Silahkan Mencari!!!
I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
Sabtu, 16 Juli 2011
Lelaki Pilihan (Chapter 2)
Emma Watson adalah pengacara perceraian paling dicari di kota ini. Kliennya orang-orang terkenal, yang bersedia membayar mahal untuk mempertahankan kekayaan mereka atau untuk mendapatkan kekayaan itu. Dulu, Kim So Eun pernah bertanya, kenapa Emma Watson lebih suka menjadi pengacara perceraian. Bukankah menyedihkan melihat dua orang yang semula saling cinta, kemudian bertikai memperebutkan harta dan kadang-kadang anak. Menurut Emma Watson, perceraian itu suatu jalan untuk membuka lembar kehidupan baru yang mungkin lebih baik. Daripada bertengkar, saling menyakiti, terluka, dan tertekan, lebih baik berpisah. Kadang-kadang, ada satu pihak yang masih mencintai, tapi apakah kita boleh memaksa orang untuk menerima kita, jika orang tersebut sudah tak punya rasa apa-apa, selain keinginan untuk pergi?
“Bagaimana dengan anak-anak? tanya Kim So Eun, ketika itu.
“Itu yang paling sulit dan menyedihkan,” jawab Emma Watson. “Tapi, mereka akan belajar untuk kuat, daripada setiap hari melihat orang tua mereka bertengkar. Orang-orang dewasa itu sering kali lupa, pada saat marah mereka cenderung membiarkan pertunjukan kekerasan yang tidak pantas ditonton.” Jawaban itu membuat hati Kim So Eun sedikit lebih bertoleransi pada perceraian.
“Jawaban yang bagus.” Kata Kim So Eun.
“Thank you,” jawab Emma Watson. “Ada lagi berita baiknya. Aku mengambil cuti dan bisa pergi ke Korea bersamamu. Bagaimana?”
Mata Kim So Eun membesar, tidak percaya, “Benarkah?”
Emma Watson mengangguk mantap. Semangat Kim So Eun kini bangkit lagi. Asal bersama Emma Watson ke kutub utara pun akan menyenangkan.
“Berapa hari rencana liburanmu?” tanya Kim So Eun.
“Tiga minggu kukira cukup. Seminggu di rumahmu dan dua minggu lagi kita bisa ke Pulau Jeju.”
Kim So Eun membayangkan Ibu yang histeris, Ayah yang mencabut samurai, dan kakak-kakak yang mengutuknya anak durhaka karena setelah sembilan tahun tidak pulang, dia akhirnya memilih bersenang-senang di Pulau Jeju, menyia-nyiakan segala persiapan Ibu dan saudara-saudaranya untuk menyambut kepulangannya.
“Sangat mengasyikkan. Tapi, tidak bisa. Aku siap mengantarmu berkeliling kotaku, tapi kau harus pergi sendiri ke Pulau Jeju. Ibu akan membunuhku jika aku ikut ke sana. Kau mengerti kan bahwa ada suatu misi penting di balik kepulangan ini?”
“Ya. Bukankah kau selalu mengeluh, Ibumu sangat ingin kau segera menikah, punya anak, dan hidup tenang seperti saudara-saudaramu yang lain?”
“Exactly.”
“Tapi, kau tidak punya calon, tidak berpikir tentang pernikahan dan tidak tertarik punya anak.” Emma Watson meneruskan dengan penuh kemenangan, sementara Kim So Eun mengangguk-angguk dengan hikmad. “Lalu, Ibumu berkata, kau sudah tua, umur mulai menggerogoti hari-harimu, dan sekarang kau tidak punya banyak pilihan. Kau akan memilih pria mana saja, yang penting baik, ada pekerjaan tetap, tidak merokok, mabuk-mabukan atau memakai obat-obatan, dan hormat pada orang tua.”
“Begitulah,” Kim So Eun menelungkup pura-pura sedih. “Bahkan, Ibu lebih mementingkan dirinya dengan memasukkan kriteria hormat pada orang tua. Perasaanku malah tidak dibahas sama sekali. Sepertinya, aku ini hewan ternak saja. Bahkan, ukuran wajah pun tidak disebut-sebut. Seharusnya, pria itu tampan sedikit sehingga saat pertama bertemu aku akan jatuh cinta pada wajahnya, cinta pada yang lain-lain bisa menyusul. Atau, mungkin, ada kriteria harta kekayaan. Bahkan, Beauty pun lebih beruntung. Meski, Beast awalnya mengerikan, setidaknya dia kaya raya dan punya istana.”
Emma Watson memerhatikan dengan geli.
“Hei,” Kim So Eun berkata dengan kesal, “Kenapa kau tidak pernah direcoki ibumu seperti ini?”
Emma Watson mengangkat bahu, “Mungkin, Ibuku tidak peduli pada hal-hal begitu. Selama aku tidak sakit, tidak terlibat hutang, tidak ketagihan narkoba, punya uang, dan tidak mengganggunya, itu sudah cukup. Mungkin juga, dia berpikir bahwa aku tipe yang tidak menikah. Entahlah. Aku tidak pernah bertanya dan tidak mau repot-repot bertanya.”
Kim So Eun berdiri berjalan ke sudut batas antara dinding dan kaca, menarik tali tirai. Di balik tirai yang sekarang terbuka, tampak pemandangan kota Los Angeles yang luar biasa. Ribuan lampu bersinar kemilau sejauh mata memadang. Seperti kunang-kunang atau bintang-bintang yang turun ke bumi. Persis seperti di film-film romantis yang sering ditontonnya. Sering kali, jika Emma Watson tidak di rumah, harus lembur, berkencan, atau menikmati sosialisasi malam, Kim So Eun akan duduk berjam-jam, memandangi keindahan yang telah mencuri hatinya.
Pemandangan yang sungguh menakjubkan setidaknya itu menjadi salah satu alasan kenapa apartemen tempatnya sekarang berdiri begitu mahal. Sehingga, orang yang jujur, pekerja keras, namun berpenghasilan kecil seperti dia, hanya bisa memimpikannya. Kim So Eun berbisik dalam hati, seandainya tidak ada Emma Watson, pastilah dia masih tinggal di lubang tikus. Dia menarik napas panjang untuk mengusir rasa nyeri yang menusuk-nusuk di dada. Hidupnya ini, semua karena Emma Watson.
“Princess, menurutmu, apakah tidak apa-apa jika aku tidak membawakan sesuatu untuk keluargamu?”
Ya, entah mengapa sejak pertama kali berkenalan, Emma Watson selalu memanggilnya dengan Princess. Menurut Emma Watson itu nama panggilan yang cocok untuk Kim So Eun.
“Tidak perlu,” kata Kim So Eun. “Kau sudah begitu baik saat Ibu dan Ayah ke sini. Tanpa apa-apa pun, mereka pasti gembira menyambutmu. Bisa membalas sedikit kebaikanmu pada anak mereka tentu sangat menggembirakan.”
Emma Watson mengambil tiket Kim So Eun di meja.
“Kim So Eun,” katanya, membaca nama itu, sambil nyengir jahil. “Apa Namamu ini diambil dari nama seorang putri di kerajaan Korea? Mungkin, saat ibumu hamil ia membaca cerita tentang putri raja di kerajaan Korea dan memutuskan menamai bayinya Kim So Eun bila perempuan.
“Kim So Eun,” katanya, membaca nama itu. “Nama yang tidak asing, seperti sebuah nama di cerita dongeng.”
“Kukira, saat hamil Ibu membaca cerita tentang putri raja di kerajaan Korea pada zaman dahulu kala dan memutuskan menamai bayinya Kim So Eun bila perempuan. Sebetulnya, jika boleh memilih, aku lebih suka jadi lelaki. Nama Lee Young Jae lebih enak didengar.”
“Kim So Eun itu bukan putri. Dia boneka yang dibuat Cha Bong Gun si ahli sihir.” Emma Watson menggerak-gerakkan tangannya, seakan-akan menyihir sesuatu. Lalu, berkata dengan suara dibuat-buat, “Lee Young Jae memandangi Kim So Eun yang duduk di depan jendela. Dia jatuh cinta pada pandangan pertama dan lupa pada pertunangannya dengan Han Ji Eun. Setiap hari dia melewati rumah itu, hanya untuk memandang wajah cantik Kim So Eun dari bawah jendela.”
“Ya, sepertinya, Ibu meramal masa depan dengan baik. Bukankah sekarang dia sudah mulai membuktikan bahwa aku adalah bonekanya? Taliku mulai ditarik-tarik sesuai keinginannya. Aku harus memikat Lee Young Jae-Lee Young Jae yang dipilihkan Ibu.”
“Sepertinya, usaha Cha Bong Gun harus benar-benar kuat karena kau bukan jenis boneka penurut. Setidaknya, kau harus bersyukur menjadi Kim So Eun si Boneka, yang pastilah begitu cantiknya, sehingga bisa memikat hati Lee Young Jae. Pasti dia tipe perayu. Sekarang, yang menarik adalah apakah kau juga akan jadi wanita kedua di antara kisah cinta orang?”
Kim So Eun menggeleng kuat-kuat, “Kupastikan tidak.” Lalu, dia menghela napas, “Kau tahu, di Korea nama itu sangat penting. Nama adalah doa dari orang tua kepada anaknya. Apa namaku juga doa untukku? Kelihatannya, Ibu berharap, jika dewasa aku akan menjadi wanita cantik, yang hanya dengan wajahnya saja dapat merusak pertunangan orang. Coba kau pikir, harapan macam apa itu?”
Emma Watson tertawa. Kim So Eun mendelik, “Apa yang lucu?”
“Kau. Kenapa hal begitu saja jadi masalah? Shakespeare saja bilang, apalah arti sebuah nama. Mungkin, Ibumu tidak peduli komedi percintaan Kim So Eun si Boneka. Dia hanya tertarik dan berpikir bahwa nama itu kedengaran bagus. Bukankah dia juga memberikan nama Kim So Eun bagimu. Bukankah keduanya orang-orang yang cantik?”
Kim So Eun menopang dagunya dengan tangan. Sebetulnya, dia tidak ingin pulang. Bukan karena dia tidak rindu pada keluarganya, tapi dia tahu kepulangannya itu akan membawa banyak masalah. Dipandanginya lagi kegelapan malam dengan ribuan kilau bertaburan. Dia memang boneka, tapi bukan si boneka cantik Kim So Eun yang berdansa dengan Lee Young Jae di pesta desa, tapi boneka badut dengan mulut besar merah yang tertarik ke bawah. Dia mungkin lebih mirip Lee Young Jae, yang jatuh cinta pada orang yang salah. Kim So Eun berharap, seandainya saja waktu bisa dipercepat, sehingga dia tak harus melewati hari-hari yang akan datang dengan cepat.
“Kupikir, mungkin Kim So Eun si Boneka lebih tertarik pada Han Ji Eun yang pintar dan berani, ketimbang Lee Young Jae yang bodoh,” gumamnya pelan.
Bersambung…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar