Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Senin, 25 Juli 2011

The Right Man (Chapter 10)



"Gentengnya bocor lagi, Park Ji Yeon," Nenek sudah datang mengadu begitu Park Ji Yeon menyandarkah sepedanya. "Bisa kau perbaiki sekarang?"

"Besok saja deh, Nek," sahut Park Ji Yeon segan. "Aku sedang malas."

"Kalau nanti malam hujan bagaimana?"

"Ya paling-paling airnya masuk!"

"Enak saja kalau bicara! Bocornya pas di kepala tempat tidur Nenek!"

"Ya pindah saja," kata Park Ji Yeon seenaknya.

"Orang sedang enak-enak tidur mana ingat pindah? Tahu-tahu wajah Nenek sudah basah!"

"Itu karena Nenek belum mandi!"

"Kurang ajar!" Nenek membeliak tersinggung. Tapi Park Ji Yeon cuma tersenyum. Kim Bum yang kebetulan lewat, terkesiap melihat senyum yang pertama kali dilihatnya itu.

Kalau sedang tersenyum seperti itu, dia mirip perempuan, gumam Kim Bum dalam hati. Dia bahkan lebih cantik dari Baek Suzy!

Dan lamunan Kim Bum buyar ketika Park Ji Yeon melewatinya lagi. Kali ini dengan membawa tangga.

"Astaga," desis Kim Bum tidak percaya. "Kau mau naik ke atas genteng?''

Park Ji Yeon tidak menyahut. Menoleh pun tidak. Dia terus saja membawa tangganya keluar. Kim Bum cepat-cepat membuntutinya.

"Biar Paman yang naik, Park Ji Yeon," pintanya sambil berusaha merampas tangga itu. "Kau tunggu di bawah saja."

"Jangan ikut campur!" bentak Park Ji Yeon sambil mempertahankan tangganya.

"Nanti kau jatuh!"

"Aku bukan anak kecil!"

"Tahu berapa tingginya atap itu? Kamar Nenek kan di tingkat dua! Kalau jatuh, kau tidak sempat permisi pada Ibu lagi!"

"Bukan urusanmu! Minggir!" Park Ji Yeon menyandarkan tangganya. Dan mulai memanjat. Kim Bum merengkuh lengan Park Ji Yeon. Menyeretnya turun. Dan mendorongnya ke samping. Lalu dia mendahului memanjat.

Dengan geram Park Ji Yeon menyerbu ke depan. Berusaha menyingkirkan Kim Bum dari tangga. Dalam pergulatan itu, tidak sengaja tangan Kim Bum menyentuh benda lunak di dada Park Ji Yeon.

Serentak tangan Kim Bum seperti dijalari aliran listrik. Berbarengan saat Park Ji Yeon menepiskan tangan Kim Bum dengan kasar, Kim Bum pun menarik tangannya dengan wajah merah padam.

"Kurang ajar!" geram Park Ji Yeon sengit. Sekujur parasnya merah terbakar.

"Maaf!" desis Kim Bum spontan. "Paman tidak sengaja...."

Mula-mula dikiranya Park Ji Yeon akan menamparnya. Tapi Kim Bum keliru. Park Ji Yeon memang memukulnya. Tapi bukan dengan tamparan biasa. Melainkan dengan pukulan karate yang cukup keras.

Tidak ampun lagi Kim Bum yang tidak menyangka akan mendapat pukulan yang demikian ganas, terjajar beberapa langkah ke belakang.

"Astaga!" desisnya kaget. "Pukulanmu benar-benar akurat! Belajar di mana, hah? Kenapa kau tidak bilang jago karate?"

"Bukan urusanmu," sahut Park Ji Yeon dingin.

Tetapi Kim Bum sudah menangkap sekilas kebanggaan dalam suara Park Ji Yeon. Dan dia tahu apa yang harus dilakukannya. Ketika Park Ji Yeon memutar tubuhnya untuk mulai memanjat, Kim Bum menerkamnya dari belakang.

Seperti sudah menunggu, dengan gesit Park Ji Yeon berbalik. Dan memukul lagi. Tetapi kali ini Kim Bum sudah siap. Beberapa kali pukulan Park Ji Yeon berhasil ditangkisnya.

"Bagus!'' serunya kagum setiap kali Park Ji Yeon menyerang. "Coba lagi!"

Untuk beberapa saat mereka jadi terlihat seperti dua orang karateka yang sedang berlatih! Sampai Kim Bum bingung bagaimana harus menyudahi latihan itu tanpa melukai Park Ji Yeon atau menyinggung harga dirinya.

"Sudah! Sudah!" serunya berulang-ulang. "Paman menyerah,”

"Kau belum kalah!" bentak Park Ji Yeon sengit. "Jangan berteriak-teriak terus seperti banci!"

Astaga, keluh Kim Bum bingung. Anak ini benar-benar minta ditaklukkan!

Tiba-tiba saja Kim Bum menyadari kekeliruannya. Jika dia ingin menguasai Park Ji Yeon, dia memang harus menaklukkannya. Park Ji Yeon mendambakan lawan yang lebih kuat. Bukan lelaki cengeng yang lemah dan santai.

"Baiklah." Kim Bum mulai menukar cara berkelahinya. Dari bertahan menjadi menyerang. "Jaga ini!"

Dan hanya dengan beberapa kali serangan saja, Kim Bum sudah berhasil mendesak Park Ji Yeon dan menjatuhkannya.

"Maaf!" Kim Bum buru-buru mengulurkan tangannya untuk membantu Park Ji Yeon bangun. "Paman menyakitimu?"

Park Ji Yeon menerima uluran tangan Kim Bum. Tetapi bukan untuk membantunya berdiri. Begitu tangan Kim Bum dicekalnya, kakinya menyapu tungkai Kim Bum. Dan Kim Bum jatuh terduduk.

"Wah, curang!" Kim Bum pura-pura menyeringai kesakitan.

"Kau menang," kata Park Ji Yeon sportif. "Jadi Paman boleh naik ke atas?"

"Kita naik berdua."

"Kau tidak takut jatuh?"

"Kau takut?"

Wah, anak ini benar-benar lain dari yang lain!

Tanpa mengacuhkan Kim Bum lagi, Park Ji Yeon bangkit. Membersihkan debu yang melekat di celana jins-nya. Dan mulai memanjat ke atas. Buru-buru Kim Bum mengikutinya.

"Yang mana kamar nenekmu?" tanya Kim Bum ketika mereka sudah sampai di atas.

"Kenapa tanya padaku?" balas Park Ji Yeon pedas. "Tadi kau mau naik sendiri, kan? Jadi sekarang, cari saja sendiri!"

"Aduh, kenapa kau judes sekali?”

"Karena kau konyol!"

"Konyolkah orang yang mau membantumu?"

"Aku tidak perlu dibantu!"

"Kelihatannya memang tidak. Mana gentengnya?"

Untuk pertama kalinya Park Ji Yeon tidak menjawab. Karena dia baru ingat. Gentengnya ketinggalan di bawah! Ketika Park Ji Yeon merayap hendak turun mengambil genteng, Kim Bum mencegahnya.

"Biar Paman saja yang turun. Kau di sini saja."

Dan sebuah perasaan ganjil menyergap hati Park Ji Yeon. Menyelinap ke lubuk hatinya yang paling dalam. Mengapa lelaki ini selalu bersikap melindungi? Dan dilindungi oleh seorang pria setampan Kim Bum menjentikkan sensasi yang belum pernah dimilikinya.

Park Ji Yeon melirik Kim Bum. Dan tiba-tiba menyadari, ada yang tidak beres.

Kim Bum masih berjongkok di atap. Sedang menggoyang-goyangkan kepalanya dengan mata terpejam.

"Hei!" seru Park Ji Yeon tak sadar. Kau kenapa?”

"Tidak apa-apa," sahut Kim Bum sambil menebah, kepalanya. "Pusing sedikit waktu melihat ke bawah tadi."

"Jangan turun dulu. Duduk saja!" Kim Bum menuruti usul Park Ji Yeon. Dia duduk di atap sambil mengurut-urut kepalanya. Dipejamkannya matanya rapat-rapat. Karena kalau dia membuka matanya, dirinya seakan-akan berputar seperti gasing.

Park Ji Yeon ikut duduk. Tidak terlalu dekat. Tapi tidak juga terlalu jauh.

"Kau takut ketinggian? Pusing kalau melihat ke bawah?"

"Biasanya Paman tidak mengidap vertigo*). Mungkin akibat pukulan di kepala Paman."

*)Vertigo > pusing-pusing, sakit kepala ringan - sensasi berputar-putar, sebuah perasaan bahwa Anda akan jatuh.


"Aku tidak memukul kepalamu."

"Oh, bukan Park Ji Yeon! Seminggu yang lalu Paman terlibat perkelahian. Mereka memukul kepala Paman dengan kayu dan botoL"

"Kau tukang berkelahi, ya?" suara Park Ji Yeon melunak.

"Paman menyebutnya pengeroyokan. Bukan perkelahian."

"Kau dikeroyok?"

"Coba kalau ada Kau. Kau jago berkelahi juga kan, Park Ji Yeon."

"Aku tidak pernah berkelahi."

Kim Bum membuka matanya. Masih pusing sedikit.

"Lalu untuk apa kau belajar karate?"

"Bela diri."

"Membela Ibu dan adik-adikmu?"

"Ibu tidak perlu dibela. Ibu kuat. Ibu tidak butuh siapa pun."

"Kata siapa? Suatu hari nanti kau akan tahu, Ibu tidak sekuat yang kau sangka. Ibu membutuhkanmu."

"Ibu cuma butuh laki-laki."

"Seharusnya Kau-lah yang jadi anak lelaki Ibu."

"Ibu tidak ingin punya anak laki-laki."

"Untuk apa anak laki-laki? Ibu kan punya kau! Sebagai anak perempuan pun kau lebih berguna dari sepuluh anak laki-laki!"

"Ah, jangan sok tahu!"

"Tidak percaya? Kau tidak perlu jadi anak lelaki untuk menjadi pelindung Ibu!"

"Kepalamu masih pusing?"

"Sedikit. Tapi tanahnya masih berputar kalau Paman melihat ke bawah."

"Diam-diam saja di situ. Aku turun ambil genteng!"

"Kenapa jadi mengobrol di atas?" teriak Nenek dari bawah. "Gentengnya sudah diganti belum?"

"Cerewet," desis Park Ji Yeon sambil meluncur turun.

Dia mengambil gentengnya. Dan memanjat kembali ke atas. Ketika Park Ji Yeon sedang mengganti genteng yang bocor itu, tiba-tiba saja Kim Bum harus mengakui. Park Ji Yeon memang tidak membutuhkan pertolongannya.

* * *

"Kenapa lama sekali di atas?" tegur Baek Suzy begitu Park Ji Yeon masuk.

"Ambilkam minuman," sahut Park Ji Yeon acuh tak acuh. "Paman-mu pusing lagi."

"Kau tadi berkelahi, ya?"

"Cuma latihan."

“Cuma latihan berkelahi?''

"Jangan banyak tanya! Lebih baik kau ambilkan minuman untuk Paman-mu!"

Sejenak Baek Suzy mengawasi kakaknya dari belakang. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia mengambil minuman ke dapur.

“Terima kasih, Cantik." Kim Bum tersenyum lembut ketika Baek Suzy menyodorkan segelas es sirup. Diteguknya minuman itu sampai habis. "Wah, segar sekali. Rasanya pusingnya langsung hilang!"

"Paman sering pusing begini?" Baek Suzy tidak menyembunyikan kecemasan dalam suaranya.

"Oh, cuma beberapa hari ini saja. Jangan khawatir. Nanti juga hilang."

"Mau obat pusing, Paman?”

"Tidak usah. Paman berbaring dulu saja, ya? Pusingnya pasti lebih cepat hilang kalau tiduran."

Kim Bum berbaring di sofa sambil memejamkan matanya. Ketika dibukanya kembali matanya, dilihatnya Baek Suzy masih tegak memandanginya.

Kim Bum memberinya seuntai senyum simpatik. Dan seperti baru tersadar dari pesona yang memukau, buru-buru Baek Suzy membalikkan badannya. Menyembunyikan parasnya yang kemerah-merahan. Dan lekas-lekas membawa gelas kosong itu ke belakang.

* * *

"Anak-anakku mungkin sudah tidak menginginkan seorang ayah lagi, Kim Hyun Joong," sahut Kim So Eun terus terang ketika Kim Hyun Joong mengajaknya makan siang. "Bagi mereka, figur ayah hanyalah seorang laki-laki yang tidur bersama ibunya, memberikan seorang adik baru, kemudian pergi tanpa pernah kembali lagi."

"Itu karena mereka belum mengenalku, Kim So Eun. Jangan samakan aku dengan ayah-ayah mereka yang lain. Aku bukan hanya akan memberi mereka seorang adik laki-laki. Aku juga akan memberikan kasih sayang, perlindungan, dan masa depan kepada mereka."

"Kim Hyun Joong," cetus Kim So Eun tiba-tiba, "seandainya aku meninggal lebih dulu darimu, apa yang akan kau perbuat terhadap anak-anakku?"

"Kim So Eun." Kim Hyun Joong menatap Kim So Eun dengan heran. "Kenapa tanya seperti itu?"

"Aku tidak rela anak-anakku dititipkan di panti asuhan. Atau diadopsi oleh orangtua yang berbeda."

"Tentu saja tidak." Kim Hyun Joong tertawa lunak. "Anak-anakmu kan anak-anakku juga? Aku akan merawat mereka seperti anak-anakku sendiri."

"Juga sepeninggal diriku?"

"Kim So Eun! Apakah ini suatu syarat?"

"Jangan salahkan aku. Kaummu yang telah membuatku jadi begini.”

"Sudah kukatakan, jangan samakan aku dengan mereka.'" desis Kim Hyun Joong tersinggung. "Aku bukan Sekadar mesin bibit.'"

"Satu hal lagi,aku tidak mau anak-anakku punya ibu tiri."

"Astaga! Apa-apaan kau ini, Kim So Eun? Siapa yang bilang kau akan mati lebih dulu dariku? Aku kan 3 tahun lebih tua. Dan menurut statistik, laki-laki lebih cepat mati daripada wanita!"

"Aku serius, Kim Hyun Joong. Kalau kau menikahi seorang janda dengan lima orang anak gadis, kau bukan hanya menikahi seorang perempuan saja! Pada hari kau menjadi suaminya, kau langsung menjadi bapak dari anak-anaknya!"

"Kau tahu, sayang? Itu yang kuidam-idamkan selama ini! Jadi Ayah dari selusin anak!"

"Setengah," ralat Kim So Eun. "Jatahmu cuma satu."

"Kalau kali ini bukan anak laki-laki lagi?"

"Bagiku sama saja. Hamilnya tetap sembilan bulan sepuluh hari."

"Kau betul-betul tidak ingin anak laki-laki?"

"Bukan aku yang menentukan. Kromosom yang kau berikanlah yang menentukan anak kita lelaki atau perempuan!"

"Kau tidak ingin punya pelindung untuk kelima anak perempuanmu?"

"Untuk apa? Kan ada ayahnya!"

Kim Hyun Joong tertawa puas mendengar jawaban yang tepat itu.

* * *

Kim So Eun membaca surat itu dengan marah. Surat pengaduan dari kepala sekolah Park Ji Yeon. Sudah sebulan dia tidak masuk sekolah. Sebulan! Padahal setiap hari Park Ji Yeon pergi meninggalkan rumah. Kurang ajar. Dia ditipu mentah-mentah. Oleh anaknya sendiri!

"Kau kan bukan anak kecil lagi, Park Ji Yeon!" geram Kim So Eun ketika Park Ji Yeon pulang sore itu. "Masa harus Ibu awasi terus? Bolos sekolah seperti anak kecil saja!"

"Aku tidak mau sekolah lagi," sahut gadis itu tenang. Sedikit pun dia tidak tampak merasa bersalah. Apalagi takut.

"Lantas kau mau jadi apa?" damprat Kim So Eun kesal. "Anak jalanan? Pemulung? Gelandangan?"

"Aku mau kerja."

"Kerja? Kerja jadi apa anak lulusan SMP sepertimu? Kau baru kelas 2 SMA, Park Ji Yeon!"

Sekarang Park Ji Yeon mengangkat wajahnya Sorot matanya yang begitu meyakinkan membangkitkan perasaan aneh di hati Kim So Eun.

"Aku sudah kerja," katanya bangga. "Di pabrik obat."

Kim So Eun mundur dengan terkejut. Matanya terbelalak menatap Park Ji Yeon. Tetapi ketika dia mengedip lagi, ada air di sudut matanya.

"Kenapa, Park Ji Yeon?" keluhnya antara sedih dan kecewa. "Kenapa melakukan ini pada Ibu? Ibu ingin kau sekolah. Jadi insinyur. Bukan buruh di pabrik obat! Apa pikirmu yang mendorong Ibu bekerja sekeras ini? Ibu berjuang untuk masa depanmu, Park Ji Yeon!"

"Aku ingin membantu Ibu," sahut Park Ji Yeon tegas. "Kalau aku sudah bisa cari uang, Ibu tidak perlu kerja lagi. Ibu bisa tinggal di rumah. Dan kita tidak perlu seorang ayah lagi!"

“Tapi berapa gajimu sebagai buruh di pabrik obat, Park Ji Yeon? Sampai kapan kau baru dapat menghidupi adik-adikmu?"

"Kalau Ibu punya modal, aku bisa dagang."

"Park Ji Yeon, Ibu ingin kau sekolah dulu!"

"Tapi aku tidak ingin punya ayah lagi, Ibu!"

Sekarang Kim So Eun tertegun bingung. Tidak tahu harus menjawab apa.

"Park Ji Yeon," gumam Kim So Eun setelah mampu membuka mulutnya lagi. "Apa sebenarnya fungsi seorang ayah menurut pendapatmu?"

"Semua ayah yang Ibu berikan padaku cuma bisa memberi adik."

"Paman Kim Hyun Joong lain, Park Ji Yeon. Dia betul-betul ingin menjadi ayahmu."

"Paman Kim Hyun Joong?" Ada sinar kebencian yang menyala di mata Park Ji Yeon. "Ibu akan menikah dengan dia?"

"Tidak tanpa persetujuanmu dan Baek Suzy."

"Tapi dia sudah punya istri, Bu!"

"Mereka akan bercerai."

"Dan Ibu yang membuat mereka bercerai?"

"Paman Kim Hyun Joong ingin mempunyai anak, Park Ji Yeon. Kalianlah anak-anaknya."

"Ibu!" desis Park Ji Yeon marah. "Kenapa kita tidak bisa hidup seperti ini saja, Bu? Kenapa kita tidak bisa hidup tanpa laki-laki?"

"Karena Tuhan menciptakan laki-laki dan wanita, Park Ji Yeon. Dengan kodrat dan fungsi yang berbeda. Kau dan Ibu membutuhkan mereka sama seperti mereka membutuhkan kita."

"Tidak!" sergah Park Ji Yeon kalap. "Aku tidak butuh laki-laki!"

Dengan marah Park Ji Yeon meninggalkan rumah. Sia-sia Kim So Eun mengejar sambil memanggil-manggil namanya. Ketika Kim So Eun memutar tubuhnya dengan lesu, matanya bertemu dengan mata Baek Suzy yang berlinang air mata.

"Ibu sudah janji tidak akan menikah lagi," rajuknya getir. "Aku malu, Bu!"

"Kali ini tidak ada yang perlu malu, Baek Suzy. Paman Kim Hyun Joong akan membawa kita pergi dari sini. Kita akan tinggal di rumahnya seperti satu keluarga."

"Tapi dia sudah punya keluarga, Ibu! Sudah punya istri! Apa Ibu tidak malu jadi istri muda?"

"Mereka akan bercerai, Baek Suzy."

"Dan Ibu yang membuat mereka bercerai? Oh, aku malu punya ibu seperti Ibu!"

Sambil menangis Baek Suzy menghambur ke atas. Lari masuk ke kamarnya.

“Ya Tuhan," keluh Kim So Eun putus asa. "Bagaimana harus kujelaskan pada mereka apa yang kulakukan untuk anak-anakku ini?"

Bersambung…

Chapter 9
Chapter 8
Chapter 7
Chapter 6
Chapter 5
Chapter 4
Chapter 3
Chapter 2
Chapter 1
Prolog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...