bunga mawar putih dengan pita merah jambu dan sebuah kartu bertuliskan puisi cinta. Ia ingin selalu ungkapkan rasa cinta itu pada Jung So Min. Meletakkannya di dalam hati yang terdalam.

Dari kejauhan Jung So Min keluar butik dan melambaikan tangan. Memanggil namanya. Kim Bum mengembangkan senyum, ia berlari, menerobos jalan raya, menuju cahaya hatinya di sana.

“Kim Bum! Awas!” teriak Jung So Min penuh kepanikan.

Sebuah BMW Merah melaju kencang ke arah Kim Bum.

Lelaki itu awas dan dengan sigap melompat untuk menghindar. Maut berhasil ia kalahkan, mobil BMW itu terus berlari, namun kaki Kim Bum terasa nyeri tak kuasa menahan beban. Ia pun kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Kepalanya membentur trotoar jalan. Darah berceceran… merah. Membasahi bunga mawar putih yang tadi ada di genggamannya, kini jatuh tepat di samping kepala Kim Bum. Warna putih itu memerah. Darah merembes pelan. Semua orang berkerumun. Jung So Min menangis panik.

“Kim Bum! Kim Bum… bangun… tolong… tolong saya… dia tunangan saya!”

* * *

Ia gelisah, kepalanya menoleh ke kanan ke kiri, matanya masih terpejam. Ribuan bayangan diputar dalam mimpinya bagaikan layar film yang tak putus-putus. Keringatnya mengalir deras. Rasa panas menjalari tubuhnya, ia seperti dihempaskan ke dalam jurang yang terdalam. Jatuh, melayang, berdebam hingga ke dasar. Ia terbangun. Berteriak.

“Kim So Eunnn….!” Kim Bum terengah.

Matanya nyalang mencari sosok gemuk itu. “Di mana Kim So Eun?”

Dokter Park Jae Jung dan seorang perawat bersiap untuk menenangkan kalau-kalau Kim Bum menjadi tak terkendali. Hati Jung So Min kecut. Ia bertanya, mengapa bukan namanya yang dipanggil oleh Kim Bum? Mengapa harus Kim So Eun?

“Tn. Kim Bum? Anda sudah sadar?” Dokter Park Jae Jung memegang luka di kepalanya yang diperban. “Syukurlah, luka di kepala anda tidak terlalu parah.”

“Di mana istri saya?” tanya Kim Bum. Ia mengucak mata dan menatap Jung So Min yang meraih tangannya lalu menggenggam erat. Seolah tak ingin kehilangan.

Sekilas mereka beradu pandang.

“Hei… anda Jung So Min bukan?”

“Iya, Kim Bum, aku Jung So Min. Tunanganmu. Sebentar lagi kita akan menikah.”

Kim Bum menarik tangannya pelan-pelan dari genggaman Jung So Min. “Maaf, bukankah anda Jung So Min? Public Relation New Moon Entertainment? Bagaimana… bagaimana dengan resepsi pernikahan saya? Mana istri saya… mana Kim So Eun?”

Jung So Min berjalan mundur. Ia menahan kesedihannya.

Apakah ingatannya pulih?

“Dokter… apa yang terjadi pada saya? Kepala saya sakit… tapi sepertinya ada memori yang hilang… Saya… Saya seperti melupakan sesuatu, di mana istri saya?” tanya Kim Bum bertubi.

“Tuan Kim Bum,... selama satu bulan ini anda mengalami amnesia. Berkat benturan kembali di kepala anda tadi, mmm,... sepertinya ingatan anda perlahan pulih,” papar Dokter Park Jae Jung.

Kim Bum memijat-mijat kepalanya. Ia reka-reka kembali kejadian demi kejadian ketika ia sedang mengalami amnesia. Ditatapnya Jung So Min… ia ingat ia pernah mencintai gadis itu.

“Kim Bum…” Jung So Min memeluknya erat.

Jung So Min mendesak tubuh Kim Bum hingga merapat di dinding apartemennya. Gadis itu memakai gaun malam yang menggoda. Matanya liar menelusuri setiap jengkal lekuk atletis tubuh Kim Bum. Lelaki itu mengerang kecil. Tangan Jung So Min mencengkram kuat.

“Aku ingin malam ini menjadi milik kita… aku tak ingin kehilangan dirimu.”

Kaki Kim Bum masih terasa nyeri, lututnya belum sempurna untuk sembuh.

Ia tak kuasa melepaskan diri. Namun cinta mampu memberikannya tenaga, mendorong gadis itu hingga terjungkal ke belakang. Jung So Min meringis menahan sakit di sikunya.

“Kenapa, Kim Bum? Bukankah kau mencintaiku? Lihat cincin ini? Kau sudah melamarku Kim Bum! Kau mencintaiku …” tangis Jung So Min meledak.

Hatinya patah dan patah.

“Jung So Min… maaf. Aku ingat semua kejadian yang kita lalui bersama saat aku amnesia. Tapi perasaan cintaku pada Kim So Eun tak mungkin bisa terganti."

Jung So Min menatapnya dengan terluka.

"Aku salah Jung So Min… tapi bukan seperti ini cara mengakhirinya.” Kim Bum melepaskan cincin tunangan dari tangannya. “Aku tak pernah merasa benar-benar mencintaimu. Maaf, Jung So Min….” Ia letakkan cincin itu di atas meja lalu dengan tertatih membuka pintu, keluar dari kamar apartemen.

Jung So Min menjerit kesal, bersamaan dengan debaman pintu yang terbanting.

“Kim Bum! Kim Bum! Kim Bum… aku tidak peduli ingatanmu hilang berapa kali pun aku tak peduli. Aku hanya ingin kau jadi milikku Kim Bum….” Ia mengerang lepas. Seperti binatang buas kehilangan mangsa untuk makan malamnya. Jung So Min terisak. Menahan pilu.

* * *

“Kau mencari Kim So Eun?” tanya Yoon Eun Hye dingin.

“Tolong beritahu aku, Nunna… aku mencintainya. Mencintainya apa adanya,” Kim Bum memohon. Ia runtuhkan segala ketahanan dirinya, ia leburkan tangis di depan kakak iparnya. Ia tak peduli bila predikat jantan menghilang dalam dirinya.

Ia hanya menyesali, kehilangan Kim So Eun lebih menyakitkan daripada kehilangan segala memori.

“Kim So Eun tidak ada di sini.”

“Yoon Eun Hye Nunna, tolong mengertilah. Aku tahu selama aku amnesia aku memperlakukannya dengan tidak baik. Tapi aku mohon Nunna, aku ingin minta maaf padanya. Aku akan berjalan sejauh apapun dengan kaki pincang ini, dengan kepala yang terluka ini pun aku rela bila disengat panas matahari. Asalkan aku bisa bertemu istriku.”

“Kim Bum… pernikahan itu bukan main-main!”

“Aku tak pernah berniat untuk main-main.”

“Tapi kau juga sudah melamar Jung So Min, bukankah kalian juga akan menikah?”

“Itu di luar kesadaranku sebagai seorang Kim Bum. Itu semua diluar kendaliku….”

“Kau tahu kalau Kim So Eun terluka?”

Kim Bum menunduk lemah.

Ia tahu semua itu bagaikan roda permainan yang sulit untuk ia mengerti. “Aku berjanji akan menyembuhkan lukanya…” bisik Kim Bum lirih.

* * *

Lantunan derak roda kereta saat melintasi rel menuju Gwangju terasa bagaikan nada-nada kepedihan yang hinggap di hati Kim Bum. Matanya terpejam dan sosok Kim So Eun ada di sana. Pada mimpinya pada harapannya. Kim Bum mengenggam maafnya dalam diam, ia sematkan cintanya jauh-jauh di dalam hati agar tak ada satu pun yang sanggup merebutnya kembali.

Stasiun Break Dawn menanti, memberikan secercah sinar pagi pada para pencari mimpi. Kim Bum bergegas turun dari kereta. Ia berjalan menerobos keramaian. Hiruk pikuk calon penumpang yang hendak berangkat atau menanti kedatangan sanak saudara mereka. Kakinya terseok, lututnya menciptakan gesekan kecil, menciptakan nyeri. Kim Bum tak peduli, pun rasa sesak di dadanya. Lelah dan peluh yang jatuh satu-satu.

Ia tak peduli. Terduduk di bus jurusan Gwangju-Pyeongtaek, menikmati perjalan yang penuh guncangan. Ia menjaga rindunya agar tetap utuh. Sesekali air matanya menetes. Sakit rasanya mengingat ia pernah menyakiti Kim So Eun.

Kim Bum tiba di dusun St.Vyest. Berjalan tertatih melewati jalan setapak. Sesekali ia istirahat di kedai kopi. Melanjutkan perjalanan melintasi daerah persawahan. Hingga kakinya tak sanggup lagi berjalan ia bersimpuh di depan pekarangan rumah Ibunda istrinya. Sang Ibu baru saja selesai membereskan cucian. Ia keluar rumah dan mendapati Kim Bum.

“Kim Bum… Kim Bum?”

Kim Bum mendongak, wajahnya basah. Sembab. “Ibu… aku mencintai Kim So Eun apa adanya. Aku mencintainya, Bu….”

Ibu ikut bersimpuh. Memeluk anak menantunya itu. Membelai punggungnya yang letih. “Kim Bum… ingatanmu sudah pulih? Terima kasih Tuhan. Masuklah, Kim Bum.”

Ibu memapah Kim Bum memasuki gerbang kehidupan baru. Di rumahnya yang sederhana.

Kim So Eun keluar dari kamar mandi. Tangannya memegang sesuatu.

Wajahnya berbinar cerah.

“Kim So Eun!” serta merta Kim Bum berlari kecil, terseok, menghamburkan dirinya ke dalam pelukan Kim So Eun. Gadis itu melepaskan benda di tangannya hingga terjatuh. Ia tak sanggup berkata-kata.

“Maafkan aku, maafkan aku Kim So Eun….”

Ibu dan Song Hye Gyo saling pandang dan melempar senyum. Kim So Eun melepaskan pelukan Kim Bum. Lelaki itu kebingungan. Istrinya mengambil benda yang tadi terjatuh. Kim Bum mengenggam tangannya. “Kim So Eun dengarkan aku… aku minta maaf, kemarin kau tahu kalau aku amnesia. Tapi sungguh Kim So Eun, aku khilaf… aku …”

“Sssstt…” Kim So Eun menempelkan jari telunjuknya ke bibir Kim Bum yang masih terbuka. Lelaki itu diam. Hening. Kim So Eun menyodorkan sebuah benda kecil, berbentuk persegi panjang, berbahan kertas, dengan dua garis merah membentuk horinzontal.

“Kau hamil?” mata Kim Bum terbelalak.

Kim So Eun mengangguk.

Tawa berderai.


Tamat
Copyright Sweety Qliquers

True Love (Chapter 5)



Chapter 5
Kesabaran Seorang Istri


Kesabaran seorang istri akan diuji bila lelakinya mencintai wanita lain. Kim So Eun menenangkan hati dan pikirannya. Ia tahu Kim Bum masih mencintainya… meski ia tak pernah rela bila rasa cinta itu hilang bersama dengan sebagian memori yang lenyap pada pikiran Kim Bum. Rumah orang tua Kim Bum terlihat lengang di siang hari. Selepas sarapan kedua orang tuanya segera pergi ke kantor. Kim So Eun yang membujuk Kim Bum untuk bisa mandi pagi, menyuapi lelaki itu agar mau makan. Meski berulang kali Kim Bum melepeh makanan yang ada di mulutnya.

“Aku hanya mau makan bila makanan itu berasal dari tangan Jung So Min!”

“Kim Bum, kau harus makan… biar tidak sakit. Aku berjanji… aku minta Jung So Min untuk datang menemuimu…” ujar Kim So Eun dengan suara bergetar.

Ia menahan perih di hati ketika Kim Bum akhirnya mau menerima suapannya sambil sesekali membayangkan wajah Jung So Min. Air mata mengalir tipis-tipis, Kim So Eun pergi ke kamar mandi.

Ia tatap wajah kusutnya di cermin, kurang tidur, kurang makan, kurang sehat… kantong matanya membesar. Kim Bum… cinta seperti apa yang kau rasakan pada Jung So Min? Kau baru beberapa kali berjumpa dengannya. Bahkan saat kau amnesia, kau hanya tujuh hari bersamanya. Ya… dan tujuh hari sudah cukup membuat hatimu mencintainya sedemikian dahsyat. Hingga rindu di dadamu menyakiti hatiku… istrimu, Kim Bum.

Kim Bum berteriak memanggil Kim So Eun. Meminta gadis itu untuk mengambilkannya minum. Setelah meneguk air putih pemberian Kim So Eun, Kim Bum segera menyambar kedua kruknya. Ia berjalan pelan-pelan ke pintu depan kemudian membuang satu kruknya ke lantai.

“Aku hanya perlu satu kruk untuk berjalan!” ujarnya. Kim So Eun membantu Kim Bum berjalan meski berkali-kali lelaki itu menepiskan tangannya. Dengan sabar Kim So Eun memapah ketika Kim Bum jatuh karena kruknya tersandung batu. Dengan penuh kelembutan pula ia bersihkan luka di kaki Kim Bum yang tergores batu kerikil yang tajam. Ia seka keringat yang bercucuran di dahi suaminya.

“Tak usah terlalu dipaksakan, Kim Bum… pelan-pelan saja,” pinta Kim So Eun.

“Tidak bisa, aku harus cepat bisa berjalan. Aku tahu kalau Jung So Min ada di New Moon Entertainment dan aku akan menjemputnya!” tegas Kim Bum sambil menjauhkan tangan Kim So Eun yang masih menyeka keringatnya.

“Untuk apa menjemput Jung So Min?” tanya Kim So Eun, ia disergap rasa takut.

“Untuk menyatakan cintaku padanya,” jawab Kim Bum.

Petir menyambar hati gadis itu.

Kim So Eun terduduk di pinggir taman, kakinya lemas.

“Kalau dia menerima cintaku… aku akan melamarnya,” mata Kim Bum menerawang merajut arakan angkasa di hatinya. Menata mimpi indah bersama Jung So Min. Ia bangkit dari duduk dan berjalan pelan-pelan masuk ke dalam rumah, dengan satu kruk di tangannya.

* * *

“Jung So Min, kau sedang apa?” tanya Park Shin Hye saat mendapati Jung So Min sedang mengobrak-abrik folder file di laci kabinet ruang arsip New Moon Entertainment.

Meja sekretaris berantakan, dipenuhi oleh file-file yang berserakan. Beberapa buku berjatuhan ke lantai. Park Shin Hye memungutinya dengan merengut. “Apa yang kau cari, Jung So Min?”

“Park Shin Hye tolong bantu aku…” Jung So Min terlihat panik sambil terus memeriksa satu per satu kertas di dalam folder. “Bantu aku mencari alamat Kim Bum….”

“Kim Bum? Kim Bum siapa?” Park Shin Hye menyusun kembali buku-buku di atas meja kerjanya.

“Seorang klien yang pernah aku ceritakan padamu. Seorang lelaki yang mampu membuat hatiku bergetar…” Jung So Min mengatur napasnya yang naik turun.

“Untuk apa?”

“Aku ingin bertemu dengannya,” Jung So Min menyandarkan pinggangnya ke pinggir meja, “aku merasakan kerinduan yang amat sangat. Aku ingin berjumpa….”

“Jung So Min!” Park Shin Hye mencubit pipi sahabatnya, “bukankah Kim Bum sudah menikah?”

“Tapi sekarang dia hilang ingatan, Park Shin Hye… dan aku tahu kalau dia mencintaiku! Dia bahkan lupa pada istrinya! Ini kesempatan bagiku untuk mendapatkannya….”

“Jangan gila, Jung So Min… lihatlah, cinta sudah membuatmu jadi kehilangan kendali. Untuk mencari nama Kim Bum seharusnya kau bisa mencarinya dengan runut di biodata klien, tidak harus membongkar semuanya seperti ini. Itu tandanya kau sudah tidak sehat, Jung So Min!”

Jung So Min membodohi dirinya sendiri. Dengan cekatan Park Shin Hye mencari beberapa folder dan mengambil sebuah file. Ia serahkan selembar kertas berisi biodata Kim Bum pada Jung So Min.

“Lihat… aku bisa mencari biodata Kim Bum dengan mudah, bukan?” Jung So Min segera merebut kertas di tangan Park Shin Hye. “Jung So Min, jangan ganggu hubungan rumah tangga orang lain. Masih banyak lelaki yang bisa kau cintai.”

“Tidak, Park Shin Hye… seumur hidup hanya Kim Bum yang mampu membuatku hatiku bergetar. Hanya dia. Aku yakin aku mencintainya. Aku tidak peduli dia sudah menikah atau belum. Asalkan aku mencintainya dan dia mencintaiku….” Jung So Min berpamitan lalu segera keluar ruangan. Ia meninggalkan kekacauan di sana-sini. Park Shin Hye membereskan folder dan file-file yang berserakan. Ia harus menyusun ulang semua itu, sambil menggeleng tak habis pikir atas ulah sahabatnya.

* * *

Kim So Eun membantu Han Hyo Joo (Pembantu Rumah Tangga) memasak di dapur. Sambil sesekali melirik ke arah Kim Bum yang sedang asyik menonton film televisi. Senja sudah melukis jingganya di ufuk barat. Kim So Eun selesai menata cream cokelat stroberi di atas cake yang ia buat khusus untuk Kim Bum.

“Yang sabar, ya, Nn. Kim So Eun…” ujar Han Hyo Joo bijak saat memberikan nampan kecil berbentuk hati pada Kim So Eun. Gadis itu mengangguk pelan dan mengumpulkan kekuatan untuk menemui suaminya.

Meski ia tahu hati suaminya kini telah diisi oleh wanita lain. Untuk sekali saja, Kim So Eun berharap bisa menikmati malam ini berdua sambil makan cake bersama. Empat tahun berpisah namun Kim So Eun tahu betul kebiasaan kekasih hatinya itu. Mereka telah saling berbagi melalui internet, saling berkasih dengan telepon selular… tak ada alasan bagi Kim So Eun untuk melupakan makanan kesukaan Kim Bum. Cake cokelat stroberi.

“Sayang…” sapanya lembut. Ia duduk di samping Kim Bum.

“Kau jangan duduk di sini!” ketus Kim Bum, “sempit!” jelas sekali tak ada nada bercanda dalam suara lelaki itu. Hati Kim So Eun tertohok. Ia berdiri pelan-pelan seraya menyerahkan sepiring cake cokelat.

“Untuk siapa?”

“Untukmu, mungkin mau nyemil sembari menunggu Han Hyo Joo selesai membuat makan malam,” Kim So Eun memberikan senyum terindahnya.

“Untukmu saja,” pandangan Kim Bum kembali pada televisi, “terlalu banyak camilan bisa membuat badan atletisku ini gemuk,” ia menatap Kim So Eun. “Seperti kau.” Kim Bum memain-mainkan remote dan memindahkan channel.

Seseorang memencet bel rumah. Han Hyo Joo segera membuka pintu takut kedua insan yang sedang mengobrol itu terganggu. Jung So Min berdiri di depan pintu, mendengar keributan kecil di ruang tengah. Han Hyo Joo belum memintanya untuk masuk ketika gadis itu berjalan ke arah ruang tengah.

Terdengar suara Kim Bum, “Menurutku, kalau kau diet pasti akan ada lelaki yang cinta padamu.”

“Tapi kau sudah mencintaiku, Kim Bum…” cake di tangan Kim So Eun masih terjulur tepat di wajah Kim Bum. Lelaki itu kesal, ia ambil cake itu dan menumpahkannya ke atas kepala Kim So Eun. Cream berhamburan di wajah gadis itu. Rasa manisnya bercampur dengan asin air mata.

“Dengar, berapa kali aku harus katakan kalau aku tidak pernah mencintaimu! Aku hanya mencintai Jung So Min! Hanya Jung So Min!”

“Kim Bum,” panggil Jung So Min dengan hati dipenuhi bunga. Baru kali ini ia merasakan sebuah pernyataan cinta dari orang yang juga ia cintai. Ia menahan haru.

Kim Bum menoleh, mendapati sosok Jung So Min berdiri mematung di depan ruang tengah, ia mengambil satu kruknya lalu berjalan pelan. Didorongnya tubuh Kim So Eun yang menghalangi, gadis itu menyingkir memberikan ruang untuk suaminya menghampiri wanita lain. Kim So Eun dan Kim Bum saling memunggungi. Di antara mereka bagaikan ada lorong, semua senyap dan menjadi bayangan putih. Hanya ada Jung So Min, Kim Bum dan Kim So Eun. Kelabu menggelayut di wajah Kim So Eun, gadis itu membersihkan cream cake di wajahnya lalu berlari kecil, masuk ke dalam kamar mandi.
“Jung So Min… kemana saja kau selama ini?” suara Kim Bum terdengar samar oleh Kim So Eun di dalam kamar mandi.

“Kim Bum… apa benar kau mencintaiku?” tanya Jung So Min. “Padahal pertemuan kita begitu singkat.”

Kim Bum tak menjawab, ia memeluk Jung So Min, menjatuhkan kruknya di lantai. Dibenamkan wajah lelahnya pada bahu kecil Jung So Min. Han Hyo Joo menahan geram, namun ia tak kuasa berkata. Ditinggalkannya dua insan yang dimabuk cinta itu.

Deras kepedihan mengalir pada kelopak mata Kim So Eun. Ia sesak. Terisak, sendiri di kamar pengap.

Hari berlalu dengan kesendirian di hati Kim So Eun. Ia curahkan cinta yang masih menggumpal dalam raga, ia berikan sepenuh hati untuk Kim Bum. Ia rawat lelaki itu hingga lututnya sembuh dan berhasil berjalan tanpa kruk meski masih tertatih. Dan air mata terus mengalir di pipinya, melintasi lehernya hingga menggenang di dadanya. Terlalu banyak yang tercurah setiap kali Jung So Min datang bertandang berbincang mesra dengan Kim Bum dan lelaki itu tak menggubris kasih Kim So Eun. Bahkan Kim Bum seringkali membentaknya. Membuat luka di hati semakin menganga.


* * *

“Sudah tiga minggu Ibu dan aku di sini,” ujar Song Hye Gyo kakak pertamanya itu ketika bertamu ke rumah orang tua Kim Bum. “Suamiku sudah pulang sejak minggu kemarin. Sepertinya Aku dan Ibu sudah harus kembali ke St.Vyest, Kim So Eun.”

Kim So Eun menyuguhkan tiga gelas sirup dingin segar untuk kedua kakaknya dan Ibunda tercinta. Ia duduk di samping Yoon Eun Hye, masih mengenggam nampan.

“Kau baik-baik saja di sini? Bagaimana Kim Bum? Apakah sudah bersikap baik?” tanya Ibu.

Kim So Eun mengangguk. Tak mungkin ia katakan dengan jujur bahwa separuh jiwanya itu kini sedang berjalan-jalan di taman kompleks bersama Jung So Min. Melatih kemampuan lutut Kim Bum yang membaik.

Yoon Eun Hye menegak sirup jeruknya. Segar. “Besok Ibu berangkat….”

“Antar Ibu ke bandara, ya… ajak Kim Bum juga,” pinta Song Hye Gyo.

“Jaga suamimu baik-baik, Kim So Eun… kasihan dia, ingatannya belum pulih,” ujar Ibu.

Kim So Eun menatap wajah Ibu dan Song Hye Gyo bergantian. Mulutnya membuka kecil.

“Ibu… aku…” air matanya menetes satu-satu.

* * *

Strawberry Resto. Dengan seluruh dinding didominasi warna ungu. Puluhan vas bunga berisi bunga anggrek segar menghiasi setiap sudut ruangan. Pada setiap meja terdapat satu tangkai bunga mawar merah. Lilin-lilin kecil menyala, menyebarkan sinar temaram. Dentingan suara piano menghantarkan nada-nada cinta Mozart pada malam yang sunyi. Sesunyi hati Kim So Eun yang berdiam sendiri, tepat di meja pojok dekat dengan layar tiga dimensi, air terjun yang mengalir deras, dan sepasang kupu-kupu terbang bahagia.

Hatinya hampa. Ia mencoba berserah diri pada Tuhan. Hanya Dialah yang mampu merubah keadaan. Yang mampu memutar balikkan perasaan, yang sanggup menghilangkan segala kenangan. Ya, cintanya dengan Kim Bum memang sudah dijaga selama empat tahun. Namun kebersamaannya dengan lelaki itu tak lebih dari dua minggu. Satu minggu sebelum ia pergi ke Amerika dan satu minggu setelah mereka berjumpa, menikah dan resepsi yang singkat. Semua dirasakan Kim So Eun seperti mimpi. Bunga tidur yang membuatnya larut dalam sedih.

Mungkin Tuhan menghendaki sesuatu yang berbeda. Mungkin tak ada tali cinta yang mengikat Kim So Eun dan Kim Bum… karena jodoh masihlah sebuah misteri yang sulit terpecahkan.

Suara tepuk tangan tiba-tiba menggema menjadi riuh. Kim So Eun terkesiap dari lamunan, déjà vu melanda dirinya. Ketika beberapa minggu yang lalu Kim Bum melamarnya. Ia berdiri seperti banyak pengunjung lain yang juga berdiri dan memberikan tepuk tangan hangat. Pada sepasang manusia yang memadu kasih di tengah restoran. Sang pria menggamit lengan putih si perempuan, ia mengecupnya sebelum kemudian melingkarkan sebuah cincin permata putih ke dalam jari manisnya yang lentik.

Dunia sudah runtuh bagi Kim So Eun.

“Jung So Min, aku mencintaimu… menikahlah denganku,” pinta pria itu.

“Aku terima, Kim Bum… aku terima…” jawab Jung So Min.

Dunia benar-benar runtuh di hati Kim So Eun.

Malam itu mereka bertengkar.

“Aku istrimu Kim Bum… istrimu!” pekik Kim So Eun.

Ia ada di kamar Kim Bum. Laki-laki itu tak pernah mengizinkan Kim So Eun memasuki tempat pribadinya. Pun untuk saat ini, ia coba usir perempuan itu agar pergi.

“Aku tidak pernah menikah!”

“Lalu bagaimana dengan surat nikah ini, foto-foto ini, cincin di jari ini…?”

“Itu semua hanya rekayasamu saja, Kim So Eun! Karena berulang kali aku mencoba mengingat-ingat tetap saja aku tak bisa ingat bahwa aku pernah mencintaimu, aku tak pernah ingat pernah menikah denganmu! Semua itu lelucon yang tidak lucu!”

“Kim Bum… tidak ada rekayasa, aku memang benar-benar istrimu!”

Plaak… tangan lelaki itu melayang begitu saja di pipi Kim So Eun. Panas.

“Aku istrimu Kim Bum… aku mohon, ingat aku kembali… ingat cinta kita!”

Serta merta kepala Kim Bum berdenyut…

Setiap kali ia berusaha mengingat Kim So Eun, setiap kali pula ia kesakitan. Ia mengerang. Menggeram. Mengusir gadis itu pergi menjauh. Kim So Eun mendekat namun tangan itu ditepis hebat oleh Kim Bum yang mulai meringkuk.

Samar-samar lelaki itu merasakan bayangan berkelebat. Sosok Kim So Eun saat masih langsing, kurus, dengan wajah tersenyum. Ketika mereka main gitar bersama di Taman Century. Saat Kim Bum harus pergi ke Amerika… hanya itu saja lalu lenyap. Hitam. Pekat. Gelap. Dan Kim Bum terlelap dalam sakitnya.

Bersambung…

True Love (Chapter 4)



Chapter 4
Ketika Cinta Masih Juga Terlupakan

Hari keempat Kim Bum di rumah sakit, Kim So Eun belum sanggup untuk menjenguk suaminya kembali. Hatinya masih terluka atas perlakuan Kim Bum yang masih didera amnesia itu. Hanya Jung Yong Hwa dan beberapa teman kantor Kim Bum yang berkunjung. Menceritakan sosok Kim Bum, berusaha mengembalikan ingatan Kim Bum tentang mereka namun yang terjadi malah membuat kepala Kim Bum sakit dan nyeri. Dan Jung So Min yang setia datang dan merawat Kim Bum dengan penuh cinta, berharap cintanya dapat dibalas oleh lelaki itu.

Di hari kelima ia berbaring di rumah sakit, Kim Bum sudah mulai bisa melakukan terapi untuk berdiri. Yang menanganinya adalah Suster Yoona. Pelan-pelan ia memegang kruk.

Lututnya masih terasa nyeri tapi sudah mampu untuk digerakkan.

“Hati-hati, Tn. Kim Bum…”

Suster Yoona memegangi lengannya ketika Kim Bum hilang keseimbangan.

“Apa boleh keluar? Ke taman mungkin? Bosan di kamar terus,” keluh Kim Bum.

“Ya, nanti setelah anda berhasil berjalan bolak balik dari pintu kamar sampai ke kasur. Kalau belum terbiasa memakai kruk, bahaya bila jalan-jalan ke taman. Mungkin butuh waktu satu minggu sampai anda benar-benar bisa jalan. Sekarang kita latih keseimbangan dulu.”

Kim Bum mengerang kesal. Ia membanting satu kruknya ke lantai. Suster Yoona mencoba menenangkan, mengambil kruk itu kembali. Sekuat tenaga ia memberikan pengertian pada Kim Bum. Lelaki itu meledak-ledak, tak terima permintaannya ditolak.

“Saya mau ke taman!” teriak Kim Bum, urat di lehernya terlihat menyembul.

Suster Yoona menutup kedua telinganya. Ia kaget bukan main. Yoon Eun Hye masuk ke dalam kamar ditemani Kim Yoo Bin dan suaminya.

“Suster tinggalkan saja dia, biar saya yang urus,” Yoon Eun Hye meletakkan buah-buahan di atas meja tunggu. “Saya kakak iparnya.” Suami Yoon Eun Hye menggendong Kim Yoo Bin. Suster Yoona memberikan sedikit pengarahan, apa yang harus Kim Bum lakukan hari ini dan obat-obatan apa saja yang harus ia minum. Setelah itu ia pergi sambil mengusap-usap telinganya.

Kim Bum duduk di kasur. Ia membuang kedua kruknya begitu saja di lantai. Kepalanya masih pusing, sesekali matanya berkunang-kunang. Ditatapnya Yoon Eun Hye dan suami serta Kim Yoo Bin dengan wajah bingung bercampur kesal.

“Siapa yang tadi bilang kakak iparku?” tanyanya dingin.

Yoon Eun Hye memberikan senyum manis, “aku Yoon Eun Hye kakak iparmu, Kim Bum.” Yoon Eun Hye memungut kruk yang tergeletak di lantai lalu menyandarkannya ke tembok.

“Apa aku harus pergi, sayang?” tanya suami Yoon Eun Hye. Kim Yoo Bin yang berada dalam gendongannya tak mau diam. Terus menggeliat merengek meminta mainan.

“Maaf, ya, Suamiku… jadi merepotkan,” ujar Yoon Eun Hye.

Kim Yoo Bin berontak lalu turun dari gendongan sang ayah. Ia menghambur ke dalam pelukan Kim Bum. Lelaki itu terkejut, emosinya bagai disiram embun pagi ketika melihat mata Kim Yoo Bin yang polos dan senyum gadis cilik itu.

“Paman Kim Bum… Paman Kim Bum… cepat cembuh, ya!” Kim Yoo Bin mencium pipi Kim Bum. Raut keras lelaki itu melunak, ia tersipu dan memalingkan wajah, Kim Yoo Bin menjauh dari Kim Bum dan kembali ke pelukan sang Ayah. “Ayah ayo kita beli mainan….”

Suami Yoon Eun Hye menggendong anaknya lalu mengecup pipi istrinya. Ia meninggalkan Yoon Eun Hye berdua dengan Kim Bum yang masih tertunduk malu. Kim Bum memegangi pipinya bekas kecupan sang gadis cilik.

“Apa aku sudah menikah?” tanya Kim Bum.

“Iya! Dan istrimu adalah Kim So Eun,” Yoon Eun Hye duduk di kursi, berhadapan dengan Kim Bum. “Wanita gemuk yang kemarin datang kemari.”

Kim Bum terperangah. “Haha…” tawanya hambar. “Kemarin ada wanita gemuk yang mengaku jadi istriku. Hei… anda itu cantik dan langsing, apa tidak salah anda itu kakaknya?”

“Kim So Eun itu istrimu, kau mencintainya bukan karena fisik Kim Bum. Cobalah kau ingat.” Pelan-pelan Yoon Eun Hye berbicara.

Kim Bum terdiam. Kepalanya berdenyut pelan lalu sebuah memori merambat-rambat mencoba melesak masuk ke dalam ruang kosong dalam otaknya. Kim Bum meringis kesakitan. Ia memegangi kepalanya dengan kedua tangan. “Jangan suruh aku untuk mengingat-ingat….”

“Baiklah,” Yoon Eun Hye menumpukan kaki kanannya pada kaki kiri, “aku akan ceritakan kisah cintamu dan Kim So Eun.” Senyumnya nakal.

“Tidak perlu!”

“Dahulu Kim So Eun langsing dan cantik. Kau begitu mencintai dan memujanya. Berkali-kali kau nyatakan cinta pada Kim So Eun, ia menolak. Sampai akhirnya kau mau pergi ke Amerika dan ia menerimamu.”

“Yeaah… seperti cerita dongeng.”

Kim Bum menutup telinga dan berdendang tak jelas.

Yoon Eun Hye tak peduli. Ia meneruskan bercerita. Tentang masa-masa penantian Kim So Eun, masalah yang menimpa keluarga mereka, sebab Kim So Eun menjadi gemuk, hingga ketulusan cinta Kim Bum yang membawa mereka pada pernikahan yang suci.

“Kau boleh membuka telingamu, ceritanya sudah usai,” Yoon Eun Hye tersenyum senang ketika Kim Bum menjauhkan telapak tangannya dari telinga.

Pandangan Kim Bum kosong ke arah lantai. “Tapi aku tak merasakan getaran apapun. Aku hanya merasakan getaran hebat pada seorang gadis.”

“Kim So Eun?”

“Bukan…” jawab Kim Bum.

“Selamat pagi, Kim Bum!” sapa riang Jung So Min yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar. Ia membawakan dua ikat bunga segar dan langsung diletakkan di dalam vas. Sekilas ia menatap tak senang ke arah Yoon Eun Hye meski akhirnya ia harus tetap bersikap ramah.

Binar mata Kim Bum terlihat cerah. Yoon Eun Hye menangkap perubahan itu. “Jung So Min… apa kau mau mengajarkanku berjalan dengan kruk?”

“Tentu saja Kim Bum, oh iya… apa kau sudah sarapan?” Kim Bum menggeleng manja, ia menarik tangan Jung So Min agar mendekat padanya. “Iya, nanti aku suapi.”

“Hei!” Yoon Eun Hye mulai panas, “Kim Bum itu suami adikku. Kau tak sepantasnya seperti itu Jung So Min. Biar aku yang suapi dia.”

“Diam!” Kim Bum membentak kembali, “kau keluar saja. Aku tidak pernah merasa menikah dengan Kim So Eun…” kepala Kim Bum kembali berdenyut kencang. “Oughh… ugh…. Kim So Eun? Kim So Eun?”

“Kau mengingat sesuatu?” cecar Yoon Eun Hye.

“Iya… dia… dia… tidak!” Kim Bum merebahkan dirinya di kasur, kakinya menekuk ke badan. “Jung So Min kepalaku sakit… sakit!”

“Biar aku panggilkan dokter,” Yoon Eun Hye panik.

Ia keluar kamar dan kembali beberapa menit kemudian bersama Dokter Park Jae Jung dan dua perawatnya. Jung So Min menyingkir, Kim Bum masih meringkuk, mengerang.

* * *

Kim So Eun melalui malam-malam sunyi tanpa kekasih di sisi tempat tidurnya. Kasur besar yang seharusnya dihuni oleh dua manusia kini seperti hamparan kesepian yang mencabik-cabik. Ia bolak-balikkan badannya resah. Teringat kata-kata Kim Bum yang menyakitkan saat di rumah sakit.

Gemuk! Jelek! Dia bukan istriku!

Kim So Eun meneteskan samudera kesedihannya. Ia benamkan wajah pada bantal berbentuk hati pemberian suaminya. Apa arti pernikahan ini? Apa arti semua ini? Batinnya berontak.

“Karena ketika lelaki dan wanita menjadi sepasang suami istri, hati mereka telah menyatu, Kim So Eun.”

Kim So Eun terduduk di tepi kasur. Ia pandangi pigura besar yang belum terisi foto, masih teronggok di sudut kamar. Seharusnya kini pigura itu berisi foto resepsi pernikahannya bersama Kim Bum. Pandangannya beralih pada meja rias. Bingkai-bingkai kecil berisi akad nikah mereka berdua tertata rapih. Ada kebahagiaan terpancar dalam foto itu. Kim So Eun menyunggingkan senyum.

“Yoon Eun Hye Eonni benar… sepasang suami istri, hatinya sudah menyatu.” Gumam Kim So Eun, “besok pagi aku akan segera ke rumah sakit… ah… tidak! Harus malam ini! Aku istrinya! Aku berhak untuk merawatnya. Aku berhak atas dirinya.” Kim So Eun beranjak menuju lemari. Ia membawa beberapa potong pakaian miliknya. Membuka lemari es dan mengeluarkan beberapa camilan. Kalau saja Kim Bum merasa lapar di tengah malam. Ia masukkan puluhan lembar foto yang siang tadi baru tiba dari fotografer New Moon Entertainment.

Ia memakai jaket dan baju tidur yang besar. Kemudian pakaian itu dibuka kembali dan ia pilih gaun pengantinnya yang belum sempat dicuci. Dipakainya dengan penuh harap dan cinta. Kim So Eun menelepon taksi. Ia keluar dengan tergesa. Sopir taksi mengernyitkan dahi. Duhai… calon pengantin mana yang akan menikah menjelang tengah malam seperti ini? Batinnya.

Tak peduli berapa pasang mata yang menatapnya heran, Kim So Eun terus saja berjalan melewati lorong demi lorong, kamar demi kamar demi bisa menjumpai Kim Bum. Ia membuka pintu pelan tanpa perlu mengetuknya. Lehernya bagai dicekik ketika mendapati Jung So Min duduk bersisian dengan suaminya di atas tempat tidur. Kepala gadis itu menyandar pada dada bidang Kim Bum.

“Keluar!” usir Kim So Eun tegas. Jung So Min berdiri dan mendongak angkuh.

“Maaf, nyonya Kim So Eun, suami anda yang menahan saya untuk pulang.”

“Apa dokter di sini tidak melarang kegiatan asusila di dalam rumah sakit?”

“Hei, saya dan suami anda tidak melakukan apapun! Saya hanya menemaninya!”

“Keluar!” dengan sekuat tenaga, Kim So Eun menarik lengan kecil Jung So Min dan mendorong gadis itu keluar dari dalam kamar.

“Seorang pasien butuh istirahat yang cukup!”

Jung So Min terjatuh di depan pintu, Kim Bum berdiri dan mencoba menolong dengan kedua kruknya. Sayang lututnya belum terlalu kuat untuk berjalan. Kim So Eun membanting pintu kesal. Ia beruntung Kim Bum dirawat di kamar VVIP jadi tak harus menganggu pasien manapun. Beberapa suster hilir mudik di lorong dan keheranan melihat Jung So Min yang mencoba berdiri. Gadis itu menahan malu dan kesal luar biasa. Bergegas ia berjalan pergi sebelum banyak mata yang mengawasinya dengan tanda tanya.

Kim So Eun membantu Kim Bum untuk bisa berbaring di tempat tidur.

Wajah lelaki itu masih keras dan penuh kekesalan. “Kau… seharusnya kau yang keluar… Kau….” Kepala Kim Bum kembali berdenyut, lebih keras, seperti dipalu oleh ribuan godam raksasa. Kim Bum mengerang kesakitan. Ia menatap Kim So Eun. “Kim So Eun? Kim So Eun? Kim So Eun?” gumamnya terus menerus. Semakin ia berusaha mengingat, semakin sakit kepalanya.

Kim So Eun segera keluar untuk meminta pertolongan.

Kim Bum memandang gaun pengantin yang melambai di tubuh Kim So Eun. “Kim So Eun…? Gaun pengantin… aku…. Ughh…” samar-samar bayangan sebuah pernikahan menyapa benak Kim Bum dan ia berteriak pilu. Sakit.

* * *

“Tadi pagi Kim So Eun telepon, dia cerita kalau semalam Jung So Min masih berduaan dengan Kim Bum di kamar!” geram Yoon Eun Hye pada Song Hye Gyo.

Mereka berdua berjalan menyusuri lorong rumah sakit, masuk ke dalam lift.

“Kita harus bawa Kim Bum pulang sekarang. Kedua orang tuanya juga setuju.”

“Kemana, Ayah dan Ibu Kim Bum?” tanya Song Hye Gyo.

“Kemarin-kemarin mereka sibuk mengurusi bisnis, pagi ini seharusnya mereka sudah tiba di kamar Kim Bum.”

Pintu lift terbuka dan mereka mendapati sosok Jung So Min berdiri di depan gang kecil menuju ke kamar satu kosong empat.

Gadis itu seperti menunggu sesuatu.

“Mau apalagi kau di sini? Mau merebut suami orang?” sinis Yoon Eun Hye.

Jung So Min tercekat, ia melangkah mundur ke dinding koridor. “Aku…”

“Sudah tidak usah diladeni,” Song Hye Gyo menarik lengan Yoon Eun Hye, “kalau Kim Bum sudah ada di rumahnya, dia tak akan berani datang mengusik.”

Yoon Eun Hye mengikuti perintah kakaknya dan pergi meninggalkan Jung So Min.

* * *

Kim So Eun mengecup kening suaminya mesra. Ia pejamkan mata agar keromantisan hanya menjadi miliknya semata. Kelopak mata Kim Bum terbuka pelan-pelan. Ia mengerjap-ngerjapkan mata dan menyapa cahaya pagi yang membawa kehidupan baru.

“Selamat pagi suamiku,” senyum Kim So Eun mengembang. Ia sudah berdandan cantik, dengan wajah berseri, make up tipis, gaun pengantin putihnya serta tudung kecil dan menata rambutnya dengan sederhana. Ia memegang bunga mawar merah di tangan kanannya lalu meletakkannya di dada Kim Bum. Lelaki itu sedikit terenyuh, ia duduk perlahan-lahan.

“Kim So Eun?’ tanya Kim Bum sambil mengangguk sendiri. Seolah mengingat sesuatu. Ia memutar kepalanya, menelusuri setiap sudut dan jengkal dinding kamarnya yang kini sudah penuh terisi oleh foto-foto pernikahannya dengan Kim So Eun. Kim Bum mengambil kruknya di pinggir kasur dan mulai turun. Berjalan menuju dinding-dinding kamarnya, meraba setiap foto yang tertempel di sana.

Kraaak….!

“Kim Bum! Jangan!” pekik Kim So Eun.

Ia berusaha menahan tangan Kim Bum yang dengan liar merobek satu per satu foto-foto pernikahan mereka. “Lepaskan…! Ini semua foto rekayasa!” teriak Kim Bum.

Seperti terjadi sebuah pergumulan. Kim Bum dengan tenaga lelakinya yang penuh emosi berusaha mendorong Kim So Eun yang terus memeluk tubuh itu. Memohon-mohon agar foto-foto itu tidak dirusak. Kim So Eun menangis, meraung. Yoon Eun Hye dan Song Hye Gyo datang, membantu Kim So Eun, menenangkan Kim Bum yang mengamuk bagaikan banteng melihat warna merah cerah di colloseum.

“Kim So Eun, ambil semua foto itu sebelum Kim Bum merobek semuanya!” teriak Song Hye Gyo.

Yoon Eun Hye dan Song Hye Gyo menarik tangan Kim Bum yang meronta. Kaki lelaki itu menggelepar di lantai. Tangannya melayang-layang di udara, bahkan perut Yoon Eun Hye pun terkena sedikit tonjokan. Kedua orang tua Kim Bum datang, Ayahnya segera menampar pipi Kim Bum dengan keras. Kim Bum terdiam, suasana menghening. Napasnya memburu cepat.

“Kim Bum… aku ini Ayahmu!” suara Ayah Kim Bum menggelegar.

“Ayah?” Kim Bum memegang kepalanya, “Ayah… ya… pasti aku punya Ayah.”

Ibu Kim Bum merengkuh anak lelakinya ke dalam pelukan. “Ini Ibu, nak…” ia belai rambutnya lembut, “Maafkan Ibu dan Ayah baru menjengukmu kembali. Kau kena amnesia. Tapi kami yakin ingatanmu akan pulih….”

Bergantian Kim Bum menatap kedua orang tuanya.

Bayang-bayang masa kecil tiba-tiba berkelebatan. Membuat ia mengernyitkan dahi, rasa pusing dan nyeri di kepalanya timbul. Namun ia tak perlu berpikir keras untuk menikmati memori-memori itu.

“Mungkin… mungkin memang Ibu dan Ayah,” Kim Bum mulai tenang.

Dokter Park Jae Jung yang dikontak melalui telepon menyarankan agar Kim Bum tinggal bersama kedua orang tuanya. Memulihkan masa-masa kecil di rumah akan mempermudah Kim Bum untuk menemukan ingatannya kembali.

“Kim So Eun, kau tinggal di rumah kami, ya, untuk sementara. Bantu kami memulihkan ingatan suamimu,” pinta Ibu Kim Bum.

Kim So Eun mengiyakan.

“Tidak…” Kim Bum menolak, “aku hanya ingin ada Jung So Min di sisiku. Seseorang yang aku cintai. Seseorang yang membuat hatiku bergetar…”

Kim Bum menatap tajam ke arah Kim So Eun.

Semua saling memandang.

Lalu Ayah Kim Bum angkat bicara. “Istrimu adalah Kim So Eun dan kami semua tahu cintamu hanya untuk Kim So Eun!”

Bersambung…

True Love (Chapter 3)



Chapter 3
Ketika Cinta Terlupakan

“Kim Bum! Kim Bum!” Kim So Eun histeris, ia masih memakai gaun pengantin putih dan tatanan rambutnya rusak. Yoon Eun Hye dan Song Hye Gyo memeluk adiknya dan memberikan kalimat-kalimat yang meneduhkan. Semua berdiri dan menunggu resah di depan ruang UGD. Jung Yong Hwa merutuki dirinya sendiri. Menyesali mulutnya, kalau saja tak terbetik permintaan konyol itu mungkin kini Kim Bum, Kim So Eun dan para tamu undangan bisa melewatkan malam resepsi dengan romantis.

Dokter keluar dari dalam ruang UGD Rumah Sakit Kwanghee. Ibunda Kim Bum yang terlebih dahulu menghampiri dengan tangis berderai. Ayah Kim Bum menepuk-nepuk pundak istrinya.

“Malam ini adalah masa kritis bagi Kim Bum, kepalanya terantuk cukup keras dan mendapat luka dalam yang serius.” Dokter memberikan penjelasan, “lutut kanannya remuk dan lutut kirinya retak, tapi tidak parah, hanya butuh waktu sekitar dua minggu untuk terapi hingga ia bisa berjalan dengan normal lagi.”

Semua membisu. Kim So Eun tertunduk lesu. Dokter menghampirinya dan menepuk pundak Kim So Eun, berusaha menularkan semangat ke tubuh gadis itu.

“Anda istrinya, kan?” Kim So Eun mengangguk, “dengan kasih sayang dari seorang istri mungkin Kim Bum bisa cepat sembuh.” Dokter berpaling pada semua yang hadir di situ, “mari kita berdoa bersama agar ia bisa melewatkan masa kritisnya. Saya permisi.” Ia pun melangkah pelan meninggalkan sanak keluarga Kim Bum yang larut dalam kelabu. Masing-masing berusaha saling menguatkan. Kim So Eun menahan tangisnya, ia seka terus menerus air mata yang mengaliri pipinya. Ia ingin kuat dan merawat Kim Bum. Pada saat inilah cinta dan kesetiaan harus ditumbuhkan.

* * *

“Selamat pagi Nona Jung So Min,” sapa suster Yoona ketika melihat Jung So Min berjalan dengan agak sedikit pincang di koridor rumah sakit pagi itu. “Mau check up? Bagaimana kakinya?”

Jung So Min mengembangkan senyum, ia memakai rok panjang dan sandal flat. “Ya sudah membaik suster Yoona. Terima kasih. Oh iya, itu bunga segar sekali. Untuk siapa?”

Suster Yoona memegang seikat bunga segar, “semalam ada pasien baru masuk. Kondisinya kritis. Tapi nampaknya pagi ini ia sudah sadar dan dipindahkan ke kamar nomor satu kosong empat. Di paviliun Anggrek.”

“Tempat dulu saya dirawat, kan?” tanya Jung So Min, Suster Yoona mengiyakan. “Siapa yang dirawat di sana?

“Saya kurang tahu siapa,” jawab Suster Yoona sambil berjalan pelan.

“Oh… saya lupa! Ada barang saya yang ketinggalan di meja kamar itu!” Jung So Min menepuk dahi. “Setelah check up saya harus mengambilnya. Boleh, kan? Sebuah vas cantik dari Park Shin Hye, sahabat saya….”

“Tentu saja. Saya akan menemani anda.”

Gaun putih pengantin itu masih bersinar, manik-maniknya masih memancarkan cahaya yang mampu membuat siapapun yang melihat menjadi takjub. Namun sang pemakai nampak kusut masai, wajahnya sembab, matanya bengkak. Semalaman ia tak berhenti menangis bahkan memejamkan matapun tak sanggup. Ia tak ingin meninggalkan moment penting bila Kim Bum sadar dari masa kritisnya.

“Sudahlah Kim So Eun, Kim Bum akan baik-baik saja…” Yoon Eun Hye merangkul adiknya, ia dan sang Ibu menuntun Kim So Eun yang sudah lemah berjalan ke arah lift.

“Kita pulang.”

“Tapi aku ingin tetap menemani Kim Bum, Eonni…” bibir Kim So Eun bergetar.

“Sayang, kau harus ganti baju, kita ambil pakaian ganti untukmu dan Kim Bum, kau juga harus makan dulu, ya,” Ibunda Kim So Eun mengelus lengan putrinya.

Yoon Eun Hye memencet tombol lift. Menunggu sejenak hingga pintu lift terbuka. Mereka masuk ke dalam. Tepat setelah pintu lift tertutup kembali, Jung So Min dan Suster Yoona melintas, berjalan beriringan. Mereka masih bercengkrama hangat ketika seorang perawat pria tergopoh menghampiri.

“Suster Yoona, Dokter Lee Pil Mo membutuhkan bantuan anda… ada pasien tabrak lari baru masuk ke UGD.”

“Sebentar saya letakkan bunga ini dulu di kamar satu kosong….”

“Tidak sempat Suster Yoona, keadaan darurat!”

Suster Yoona memandang Jung So Min lalu menyerahkan seikat bunga segar itu padanya. “Nn. Jung So Min tolong letakkan ini di kamar satu kosong empat, ya. Oh iya, setelah anda mengambil vas teman anda harap jangan lama-lama di dalam dan jangan membuat keributan.”

“Suster Yoona…” perawat pria tadi nampak tak sabar.

“Baik saya pergi…” suster Yoona pergi mensejajari langkah perawat pria itu yang berjalan setengah berlari.

Jung So Min mencoba mencerna kalimat suster Yoona yang tadi. Ia kemudian mengendikkan bahu dan berjalan tertatih kembali menuju kamar satu kosong empat. Setelah melewati lorong panjang, ia pun menemukan sebuah kamar yang terletak di ruangan paling pojok. Tangannya mengetuk pintu pelan. Ia pun mendorong daun pintu setelah beberapa menit tak mendapat sahutan sama sekali dari dalam kamar. Melongok ke dalam, melangkah masuk dan mendapati sebuah ruangan yang lengang. Tanpa siapapun. Hanya ada sesosok pria bertubuh atletis yang terbaring tak berdaya di kasur rumah sakit.

Ia berjalan pelan mencoba tak menciptakan suara gaduh. Diletakkan bunga-bunga segar di dalam vas besar di atas meja kecil yang terletak di samping tempat tidur. Jung So Min mencari-cari vas kecil pemberian Park Shin Hye, di atas meja, di meja tunggu, di dekat televisi, namun tak ditemukan vas kecil itu. Jung So Min menghela napas. Ia duduk di sofa tunggu sejenak lalu teringat kalau-kalau vas itu disimpan di dalam laci meja. Jung So Min bergegas berdiri dan menabrak pinggir kasur. Ia mengaduh kesakitan lalu membekap mulutnya agar tidak mengerang lebih keras. Matanya menangkap wajah yang sedang tertidur di atas kasur itu.

“Kim Bum?” jantungnya berdegup kencang. Ia memegangi dadanya yang sesak.

Dilupakannya keinginan mencari vas pemberian Park Shin Hye. Ia dekati wajah yang tenang dalam teduh itu. Mengelus lengan lelaki yang mampu menciptakan getaran hebat di hatinya. Ia tersenyum manis.

“Kim Bum… kau belum sadar, ya?” Jung So Min menarik kursi kecil dan duduk di samping Kim Bum yang masih terbaring. “Seandainya saja aku yang terlebih dahulu bertemu denganmu. Apakah aku bisa dicintai oleh seorang Kim Bum dengan tulus. Seperti kau mencintai Kim So Eun?” Jung So Min tertawa kecil.

Sesaat ia merasa dirinya gila dan menjadi aneh. “Aku jadi aneh sejak bertemu denganmu. Apa mungkin aku jatuh cinta?”

“Errrhh…” suara halus erangan Kim Bum membuat Jung So Min spontan berdiri dan panik. Ia menoleh ke kanan kiri, berpikir untuk segera memanggil dokter. Ketika ia hendak melangkah, suara berat dan letih itu memanggil. “Heeeei….” Kim Bum mengatur napasnya.

Jung So Min berbalik badan kembali, menatap Kim Bum yang kini mulai membuka mata. Semoga saja ia tidak mendengar kata-kataku tadi. Ia membatin gelisah.

“Kau siapa?” tanya Kim Bum akhirnya.

“Saya Jung So Min, PR New Moon Entertainment,” Jung So Min mengernyitkan dahi.

“Apa itu?” Kim Bum berusaha untuk duduk, ia mulai merasa pegal telah menjalari seluruh tubuhnya. Jung So Min tergerak untuk membantu.

Kim Bum menatap sekeliling, matanya mengerjap-ngerjap, beradaptasi dengan kamar rumah sakit. “Ini dimana?”

“Di rumah sakit.”

“Kau siapa? Kenapa ada di dekatku?” Kim Bum memegangi kepalanya yang terasa berdenyut. Ia meringis.

“Kim Bum, jangan banyak bergerak dulu. Lukamu masih parah,” Jung So Min meraih tangan Kim Bum yang berusaha menekan-nekan luka di kepalanya.

“Kim Bum? Kim Bum siapa?” tanya Kim Bum dengan wajah bingung. Ia menoleh ke sekeliling seperti orang yang linglung. Kepalanya berdenyar kembali. “Ugh… siapa Kim Bum? Siapa aku?”

Mulut Jung So Min membulat kecil. Pintu kamar terbuka, ia terlonjak kaget dan menjauh selangkah dari kasur. Dokter Park Jae Jung datang bersama dua perawat. Ia agak heran melihat kehadiran Jung So Min sebelum akhirnya memberikan senyum ramah.

“Anda rekan dari Tn. Kim Bum?” tanyanya.

“I… iya, saya rekan kerjanya….”

“Istrinya mana?”

“Say… saya tidak tahu,” Jung So Min gugup.

Kim Bum menunduk terus, matanya nanar, menyipit dan mencari-cari sesuatu yang hilang dari kepalanya. Ia memegangi tengkuknya lama lalu mengerang kecil. Dokter Park Jae Jung dan kedua perawatnya segera mencoba untuk menenangkan. Kim Bum masih menggumam tak jelas, suaranya seperti dengungan kata-kata yang berhamburan tanpa makna.

“Dokter… ada apa dengan Tn. Kim Bum?” tanya Jung So Min yang mulai khawatir.

Dokter Park Jae Jung memberikan obat penenang namun tak membuat pasiennya itu tertidur. Hanya memberikan sedikit kenyamanan agar Kim Bum tidak berontak.

“Sepertinya dia terkena amnesia. Luka di kepalanya dalam sekali.”

“Ya Tuhan,” Jung So Min mendesis, “apa ingatannya bisa kembali?”

“Sepertinya iya,” Dokter Park Jae Jung membetulkan letak stetoskopnya, “tidak begitu parah. Dengan sedikit terapi ingatannya bisa pulih. Saya permisi.”

Dokter Park Jae Jung dan kedua perawatnya keluar dari ruangan, meninggalkan sisi aneh dalam diri Jung So Min. Gadis itu mendekap dadanya, dingin ruangan AC menyergap. Ia mencoba mengecilkan pendingin udara itu.

Aku harus menemani Kim Bum… kasihan dia. Jung So Min duduk pelan-pelan di kursi. Ia menatap Kim Bum yang menerawang memandang langit-langit kamar. Kesepian menemani mereka. Namun bagi Jung So Min suasana seperti itu menguntungkannya.

“Siapa aku?” Kim Bum kembali bergumam. Ia menoleh ke arah Jung So Min. “Kau? Kenapa masih ada di sini? Kau…” Kim Bum kembali mencoba duduk.

“Tenang Kim Bum tenang… pelan saja. Kepala dan lututmu masih sakit.”

“Iya… iya,” Kim Bum mulai mengatur emosinya yang semula meledak-ledak. “Tolong jelaskan siapa aku? Siapa kau!?” geramnya.

“Aku Jung So Min, temanmu,” jawab Jung So Min sambil tersenyum, “kau Kim Bum.”

“Apalagi yang kau tahu tentang aku?”

“Kau…” sudah punya istri…. Kalimat itu tertahan di tenggorokan. Entahlah, bagi Jung So Min itu semua terasa berat. Apakah ini sebuah kesempatan bagiku untuk mendapatkan cintamu Kim Bum? Pikiran-pikiran jahat mulai singgah di syaraf otaknya.

“Apakah aku sudah menikah? Sudah punya pacar?” tanya Kim Bum kembali.

Jung So Min menggeleng. Ia tak sanggup berbohong atau mengutarakan kebenaran. Ia hanya mampu menggeleng dan berharap Kim Bum akan menangkap maksudnya. Kim Bum memperhatikan Jung So Min secara menyeluruh. Menatap wajahnya, tubuhnya, senyumnya, gaya bicaranya. Gadis itu menemani kebingungan Kim Bum untuk beberapa saat. Meski sesekali Kim Bum harus merasakan sakit kepala yang luar biasa ketika ia mencoba mengingat-ingat kenangan tentang dirinya.

Jung So Min lebih banyak bercerita tentang dirinya. Ia pun menceritakan sedikit hal yang ia tahu tentang Kim Bum. Mengenai pekerjaan lelaki itu, umurnya, rumahnya, dan ihwal pertemuan mereka di New Moon Entertainment. Tentu saja Jung So Min tak berterus terang mengenai pernikahan Kim Bum. Ia mengatakan mereka bertemu hanya untuk hubungan bisnis, bukan hubungan antara klien yang ingin menikah dengan seorang PR Wedding Event Organizer. Ia pun berbohong ketika Kim Bum menanyakan mengapa ia harus masuk rumah sakit. Dijawabnya dengan sebuah kebohongan lagi, kalau Kim Bum kecelakaan setelah pulang dari New Moon Entertainment.

Gadis itu pun melemparkan beberapa lelucon lucu yang membuat Kim Bum tergelak dan mulai kagum atas wanita yang kini duduk di depannya. Kim Bum berhenti tertawa dan menatap Jung So Min lama.

“Aku yakin… pasti kau yang menungguiku semalaman. Iya kan?”

Untuk hal ini Jung So Min tak kuasa berkata-kata lagi. Ia diam sampai Kim Bum tersenyum kecil dan menyimpulkan sendiri bahwa Jung So Minlah wanita yang akan membuatnya nyaman dalam segala suasana. Pintu kamar terbuka kembali, Kim So Eun bingung melihat ada Jung So Min dan Kim Bum yang asyik bercengkrama. Ia mengucap salam dan berjalan ke arah suaminya itu.

“Syukurlah, kau sudah sadar Kim Bum…” Kim So Eun menggamit tangan suaminya, Kim Bum segera menepis sebelum sempat bibir Kim So Eun menyentuh punggung tangannya.

Keterkejutan melanda dua gadis. Kim So Eun dan Jung So Min.

“Kim Bum, kenapa? Apa ada yang salah denganku?” Kim So Eun mencoba tenang. Ia meletakkan tas besar yang berisi pakaiannya dan pakaian Kim Bum ke lantai. Ia menyentuh kening suaminya.

“Hei… siapa kau!? Tidak sopan!” Kim Bum kembali menepis tangan Kim So Eun. “Tangan besarmu itu jangan menyentuhku lagi atau aku panggil perawat!”

Nada suara Kim Bum tegas, tajam dan penuh amarah. Ia merasa saat-saat menyenangkan bersama Jung So Min terganggu. Dada Kim So Eun sesak, jantungnya bagai diterpa ombak besar. Berdebur.

“Maaf, lebih baik saya pergi…” Jung So Min berdiri dan mengambil tas tangan yang ia letakkan di atas kasur.

“Hei Jung So Min mau kemana?” Kim Bum terlihat gusar. “Ceritakan padaku, siapa dia?” Kim Bum menuding wajah Kim So Eun. “Siapa orang ini?”

Sakit. Itulah kata yang mampu mengoyak perasaan terhalus dari seorang Kim So Eun. Matanya nanar tak percaya. Terngiang kalimat-kalimat manis yang pernah ada di bibir Kim Bum bagaikan menguap tiba-tiba.

“Di… dia…” Jung So Min ragu untuk menjawab.

“Kim Bum!” Kim So Eun mengumpulkan suaranya yang semula hilang, “Aku Kim So Eun, istrimu! Kita baru menikah satu minggu yang lalu. Semalam kita baru saja mengadakan resepsi dan…”

“Cukup!” Kim Bum terduduk, ia meringis pelan ketika lututnya terasa nyeri, “lihat aku, badanku tidak gemuk! Tubuhku kekar, tidak mungkin aku mau menikah dengan wanita gemuk sepertimu!” Ia menoleh ke arah Jung So Min, pandangannya melembut, “kalaupun aku sudah menikah seharusnya aku menikah dengan wanita seperti Jung So Min.”

Kim So Eun terguncang. Ia merasa bagaikan ada di tengah gunung merapi yang sangat panas. Lahar menggeliat menjilati tubuhnya. Ia marah tapi tak kuasa meledakkan rasa itu. Hujan menyertai pipinya yang tembem, dari mata yang paling bening menatap suaminya dalam.

“Kim Bum… aku Kim So Eun, istrimu….”

“Bohong! Bohong! Cermin… cermin!” Kim Bum meminta pada Jung So Min, gadis itu sigap mengeluarkan cermin. Kim Bum merebutnya cepat. Ia mengagumi wajah tampannya sendiri sebelum mengarahkan cermin itu ke arah Kim So Eun. “Cobalah bercermin, aku seperti ini, dan kau… bagaimana mungkin aku sebodoh itu mau menikah denganmu!” Kim Bum kembali menuding.

“Tapi kau bilang mencintaiku apa adanya Kim Bum seperti aku mencintaimu,” isak Kim So Eun memprotes.

“Aku tak pernah mencintaimu dan aku tak pernah mengenalmu!” geram Kim Bum.

Bahu Kim So Eun naik turun. Ia tak bisa menahan diri kembali untuk tetap bisa tenang. Jung So Min hanya diam dan mematung bisu. Tak ada niat untuk membela Kim So Eun, ia sendiri takut melihat pancaran kemarahan dari mata tajam Kim Bum.

Yoon Eun Hye menyeka air mata yang masih sesekali menetes di pipi Kim So Eun.

* * *

Siang datang menebarkan cahaya panasnya. Mereka duduk di bangku taman Rumah Sakit Kwanghee, berteduh di bawah kanopi yang ditumbuhi tanaman merambat. Orang-orang mulai berdatangan untuk menjenguk sanak saudara mereka yang sakit.

“Tadi aku bertemu Dokter Park Jae Jung,” suara Kim So Eun tenang. “Beliau bilang kalau … kalau Kim Bum hilang ingatan. Sikapnya juga bisa berubah karena beberapa syarafnya sedikit mengalami gangguan. Ia bisa menjadi emosional, bahkan terkesan seperti remaja.”

Yoon Eun Hye menatap jendela kamar satu kosong empat yang terletak di lantai dua tepat di atas mereka duduk. Pemandangan yang ia lihat membuatnya tak habis pikir bahwa Kim Bum yang ia kenal begitu lembut kini berubah menjadi orang yang berbeda. Kim Bum duduk di kasur sedang bercengkrama dengan Jung So Min yang menyuapinya pelan-pelan. Kim So Eun tak mampu melihat semua itu, ia memalingkan wajah dan berdiri.

“Apa lebih baik kita pulang, Eonni?”

“Kim So Eun, apa akan kau biarkan saja Jung So Min menyuapi suami kau? Berduaan di dalam kamar?” Yoon Eun Hye mensejajarkan langkah Kim So Eun yang pelan. Meninggalkan taman, memasuki koridor rumah sakit. “Kim So Eun… kau harus bertindak!”

Kim So Eun menghentikan langkah, “aku harus bagaimana, Eonni? Kim Bum hanya mau ramah terhadap Jung So Min, ia juga hanya mau makan jika disuapi oleh Jung So Min, bahkan ia tak mengizinkanku masuk ke dalam kamarnya… apa yang harus aku perbuat lagi?”

“Kim So Eun,” Yoon Eun Hye mengaitkan rambutnya yang menjuntai ke balik daun telinga, “kau istrinya. Kau istrinya. Bagaimanapun kau istrinya. Kau pasti bisa mengembalikan ingatan Kim Bum. Mengembalikan cintanya. Karena ketika lelaki dan wanita menjadi sepasang suami istri, hati mereka telah menyatu, Kim So Eun. Meski memori Kim Bum menghilang tapi tidak untuk selamanya, kan?” Yoon Eun Hye mengangguk, meminta Kim So Eun untuk mengiyakan.

Kim So Eun menelan ludah berat. Ia ragu untuk masuk kembali ke dalam rumah sakit. Seseorang menabrak tubuhnya.

“Nona… badan besar jangan berdiri di tengah jalan! Kau ini menghalangi orang yang mau jalan saja!” ujarnya sambil lalu.

Yoon Eun Hye mencibir kesal ke arah orang itu. Kim So Eun tak menggubris, ia memilih untuk tetap keluar dari rumah sakit. “Kim So Eun!” panggil Yoon Eun Hye. “Kau mau pulang?”

“Iya, aku mau menenangkan diri.”

“Aku tahu kau pasti shock, Aku akan coba bicara pelan-pelan dengan Kim Bum, ya.” Yoon Eun Hye memeluk adiknya.

Kim So Eun berpamitan lalu kembali ke rumah dengan hati hancur.

Pulang ke istana kita… tanpamu, Kim Bum….

Bersambung…

Selasa, 28 Juni 2011

True Love (FF)



Title : True Love
Genre : Romance, Friendship
Author : Sweety Qliquers
Episode : 6 Chapter
Story :
Setelah menerima cinta Kim Bum, Kim So Eun harus merelakan berpisah dengannya empat tahun. Ketika harinya tiba, gadis cantik langsing itu telah berubah menjadi wanita dengan kelebihan berat badan. Akankah semuanya berakhir bahagia? Lalu datanglah amnesia itu. Dan seorang Jung So Min yang tiba-tiba saja tergetar hatinya di antara mereka.
Production : www.ff-lovers86.blogspot.com
Production Date : 22 Juni 2011, 02.11 PM
Cast :
Kim So Eun
Kim Bum
Jung So Min

Extended Cast :
Kim So Eun Family :
Song Hye Gyo
Yoon Eun Hye
Kim Yoo Bin
Park Ji Bin

Kim Bum Friend :
Jung Yong Hwa

Jung So Min Friend :
Park Shin Hye

Hospital People :
Yoona (SNSD)
Lee Pil Mo
Park Jae Jung

Other People :
Kim Hyun Joong
Han Hyo Joo


True Love

Chapter 1 - Cinta Tak Hanya Sekedar...
Chapter 2 - Pelaminan Pertama
Chapter 3 - Ketika Cinta Terlupakan
Chapter 4 - Ketika Cinta Masih Juga Terlupakan
Chapter 5 - Kesabaran Seorang Istri
Chapter 6 - Kembalilah (Tamat)

True Love (Chapter 2)



Chapter 2
Pelaminan Pertama

“Kau serius, Kim Bum?” Jung Yong Hwa hampir saja tersedak.

“Serius…” jawab Kim Bum santai sambil memotong daging steak di piringnya. Mereka sedang makan siang bersama di sebuah restoran.

“Tapi,” Jung Yong Hwa memajukan badan dan berbisik, “Kim So Eun sekarang gemuk….”

Trang…! Kim Bum membanting pisaunya ke piring. Ia menatap Jung Yong Hwa kesal.

“Memangnya kenapa?”

“Kim Bum, kau tampan, sudah S2 dan minggu besok sudah akan bekerja di perusahaan internasional, menempati posisi penting pula,” Jung Yong Hwa berargumen, “Aku heran. Kenapa kau masih bisa mencintai Kim So Eun sedemikian rupa. Dia gadis gagal, Kim Bum… kehidupan orang tuanya kacau, karirnya kacau, hanya penulis tanpa nama. Dan ia sudah tidak cantik, sudah gemuk, berjerawat, tidak….”

“Cukup!” Kim Bum berdiri, mendorong kursinya ke belakang. “Kim So Eun yang sekarang memang bukan Kim So Eun empat tahun yang lalu. Tapi aku masih mencintainya.” Tegas Kim Bum. Ia pun pergi meninggalkan Jung Yong Hwa yang mulai menenggak orange juicenya kembali.

Kim Bum berjalan gagah menuju tempat parkir lalu masuk ke dalam mobilnya. Ia belum menyalakan mesin, hatinya gelisah sendiri. Merenungi perkataan Jung Yong Hwa.

Jung Yong Hwa benar, apakah aku benar-benar serius ingin menikah dengan Kim So Eun? Kim So Eun yang berbeda dengan empat tahun yang lalu? Kim So Eun yang kucintai, berwajah tirus, bertubuh langsing, energik, ramah sekaligus pemalu. Tapi sekarang? Tak lebih dari gadis suram yang sedang menanti keajaiban.

Kim Bum menghempaskan tubuhnya di punggung kursi mobil. Mengigiti jemarinya, resah. Empat tahun aku berkutat dengan kuliah, tak sempat aku pulang ke Korea. Tahun-tahun terakhir aku bagai diperbudak oleh tesis dan segala macam penelitian. Aku sudah jelaskan semua pada Kim So Eun. Tapi apakah aku yakin pada keputusanku? Apakah gadis bertubuh subur… Kim So Eun yang sekarang, mampu untuk aku cintai apa adanya?

Kim Bum menyalakan mesin mobil. Ia memutar kemudi dan keluar arena parkir.

Sebuah papan nama besar di depan sebuah ruko, bertuliskan New Moon Event Organizer, makes your dream come true. Kim Bum mendongak membaca kalimat itu dan menimbang-nimbang sejenak.

Apakah ia akan masuk untuk meminta jasa mereka? Menurut beberapa orang teman yang sudah menikah New Moon EO juga menyediakan jasa pesta pernikahan. Kim Bum memantapkan hati lalu masuk ke dalam ruko yang didesain artistik dan berubah fungsi menjadi sebuah kantor yang elit.

Ia disambut oleh seorang resepsionis yang cantik dan modis. Kim Bum dibawa menuju sebuah ruangan. Di depan pintu ruangan tersebut tertulis Public Relation, New Moon Entertainment. Resepsionis mengetuk pintu pelan, terdengar sahutan dari dalam. Ia mempersilahkan Kim Bum untuk masuk terlebih dahulu. Setelah mengantar tamunya di depan leader PR, sang resepsionis bergegas keluar, melanjutkan tugas-tugasnya.

“Perkenalkan, saya Jung So Min, leader public relation New Moon Entertainment. Ada yang bisa saya bantu?” sapa sang leader. Tubuh rampingnya dibalut oleh blazer ungu dan dasi slayer berwarna senada. Kemejanya ketat dan menampakkan lekukan tubuh. Ia menyodorkan tangan. Kim Bum menyambut.

“Saya Kim Bum,” jawab Kim Bum.

Jung So Min masih berdiri di depan jendela, tatapannya memandang lepas keluar, menatap mobil lalu lalang dan padatnya orang-orang berdesakan. Ia berdehem, membetulkan letak slayernya lalu mempersilahkan Kim Bum untuk duduk di sofa tamu agar terkesan lebih santai dalam menghadapi klien. Kim Bum berjalan cepat dan menghempaskan pantatnya di sofa empuk. Sementara Jung So Min berjalan agak tertatih, menahan perih di kaki kanannya. Kim Bum sedikit heran namun ia tak berniat untuk tahu lebih jauh.

“Baiklah… Tn. Kim Bum,” Jung So Min duduk di samping Kim Bum dalam sofa yang sama dengan jarak yang cukup dekat. Menciptakan keakraban di antara mereka.

“Saya ingin membuat pesta pernikahan yang romantis, di sebuah taman….”

Dan Jung So Min mengangguk. Mendengarkan permintaan Kim Bum satu demi satu sebelum akhirnya ia menawarkan sebuah konsep acara.

* * *

Kim So Eun menggendong keponakannya dengan gemas. Ia timang-timang balita berusia lima tahun itu. Kim Yoo Bin, menggeliat, memberontak lalu turun dari gendongan Kim So Eun. Ibunya tertawa melihat tingkah anak keduanya yang selalu bergerak aktif.

“Tidak dimakan kuenya, Kim So Eun? Biasanya kau suka kalau aku membuat blackforest,” ujar Yoon Eun Hye sambil menuangkan teh hangat ke dalam cangkir.

“Aku sedang bingung, Eonni,” Kim So Eun membungkuk, hanya memandangi jejeran kue hitam penuh gula cokelat di depannya. “Kim Bum sudah pulang. Kemarin ia seperti tak mengenaliku sama sekali. Dengan tubuh berlemak ini…” Kim So Eun mencubit perutnya.

“Wajar kan! Sudah empat tahun kalian tidak bertemu. Memangnya kau masih pacaran dengannya?” Yoon Eun Hye menyeruput tehnya, “bukankah hubungan kalian hilang selama satu tahun? Jangan-jangan dia punya pacar lagi….”

Kim So Eun tersenyum bangga. “Empat tahun dan badan gemuk ini tidak membuat cinta Kim Bum padaku memudar, Eonni. Selama setahun menghilang dia bilang sedang sibuk mengurusi tesis.” Kim So Eun mendekat ke arah Yoon Eun Hye dan menggamit lengan kakak keduanya itu hingga Yoon Eun Hye urung menenggak kembali daun-daun teh hijaunya. Kim So Eun menyandarkan kepalanya ke bahu Yoon Eun Hye. “Dia bilang… dia masih mencintaiku apa adanya, Eonni…meski aku seperti ini!”

Yoon Eun Hye meletakkan cangkir tehnya di atas meja. Ia menatap Kim So Eun lembut.

“Aku sudah menyangka kalau Kim Bum memang lelaki langka di bumi ini,” Yoon Eun Hye mencubit pipi Kim So Eun yang tembem, “lantas apa yang membuatmu bingung?”

Kim So Eun menegakkan badan.

“Nanti malam… Kim Bum mengajakku kencan. Dinner romantis di Strawberry resto.” Ia berdiri dan berputar di depan Yoon Eun Hye, seolah memamerkan seluruh tubuhnya, “aku bingung… mau pakai gaun apa, Eonni….”

Yoon Eun Hye tertawa keras. Kedua anaknya yang sedang asyik bermain bola karet menjadi terusik. Mereka beringsut menuju pelukan sang bunda.

“Ibu kenapa?” tanya Park Ji Bin, anak pertamanya.

Yoon Eun Hye menggeleng dan memegang kedua pipi Kim So Eun dengan kedua telapak tangannya. “Ayo, sekarang kita ke butik! Cari gaun dengan ukuran paling besar… untukmu…” Yoon Eun Hye mengerling kecil. Menggoda. Kim So Eun tersipu malu, wajahnya merona. Seperti delima.

Strawberry Resto. Dengan seluruh dinding didominasi warna pink. Puluhan vas bunga berisi bunga anggrek segar menghiasi setiap sudut ruangan. Pada setiap meja terdapat satu tangkai bunga mawar merah. Lilin-lilin kecil menyala, menyebarkan sinar temaram. Dentingan suara piano menghantarkan nada-nada cinta Mozart pada malam yang sunyi. Sesekali pelayan restoran menawarkan kembali, apakah ada yang kurang?

Kim So Eun duduk di kursi paling pojok. Dekat dengan layar tiga dimensi yang menampakkan suasana air terjun di tengah hutan. Lagi-lagi gambar kupu-kupu tiga dimensi bergerak ke sana kemari, mencari bunga warna-warni.

Kim So Eun tersenyum malu, mengingat dahulu. Ketika sepasang kupu-kupu membuatnya mencintai Kim Bum dan menerima pria itu setulus hati. Ia menghela napas. Senang dengan gaun nyaman yang dipilih oleh Yoon Eun Hye. Meski bukan sebuah gaun mewah dan glamour, setidaknya gaun itu cukup untuk digunakan saat kencan bersama sang pujaan hati.

Suara piano berhenti berdenting. Layar air terjun tiga dimensi mati. Lampu restoran dengan cahaya keemasannya pun padam. Pudar sudah keharmonisan yang sedari tadi dinikmati oleh Kim So Eun. Lilin-lilin di meja pengunjung lain pun tak menampakkan setitik cahaya. Hanya lilin di mejanya saja yang tetap menyinari gadis itu dari kegelapan.

“Maaf? Apakah di sini mati lampu?” tanya Kim So Eun yang mulai disergap ketakutan. Mengapa semua tiba-tiba menjadi hening dan sunyi?

Sepasang tangan merambat di lehernya. Kim So Eun tercekat, menahan napas. Apakah aku akan dicekik? Ia mulai gemetar. Tangan itu mulai memasangkan sesuatu di leher besar itu. Sebuah kilauan emas putih bercampur dengan cahaya lilin kecil. Kim So Eun menyadari sebuah kejanggalan.

Ia mengumpulkan keberanian dan menangkap sepasang tangan yang merambati lehernya. Ia cengkram, ia cakar dalam-dalam.

“Jangan coba-coba berbuat jahat padaku!” geram Kim So Eun.

Suara tawa Kim Bum pecah. Kim So Eun mengendurkan cakarnya.

Kim Bum segera mengambil rangkaian bunga besar dan sebuah gaun pengantin cantik bewarna putih.

“Aku mencintaimu…” ujarnya lantang. Tepuk tangan mulai riuh terdengar. Disambut dengan suara denting piano mengalunkan lagu Janji Suci dari Yovie & Nuno. Lampu mulai dinyalakan. Blazt… layar tiga dimensi kembali menyuguhkan alam terjunnya dan sepasang kupu-kupu menari mencari sari bunga. Lilin-lilin di meja pengunjung yang lain mulai menyala. Tepuk tangan tak hentinya menggema.

Kim Bum menjulurkan gaun satin putih untuk sang pengantin ke depan wajah Kim So Eun yang memerah padam. “Maukah kau menikah denganku? Kim So Eun?”

“Jawab… jawab… jawab!” seru para pengunjung yang lain.

Kim So Eun menutup mulutnya lalu membiarkan matanya terpejam untuk beberapa saat. Ia tak kuasa menahan haru. Saat ia membuka matanya, dilihatnya tangan Kim Bum sudah menggamit jemarinya. Ia memperlihatkan sebuah cincin pertunangan yang sangat indah.

“Jika kau bersedia, akan kupasangkan cincin abadi ini di tanganmu.”

Kim So Eun mengangguk malu. Kim Bum memasukkan cincin itu ke dalam jari manis kanan Kim So Eun. Didorong lebih keras lagi. Namun payah… cincin itu tak benar-benar masuk melingkari jari Kim So Eun. Hanya mampu bertahan di tengah jari. Kim Bum merutuk dirinya sendiri. Tak menyadari berapa besar jemari gadis itu telah bertumbuh.

“Maaf sayang, maaf….”

Hampir semua pengunjung menahan tawa. Kim So Eun pun malu hati tak tertahankan. Tapi pelukan hangat Kim Bum seolah melindunginya. Seakan berkata… tak pentinglah arti sebuah cincin malam ini. Yang paling utama bagiku adalah cintamu dan cintaku bersatu dalam maghligai keluarga yang harmonis.

Kim So Eun membalas dekapan Kim Bum. Dengan tertawa kecil, menyembunyikan air matanya di balik selaput cinta. Sudah letih selama satu tahun ini ia menguras tangis. Dalam bahagia ini tak ingin kunodai dengan isak.

* * *

Pagi yang cerah ditenggarai cicit burung nuri yang duduk tenang di sangkar balkon apartemen Jung So Min. Gadis itu duduk di depan pagar balkon dengan anggun sambil meletakkan secangkir cappucinonya di atas meja kecil. Ia menikmati hamparan rumah dan gedung di Seoul yang menjulang. Awan yang berarak putih kini dilukis abu-abu oleh debu kendaraan bermotor atau asap pabrik yang membumbung tinggi.

Jung So Min menyesap kopinya dalam-dalam.

Seseorang mengetuk pintu kaca di belakang Jung So Min, ia menoleh dan memberi isyarat agar tamunya itu menghampiri. Terdengar suara gesekan pintu kaca dan tubuh semampai keluar dari dalam apartemen.

“Hai, Jung So Min… sedang apa? Tumben pagi-pagi duduk di balkon,” Park Shin Hye, sahabat Jung So Min, duduk di kursi kayu tepat di samping Jung So Min yang tak melepaskan pandangan dari pemandangan di depannya.

“Aku memikirkan seorang klien,” Jung So Min menarik napas dalam, “seperti ada getaran yang membuatku tak tenang, Park Shin Hye.”

Park Shin Hye menoleh dan mengernyitkan dahi, “Klien? Klien yang mana?”

“Kim Bum,” Jung So Min menatap Park Shin Hye dengan berbinar, “ia menikah hari ini.”

Sahabat gadis itu mendekap mulut lalu terdengar gumaman kecil tanda tawa yang menguap pelan-pelan. “Jung So Min… kalau hari ini dia menikah untuk apa kau pikirkan? Memangnya dia belum bayar fee EO New Moon?”

“Bukan itu… aku merasakan getaran aneh. Sejak pertama kali dia datang, kami berhubungan lewat telepon, bertemu untuk membahas pernikahannya dan sejak itu pula aku merasakan sesuatu yang membuatku berdebar….”

“Jangan-jangan itu jatuh cinta!” tegas Park Shin Hye.

Jung So Min menggeleng. “Aku rasa bukan… ah… sudahlah.”

“Apa karena getaran aneh itu maka kau tidak datang ke pernikahannya? Biasanya, kau kan selalu datang ke pernikahan klien untuk mengevaluasi pesta yang telah dirancang oleh New Moon,” Park Shin Hye menyilangkan kakinya.

“Hari ini mereka menikah di rumah, di depan keluarga. Pestanya tiga hari lagi di taman Century.” Jung So Min berdiri dan merenggangkan badan, ia hembuskan udara kuat-kuat. “Hff… aku harus mandi dan melihat-lihat dekorasi.”

Jung So Min berbalik badan, membuka pintu kaca lalu masuk ke dalam apartemen. Park Shin Hye memandang sahabatnya itu dengan senyum nakal lalu menghempaskan bahunya di punggung kursi kayu. Menengadahkan wajahnya menghadap angkasa. Menghirup udara kota Seoul. Pagi.


* * *

Pendeta mengakhiri prosesi pernikahan. Suara bersyukur menggema di seluruh ruangan. Kim So Eun masih berdiri di samping Kim Bum dengan wajah tertunduk tersipu malu. Tubuh besarnya tak mengurangi keanggunan dan kecantikan gaun putih panjangnya. Ia menitikkan sedikit air mata tatkala Kim Bum menjulurkan tangan ke depan wajah Kim So Eun yang tersapu make up, Mengangkat dagu Kim So Eun dan mencium bibirnya lembut.

Bukan Kim So Eun saja yang merasakan haru, semua yang hadir pun larut dalam bahagia. Ibunda Kim So Eun berjalan pelan dan merengkuh kedua mempelai itu penuh syukur. Kedua orang tua Kim Bum tersenyum pelan. Menatap anaknya yang semakin tumbuh dengan bangga. Yoon Eun Hye dan Song Hye Gyo bergantian menyalami Kim Bum dan Kim So Eun. Menciumi pipi adik bungsunya itu dan tertawa kecil.

“Hei gadis gemuk… hebat juga kau ini, bisa mendapatkan pemuda tampan seperti Kim Bum,” Song Hye Gyo meledek dan diiringi gelak tawa suaminya dan beberapa orang yang ada di sana. Kim So Eun mencubit pinggang kakak pertamanya itu.

Kim Bum merangkul pinggang Kim So Eun.

“Walaupun gemuk,” Kim Bum menarik kepala Kim So Eun agar tidur di dadanya yang bidang, “Kim So Eun adalah istriku yang paling cantik dan paling aku cintai!” kelakar Kim Bum dengan suara lantang.

Pekik riuh terdengar. Jung Yong Hwa berdiri. “Kim Bum dan Kim So Eun!”

Suara tepuk tangan pun menggema. Tawa canda pun saling terlontar mencairkan kekakuan yang tadi sempat menyergap mereka saat prosesi pernikahan dilaksanakan.

Kim Bum merangkul Kim So Eun keras-keras seolah tak ingin kehilangan bidadarinya itu. Melindungi kekasih hatinya dengan segenap jiwa. Menerima cinta apa adanya.

Kim Bum menghentikan mobil BMW Putih-nya di depan sebuah rumah mungil dengan gaya minimalis. Ia keluar dari dalam mobil lalu berputar menuju pintu depan di sebelah sopir. Dibukanya pintu itu dengan setengah membungkuk.

“Silakan keluar putri cantikku,” bisik Kim Bum sambil mengerling genit.

Gadis itu mencoba keluar, agak kesulitan dengan gaun putih yang menyesakkan dan ekor gaun yang menjuntai panjang.

Kim Bum membantu sebisa mungkin karena ia belum kuat untuk bisa membopong gadis itu memasuki istana kecil mereka.

Kim So Eun menggandeng tangan Kim Bum dan mereka beriringan jalan pelan-pelan. Menyusuri jalan setapak yang ditata apik di depan istana mungil itu. Kim Bum sengaja menanam pohon-pohon berbunga segar di kanan kiri jalan masuk. Kim So Eun menghirup wanginya dengan syahdu. Kim Bum membukakan pintu depan, sekonyong-konyong semerbak harum lavender menyapa kedua hidung mereka. Kim Bum menghadapkan wajah Kim So Eun tepat di depan wajahnya.

“Sayang… di tempat inilah kita akan merajut malam pertama kita yang indah. Malam selaksa surga dan hanya milik kita berdua.” Kim Bum memeluk Kim So Eun erat.

“Kim Bum… mulai detik ini aku berjanji akan menjadi istri yang paling istimewa untuk dirimu.” ujar Kim So Eun pelan. “

Kim Bum melepaskan rengkuhannya. Ia menarik tangan Kim So Eun, bergegas mengajaknya mengitari bagian dalam rumah. Memperlihatkan satu per satu perabotan yang sengaja ia beli dari Amerika untuk menghiasi istana mereka. Kim Bum mempersilahkan Kim So Eun duduk di kursi meja makan yang terbuat dari kayu jati dengan ukiran eksotik. Ia membuat orange juice di bar kecil yang ia ciptakan sendiri. Dan menuliskan ‘jus cinta sejati’ di gelas itu. Ia dan Kim So Eun pun meminumnya berdua dengan sedotan berbentuk hati berwarna merah jambu.

Senyum tak henti-hentinya mengembang di antara mereka.

Obrolan hangat mengalir deras. Seakan ingin mengganti waktu yang hilang setelah empat tahun berpisah.

Setelah lelah berbincang melepas cinta. Mereka saling menatap dalam. Penuh kelembutan, mencoba tenggelam dalam samudera setia dan kasih sayang di antara mereka. Lama mereka saling melempar pandangan hingga saatnya tiba mereka lepaskan malam kesendirian mereka dan meleburkan cinta.

* * *

“Bagaimana Jung So Min, apakah semua persiapan sudah beres?”

Kim Bum berdiri di samping Jung So Min. Gadis itu sedang berdiri memperhatikan para pekerja dekorasi. Ia mengangguk pelan.

“Sore ini pesta sudah bisa dimulai!” serunya riang. Kim Bum menatap matanya dan sebuah getaran mengetuk pintu hatinya. Jung So Min memalingkan wajah. Ia mencoba mengabaikan getaran aneh yang bisa menganggu kinerjanya.

Dekorasi pelaminan sudah rampung hanya perlu ditata sedikit lagi, memberikan sentuhan-sentuhan terakhir agar lebih terlihat glamour. Waktu merangkak pelan-pelan meninggalkan siang yang terik. Taman Century sudah mulai ditutup untuk umum. Pengunjung yang penasaran hanya melihat di balik pagar depan taman. Mengagumi keartistikan pelaminan dan arena pesta yang membuat siapa saja berdecak kagum.

Sementara itu di ruang ganti yang dibangun khusus di pojok taman, Kim So Eun sedang mengeluh kesah seorang diri. Meski ia telah melepaskan segenap jiwanya pada Kim Bum namun gadis itu masih tak percaya diri tatkala harus berdiri di depan tamu undangan dengan gaun pengantin yang berukuran sangat besar. Ia masih memegang gaun itu di tangannya. Belum ada keberanian untuk memakainya.

Song Hye Gyo masuk ke dalam tenda ruang ganti dan mendapati keresahan di wajah Kim So Eun. Ia merebut gaun dari tangan adiknya itu dan mengelusnya lembut.

“Gaun ini cantik sekali, Kim So Eun… Kim Bum memang pintar dalam segala hal.” Song Hye Gyo menatap Kim So Eun, “ia pasti sangat berharap kau memakai gaun ini.”

“Ta… tapi, Eonni… aku terlalu…” Kim So Eun menunduk, “… gemuk….” Desisnya.

“Apakah Kim Bum mengomentari tubuhmu saat kalian melewati malam bersama? Tidak, kan!?” Song Hye Gyo mulai kesal.

“Iya… tidak, dia memperlakukanku dengan sangat baik.”

“Kim So Eun,” ditatapnya gadis itu dalam-dalam, “Kalau Kim Bum tidak menerima kau apa adanya tak akan pernah ada pernikahan dan tak ada pesta besar seperti ini. Percayalah… kalau cinta tak harus memandang fisik semata. Gaun ini menjadi saksi bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan yang terbaik.” Song Hye Gyo mendekapkan gaun itu ke dada Kim So Eun, “pakailah gaun ini. Dengan penuh rasa cinta pada Kim Bum. Tak akan ada yang melihat kelebihan di badanmu tapi mereka melihat kelebihan dari pribadimu, Kim So Eun.”

Song Hye Gyo keluar dari tenda. Kim So Eun merenungi kalimat kakaknya tadi. Ia kembali menghadap cermin dan membuang jauh-jauh segala pikiran negatif yang menjaringnya dalam kebimbangan. Dikenakannya gaun itu pelan dan hati-hati. Ia tahu ada cinta Kim Bum di dalam gaun itu dan ia akan memakai cinta itu untuk menebarkan kasih sayang. Wajahnya sudah dipulas cantik oleh tata rias, rambutnya pun sudah dibentuk sedemikian rupa. Kini ia hanya memasang hiasan-hiasan di sekitar rambutnya dan memakai topi tudung kecil. Kim So Eun tersenyum puas sampai seseorang masuk ke dalam tenda.

“Sudah siap?” tanya Jung So Min dengan tatapan dingin. “Mempelai wanita ditunggu di tenda keluarga,” lanjutnya. Kim So Eun mengangguk dan keluar dari tenda ruang ganti perlahan-lahan.

Jung So Min memandangi sosok itu hingga menjauh. Datar. Tajam. Memicing. Seandainya… aku yang terlebih dahulu bertemu Kim Bum. Mengapa harus gadis itu?

“Hore… hore! Hidup Kim So Eun! Hidup Kim Bum!” teriak Jung Yong Hwa yang selalu menjadi si tuan pemeriah acara. Resepsi yang formal sudah mereka lewatkan dan Kim So Eun berhasil membuang semua bayang-bayang sinis para tamu undangan yang melihat ia bersanding dengan Kim Bum. Malam semakin beranjak gelap. Lampu-lampu taman bersinar dengan cahaya keperakan, sementara bintang yang berkelip hanya sesekali muncul dengan malu-malu.

Suara gelak tawa terdengar ramai. Kim Bum dan Kim So Eun turun dari pelaminan.

“Ayo bopong dia…!” Jung Yong Hwa kembali memanasi suasana.

Kim So Eun menahan napas kaget. Ia berharap itu hanyalah lelucon yang akan dilupakan begitu saja. Nyatanya suara-suara lain yang meminta hal sama juga berdatangan. “Ayo, Kim Bum, gendong Kim So Eun, bopong sampai ke dalam mobil!” seru yang lain bersahutan.

Kim Bum dan Kim So Eun berjalan menuruni tangga batu yang sengaja disusun, di kanan kiri mereka terdapat taman kecil buatan dengan pot-pot besar. Seluruh keluarga dan teman dekat mulai bertepuk tangan mendesak Kim Bum segera membopong Kim So Eun. Rasa kesal dan malu menjalari tubuh Kim So Eun. Ia tahu Kim Bum tak akan kuat membopong tubuhnya yang dua kali lebih berat dari suaminya itu. Ia ingin menarik tangan Kim Bum agar segera pergi meninggalkan keriuhan keluarga.

Sayangnya, Kim Bum menarik tangan Kim So Eun dan mengenggamnya erat. Ia menempelkan jari telunjuknya di bibir Kim So Eun yang hendak berkomentar. Kim Bum mulai memegang pantat Kim So Eun dan menaikkan tubuh gadis itu ke udara. Sekuat tenaga ia menahan seluruh beban pada lututnya. Semua orang tercengang melihat Kim Bum mulai membopong Kim So Eun. Gadis itu melingkarkan kedua tangannya di leher Kim Bum. Suaminya berjalan pelan-pelan menuruni tangga.

Ketahanan Kim Bum tiba-tiba luluh, kakinya salah melangkah dan meruntuhkan tumpuan, lututnya bergetar dan ia terjatuh, lututnya menabrak tangga dengan keras dan posisi bersimpuh. Kim So Eun memekik ketakutan. Semua berusaha menolong Kim Bum dan naik ke atas tangga, namun terlambat, Kim Bum menahan tubuh Kim So Eun agar tidak jatuh, ia berusaha agar bidadari tercintanya itu tetap dalam pelukannya. Tubuh Kim Bum terjengkang ke samping, kepalanya terantuk bibir pot besar yang terbuat dari batu kali. Semua berteriak panik, Jung Yong Hwa sudah sampai di samping Kim Bum yang pingsan dengan tiba-tiba. Suami Song Hye Gyo dan suami Yoon Eun Hye menahan tubuh Kim So Eun yang masih dalam pelukan Kim Bum, tangan lelaki itu lunglai dan pelukannya mengendur. Suami Song Hye Gyo berusaha menurunkan Kim So Eun agar turun dari pelukan Kim Bum dan berdiri dengan normal.

Dilihatnya darah mulai berceceran di lutut dan kepala Kim Bum. Tangis meledak. Kim So Eun terguncang. Yoon Eun Hye memeluk Adiknya itu. Ibu Kim So Eun berusaha menenangkan dan membawanya menjauh dari lokasi. Jung Yong Hwa dan beberapa teman laki-laki lainnya segera mengangkat Kim Bum dan membawanya menuju mobil BMW Putih-nya lelaki itu. Keadaan mencekam. Terlihat beberapa orang panik dan hilir mudik. Kim So Eun ikut masuk ke dalam mobil dan menangis terisak di depan Kim Bum yang terbujur kaku.

Sorot mata sedih dan gelisah juga terpancar di sudut pelaminan tatkala mobil-mobil itu pergi meninggalkan tempat resepsi dengan perasaan kacau. Jung So Min meremas kedua tangannya. Getaran di dadanya semakin membuncah, serasa ingin meledak dan berhamburan keluar.

“Kim Bum… bodoh…” gumamnya sambil berlalu meninggalkan taman.

Para pekerja mulai berdatangan. Membenahi pelaminan yang sudah ditinggalkan kedua mempelai.

Bersambung…

True Love (Chapter 1)



Chapter 1
Cinta Tak Hanya Sekedar...

Lelaki itu tahu betapa cintanya pada Kim So Eun lebih dari sekedar cinta semata. Ia menyelami kepribadian gadis itu dengan begitu dalam hingga ia hampir tenggelam dalam kepatahatian. Wajahnya yang putih, bersih, mulus, senyumnya yang menenangkan jiwa dan lekuk tubuh yang langsing membuat semua lelaki memandangnya dengan decak kagum.

“Kim Bum, sudah saatnya kau melupakan Kim So Eun,” ujar Jung Yong Hwa, sahabat lelaki itu, “dua minggu lagi kan, kau sudah berangkat ke Amerika untuk kuliah S2 di sana. Tak usahlah memikirkan dia lagi.”

“Tidak semudah itu, Jung Yong Hwa. Aku mencintainya sudah sangat lama. Aku sangat mencintainya…” Kim Bum, lelaki itu, menundukkan kepala, menahan tangisnya yang menggumpal begitu lama. Tapi ia masih memegang doktrin dari kedua orang tuanya bahwa lelaki jantan tak pantas mengeluarkan air mata.

Lalu bagaimana aku harus melesakkan gundah yang empat tahun belakangan ini membunuhku pelan-pelan hingga aku hampir mati rasa. Kim Bum membatin. Lagu jazz mengalun lembut di lobi kafé. Membuat Kim Bum mengetuk-ngetukkan jemarinya pelan, berusaha menikmati suasana dan tak terbawa perasaan sensitifnya.

“Kim Bum, Kim So Eun tidak mencintaimu… dia terlalu cantik.”

“Apa aku tidak cukup tampan untuk bisa bersanding dengannya?”

Kim Bum menggugat.

“Justru karena kau tampan dan jadi idola di kampus ini, jadi… lupakan Kim So Eun!” Jung Yong Hwa gemas melihat tingkah sahabatnya itu.

“Tidak… sebelum aku pergi ke Amerika aku berjanji dia akan menjadi milikku,” Kim Bum mengepalkan tangan, “Aku tidak akan menyerah!” Kim Bum berdiri dan menyambar jaket yang ia sandarkan di sofa. “Aku akan melamarnya… aku ingin dia menjadi istriku.”

Kim Bum berpamitan pada Jung Yong Hwa yang masih menikmati soft drink-nya.

Jung Yong Hwa mengendikkan bahu, bersandar pada sofa dan memandangi punggung Kim Bum yang semakin menjauh. Ia tersenyum simpul.

“Semoga kau bisa mendapatkan cintamu itu, Kim Bum…” gumamnya.

* * *

Lagu cinta semakin memabukkan hati Kim Bum. Ia memetikkan gitarnya di kursi taman yang dipenuhi bunga-bunga cantik yang khusus ia pesan untuk Kim So Eun. Sementara gadis itu terduduk manis di depan Kim Bum, tersenyum lebar sambil sesekali ikut bersenandung.

Mata Kim Bum menebarkan jaring-jaring, ia lebarkan hingga memerangkap pandangan Kim So Eun. Membuat gadis itu tak bisa menoleh kepada hal lain. Hanya Kim Bum yang ada di hadapannya. Kim So Eun tertawa kecil, berusaha menenangkan hatinya yang berdebar. Suasana taman Century lengang sudah. Hampir semua pengunjung di sana enggan mendekati tempat seorang pemuda yang sedang berjuang mendapatkan cintanya. Semalaman Kim Bum menata bunga-bunga di tengah taman, menyiapkan set meja makan dan kursi untuk lunch romantis berdua dengan pujaan hati.

Kim Bum mengenggam tangan gadis itu erat, “Kim So Eun, ini pengakuan cintaku yang keempat kalinya dan aku berharap inilah terakhir kali aku harus memohon agar kau mau menjadi istriku….”

Mata jernih milik Kim So Eun membesar. Ia tak menyangka Kim Bum akan berkata sejauh itu. Bukan memintanya untuk menjadi pacar tetapi istri.

“Me… me… menikah?” gemetar bibir Kim So Eun bertanya.

Kim Bum menggeleng pelan, “maaf… iya maksudku…” gugup menyergap, “aku memang ingin kau jadi istriku… aku.” Kim Bum menarik napas mengatur nada suara dan kalimatnya. “Aku… aku akan pergi ke Amerika untuk meneruskan kuliah. Hanya empat tahun dan aku berharap kau mau menungguku Kim So Eun.”

Kim So Eun memalingkan wajah dari binar mata Kim Bum yang membuat hatinya mengangkasa jauh sekali. Ia resapi warna-warna bunga-bunga di taman dan mendapati sepasang kupu-kupu cantik sedang bercengkrama, terbang, membagi sari bunga, meliuk-liuk seolah menari merayakan cinta yang bersemi.

“Kim So Eun bicaralah,” harapan lelaki itu membuncah.

Kupu-kupu terbang mencari bunga lain. Beriringan ditimpa cahaya matahari siang. Meski panas menyengat, keteduhan pohon rindang di atas mereka mampu membuat hati sepasang manusia itu tersiram embun-embun kasih. Kim So Eun mengangguk pelan dan malu.

“Aku harap, kau mau menerimaku apa adanya,” ujarnya sambil meremas kembali tangan Kim Bum yang masih mengenggam jemarinya.

“Ya!” jawab Kim Bum mantap, “aku akan menerimamu apa adanya. Karena cintaku dari hati Kim So Eun… dari hati, kau bisa merasakannya.” Kim Bum membawa tangan putih itu menyentuh dadanya yang tak henti berdegup kencang. Seolah kuda yang sedang berpacu cepat menuju garis finish.

Kim So Eun mengembangkan pelangi terbaiknya dari bibir mungil. Sesungguhnya ia hanya ragu selama ini. Meragukan cinta Kim Bum yang tulus. Meragukan dirinya sendiri, apakah patut ia dicintai? Kim So Eun tak pernah merasakan cantik meski anugerah itu telah dimilikinya sejak lahir. Kim Bum meletakkan gitar di pangkuannya seraya memohon untuk memeluk gadis impiannya itu. Kim So Eun tak menjawab, ia diam namun matanya melukiskan beribu kebahagiaan. Kim Bum melampiaskan rindunya. Rindu untuk bisa mencintai gadis itu dengan utuh.

“Aku berjanji… akan menunggumu, Kim Bum,” bisik Kim So Eun.

“Aku berjanji melebihi janji apapun… sepulang dari Amerika aku akan segera melamarmu,” Kim Bum melepaskan pelukannya dan mengangkat dagu Kim So Eun. “Aku tak akan mencari mutiara lain selain dirimu….”

Taman Century semakin redup oleh awan yang berarak pelan, mengantarkan waktu menunaikan tugas menggulirkan senja satu-satu, membentangkan jingga di angkasa.

* * *

Pesawat dari bandara Eclipse berdengung kencang, mendarat mulus di landasan bandara Twilight. Di lobi kedatangan, Kim So Eun bergerak resah. Sesekali ia mengelap peluh. Langkahnya terasa berat. Matanya menggerayangi setiap bayangan orang yang baru turun dari pesawat dan masuk ke lobi kedatangan. Ia gugup… menyambut kedatangan Kim Bum. Pulang kembali ke kota Seoul, tempat mereka kelak akan merajut mimpi. Membangun istana hati berdua. Senyum Kim So Eun mengembang tatkala dilihatnya sosok tercinta itu berjalan ke arahnya. Dengan setelan kemeja dan jas rapi, layaknya eksekutif muda.

Bunga cinta Kim So Eun mengembang, semerbak wanginya membuat ia terlena. Direntangkan kedua tangannya, hendak merengkuh tubuh yang begitu lama meninggalkannya dalam kerinduan. Sosok tercintanya semakin mendekat.

“Kim Bum…” suara Kim So Eun riang.

“Kim Bum!” Dan lelaki itu berlalu begitu saja. Meninggalkan Kim So Eun yang berdiri terpaku. Tak sedikit pun ia menoleh sekadar menyapa mata yang begitu lama melekati dirinya.

“Kim Bum!” teriak Kim So Eun. Kim Bum tak sedikit pun menoleh, bahkan sosok lelaki itu semakin jauh meninggalkan Kim So Eun. Ia yakin ia telah berteriak begitu keras.

Tapi kenapa Kim Bum tak mendengarku? Apakah Kim Bum sudah tak mencintaiku? Apakah dia sudah tak mencintaiku?! Pekik hatinya tertahan.

“Kim Bummm!” sekuat tenaga ia keluarkan isi pita suaranya.

Kim So Eun terengah, matanya terbelalak lebar dan menyapu seluruh ruangan. Sayup-sayup ia mendengar deru napasnya yang tak teratur, suara jangkrik yang setia bernyanyi meski malam semakin hitam, dan detak jarum jam yang menari melingkari angka. Kim So Eun terbangun dari tidur panjangnya. Ia tuntaskan mimpi yang tak pernah selesai itu.

Sudah empat hari belakangan ini Kim So Eun senantiasa bermimpi hal yang sama. Kim Bum turun dari pesawat, masuk ke dalam terminal kedatangan, Kim So Eun merentangkan kedua tangannya, Kim Bum menepis begitu saja lalu pergi. Meski ia memanggil berkali-kali Kim Bum tak kunjung berbalik badan. Kim So Eun mengelap peluh, rambut panjangnya terurai, basah oleh keringat. Ia menyingkapkan selimut lalu turun dari kasur. Berdiri di depan cermin seraya memandangi bayangan dirinya. Kim So Eun mulai ketakutan.

Jangan-jangan ini pertanda, kalau-kalau Kim Bum sudah melupakan janji untuk melamarnya, kalau-kalau Kim Bum bertemu dengan tambatan hati lain lalu meninggalkan Kim So Eun begitu saja. Ia menekan-nekan keningnya yang mulai pening. Matanya memicing, merunut kejadian demi kejadian setahun belakangan ini.

Dimulai dari masalah senioritas di kantornya, sebagai pribadi yang kritis, Kim So Eun tak pernah membiarkan ada penyelewengan di kantor. Sebuah kantor surat kabar nasional yang notabene berisi orang-orang yang berpikiran luas namun ternyata mempunyai karyawan berhati sempit. Korupsi sudah menjamah dunia pers, Kim So Eun berteriak lantang, menentang.

Dan senior-senior yang merasa di ambang masalah mulai menekan Kim So Eun. Membuat rencana-rencana jahat hingga gadis itu mengalami banyak kesalahan bekerja. Puncaknya ia dipecat dengan tidak hormat. Kim So Eun stress. Pikirannya kacau, ia tidak terima kehilangan sebuah pekerjaan yang sudah ia impikan sejak kecil. Yang ia raih dengan meniti anak tangga yang panjang dan seolah tanpa ujung. Kim So Eun membutuhkan pundak seseorang untuk mencurahkan kebingungan hatinya. Namun yang ia dapati hanyalah kehancuran.

Kedua orang tuanya yang sudah menikah selama 30 tahun harus menandaskan jalan perkawinan mereka lewat perceraian. Kim So Eun tak habis pikir kalau ternyata ayahnya menikah lagi dengan seorang janda muda.

Ibunya yang sudah mulai tua selalu menangis menyesali keadaan. Ia tak kuat dimadu, Ayahnya terlalu pilih kasih dan cenderung melupakan hak dan kewajibannya sebagai seorang suami. Kim So Eun ikut terguncang meski kedua kakaknya masih mau merawat dan memberikan support besar kepada Ibu.

Keadaan ekonomi mereka mulai berguncang. Ayah lebih sering mengurus istri mudanya sementara kedua kakaknya yang sudah menikah tak sanggup terus menerus membiayai Ibu. Kebutuhan hidup semakin menghimpit dan menyesakkan dada. Beruntung Ibu masih mempunyai rumah warisan di St.Vyest, Gwangju. Berbekal uang patungan anak-anak mereka, Ibu membeli sebidang tanah dan memilih berkebun. Menghabiskan sisa masa tuanya. Kakak pertama Kim So Eun, Song Hye Gyo, sering menjenguk Ibu. Bahkan dua bulan yang lalu ia dan suami beserta kedua anaknya hijrah ke kota Gwangju setelah diangkat menjadi pimpinan perusahaannya bekerja.

Kim So Eun mengalami depresi, ia hampir putus asa menghadapi hidup. Kehilangan sosok ayah yang selalu memanjakannya dengan segudang materi. Ayah pula yang seringkali mengajarkan dirinya tentang cinta dan kesetiaan. Tapi semua itu bagaikan dongeng yang tak indah bagi Kim So Eun. Ia benci sosok Ayahnya… ia benar-benar butuh sandaran. Tapi sahabat-sahabatnya sibuk dengan pernikahan mereka masing-masing. Usia Kim So Eun semakin menanjak naik. Dua puluh enam tahun dan ia belum menikah. Ia sosok wanita yang setia, menunggu Kim Bum kembali ke Korea membawa gelar S2-nya.

Kegalauan memerangi setianya. Sejak Kim So Eun dipecat dari pekerjaannya, sejak itu pula intensitas Kim Bum menghubunginya berkurang. Tak pernah menelepon dan hanya sesekali mengirimkan e-mail. Pesan terakhir yang ia terima hanyalah kalimat. “Kim So Eun apa kabar?” tak lebih. Tak ada kata cinta ataupun rindu. Terlebih setelah sang Ayah menikah lagi, Kim Bum bagaikan lenyap ditelan bumi. Nomor HP-nya tak aktif, e-mail dari Kim So Eun tak pernah dibalas. Gadis itu kesal, gundah, gulana. Ia pun memilih mencintai yang lain. Makanan. Ya, makanan. Sosok yang ia cintai hingga kini.

Kim So Eun tak tahu harus kemana lagi ia labuhkan sedih. Ia makan apa saja yang ada. Ia lahap apapun yang tersedia. Ia menangis dalam sepi sambil menuliskan roman-roman penuh air mata. Dan bulan lalu novelnya baru saja diterbitkan sebuah penerbit besar. Ia pun menikmati karirnya sebagai penulis dan mulai menerima keadaan bahwa berat badannya naik 15 kilogram. Dengan tinggi 163 cm tentu membuat ia terlihat lebih tambun dan besar. Apalagi makanan selalu menemaninya kala berkarya di depan layar komputer.

Kini Kim So Eun melenguh. Nanar ia tatap bayangan tubuhnya di cermin. Perut yang penuh lemak bergelambir, pipinya yang membulat. Tak ada lagi lekuk tubuh yang membuat kaum Adam tergila-gila, tak ada lagi kaki panjang jenjang yang berjalan anggun di tengah kota. Kim So Eun terisak, pelan-pelan ia nikmati pedih itu. Mengukir malam yang mulai merangkak pergi dengan air mata.

Kemana Kim Bum? Kemana Kim Bum? Batinnya bertanya. Apakah ia akan tetap mencintaiku? Kalau ia tetap mencintaiku, kemana saja ia selama ini? Satu tahun tanpa kabar… apa ia masih hidup? Apa ia masih mau melamarku? Menjadikanku istrinya? Ribuan pertanyaan seperti menusuk syaraf-syaraf otak Kim So Eun. Kadang kala ia tak mampu lagi bermain metafora dengan kata. Ia terlampau bimbang… terlampau rindu….

Ia berbalik badan, berjalan menuju meja kerjanya dan menyalakan komputer pemberian kakak keduanya, Yoon Eun Hye. Memulai sepertiga malam terakhir itu dengan meramu cerita. Menjahitnya pelan-pelan hingga membentuk kisah. Yang pedih, yang sedih, yang menyayat hati. Menyanyikan kerinduan yang mendalam. Berharap pada kupu-kupu yang tengah terbang di negeri matahari, menjadi bunga dalam semalam, menunggu mekar dan sarinya terbawa angin.

Kim So Eun bisu… hanya ditemani suara ketukan tuts keyboard yang bernyanyi dalam nada kosong.

* * *

“Nn. Jung So Min?” tanya seorang perawat yang menata meja di samping tempat tidur pasien. Ia kerap dipanggil Suster Yoona. Wanita yang dipanggil Jung So Min, sedang duduk di pinggir tempat tidur seraya menatap ke luar jendela. Ia menoleh ke arah suster, “anda sudah boleh keluar dari rumah sakit, kan?”

“Iya,” Jung So Min tersenyum, “seharusnya sudah keluar dari tadi pagi. Semua administrasi sudah saya selesaikan. Maaf kalau saya masih duduk di sini, sekedar melihat pemandangan di taman rumah sakit, boleh, kan?”

Suster Yoona tertawa kecil. Ia meletakkan bunga segar ke dalam vas kosong.

“Boleh saja, memang rata-rata pasien yang menginap di kamar satu kosong empat ini senang melihat taman.”

Suster Yoona menghampiri jendela dan melihat pemandangan taman. Sebuah tempat teduh, dimana para pasien yang sedang direhabilitasi mencoba untuk sembuh. Dimana banyak pepohonan rindang nan menyejukkan udara dan mata yang melihat. Tak ketinggalan juga tanaman berbunga yang sedang mekar. Nampak di tengah taman, deretan bunga matahari yang selalu menjadi pusat perhatian pengunjung taman Rumah Sakit Kwanghee.

“Tamannya indah sekali…” raut wajah Jung So Min sedih, “sayang aku hanya bisa melihatnya seorang diri.”

Suster itu paham. Selama satu minggu dirawat di rumah sakit akibat kecelakaan lalu lintas, tak satu pun keluarga Jung So Min yang menjenguk. Hanya teman-teman satu pekerjaannya saja yang datang dan itupun sering membuat gaduh rumah sakit. Ia bekerja di sebuah Event Organizer besar di Seoul, menjabat sebagai public relation. Di tengah kesepiannya, Jung So Min suka bercerita sedikit tentang keluarganya. Kedua orang tuanya sudah meninggal dan adiknya sekarang kuliah di Amerika. Ia tinggal sendirian di sebuah apartemen mewah dengan segala kegersangan yang ia miliki.

“Aku ingin mencintai dan dicintai seorang lelaki,” ujar Jung So Min sebelum akhirnya ia berpamitan pada Suster Yoona. Jung So Min mengambil kopernya dan berpamitan.

“Semoga anda menemukan lelaki terbaik, Nn. Jung So Min,” jawab Suster Yoona tersenyum.

Jung So Min mengangguk lalu berjalan anggun, meski agak pincang, keluar kamar rumah sakit. Ia gadis yang cantik, modis, berkarakter, sedikit terkesan angkuh dan pekerja keras. Kekerasan hidup membuatnya tak mau sembarangan menerima cinta lelaki manapun. Baginya bila cinta itu datang akan ia tangkap dan ia dapatkan. Sampai saat ini, benaknya masih kosong oleh cerita kasih manapun. Banyak lelaki bertekuk lutut dan menangisi kepongahannya.

“Oh iya, nona Jung So Min… jangan lupa, check up satu bulan sekali. Luka di kaki kanan anda belum sembuh benar, jadi ingat saran dokter untuk tidak terlalu lelah.” Pesan Suster Yoona sebelum Jung So Min benar-benar menghilang dari pandangan. Jung So Min mengangguk dan melambaikan tangan. Ia menghela napas pelan. Banyak pekerjaan menumpuk yang menunggunya.

* * *

Sesekali Kim So Eun mencari posisi duduk yang aman. Ia merasa resah bila sewaktu-waktu celana yang ia pakai akan robek. Dirinya tak menyangka kalau pahanya sudah bertambah besar dan celana panjang itu semakin mengecil dan sulit ia kenakan. Tapi hanya itu saja satu-satunya celana dengan ukuran big size yang ia punyai. Harga celana seukuran itu dengan kualitas yang bagus cukup mahal di pasaran.

Dilihatnya jarum jam di tangan, sudah lewat dua jam setelah waktu perjanjian yang ditentukan. Hari ini ia akan bertemu dengan seorang pemilik penerbitan kecil di sebuah food court sebuah Mall di bilangan Jasmine Road. Bulan lalu ia mengirimkan naskah novelnya dan hari ini ia akan mendapatkan jawaban apakah novelnya akan diterima atau ditolak. Seharusnya pihak penerbit itu bisa mengabarinya lewat telepon. Tapi mereka punya kebijakan lain untuk bertemu langsung dengan penulisnya.

Ponsel Kim So Eun bergetar, sejenak kemudian mengalun merdu suara Yesung Of Super Junior dalam It Has To Be You.

“Halo?” Kim So Eun menjawab dengan malas, “iya, bagaimana Tn. Kim Hyun Joong?”

“Maaf Nn. Kim So Eun saya tidak bisa datang ke sana,” suara serak Tn. Kim Hyun Joong, pemilik penerbitan itu terdengar di seberang sana, “mobil saya mogok.”

Decak kesal terdengar kecil dari mulut Kim So Eun, “lalu bagaimana dengan novel saya, Tuan? Apakah jadi diterbitkan?”

“Maaf, Nn. Kim So Eun… saya tidak bermaksud mengingkari janji. Tapi dari pertimbangan kami. Karena kurangnya minat dari pasar maka dengan terpaksa novel anda kami tolak.”

Sepertinya atap food court akan runtuh. Tn. Kim Hyun Joong menjelaskan kembali secara detail alasan-alasan mengapa novel Kim So Eun ditolak. Namun gadis itu bagai menulikan telinganya. Ia sudah lelah. Diakhirinya dialog singkat itu dengan cepat. Kim So Eun memegang kedua keningnya. Peluh bercucuran dan ia merasa perutnya bergejolak. Lapar. Bergegas ia memesan hamburger, ayam goreng, soft drink, dua kantung kentang goreng dan spagetti. Ia seperti melayang ketika menikmati semua hidangan itu. Pikirannya berjalan entah kemana.

Seseorang menghampirinya.

“Kim So Eun?!” pekik Jung Yong Hwa tiba-tiba. Ia menggeser bangku kosong di sebelah Kim So Eun dan duduk di sampingnya. Ia pandangi gadis itu dari atas sampai bawah. “Wow!”

“Kenapa? Ada yang salah dengan penampilan baruku?” tanya Kim So Eun dingin.

Jung Yong Hwa menahan tawa, ia tak mau menyakiti hati pacar sahabatnya itu.

“Tidak ada yang salah Kim So Eun. Hanya saja… kau terlihat sangat berbeda. Sungguh, berbeda sekali.”

“Kau tak usah berbasa-basi untuk sekedar mengatakan bahwa tubuhku sangat besar, bukan?” Kim So Eun menghabiskan softdrinknya lalu bersendawa halus. Ia berdiri dan mengambil tas tangannya di atas meja.

“Kim So Eun tunggu…” Jung Yong Hwa menggamit tangan Kim So Eun. Ia merasakan tangan itu sudah tumbuh menjadi dua kali lipat namun sekuat tenaga ia tak berkomentar. “Tadi Kim Bum ke rumah kontrakanmu. Tapi dia tak menemukanmu di sana….”

Mata sayu itu kini berubah menjadi cerah. Senyumnya mengembang. “Kau tidak bohong, kan? Kim Bum sudah kembali dari Amerika?”

“Ya! Dan dia membawa hadiah special untukmu!”

Kim So Eun tertawa kecil. Sejurus kemudian ia merasa sesak. Kaos yang melekat di badannya terlampau sesak. Disadarinya kini, bahwa ia bukanlah Kim So Eun cantik yang dahulu dipuja banyak lelaki. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya. Malu menyergap. Ia tak peduli segala cacian yang muncul dari mulut Jung Yong Hwa ataupun dari pria mana saja. Tapi ia tak siap bila Kim Bum yang berkomentar lalu pergi meninggalkannya. Air matanya meleleh.

“Apa Kim Bum masih mencintaiku?” tanyanya dengan getar getas.

Jung Yong Hwa agak ragu untuk menjawab. “Aku tidak punya hak untuk menjawab, Kim So Eun.”

Kim So Eun pamit pulang pada Jung Yong Hwa lalu pergi meninggalkan sahabat lelaki terkasihnya itu sendirian di food court.


* * *

Sesampainya di rumah, Kim So Eun berdiam diri sejenak di teras. Berharap Kim Bum akan kembali datang lagi. Namun hingga rintik hujan membasahi bumi, sosok terindu itu tak muncul. Kim So Eun masuk ke dalam rumah. Menyeduh mie instant dan menikmatinya sambil menonton televisi. Tak ada acara menarik, semua hanya terlihat seperti orang-orang berseliweran tanpa makna di mata Kim So Eun.

Kim Bum… apakah cintamu masih seperti dulu? Kemana saja kau selama satu tahun ini? Aku ingin menghampirimu, berjumpa denganmu, rindu menusuk hari-hariku, mengoyak cintaku hingga hancur…. Sampai aku lupa bagaimana sosokmu, seperti apa senyum manismu. Kim Bum… apakah kau masih mencintaiku?

Kim So Eun memejamkan mata. Tangannya hanya memegang cup mie instant yang sedari tadi hanya dimakan beberapa suap. Asap mengepul dan bau sedap yang menggiurkan tak membuat Kim So Eun bernafsu pada makanan itu. Diletakkan cup mie di atas meja. Matanya kosong, menerawang menatap lantai rumah.

Pintu rumahnya diketuk pelan oleh seseorang.

Kim So Eun enggan untuk meninggalkan posisi nyamannya bersantai siang ini. Baru saja ia hendak berdiri, suara ketukan itu menghilang. Kim So Eun penasaran dan membuka pintu. Sesosok pria memunggunginya.

“Maaf, anda mencari siapa?” tanya Kim So Eun.

Pria itu berbalik badan.

Ia tersenyum ramah namun merasa asing dengan gadis besar yang ada di depannya. Rambut pria itu lebih panjang, lebih terawat dengan poni menjuntai ke samping. Kumis tipisnya membuat ia lebih tua, jenggotnya sedikit tumbuh menambah rasa macho pada wajahnya yang tampan, putih dan nyaris tanpa noda. Tubuh tingginya kekar meski terlihat semakin kurus. Menandakan betapa kerasnya ia belajar untuk menyelesaikan tesis S2-nya di Amerika.

Dada Kim So Eun bergejolak, seperti ombak yang menggulung geram. Ia mengigit bibir bawahnya dan memegangi kedua pipinya setengah tak percaya. “Kim Bum?” desisnya pelan.

“Maaf, permisi, Nona… apa benar ini rumah Kim So Eun?” tanya lelaki itu dengan ramah, setengah membungkuk dan tatapan teduh.

Petir tiba-tiba menghantam jantung gadis itu. Panas penuh rasa kecewa merambat-rambat. Mengapa harus kau tanyakan hal itu?! Pekik hatinya. Aku ada di sini, di depanmu. Menunggumu memelukku. Meski empat tahun berlalu… aku masih mencintaimu.

Kim Bum menunggu jawaban dari gadis berbadan besar di depannya. Ia mengernyitkan dahi tatkala melihat mata gadis itu berkaca-kaca. Kim Bum mengeluarkan selembar tissue dan menyerahkannya lembut. “Pakai ini… mungkin anda sedang sakit mata?”

Kim So Eun enggan mengambil tissue itu. Ia memalingkan wajah.

Sayatan-sayatan halus merobek kulit cinta dan jantung kerinduannya. Ia sesak tak kuasa menahan galau dan kecewa yang membuncah, berhamburan lewat kristal bening di matanya.

Lelaki itu semakin heran. Ia mengeluarkan selembar foto dari dompet kulitnya lalu memperlihatkannya pada Kim So Eun. “Apakah benar ini rumah Kim So Eun? Hmmm… dia seperti ini,” foto itu berada tepat di depan wajah Kim So Eun. “Orangnya kurus, langsing, putih bersih, dan….” Kim Bum semakin heran melihat gadis di depannya mulai terisak.

“Maaf apa saya melukai hati anda? Menganggu anda? Maaf…” Kim Bum memasukkan kembali foto ke dalam dompet lalu bergegas untuk pamit, “saya permisi.” Ia melangkah mundur, menuruni tangga teras. Membiarkan tubuh Kim So Eun semakin lemah dan lemas. Gadis itu tak kuasa menahan beban hatinya.

“Apakah kau masih mencintaiku, Kim Bum? Mencintaiku apa adanya?” tanya Kim So Eun berusaha menguasai emosi yang semakin mengaduk-aduk batinnya kini.

Empat tahun bukan waktu yang lama bagi Kim Bum untuk melupakan suara merdu itu. Suara yang sempat membuatnya tergila-gila. Ia berbalik badan, menatap setengah tak percaya pada pandangannya, pada pendengarannya, pada hatinya yang menggebu meminta gadisnya datang ke pelukan.

“Kim So Eun?” Kim Bum menghampiri gadis itu.

Senyum mengembang dari bibir Kim So Eun. Inilah ujung penantiannya, akhir dari kisruh hatinya. Ia bersiap menerima pelukan cinta itu. Dengan suka cita. Kim Bum memegang bahu Kim So Eun dan mengguncangnya tiba-tiba.

“Tadi aku mendengar suara Kim So Eun… dimana Kim So Eun? Apa dia ada di rumah ini?”

Wajah gadis itu semakin bersemu merah. Ia menunduk. Kim Bum paham sikap siapa itu, wanita pemalu yang senantiasa menyembunyikan rasanya dalam diam. Ia mengangkat dagu gadis itu pelan-pelan. Menyelami mata beningnya yang masih sama. Ia lekatkan dalam-dalam hingga ia yakin bahwa cinta masih ada di balik cahaya binarnya.

“Kim So Eun? Kau Kim So Eun?” Kim Bum tersenyum senang. Beberapa jenak kemudian ia tertawa kecil. “Sungguh kau Kim So Eun?”

“Apakah kau masih mencintaiku? Menerimaku apa adanya?” tanya Kim So Eun.

Kim Bum tak menjawab. Ia hanya merengkuh tubuh gadis itu, menenggelamkan wajahnya ke dada bidangnya. Membiarkan gadisnya meluapkan segala rasa rindu. Ia hanyutkan dirinya di samudera biru.

Direngkuhnya tubuh besar itu lebih keras.

“Empat tahun… empat tahun kulalui dengan seribu penantian….”

Tak ada lagi kata yang terucap, tak perlu lagi puisi untuk menyatakan rasa, usah ada suara. Biarkan hening melingkari pertemuan ini. Biarkan kami menyatu merenda kembali cinta yang mulai terkikis waktu.

Bersambung…
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...