Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Senin, 06 Juni 2011

Soulmate (Chapter 2)



“Ya. Aku akan menelepon kantor. Sebaiknya kau pulang. Aku bisa minta temanku menungguiku di sini.”

”Kau tidak apa-apa kalau aku tinggal sebentar?” aku ragu, enggan sekali meninggalkannya sendiri.

”Tentu saja. Tolong beri tahu dokter, aku ingin secepatnya keluar dari sini.”

”Baiklah. Tapi, sebaiknya aku bantu kau sarapan dulu.”

”Terima kasih. Aku memang lapar.” Mata gadis ini jujur sekali.

Dan, lima hari berikutnya, aku dengan setia menemaninya, setiap pulang kerja sampai pagi. Tak ada keluarga, teman kos, atau teman kantornya yang ikut menjaga. Mereka memang sering datang menengok, tapi tidak menginap. Itu membuatku bisa merawatnya, menyuapinya, membersihkan lukanya, membantunya menggosok gigi setiap pagi dan malam, membetulkan selimutnya saat dia terlelap tidur. Aku senang melakukannya sendiri. Kim So Eun adalah pasien yang manis, tidak rewel, dan sangat tenang. Kim So Eun tidak pernah mengeluh dan aku mulai jatuh cinta padanya....

Sepulang Kim So Eun dari rumah sakit, aku seperti sudah mengenalnya bertahun-tahun. Berminggu-minggu selanjutnya, aku begitu rajin menengoknya, mengantar dan menjemputnya dari kantor. Kami mulai saling membagi segala sesuatu, termasuk hati kami.

Dia sangat baik. Saat aku memberi tahu bahwa aku sudah bertunangan, Kim So Eun dengan halus meminta maaf padaku, karena dia telah berharap banyak untuk bisa bersamaku. Dan, aku tidak bisa meninggalkannya, sekalipun sudah aku coba puluhan kali. Gadis ini menyayangiku dengan caranya sendiri. Ketulusannya membuatku rapuh.

”Sayang, bangun!” Aku tergeragap. Yoon Eun Hye mengguncang pundakku keras. ”Kau kelihatannya capek sekali.”

”Aku banyak lembur, proyek di Pyeongtaek membuatku kurang tidur.” Aku meneguk air yang disodorkan Yoon Eun Hye.

”Tapi, hari ini kau janji mau mengajakku nonton, ’kan?

”Ya. Pasti.” Aku menegakkan dudukku. ”Ayahmu mana?”

”Kau ketiduran. Kata Ayah, pestanya dibicarakan besok saja.”

Aku memejamkan mata sekilas. Besok aku janji mengantar Kim So Eun ke Myeongdong. ”Ayo, berangkat. Nanti terlalu malam.”

”Kan kita memang mau nonton yang midnight.” Yoon Eun Hye memandangku bingung. ”Kau kenapa, Kim Bum?”

”Maaf, orang ketiduran kan nyawanya susah dikumpulkan.”

Kim So Eun akan tertawa terbahak-bahak kalau aku melucu. Tapi, Yoon Eun Hye menanggapi dengan senyum kesal.

”Ya, sudah. Kita cari makan dulu.”

Aku memeluk bahunya. Tidak seperti dulu. Aku dulu menggenggam jarinya.

Aku menyetir perlahan. Yoon Eun Hye mulai mencari-cari gelombang radio dan bernyanyi kecil. Pikiranku melayang. Kim So Eun selalu duduk manis dan mengobrol, sambil bercanda.

Esok paginya, Kim So Eun menanggapi telepon permohonan maafku dengan diam sejenak, lalu tertawa kecil. ”Tidak apa-apa. Aku juga diajak memancing oleh teman-teman. Ke Myeongdong-nya besok saja. Aku cuma mencari tas pesanan kakakku saja.”

”Bagaimana kalau nanti malam kita cari di mal dekat sini?”

”Kakakku minta ganti tas yang sama persis dengan yang aku rusakkan. Dulu belinya di Myeongdong. Harus sama persis. Tapi, tidak harus buru-buru.”

”Kalau begitu, nanti sore aku secepatnya ke tempatmu. Kalau tidak keburu, Sabtu atau Minggu besok, ya?”

”Baiklah.” Kim So Eun menutup ponselnya. Aku berniat menyelesaikan urusanku secepatnya dan akan mengajak Kim So Eun keluar, sekadar makan malam.

Setengah jam kemudian, aku duduk mendengarkan wedding planner yang mengoceh dengan semangat. Sementara mata orang-orang di sekitarnya, kedua calon mertuaku, calon istriku, dan calon pengiring pengantinku, berbinar-binar.

Ternyata, semua meleset dari dugaanku. Urusan ini menyita waktuku lebih dari seharian. Pukul sembilan malam, aku baru terbebas dari semuanya. Aku menghubungi ponsel Kim So Eun. Tidak aktif. Kutelepon tempat kosnya. Temannya menjawab, Kim So Eun ke Myeongdong bersama teman-temannya dan belum pulang.

Aku putuskan untuk pulang, masuk ke apartemenku dan merebahkan diri di sofa. Kim So Eun tidak pernah tergantung padaku. Dia akan menyelesaikan masalahnya sendiri, sekalipun aku sudah berjanji akan membantunya. Kim So Eun juga tidak pernah menuntut janji, bahkan dengan manis akan mencoba membuatku merasa tidak bersalah. Hal-hal kecil yang semakin membuatku jatuh hati padanya.

Waktu seperti mengejar dan menuntutku. Mau tidak mau, aku harus melepas Kim So Eun. Aku kasihan terhadapnya, kalaupun aku harus mengeraskan hati mempertahankan Kim So Eun. Ketulusannya padaku, meluluhlantakkan diriku yang dikenal sebagai penakluk wanita.

Kim So Eun bukan wanita pertama yang menjadi selingkuhanku, selama aku menjalin hubungan dengan Yoon Eun Hye. Aku seorang sarjana teknik, bekerja di lapangan sebagai perancang proyek bangunan besar. Seks menjadi sebuah kebutuhan bagiku. Perselingkuhanku dengan wanita-wanita itu hanya demi seks. Bukan cinta.

Uang bukan masalah besar bagiku. Gaji sebulanku tidak habis dalam tiga bulan, di luar lembur dan bonus lain. Kadang-kadang aku tergoda memancing Kim So Eun untuk berbuat iseng, seperti yang aku lakukan bersama dengan wanita-wanita sebelumnya. Tapi, tatapan matanya, ketulusan dan pengertiannya, membuatku lunglai. Mata Kim So Eun penuh dengan cinta, atau lebih tepatnya penuh kasih sayang. Aku sungguh menyayangi gadis ini dan tidak ingin menyentuhnya....

”Hai,” Kim So Eun menyapaku ramah, sambil duduk di sampingku. Aku menjemputnya di kampus, tempatnya mengambil kuliah malam.

”Hai,” aku mencium pipinya, mengacak rambutnya, dan menjalankan mobil perlahan. ”Bagaimana kuliahmu?”

”Ada dosen yang memintaku mengulang ujian.”

”Kenapa begitu?”

”Aku membuatnya kecewa dengan nilai C.” Kim So Eun tertawa. ”Aku lapar sekali. Sejak siang belum sempat makan.”

”Kau mau makan apa?”

Aku selalu ingin memanjakannya. Terkadang aku mengira, aku hanya kasihan melihat keadaan Kim So Eun yang kelihatannya miskin. Bekerja dan kuliah, kadang-kadang masih saja dia mengajar les privat anak-anak sekolah. Tapi, sekarang aku tahu, aku kagum, bukan kasihan. Sekalipun keadaannya seperti orang yang kekurangan uang, belum pernah sekali pun aku mendengar Kim So Eun mengeluh soal uang. Bahkan, dengan senang hati memberikan uangnya untuk para pengemis di setiap lampu merah. Kim So Eun mempunyai kebaikan hati yang alami.

”Kau kurus sekali,” Kim So Eun memandangku dengan sayang.

”Terlalu banyak memikirkanmu,” aku bercanda, sambil meraih kepalanya dan mengecupnya. ”Ayo, kita cari makan. Biar aku gemuk lagi.”

Kim So Eun tertawa kecil. ”Aku ingin makan ayam fast food.”

”Aku juga ingin.” Aku tersenyum, membelokkan mobil ke arah Technical Boulevard. Yoon Eun Hye tidak pernah mau makan makanan tidak sehat seperti itu. Tapi, Kim So Eun begitu suka menikmati ayam crispy. Kim So Eun membuatku ikut bersedia berdiri mengantre untuk mendapatkan makanan ini.

”Kau baik sekali,” Kim So Eun selalu mengatakan kalimat itu, setiap kukabulkan permintaannya. Aku memang selalu mengabulkannya.

”Kau juga,” kugenggam jarinya. Tak sehalus tangan Yoon Eun Hye.

”Enak?” Aku tertawa melihatnya menyesap tulang ayam.

”Enak sekali. Ini makanan yang cukup mewah untuk kantong mahasiswa yang harus membiayai kuliahnya sendiri. Kau tidak suka, ya?”

Aku suka melihat caranya makan. Sejak pertama aku mengajaknya makan, sampai sekarang, caranya tetap sama: menikmati tanpa dibuat-buat.

”Aku suka. Enak sekali.” Aku berusaha memberi kesan bahwa makanan ini sangat enak. Dan memang enak, meski kurang sehat.

”Ini untukmu,” seperti biasa, Kim So Eun memberikan dagingnya untukku, setelah mengupas kulit dan melolosi tulang-tulangnya. Gadis yang unik sekali. Aku melakukan hal yang sama dan memberikan kulit bertepung garing pada Kim So Eun.

”Aku mau pulang ke Mokpo besok.”

Aku terbatuk. Kim So Eun dengan cepat memberikan minum untukku.

”Untuk apa? Kau mau dinikahkan, ya?”

”Jangan asal bicara! Kau, itu, yang.... Maaf.” Kim So Eun terdiam sejenak. ”Ibu masuk rumah sakit.”

”Sakit apa?”

”Biasalah. Ibu kan sering sulit menjaga makan. Darah tinggi, asam urat, entah apa lagi. Ibuku memang bandel.”

Aku memandang Kim So Eun. Gadis ini sungguh manis. Dia tidak pernah menarik perhatianku dengan hal-hal yang mempriha¬tinkan. Biasanya, para gadis akan memanfaatkan kesusahannya untuk lebih menarik simpati pasangannya.

”Perlu aku antar?”

”Tidak usah. Aku biasa pulang sendiri.”

”Berapa hari kau di sana?” Aku merasa sudah ditinggalkan.

”Mungkin tiga atau empat hari. Aku cuti lima hari.” Kebetul¬an tidak ada ujian.

”Kau janji akan hati-hati.” Aku mengusap pipinya.

”Ya.” Kim So Eun mengambil tanganku, menggenggam erat, ”Kau juga, ya. Jangan tidur malam terus. Kau sudah terlalu kurus.”

”Aku janji.” Aku ingin sekali memeluknya dan memberikan apa saja untuk menebus rasa bersalahku, karena selalu membiarkan dia mengurus masalahnya sendiri.

”Ayo kita pulang.” Kim So Eun mengajakku berdiri. Aku mengangguk dan menggandengnya keluar. Kami masuk mobil dengan diam.

”Kim Bum, aku....”

”Ssst... aku tidak ingin berpisah denganmu, Kim So Eun.” Aku memeluknya dengan sepenuh jiwaku. ”Aku sayang sekali padamu.”

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...