Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Selasa, 28 Juni 2011

Love Story In Beautiful World (Chapter 19)



Berada kembali di Seoul yang panas. Hawa musim panas panjang mencekik badan. Tetapi, sore itu bagi Kim Bum tidak panas. Dua kali dia menekan bel tamu dirumah Kim So Eun, lalu menunggu sesaat, pintu terbuka. Ibu Kim So Eun menghadang di ambang pintu. Matanya dingin. Dia tidak menjawab 'selamat sore' dari Kim Bum. Dia cuma bilang, "Kim So Eun tidak ada."

Kim Bum tertegak canggung.

"Silakan duduk," kata ibu Kim So Eun sembari mendahului duduk di kursi teras. "Kebetulan ada yang mau saya bicarakan."

Pelahan Kim Bum meletakkan pantatnya di kursi. Matanya tidak lepas mengawasi ibu Kim So Eun. Dan, wanita itu juga melakukan hal yang sama.

"Begini," kata wanita itu. "Kalau tidak salah, kau sudah beberapa kali datang ke sini." Ibu Kim So Eun menunggu reaksi.

Kim Bum mengangguk.

Ibu Kim So Eun meneruskan, "Sebagai orang tua, tentu saja saya mengikuti perkembangan anak saya. Saya percaya bahwa kau adalah pemuda baik-baik sebab Kim So Eun pun kelihatan senang bergaul denganmu. Tetapi, bagi saya pergaulan itu tidaklah sesederhana yang kalian pikirkan,” sesaat Ibu Kim So Eun diam.

Kim Bum mematung di depannya.

“Tapi, sebelum saya teruskan, saya ingin tahu, apakah kau punya saudara perempuan?”

Kim Bum mengangguk.

“Kakak atau adik?”

“Adik-adik.”

“Ooo, beberapa orang. Bagus!” Lalu ibu Kim So Eun menikamkan tatapan sembilu, membuat Kim Bum kian resah. “Bagaimana seandainya diantara adik-adikmu itu telah bertunangan, dan kemudian ada pria lain yang datang mengganggunya?”

Kim Bum merasa dadanya sesak.

“Saya kira orang tuamu akan resah kalau putrinya memutuskan pertunangan cuma karena terpikat pada rayuan pria lain. Satu keluarga akan menerima umpatan dari sekelilingnya.”

Kim Bum tetap membisu.

“Paham maksud saya?”

Kim Bum tetap tak menjawab. Keresahan menggelegar di dadanya.

“Kim So Eun telah bertunangan. Tunangannya sekarang di Jerman. Dia Insinyur. Dalam waktu dekat dia akan membawa pulang titel doktor dalam bidang teknik. Apa katanya kalau setibanya dia di Korea, Kim So Eun bukan lagi tunangannya? Apa kata orang tuanya pada saya? Apa kata orang-orang yang hadir dalam pesta peresmian pertunangan mereka? Semuanya akan mengutuk Kim So Eun. Lebih-lebih mengutuk saya. Sebab, orang akan memaklumi usia Kim So Eun yang masih muda. Dia bertunangan waktu masih SMA. Orang akan maklum bahwa tiga tahun bagi orang seusia itu merupakan beban berat. Karena itu orang akan menimpakan kesalahan pada saya. Sebagai orang tua, saya dianggap tidak bisa mengajarkan kesetiaan pada anaknya." Ibu Kim So Eun berhenti berucap untuk melihat reaksi Kim Bum.

Kim Bum tetap beku.

"Cobalah pikirkan," lanjut ibu Kim So Eun. "Kalau kejadian semacam ini menimpa keluargamu. Setiap orang akan menertawakan keluargamu. Satu orang yang berbuat, satu keluarga mendapat cap ‘tidak bisa memegang kesetiaan'."

Begitu, pikir Kim Bum. Soal kesetiaankah yang dibicarakan ini? Tetapi, mulut Kim Bum tetap terkunci.

"Saya hanya memikirkan kebahagiaan Kim So Eun. Sekarang dan masa depan. Saya percaya bahwa calon suaminya itu akan membahagiakan dia. Jika dia pulang nanti, dia akan memperoleh kedudukan yang baik. Bayangkanlah jika ini terjadi pada adikmu sendiri. Jika dia bertunangan dengan pria yang akan menjamin kebahagiaannya, tapi lantaran emosi maka dia memilih pria lain yang belum begitu dikenalnya."

Ya, di situlah masalahnya, pikir Kim Bum. Jangan bicarakan soal kesetiaan segala macam. Karena aku cuma mahasiswa miskin, karena masa depanku suram sekabur kehidupan yang absurd ini, karena aku tidak bisa memperlihatkan jaminan-jaminan kebahagiaan dalam ukuran masyarakat sekarang… materi, itulah masalahnya! Aku cuma mahasiswa dengan kemiskinan masa sekarang, dan perjudian nasib di masa depan!

Kim Bum menarik napas perlahan dan dalam.

"Bantulah saya," kata ibu Kim So Eun. "Bantulah agar Kim So Eun tidak kehilangan masa depannya yang telah begitu terjamin."

Kim Bum merasa gelombang panas berputaran di dadanya, menerjang-nerjang sehingga uapnya membuat mata perih. Dia mengerjap-ngerjap untuk melunakkan uap itu. Dia manatap bunga-bunga di halaman.

"Kim So Eun masih terlalu muda untuk membayangkan masa datang. Dunianya cuma masa sekarang. Sedangkan saya, dengan pengalaman masa lalu saya, saya bisa melihat jauh ke depan. Karena itu, saya lebih rasional dalam menilai setiap persoalan. Saya ingin, seandainya saya telah tiada, anak saya yang satu-satunya itu berada di samping suami yang bertanggung jawab dan dapat membahagiakannya. Mengerti maksud saya?"

Sekejab Kim Bum merasakan himpitan nyeri menusuk. Tetapi, dia cuma mengangguk. Seandainya aku punya puluhan juta dollar dan di deposito di Bank Amerika, pikirnya, itukah hari depan yang diharapkan untuk keluarga? Seandainya aku pandai menjilat dan berhasil masuk ke jenjang pemerintahan sampai punya kedudukan tinggi, itukah jaminan yang dibutuhkan untuk kebahagiaan suami-istri?

Kim Bum menatap bunga-bunga yang mulai samar dalam senja. Yang merah semakin tua, yang hijau semakin biru ditimpa lembayung senja. Langit jingga nampak kelabu di mata Kim Bum.

Kim So Eun, Kim So Eun, rumahmu indah. Karena itu, kalau kelak kau pindah ke rumah suamimu, haruslah kau merasa masuk ke sebuah istana. Hidupmu sepanjang hari berkecukupan. Karena itu, kalau kau jadi istri kelak, haruslah suamimu punya brankas di rumah.

Kim Bum berjalan dengan tangan di dalam saku. Ketika dulu pertama kali mendatangi rumah Kim So Eun, kesunyian senja mengantar kepulangannya, Kini pun kesunyian senja itu turut menemaninya. Senja yang temaram berangsur kelam.

Tak seorang pun tahu kemurungan yang melilit Kim Bum. Sebab, Kim Bum sengaja menyembunyikannya lewat kegiatan kampus. Dia mempersiapkan karnaval yang akan bergerak dari kampus berkeliling Kota Seoul, dalam rangka HUT Korea.

Kim Bum berjalan di St.Ponds Road, di sela-sela orang-orang yang menunggu lewatnya karnaval. Pusat kota itu penuh sesak. Inilah hiburan yang paling disenangi masyarakat Seoul: menonton karnaval atau sejenisnya, yang beramai-ramai di sepanjang jalan utama kota itu.

Di St.Ponds Road itu orang terpaksa beradu bahu saking sesaknya. Dan, dari pinggir terdengar suara memanggil, “Hai, Kim Bum!”

Kim So Eun dan teman-temannya. Ada Lee Hong Ki, Baek Suzy, dan entah siapa lagi.

“Sombong ya sekarang? Tidak mau datang lagi ke rumah,” kata Kim So Eun lagi.

Kim Bum berusaha mencari makna ucapan itu, tetapi tak menemukannya.

Lee Hong Ki meneliti wajah Kim Bum. Dia heran melihat kebekuan wajah itu. Matanya dingin. Tidak seperti biasanya kalau berdekatan dengan gadis-gadis.

“Kenapa?” lanjut Kim So Eun.

Tetapi, suara manja itu malah lebih menikam dada Kim Bum.

“Sehabis karnaval, kita nonton ya?” kata Kim So Eun.

Lee Hong Ki mengerling Kim Bum. Kim Bum sedang memperhatikan kerumunan orang di depan mereka.

“Ehm, kenapa tidak ada respons?” kata Kim So Eun.

Kim Bum melihat salah seorang temannya melintas.

“Maaf, aku pergi dulu,” katanya. Tanpa menunggu jawaban, dia mengejar temannya.

Lee Hong Ki melongo.

“Kenapa begitu dia sekarang?” Terbata-bata Kim So Eun berucap.

Lee Hong Ki bertukar pandang dengan Baek Suzy. Kim So Eun menatap punggung Kim Bum di celah-celah kerumunan orang di depannya. Dan, Lee Hong Ki mengangkat bahu.

Wajah Kim So Eun menjadi suram.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...