Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Sabtu, 04 Juni 2011

Magic Girl (Chapter 5)



Kim So Eun mempercepat langkahnya dengan agak gemetar dan hati deg-degan ketakutan. Namun semakin cepat kakinya mengayun, derap langkah yang membayanginya sedari tadi pun seperti latah ikut mempercepat ayunannya.

Dengan napas memburu dan tanpa berani menoleh ke belakang, Kim So Eun terus melaju. Berusaha mengerahkan segala daya yang ada agar segera meninggalkan koridor kelas yang sepi ini menuju kantin, lapangan, atau tempat lain yang agak ramai.

"Hei!"

Langkah Kim So Eun terhenti seketika saat dirasakannya sebuah tangan yang kuat mencengkeram bahunya.

"Kenapa buru-buru?" tanya Moon Geun Young sambil tersenyum sinis. Kim So Eun mengkerut ketakutan seperti melihat monster-monster purba yang sering dilihatnya di komik-komik fantasi.

"Aku... eh... di..ditung..ditunggu Profesor...Kang Ji Hwan...," Kim So Eun tergagap. Sementara cekalan tangan Moon Geun Young makin dingin dan kuat pada bahunya.

"Aku tak akan lama," Moon Geun Young menyeringai.

"Langsung saja. Moon Geun Young," timpal salah seorang kawanan Moon Geun Young and the gang.

"Aku hanya ingin menyatakan kekecewaanku...."

"A..aku? Apa salahku...?" Kim So Eun terbata.

"Kau mengabaikan kata-kataku, padahal setahuku kau anak yang patuh, pandai, dan tak mudah melupakan sesuatu. Tapi nyatanya..."

"Tunggu apa lagi. Moon Geun Young...!"

"Beri satu tamparan di pipinya, pasti dia kapok!" teman yang lain ikut memanas-manasi.

Keringat dingin membasahi sekujur tubuh Kim So Eun. Kacamatanya yang melorot tak berani dibetulkannya. Lututnya gemetar. Ia mengira kejadian seperti ini cuma ada di film tentang penjara wanita. Tapi ternyata kini ia sendiri mengalaminya di sekolahnya. Mendadak Kim So Eun ingin buang air kecil, tapi ditahannya sampai wajahnya meringis-ringis tak keruan.

Cekalan Moon Geun Young memang terlepas, tapi tangan yang lain bersiap untuk melakukan hal yang lebih menyakitkan ketimbang cekalan barusan. Dengan satu gerakan saja dijamin pipi Kim So Eun akan babak-belur.

Kim So Eun memegang erat kedua pipinya untuk melindungi, sambil berdoa dalam hati, semoga urat lengan Moon Geun Young mendadak terkilir, melintir, atau apa saja yang bisa membatalkan pukulan nya mendarat di wajahku, pinta Kim So Eun dalam hati.

"Ini, rasakan... aduuhhh... adudududuh..." Ayunan tangan Moon Geun Young berhenti di posisi sembilan puluh derajat sehingga kelihatan seperti tergantung lurus di udara.

Beberapa anggota gang-nya sibuk membantu dengan panik dan heran melihat bosnya kesakitan tanpa sebab.

"Kenapa, Moon Geun Young?"

"Ada apa Moon Geun Young?"

"Aduuh... hati-hati... eeeh... pelan-pelan...," rengek Moon Geun Young seperti bayi raksasa pada teman-teman yang memegang-megang dan mengurut-urut pangkal lengannya sambil berusaha mengembalikan ke posisi normal.

Kim So Eun terpaku memperhatikan adegan tadi.

"Kenapa kau melotot seperti itu!" hardik Moon Geun Young antara malu dan jengkel. "Kali ini kau beruntung! Ayo, pergi! Awas kau! Pergi!!!" teriakan Moon Geun Young menggema sepanjang koridor.

Kim So Eun terbirit-birit meninggalkan koridor yang mengerikan itu dengan hati bertanya-tanya. Apakah lengan Moon Geun Young terkilir? Kalau benar, kenapa sampai terjadi seperti itu? Mengapa persis sama dengan yang diinginkannya? Persis sama dengan apa yang ada dalam benaknya tadi saat ketakutan mau dipukul Moon Geun Young?! Aneh... sungguh aneh, pikir Kim So Eun serius.

Kejadian demi kejadian yang dialaminya mulai menjurus pada sebuah kesamaan dan keseragaman urutan kejadian. Awalnya pasti dari pikirannya, lantas menjadi kenyataan. Persis seperti apa yang diharapkannya. Bukannya ia tak percaya pada Tuhan. Tapi kalau benar mukjizat itu dari Tuhan, seharusnya Kim So Eun adalah malaikat. Sedangkan hal seperti itu jelas tak mungkin. Lalu apa? Apakah aku ini keturunan nenek sihir, atau berbakat menjadi paranormal? Sambil mengayuh sepedanya Kim So Eun terus memikirkan semua yang dialaminya. Tapi yang jelas ia merasa sangat lega dan bersyukur bisa terbebas dari ancaman Moon Geun Young and the gang.

Tentu Moon Geun Young marah melihat keakrabannya dengan Kim Bum. Bukan cuma Moon Geun Young, pikir Kim So Eun, tentu seisi sekolah akan memusuhiku. Paling tidak menaruh iri padaku. Tapi mereka tak pernah tahu, bagiku kedekatan dan keakraban dengan Kim Bum adalah sesuatu yang justru membuatku was-was. Aku selalu berusaha menjaga jarak agar suatu saat jika kami harus mengucapkan selamat tinggal, tak terlalu sakit. Ya, tak ada yang istimewa pada diriku...

Kim So Eun melirik ke kaca jendela di depan ruang guru. Dilihatnya bayangan seorang gadis berkulit putih pucat, berkacamata tebal dan berambut kuno, panjang terkepang. Tanpa bedak tanpa lipstik, tanpa polesan apa-apa. Seharusnya aku ini disimpan di museum saja, batin Kim So Eun. Tapi mau apa lagi? Mengubah penampilan dan gayanya dalam seketika? Hoho... mengubah sesuatu yang telah 17 tahun melekat dalam hidup seseorang tentu tak semudah membalikkan telapak tangan. Dan gaya ala tahun 60-an itu telah terlanjur menjadi bagian dari kehidupan Kim So Eun.

Keinginan untuk mengubahnya selalu ada. Apalagi jika melihat bagaimana gadis-gadis lain. Jung So Min misalnya, berlomba mencuri perhatian Kim Bum dengan penampilan mereka yang modern, modis, dan up to date.

Hal-hal seperti itulah yang membuat Kim So Eun ragu akan kelangsungan hubungan persahabatannya dengan Kim Bum. Kim Bum akan segera menjadi bosan padanya. Dan ia tak mau menaruh harapan pada sesuatu yang pasti tak akan diraihnya. Rasa rendah diri itu menghalangi khayalnya tentang menjadi gadis yang spesial untuk Kim Bum. Menjadi kekasih Kim Bum.

* * *

Kring... kring...

Kim So Eun menoleh... hampir saja ia menabrak sepeda lain di depannya.

"Hati-hati, Nona..." Kim Bum yang barusan membunyikan bel sepeda, nyengir. Kim So Eun mencibir kesal.

"Kenapa aku tidak melihatmu keluar kelas tadi?" Kim Bum menyusul, mengimbangi laju sepeda Kim So Eun.

"Aku,., ah, sebaiknya jangan mendekatiku lagi di sekolah Kim Bum," ujar Kim So Eun teringat pada ancaman Moon Geun Young.

"Memangnya ada apa? Kenapa tiba-tiba jadi seperti ini?"

"Ya... aku mohon. Demi ketenangan dan keselamatanku..."

"Pasti Moon Geun Young lagi, kan?" terka Kim Bum seraya melirik.

"Oh, Kim Bum... aku tak bermaksud mengadu, tapi tadi aku begitu ketakutan," cerita Kim So Eun sungguh-sungguh.

"Ya... aku mengerti. Akan kuberi pelajaran mereka!" gumam Kim Bum dengan nada suara rendah menahan amarah dan gemas.

"Mau kauapakan mereka, Kim Bum?"

"Masa Laki-laki kalah dengan perempuan? Walaupun Moon Geun Young punya sabuk hitam Taekwondo aku tidak gentar. Akan kutunjukkan kejantananku dan kulihat kebetinaannya," ujar Kim Bum konyol dengan Kim So Eunk serius.

"Kim Bum... apa-apaan kau ini?" Kim So Eun menahan tawanya.

"Aku sungguh-sungguh, Kim So Eun."

"Jangan asal bicara! Masa laki-laki meladeni perempuan berkelahi," komentar Kim So Eun.

"Memangnya Moon Geun Young itu perempuan? Wujud perempuan, kelakuan seperti preman!" ejek Kim Bum.

Kim So Eun teringat akan rencananya memasak di rumah sore ini. Dan terlintas di pikirannya bahwa ia hendak mengundang Kim Bum mampir dan mencicipi. Tapi bagaimana cara mengajaknya, ya? Dan bagaimana kalau Kim Bum menolak?

"Langsung pulang, Kim Bum?" Kim So Eun membuka percakapan. Kim Bum mengangguk.

"Kau?"

"Ya... aku ada rencana mempraktekkan resep baru dari majalah Mydaily. Resep ala Itali." Kim So Eun menunggu tanggapan Kim Bum.

"Wah... pasti sedap." Kim Bum mengangkat alisnya.

"Maukah kausisakan dan bawakan untukku besok?"

Kim So Eun mengurungkan kata-kata yang telah ia rencanakan selanjutnya. Kata-kata mengundang Kim Bum untuk mampir dan mencicipi terpaksa ditelannya kembali begitu mendengar kalimat terakhir Kim Bum.

"Tentu...," sahut Kim So Eun lirih.

"Sungguh? Jangan lupa panasi dulu, ya? Aku tidak suka makanan yang sudah dingin, apalagi yang sudah basi," canda Kim Bum.

Kim So Eun tersenyum sumbang. Ada kekecewaan bermain di hatinya, tapi tak lama.

"Sayang sore ini aku ada janji sampai malam!" seru Kim Bum sesaat sebelum mereka berpisah di belokan jalan.

"Ya... aku pun ada acara pribadi... mendengarkan acara penyiar favoritku... Mister DJ," hibur Kim So Eun perlahan.

"Apa?" teriak Kim Bum seperti terkejut.

"Ah... tidak. Sampai besok!" Kim So Eun melambai dan mempercepat kayuhan sepedanya agar segera hilang dari pandangan Kim Bum.

Seharusnya niat untuk mengajak Kim Bum mampir itu tak pernah singgah di hatinya. Seharusnya ia sudah dapat menduga apa tanggapan Kim Bum. Mana mungkin seorang Kim Bum mau menemaninya bermalam Minggu. Tentu seabreg acara yang mengasyikkan telah antre memohon kehadiran Kim Bum. Tentu Kim Bum lebih suka menemani Jung So Min atau Im Yoona atau Kwon Yuri ketimbang seorang yang kuno dan membosankan seperti diriku....

Dream Of Brittany. Asyikk! sorak Kim So Eun dalam hati. Malam Minggunya tak akan terlalu sepi dengan kehadiran film komedi setengah fantasi ini. Apalagi Ibu telah menyembunyikan radio mini-nya. Ia kehilangan suara merdu sang penyiar pujaan.

Dibesarkannya volume suara televisi dan dengan santai Kim So Eun menyaksikan film seri kesayangannya sambil sesekali merogoh stoples biskuit dan mengunyah perlahan.

"Kim So Eun, apakah sudah kauselesaikan pekerjaan rumahmu?" tegur Ibu. Seperti biasanya selalu membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan sekolah dan pelajaran.

"Sudah, Bu...."

"Sudah kaubuka-buka juga pelajaran untuk besok?"

"Besok kan hari Minggu, Bu," gumam Kim So Eun.

"Ya, Ibu tahu, maksud Ibu untuk hari Senin. Lebih dini belajar kan lebih baik. Lebih meresap di otak," Ibu berfilsafah.

"Sebentar, Bu, tanggung sampai filmnya habis," pinta Kim So Eun. Ia kelewatan beberapa adegan seru gara-gara percakapan dengan Ibu barusan.

"Eh., sejak kapan televisi mengalahkan waktu belajar?" Ibu menghampiri.

"Sejak radio-ku direbut Ibu," jawab Kim So Eun jengkel.

"Itu kan demi kebaikanmu!"

"Itu demi kebaikan Ibu," sahut Kim So Eun semakin berani. Entah dari mana keberanian itu muncul. Kata orang, sebodoh-bodohnya anjing, bila ekornya diinjak akan menggigit pula. Mungkin Kim So Eun sudah tak tahan lagi akan kesewenang-wenangan Ibu yang membelenggunya.

Ya... sejak radionya diambil, rasa ingin memberontak itu mulai muncul. Sejak ia kian akrab dengan Kim Bum. Sejak ia mulai iri dan menaruh perhatian pada gaya gadis-gadis sebayanya yang modern dan modis. Sejak ia mulai takut kehilangan kebersamaannya dengan Kim Bum. Sejak...

"Sejak kapan kau berani menjawab dengan kata-kata jelekmu itu hah!" hardik Ibu dengan bola mata membesar. Kim So Eun menghela napasnya. Dimatikannya pesawat televisi dan ditatapnya Ibu dengan mata berair.

"Sekarang... Ibu puas, kan? Biar aku lumutan di kamar, membaca, dan belajar sepanjang waktu... seumur hidup. Itu yang Ibu inginkan, bukan?"

"Kim So Eun! Kau..."

Kim So Eun berlari ke kamarnya tanpa mempedulikan kata-kata dan panggilan Ibu. Sebenarnya ia ingin sejenak menghibur diri di malam panjang. Mencoba melupakan kenyataan bahwa Kim Bum mungkin saja tengah bersenang-senang dan bertandang ke rumah gadis-gadis manis. Melupakan kenyataan bahwa malam Minggu bagi gadis sebayanya berarti waktu untuk didatangi oleh Pangeran-nya. Berusaha mengalihkan pikiran-pikiran bahwa ia sungguh malang tak berkawan, apalagi punya Pangeran. Bahwa ia tak punya apa-apa kecuali buku pelajaran dan kepandaian yang terus diasah. Bayangan akan penolakan Kim Bum sore tadi terus menghantuinya. Menekan perasaannya hingga meledak seperti tadi.

Sayup-sayup didengarnya langkah kaki Ibu menyusulnya ke kamarnya. Oh... tentu Ibu akan menghujaninya lagi dengan omelan-omelan, nasihat-nasihat filsafat-filsafat dan ancaman-ancaman yang semakin mempersempit dunianya. Membelenggu, membatasi... oh... Kim So Eun menutup wajannya dengan bantal.

Betapa ia ingin Ibu tak dapat mencapai kamarnya. Mungkin satu-satunya yang bisa menghentikan langkah Ibu adalah kecelakaan kecil seperti terpeleset atau...

Braaakkk...!

"Oh..." Terdengar teriak kesakitan Ibu setelah diawali debuman benda berat yang terjatuh.

Kim So Eun tersentak. Sadar akan apa yang ada di pikirannya. Ia melompat turun dari tempat tidur dan memburu ke arah Ibu yang tersimpuh di depan pintu kamarnya sambil memegangi pergelangan kaki.

"Kenapa, Bu?" tanya Kim So Eun khawatir.

"Keseleo...," Ibu meringis seraya mengurut pergelangan kaki kanannya.

"Pasti tersandung karpet," gumam Kim So Eun.

"Tolong Ibu, Kim So Eun...." Ibu melingkarkan tangannya di bahu Kim So Eun, minta dipapah menuruni tangga.

Kim So Eun menghela napasnya. Ini tentu bukan lagi kebetulan. Alam pikirannya bisa menembus alam nyata dan menghasilkan sesuatu tanpa perlu berbuat apa-apa. Semacam gelombang elektromagnetik... semacam... ah... entah apa namanya, pikir Kim So Eun pusing.

Yang jelas mulai saat ini ia harus lebih berhati-hati dengan pikirannya. Pikiran-pikiran yang bisa menjadi kenyataan bila dikonsentrasikan itu boleh jadi menguntungkan bagi dirinya, tapi bisa juga menjadi sesuatu yang membahayakan bagi orang lain...

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...