Silahkan Mencari!!!
I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
Senin, 06 Juni 2011
Soulmate (Chapter 3)
”Aku lelah, Kim Bum. Antar aku pulang, ya.”
“Tidak mau nonton dulu?” Aku tidak ingin berpisah begitu cepat.
“Aku capek sekali. Pekerjaan kantorku banyak sekali hari ini.”
“Ya, sudah. Kau naik kereta pukul berapa?”
“Enam pagi.” Pukul lima besok, aku harus mengantar Yoon Eun Hye ke bandara.
“Kau bisa sendiri?” Aku menatapnya dengan permohonan maaf.
“Tentu saja.” Kim So Eun tertawa, lalu mengangkat bahu. “Ayo.”
Kalau saja aku bisa mempunyai waktu berdua dengan Kim So Eun lebih banyak lagi, memanjakannya lebih lama lagi.
“Terima kasih, ya, makan malamnya.”
Kim So Eun berdiri di samping pintu mobil. Tubuhnya yang tinggi sedikit dibungkukkan untuk dapat berbicara denganku. Rambut panjangnya terterpa angin malam, menebarkan wangi samponya.
“Ya,” aku menjawabnya, sambil memegang tangannya. “Aku punya sesuatu untukmu.”
“Apa lagi?” Kim So Eun tertawa.
Kukeluarkan kotak kecil dari sakuku, yang sedianya akan aku beri secara pribadi dan romantis. Tapi, toh, Kim So Eun bukan gadis yang menganggap keromantisan sebagai hal penting. Dia selalu bersikap sewajarnya dan biasa saja untuk hal-hal yang bahkan menyanjungnya.
“Ini apa?”
Aku mengeluarkan kotak kecil yang sangat bagus.
“Nanti saja kau buka sendiri,” kujawab sambil tersenyum.
“Terima kasih, kau baik sekali.”
Astaga... kalimat itu selalu membuatku semakin sayang padanya. Matanya memperlihatkan ketulusan ucapannya, bukan kerakusan.
“Besok hati-hati, ya.” Aku melepas tangannya.
Kim So Eun seperti biasa mundur dan melambaikan tangannya. Jam tangan Giordano seharga satu kali gajiku yang urung aku berikan pada Yoon Eun Hye, karena ternyata dia memakai jam tangan yang harganya dua kali lipat mahalnya dari yang aku beli, akhirnya untuk Kim So Eun juga.
Menunggu Kim So Eun selama lima hari membuatku merasa sudah berbulan-bulan tidak bertemu Kim So Eun. Berpuluh SMS aku kirim setiap hari, dan Kim So Eun membalas seperlunya. Tapi, aku tidak peduli, aku memang ingin terus mengiriminya kabar.
“Sayang, jangan lupa, besok kita mengepas pakaian, ya?” Yoon Eun Hye mengultimatum.
Mati aku. Aku sudah janji akan menjemput Kim So Eun di stasiun besok.
“Jam berapa?” Aku memang lupa. Bahkan, kalau Yoon Eun Hye tidak meneleponku, aku juga akan lupa menjemputnya.
“Akhir-akhir ini kau selalu lupa. Besok pukul lima, sepulang aku dari kantor. bertemu di bridal saja, ya,” Yoon Eun Hye memandangku manja.
“Baiklah.”
“Ya, sudah, ayo jalan. Kenapa, bengong?”
“Kita mau ke mana?” Aku memang linglung.
“Ya, ampun, Sayang... kita mau ambil undangan pernikahan kita!” Suara Yoon Eun Hye meninggi. “Setelah itu, kita jemput Ayah-Ibumu di bandara. Lupa juga?”
“Maaf,” aku menggumam pelan. Aku memang lupa semuanya. Tiga hari tidak bertemu Kim So Eun membuatku benar-benar senewen. Aku menarik napas dalam dan menjalankan mobil dengan cepat.
“Sayang, arah bridal ke kiri, bukan ke kanan!” Yoon Eun Hye sedikit menyentak kesal.
“Sayang, aku mau ke apotek depan sebentar. Kepalaku sakit, mau flu sepertinya.” Aku beralasan cepat. Aku tidak pernah berbohong pada Kim So Eun.
“Kenapa tidak bilang?!” Yoon Eun Hye menyahut kesal dan tangannya mulai mencari-cari gelombang radio kesayangannya.
“Berapa kau cetak undangannya?” aku bertanya.
“Enam ratus,” Yoon Eun Hye menjawab semangat.
Berarti kemungkinan satu juta orang lebih yang akan hadir.
“Kau sudah menyiapkan daftar semua undangan kita?”
“Sudah!”
“Tidak ada yang terlupa seorang pun?” Aku heran, sebegitu banyak nama, bisa tidak ada yang lupa.
“Tentu saja tidak! Termasuk Kim So Eun!”
Aku tersentak kaget, mengerem mobilku mendadak. Aku tahu betapa pucatnya wajahku.
“Kau kaget?” Yoon Eun Hye dengan tenang memandangku.
“Dia....”
“Hanya teman?” Yoon Eun Hye tersenyum menakutkan. “Kim Bum, Kim So Eun tidak berarti apa pun untukku. Wanita itu tidak akan mempengaruhi pernikahan kita sedikit pun. Aku sama sekali tidak cemburu, apalagi sakit hati.”
Bersambung…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar