Kotak mawar yang ketiga datang di akhir pekan.
Maaf kalau kau menganggapku lancang karena terus mencintaimu.
Tapi bisakah kau menghentikan badai?
Tapi bisakah kau menghentikan badai?
Aku tak bisa. Aku bahkan tak kuasa membendung gemuruh di hatiku sendiri. Aku ingin bersamanya, selamanya. Dan itu mustahil.
Sore itu, sebelum aku pulang, kutekan nomor yang sudah kuhapal di luar kepala itu.
“Kalau kau ada waktu, kita bisa melihat pameran lukisan di galeri baru dekat kantorku.”
“Kau yang menentukan apa aku punya waktu atau tidak, Kim So Eun.”
Dan esok harinya kuhabiskan bersama Ok Taecyeon, mendiskusikan lukisan dan benda seni, sesuatu yang lama ingin kuulangi lagi. Aku tak bisa memungkiri betapa menyenangkannya bercakap-cakap dengan Ok Taecyeon, membicarakan seribu satu hal yang tak pernah kusinggung saat bersama Kim Bum. Setelah lama membicarakan masalah seni rupa, Ok Taecyeon tiba-tiba bertanya.
“Kenapa kau menikah dengan Kim Bum?”
“Kenapa kau bertanya?”
“Seingatku, dia bukan tipemu.”
Aku tertunduk.
“Kenapa, Kim So Eun?”
“Kim Bum mencintaiku,” bisikku pelan.
“Apa kau mencintainya.”
Kebisuanku memberinya jawaban.
“Apa kau bahagia?” lanjutnya lirih.
Kutatap matanya yang teduh dan hangat. “Ya.”
“Jangan berbohong.”
“Kim Bum suami yang baik.”
“Tapi apa kau bahagia?”
Bagaimana mengatakan bahwa aku tidak pernah merasa sebahagia saat itu, melewatkan waktu bersamanya?
“Berapa lama kau menikah dengan Kim Bum?”
“Setahun.”
“Maaf kalau ini menyinggung perasaanmu. Tapi apa kau menikahinya karena terpaksa? Karena usia dan….”
“Stop.”
Aku bangkit dan meninggalkannya.
* * *
Maafkan aku kalau perasaanmu terluka karena pertanyaanku.
Tapi bisakah kau renungkan perasaanku sendiri?
Bagaimana hatiku tersiksa ketika tahu pernikahan tidak membuatmu bahagia?
Tapi bisakah kau renungkan perasaanku sendiri?
Bagaimana hatiku tersiksa ketika tahu pernikahan tidak membuatmu bahagia?
Kartu itu bergetar di tanganku dan tulisannya kabur dalam genangan air mataku.
“Nn. Kim So Eun,” tanya sekretarisku yang, entah kapan, telah memasuki ruangan. “Ada apa?”
“Tidak apa-apa,” bisikku, mencoba mengendalikan diri. “Tolong keluar sebentar. Aku harus menelepon Kim Bum.”
Begitu ia keluar, dengan sangat enggan kudial nomor kantor Kim Bum. Aku tiba-tiba sadar bahwa sejak menikah dengannya aku tak lagi pernah mengadu dan bertanya kepadanya tentang segala hal yang menyangkut hati dan perasaan. Dan kini, aku tahu aku sangat membutuhkan masukannya, seperti dulu, sebelum ia menjadi suami simulasiku.
“Kim Bum.”
“Kim So Eun? Ada apa pagi-pagi begini?”
“Aku …. Kau tahu …,” aku terbata. Bagaimana mulai menceritakan kepada suamiku “walaupun hanya simulasi“ bahwa aku sedang dirundung kasmaran kepada lelaki lain? Kim Bum tidak akan marah, aku tahu. Dia tidak berhak untuk itu. Tapi itu tidak membuat segalanya mudah. Ia bukan lagi sekadar seorang sahabat tempat curahan keluh kesah dan semua masalahku. Ia adalah suamiku, simulasi atau bukan sekalipun. Dan menceritakan hal seperti kartu dari Ok Taecyeon dan bunga mawar putihnya terasa sangat tidak pantas dan kejam untuk dilakukan.
“Ya?” desak Kim Bum.
“Aku.... Kim Bum, kau kenal Baek Suzy, kan?”
“Sekretarismu? Tentu.”
“Mantan kekasihnya yang pilot itu kembali.”
“Lalu?”
“Sekarang mereka sering bertemu. Suami Baek Suzy tidak tahu, tentu. Tapi sekarang Baek Suzy bingung. Ia mengaku jatuh cinta lagi dengan mantan kekasihnya itu. Dan si mantan pacar ini pun ingin menikahi Baek Suzy.”
“Tapi Baek Suzy sudah punya anak dua kan?”
“Ya. Tapi menurut si pilot ini, anak bukan masalah. Mereka boleh memilih untuk tinggal dengan siapa.”
“Lalu apa hubungannya semua itu denganmu?”
Aku menghela napas. “Baek Suzy bertanya apa yang harus dia lakukan. Aku tak bisa menjawab.”
“Dan kau bertanya pada guru kesayanganmu ini. Baik. Eh! Tunggu sebentar,” meskipun ia menutup mikrofon telepon, aku bisa mendengarnya berteriak kepada seseorang di ujung sana, “Tunggu sebentar, ini istriku! Ya, mulailah dulu. Aku menyusul.” Istriku. Aku istrinya. Istrinya. Dan jantungku rasanya melesak ke dalam bumi.
“Maaf. Mereka benar-benar tidak bisa apa-apa tanpaku …,” suara Kim Bum kembali di telepon.
“Karena kau yang membuatkan kopi?”
“Kau ini!” ia tertawa, lalu segera kembali serius. “…Kupikir Baek Suzy dan mantan kekasihnya itu terlalu egois. Mereka tidak bisa lagi hanya memikirkan keinginan mereka sendiri. Ada suami Baek Suzy dan anak-anaknya yang juga harus diperhitungkan.”
“…Tapi kalau Baek Suzy tidak bahagia lagi menikah dengan suaminya, apa perkawinan itu harus dan bisa dipertahankan?”
“Sebaiknya kau tanya Baek Suzy, apa dia benar-benar mencintai mantan pacarnya itu, atau mereka hanya terpesona dengan nostalgia masa lalu? Apa mereka benar-benar saling membutuhkan atau mereka hanya ingin mengulang keindahan masa pacaran mereka dulu? Kalau hanya itu yang mereka inginkan, mereka akan kecewa kalau terus bersama, karena Baek Suzy dan mantan kekasihnya itu sudah jadi orang-orang yang berbeda, sudah lebih dewasa, bukan lagi remaja yang masih hijau.”
“Baek Suzy bilang dia hanya mencintai lelaki itu, bukan suaminya. Ia tidak pernah mencintai suaminya.”
“Kalau begitu kenapa dulu ia menikah?”
“Keadaan.”
“Maksudnya?”
“Adik-adiknya sudah ingin menikah semua, tapi orang tuanya tidak mengizinkan karena mereka tidak mau Baek Suzy dilangkahi.”
“Astaga. Kasihan sekali.”
“Jadi bagaimana?”
Kim Bum diam sejenak. “Aku tidak tahu, Kim So Eun. Yang aku tahu, aku tidak mau jadi penyebab ketidakbahagiaan seseorang. Kalau aku sarankan Baek Suzy untuk meninggalkan mantan kekasihnya itu, siapa tahu ia tidak akan pernah bahagia karena merasa terpaksa terus bersama suaminya. Kalau ia meninggalkan suaminya, aku juga tidak menjamin ia akan bahagia dengan orang yang hanya mengenalnya di permukaan, tidak utuh, seperti suaminya.”
“Lantas aku harus bilang apa?”
“Sampaikan saja petuahku ini kepada Baek Suzy. Bilang saja ini saran dari pakar pernikahan kelas dunia yang reputasinya tidak diragukan lagi.”
“Kau sama sekali tidak membantu,” desahku.
“Ini bukan keran bocor atau TV rusak yang bisa diperbaiki begitu saja, Kim So Eun. Sedangkan memperbaiki TV rusak saja aku menyerah, apalagi mengurusi rumah tangga orang.”
“Bodohnya lagi, aku bertanya kepadamu.”
“Itulah, Kim So Eun. Aku sendiri heran kenapa aku mau membuang waktuku dan terpaksa terlambat ikut rapat untuk memberimu saran yang tak berguna.”
Aku tertawa pahit. “Ya, sudah. Pergilah buat kopi sekarang. Terima kasih untuk saran dan waktumu.”
“Sama-sama. Oh! Bosku ke sini. Aku harus pergi. I love you, Honey!” ia berteriak. Lalu kudengar suaranya, sedikit jauh dari telepon. “Iya, Manajer Park, sebentar. Istri saya ….”
Kututup telepon, tiba-tiba merasa begitu dingin dan sendiri.
Bersambung…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar