Hari Kedua
Kim So Eun menikmati sarapannya pada sebuah meja di teras terbuka. Langit begitu cerah, biru bertabur awan putih, sementara laut begitu biru bening. Pasti segar andai bisa berenang di dalamnya.
“Boleh aku duduk di sini?” sebuah suara menyapa Kim So Eun.
Kim So Eun mengangkat wajah. Di depannya, Kim Bum menatapnya dengan mata menyiratkan harapan yang tak tersembunyikan. Astaga, betapa segar wajahnya pagi ini! Rambutnya setengah basah, dan aroma segar sabun mandi menyertainya.
“Silahkan,” kata Kim So Eun kemudian. Nadanya kaku, menyisakan kemarahan semalam.
Kim Bum ragu. Kekakuan suara itu terdengar jelas olehnya.
“Kau masih marah,” kata Kim Bum, dengan rasa bersalah.
“Memang bukan hal mudah melupakan kesalahanku semalam. Baiklah, ada baiknya aku tidak menganggu selera makanmu, permisi….”
Kim So Eun menghela napas. Memang tidak mudah melupakan kesalahan seseorang. Apalagi kelancangan Kim Bum semalam sungguh terlalu! Tapi, dia adalah bagian dari skenario kamuflase ini. Apa jadinya kalau orang lain atau petugas kapal, melihat mereka sebagai pasangan dalam satu kamar, tapi masing-masing makan sendirian pada meja yang berbeda? Lagi pula, pelayaran ini masih akan berlanjut beberapa hari lagi, haruskah kekakuan Kim So Eun dipertahankan selama itu?
“Tunggu,” Kim So Eun segera menentukan sikap, dicegahnya langkah Kim Bum.
“Duduklah, please.”
Kim Bum mengangkat alis, isyarat untuk memastikan. Kim So Eun mengangguk dan tersenyum mencairkan suasana. “Kau bilang tidak suka bangun pagi, tapi nyatanya kau bahkan bangun lebih pagi dariku,” sambungnya kemudian.
“Berenang,” jawab Kim Bum sembari duduk.
“Kau lihat, air laut begitu segar! Sungguh sayang kalau tidak dinikmati.”
Jadi dia suka berenang, pikir Kim So Eun mengamati Kim Bum sekilas. Pantas badannya Tinggi, tegap dengan bahu dan dada yang bidang.
Kim Bum menuangkan krim pada kopinya. Caranya unik. Poci krim digerakkan melingkar membentuk garis putih pada kepekatan kopi. Kim So Eun melihat tidak ada sendok kecil pada tatakan cangkir, maka diulurkannya sendok pengaduk.
“Terima-kasih, tapi aku tidak mengaduk kopiku,” Kim Bum menghirup kopinya dengan nikmat.
“ Kenapa ?”
“Aku suka paduan rasa kopi dan krim, tapi bukan campuran keduanya. Tanpa mengaduknya, kau bisa merasakan masing-masing perbedaan rasa pahit kopi dan gurih krim pada saat yang bersamaan secara bergantian pada lidah. Rasanya sangat unik dan selalu berbeda dari waktu ke waktu. Berbeda bila diaduk, rasanya monoton, cenderung selalu sama!”
“Ughh, kau punya cita rasa tersendiri,” Kim So Eun meneguk jusnya.
“Baru kali ini kutemukan cara minum kopi seperti itu.”
“Setiap kali menikmati kopi dengan cara ini, mengingatkanku pada realitas kehidupan. Kadang pahit, kadang manis, berganti-gantian. Padaku lebih banyak pahitnya. Barangkali karena itu aku lebih menyukai kopi yang pekat.”
Kim So Eun tertegun. Nada suara Kim Bum sungguh menyiratkan kepahitan. Seakan ada luka yang membayang di sana. Sepahit itukah kehidupannya, hingga memaksa dirinya untuk menerima ‘skenario gila‘ ini? Lalu, aku? Baru saja Kim So Eun akan mengatakan sesuatu, ketika mendadak dia menghentikan niatnya. Pandangan matanya menangkap kedua sosok yang membuat napasnya bagai berhenti sesaat.
Kim Bum menangkap reaksi itu dan dengan cepat diikutinya arah pandang Kim So Eun. Beberapa meter dari mereka, Lee Min Ho melangkah mendekat. Pada pelukannya, Park Min Young bergelayut manja. Perut Park Min Young menyembul samar, menampakkan kehamilannya.
“Hai, Kim Bum, kau di kapal ini juga?” sapa Lee Min Ho dengan akting sempurna.
“Dengan siapa?“
Kim Bum terperangah. Tampak sangat tidak siap. Sungguh tidak diduganya, Lee Min Ho menyapanya di depan Park Min Young. “Ini…,” jawabnya gugup, kehilangan kata-kata.
“Pacarmu?” Lee Min Ho membantunya.
“Cantik sekali. Pacar baru, ya?”
Kim So Eun membuang muka. Muak dan pedih mendadak bersamaan menusuk ulu hatinya.
“Kenalkan padaku!” sambung Park Min Young tersenyum pada Kim So Eun, lalu ditepuknya pundak Kim Bum.
“Kau tidak pernah cerita punya pacar secantik ini!”
“Namanya Kim So Eun,” Kim Bum sigap menguasai keadaan dan segera melaksanakan improvisasi skenario tanpa skrip. Dibimbingnya Kim So Eun untuk berkenalan,
“Kim So Eun, mereka ini temanku, Lee Min Ho dan Park Min Young.”
Dengan kaku Kim So Eun menempatkan diri pada skenario palsu itu. Diulurkannya tangan menyambut salam mereka. Sekilas sempat dilihatnya Lee Min Ho mengedipkan mata.
“Sering berlayar?” tanya Park Min Young masih dengan senyumnya.
“Tidak juga,” Kim So Eun berusaha membalas senyum itu dengan susah-payah.
“Sama kalau begitu! Ini juga pelayaran pertamaku, hadiah dari suami,” Park Min Young mengerling manja pada Lee Min Ho.
“Suatu malam aku bermimpi naik kapal pesiar dan ketika kuceritakan mimpi itu, dia langsung saja memesan tiket! Manis sekali, bukan?”
Kim So Eun nyaris tersedak. Dadanya bagai terhujam sesuatu, sungguh amat menusuk. Kim Bum menangkap gelagat buruk itu, dan dengan sigap segera dilakukannya tindakan penyelamatan.
“Oh, begitu?” katanyanya untuk menutupi reaksi Kim So Eun, “Ternyata Lee Min Ho suami yang romantis, ya?”
“Kadang-kadang, tapi akhir-akhir ini dia selalu pulang larut malam. Lembur terus!” keluh Park Min Young, jujur.
“Maklumlah, boss besar,” Kim Bum tertawa, masih dalam upaya untuk menyelamatkan situasi. “Tapi Park Min Young, pipimu merah sekali terkena sinar matahari. Lupa membawa topi?”
“Benarkah?” Park Min Young terkejut meraba pipinya.
“Kim So Eun juga lupa membawa topinya,” sambung Kim Bum. “Ah, kalian ini bagaimana? Bukankah wanita selalu melindungi diri dari sinar matahari? Bagaimana mungkin kalian meninggalkan kamar tanpa topi?”
“Oh,ya! Aku lupa!” seru Park Min Young.
“Kim So Eun juga. Ayo, Sayang, kuantar ke kamar mengambil topi.” Kim Bum menarik lembut lengan Kim So Eun, menyelamatkan gadis itu dari jebakan situasi.
“Wow, Kim Bum! Sayang sekali kau pada pacarmu,” goda Park Min Young sembari melambaikan tangan. “Nanti ketemu lagi, ya?”
“Tentu,” salam Kim Bum sembari menjauh bersama Kim So Eun.
Di tempatnya berdiri Lee Min Ho membuang pandang. Dia sungguh tidak suka melihat Kim Bum membawa Kim So Eun menjauh. Sungguh tidak rela. Tapi, apa ada pilihan lain?
"Terima-kasih,” gumam Kim So Eun kemudian.
“Untuk apa?” Kim Bum melepaskan genggaman lembutnya pada lengan gadis itu.
“Kau telah menolongku.”
“Aku hanya menyelamatkan situasi sesaat, selanjutnya kau sendiri yang mampu menolong dirimu sendiri.”
Begitukah? Kim So Eun bertanya tanpa suara. Lalu, apa yang harus kulakukan untuk menolong diriku? Haruskah aku mengakhiri semua ini? Kalau jawabannya ya, harus dengan cara bagaimana? Semuanya terjadi begitu saja, mengalir bagai air tanpa kusadari, bahwa aliran itu menghanyutkanku begitu jauh entah ke mana!
Semuanya bermula pada suatu hari….
Kim So Eun sedang menjaga toko pernak-perniknya ketika menyadari, bahwa seorang pembeli sudah lebih dari setengah jam berputar-putar di tokonya tanpa menemukan apa pun juga untuk dibeli. Pembeli itu pria berpostur tinggi dengan pantalon rapi, ciri khas eksekutif muda. Kim So Eun mengamati. Tidak biasanya pria tipe seperti ini ada di dalam tokonya. Pada umumnya, pelanggannya adalah remaja terutama gadis-gadis belia. Tapi, pria itu juga bukan tipe pengutil yang layak dicurigai!
“Memerlukan sesuatu?” tanya Kim So Eun kemudian mendekati tamu aneh itu.
Pria itu terkejut. “Oh, ya, ya! Aku sedang bingung sekali!”
“Ya?” Kim So Eun menunggu.
“Ibuku ulang tahun dan belum kutemukan hadiah yang bagus.”
“Apa yang disukainya ? Biasanya kaum ibu suka perhiasan….”
“Tidak, terima-kasih. Koleksi perhiasan Ibuku tidak perlu ditambah lagi.”
“Jadi?”
“Aku memerlukan sesuatu yang berkesan, bisa dipakai dan akan selalu mengingatkannya padaku.”
Kim So Eun tersenyum. Itu ciri khas keinginan semua orang ketika mencari kado. Pada beberapa orang, bahkan perlu ditambah beberapa hal, yaitu murah, tahan lama, dan bla…bla…bla.…
“Coba ceritakan tentang ibumu,” pinta Kim So Eun kemudian.
“Hmm, usianya 60 tahun. Masih aktif dan sehat, meskipun ada gangguan pada punggungnya. Hobinya nonton televisi, terutama drama serial Korea….”
“Apa judul serial favoritnya ?”
“Entahlah, mana aku tahu, pokoknya yang sedih-sedih.”
“Tunggu sebentar!” Kim So Eun mengisyaratkan sesuatu, lalu berkeliling sebentar mengamati koleksi tokonya. Sesaat kemudian dia kembali dengan sebuah bantal kursi mungil, bersarung katun berenda dengan sulaman bunga ungu muda.
“Seseorang yang mengalami gangguan punggung selalu memerlukan sandaran yang nyaman untuk duduk. Bantal ini bisa dipakainya bersandar sembari nonton televisi,” Kim So Eun menjelaskan sembari meraih serumpun kecil bunga lavender kering. Dirangkainya rumpun bunga itu dengan ranting kering dan diikat pita warna natural. Cantik rangkaian itu, meski sederhana. Lalu disematkannya pada salah satu ujung bantal.
“Manis, bukan?” Kim So Eun memperlihatkan kreasinya. “Seingatku, pernah diputar drama serial Korea berjudul Lavender. Kalau ibumu menyukainya, tentu hadiah ini akan berkesan di hatinya.”
Sesaat pria itu terpaku mengamati bantal kreasi Kim So Eun, lalu katanya sembari tersenyum, “Idemu menarik sekali! Baiklah, terima-kasih banyak. Aku pilih bantal itu sebagai hadiah ulang tahun ibuku.” Wajahnya tampak gembira.
Kim So Eun membungkus rapi kado itu. Dilengkapinya dengan pita dan kartu ucapan ulang-tahun. Pria itu menuliskan sesuatu pada kartunya. Kim So Eun membacanya sekilas. Sebaris ungkapan cinta seorang anak, lalu sebuah nama. Lee Min Ho.
Esoknya, menjelang tengah hari, Lee Min Ho kembali muncul di toko Kim So Eun.
“Kau brilian, pilihanmu menjadi kado favorit Ibu,” katanya antusias.
“Oh, ya ?” Kim So Eun tersenyum.
Pria yang kemudian dikenal Kim So Eun bernama Lee Min Ho itu mengangguk. “Ya, padahal abangku menghadiahkan satu set home theatre, tapi kata Ibu itu tidak terlalu banyak berguna ketimbang bantal pilihanku. Ha.., ha.., ha…,” Lee Min Ho tertawa lucu.
“Wah, padahal home theatre itu hadiah yang sangat bagus dan mahal!”
“Tapi, tidak mengesankan dan seromantis hadiah pilihanmu! Itu kunci utamanya! Sekarang, ayo, ikut aku!”
Kim So Eun terkejut. “Kemana?”
“Kutraktir kau makan siang, sebagai ucapan terima kasihku.”
“Oh, tidak perlu. Itu sudah kewajibanku, bagian dari pelayanan untuk pelanggan toko.”
“Ayolah, hanya sekedar makan siang.”
“Tapi….”
“Aku sungguh-sungguh ingin berterima-kasih. Please?” Lee Min Ho memohon.
“Maaf, aku benar-benar tidak bisa, toko tidak mungkin kututup tengah hari begini.” Kim So Eun menolak sungkan.
“Kalau begitu jam berapa kau tutup tokomu?”
“Aku…,” Kim So Eun ragu-ragu.
“Jangan tolak aku,” Lee Min Ho mendesak. Tatapan matanya merajuk, sarat harapan, “Sekali ini… saja!”
Sekali saja. Itu perjanjian awalnya. Ternyata yang ‘sekali’ itu hanyalah permulaan, yang kemudian berlanjut lagi… dan lagi…. Sesudah hari itu, candle light dinner menjadi acara rutin bagi mereka berdua melewatkan malam yang terluang. Dan, air mengalir, menghanyutkan apa yang tak berakar di tepian, dan Kim So Eun merupakan salah satunya….
“Aku bukan bujangan lagi,” suatu hari Lee Min Ho berkata dengan kejujuran penuh. “Tapi, bukan alasan klise kalau kukatakan tidak kutemukan kebahagiaan dalam pernikahanku, seperti bahagia yang kurasa ketika bersamamu. Jadi, izinkanlah aku menyimpan kebahagiaan itu. Apakah kau berkeberatan?”
Kim So Eun termangu. Bagaimana mengatakannya? Tentu saja dia keberatan! Status pernikahan Lee Min Ho pastilah sangat mengganggu, dan bahkan akan memunculkan suatu masalah besar. Sama sekali bukan hal yang layak untuk diabaikan! Tapi, bagaimana Kim So Eun mampu mengelak kalau ternyata dia pun mengalami kebahagiaan yang sama?
“Ah, rupanya kau bersembunyi di sini,” sebuah bisikan menghampiri Kim So Eun, menghentikan lamunan panjang gadis itu. Dua belah lengan memeluknya dari belakang. Secepat kilat dia menoleh. Lee Min Ho mempererat pelukan dan mengecup tengkuknya.
Gadis itu jengah mendadak. Mereka ada di perpustakaan, dan ada beberapa orang di sana, yang meskipun tampak sedang membaca, bisa saja melihat apa yang mereka lakukan.
“Lee Min Ho, hentikan! Malu dilihat orang,” bisik Kim So Eun, berusaha melepaskan diri dari pelukan.
“Kalau begitu, ayo, ke kamarmu!”
“Kau sudah gila! Ada Kim Bum disana!”
“Dia sudah ‘kukirim’ ke Games Centre,” Lee Min Ho menarik lengan Kim So Eun untuk mengikuti langkahnya. “Aku mengantuk sekali, ingin tidur sambil memelukmu. Pasti nyaman rasanya….”
Kim So Eun menghentikan langkah. “Mengapa kau tidak tidur di kamarmu sendiri, bersama Park Min Young?”
“Dia sedang mengikuti program spa. Baru akan selesai beberapa jam lagi. Jadi, tidak usah cemas. Kita akan aman-aman saja,” ujar Lee Min Ho menenangkan.
Kim So Eun menghela napas. Tanpa pilihan lain, diikutinya langkah Lee Min Ho, dan dipasrahkannya diri dalam pelukan pria itu.
Siang begitu panas. Matahari bersinar penuh sehingga laut bagai memantulkan cahaya. Di dalam kamar, Lee Min Ho tertidur pulas. Di sisinya, Kim So Eun menatapnya.
Apakah kau mencintaiku, Lee Min Ho? Gadis itu bertanya-tanya dalam hati. Kalau jawabannya ‘ya’, di sisi manakah kau tempatkan aku di dalam hatimu? Aku pernah membaca, sebuah buku yang isinya… dalam keputusasaannya seorang istri pernah mengatakan, bahwa tiga orang terlalu banyak dalam sebuah pernikahan.
Orang ketiga membuat sebuah pernikahan menjadi sesak, overload bila meminjam istilah untuk lift. Berarti harus ada salah satu yang mengundurkan diri. Dan, berdasarkan hukum agama, undang-undang negara, ataupun etika moral, akulah yang ‘satu’ itu! Tapi, jika kau harus memilih, berdasarkan nuranimu, siapakah yang akan kau pilih, Lee Min Ho? Akukah orangnya? Seperti yang pernah kau katakan, bahwa akulah sumber kebahagiaanmu….”
Kim So Eun menyimpan pertanyaan itu dalam benaknya dan bermaksud mencari waktu yang tepat untuk mendapatkan jawabannya. Tapi, ketika Lee Min Ho membuka mata dan meraihnya dalam pelukan, pertanyaan itu tak terbendung lagi.
“Apakah kau mencintaiku?” tanya Kim So Eun, lirih.
“Tentu, aku sangat mencintaimu!” Lee Min Ho menjawab dengan keyakinan penuh.
“Apakah arti cinta itu bagimu?”
“Artinya adalah, bahwa di sisimu aku selalu bahagia, kau membuatku selalu merindukanmu, dan membuatku tidak menginginkan apa pun selain dirimu.”
“Benarkah?” Kim So Eun bertanya ragu. Ditatapnya mata Lee Min Ho.
“Cintaku padamu bagaikan candu bagiku,” sambung Lee Min Ho dengan tatapan penuh cinta yang memabukkan. “Perselingkuhan kita adalah dosa besar, bagimu, bagiku. Tapi, rasa cinta ini begitu menguasaiku, tak mampu kuelakkan hingga aku mengabaikan segala akal sehat, membuang rasa dosa, hanya demi mencintaimu, Kim So Eun….”
Kalimat itu, oh, alangkah indahnya! Sedemikian merayu hati, melambungkan jiwa, namun sekaligus pula berlumur dosa. Benar, cinta memang bagai candu yang membius!
“Aku tahu kau gelisah, Sayang, dan aku tahu apa yang menjadi bebanmu,” Lee Min Ho membelai rambut Kim So Eun, menghirup wanginya.
“Apa ?”
“Hatimu mulai mempertanyakan arah hubungan kita. Perasaan keperempuananmu mulai menuntut sebuah pengakuan dan pengesahan. Dan ego mulai mengarahkanmu untuk tidak puas dengan sesuatu yang terbagi.”
Kim So Eun terpukau. Tepat sekali! Bagaimana mungkin Lee Min Ho bisa setepat itu membuka isi hatinya?
“Bagaimana kau tahu?”
“Hmm, wanita adalah misteri,” Lee Min Ho menatap Kim So Eun tepat di bola matanya. “Bukan hal mudah untuk memahami apa yang ada dalam hatinya, tapi dalam kondisi tertentu, khususnya urusan cinta, kalian tidak ubahnya bagaikan lembaran buku yang terbuka, begitu mudah terbaca.”
“Lalu bagaimana kau memberikan jalan keluar bagi beban hatiku?” desak Kim So Eun.
Lee Min Ho berkelit mengamankan diri, jemarinya lembut membungkam bibir gadis itu. “Simpan dulu pertanyaan itu, dan jangan minta aku melakukan pilihan sekarang, Kim So Eun. Park Min Young sedang mengandung anakku”
“Tapi….”
“Aku mencintaimu. Hanya satu yang kuinginkan di dunia ini, yaitu mencintaimu, mencintaimu, mencintaimu…,” Lembut Lee Min Ho mengulum bibir Kim So Eun. Sedemikian lembutnya hingga membuat gadis itu bagai melayang di hamparan awan dan menembus batas langit biru. Sebongkah cinta ada dalam pelukannya!
Alarm telepon genggam mendadak berdering nyaring. Lee Min Ho menghentikan pagutannya dan kemesraan yang belum tuntas itu usai sudah.
“Sayang, spa-nya sudah selesai? Aku hampir beku menunggumu,” sigap Lee Min Ho meraih ponsel dan menciptakan dusta dengan mahir.
Di tempatnya berbaring, Kim So Eun menahan nyeri yang menekan ulu hatinya. Perlahan dirapikannya rambut dan bajunya. Semudah itukah dusta diciptakan? Bahkan, lebih mudah dari sekedar membalik telapak tangan. Dusta dan kebenaran ternyata sebangun dengan sisi mata uang, satu keping dengan dua sisi yang berbeda. Lalu, bagaimanakah membedakan dua sisi yang bertolak belakang itu? Manakah yang merupakan kebenaran bagiku dan bagi Park Min Young?
“CafĂ© Lavender? Baiklah, aku segera ke sana! Ingat, jangan kau habiskan es krimnya, ya. Dan, jangan ke mana-mana, aku tidak ingin kehilangan kalian lagi,” sambung Lee Min Ho, mesra.
“Oh, ya, tentu saja ‘kalian’. Kau, kan tidak sendiri lagi. Sayang, ada si kecil di perutmu….”
Kim So Eun tak tahan lagi. Dibukanya pintu untuk menyelamatkan diri dari kalimat ‘mesra’ yang bukan untuknya itu. Tapi, detik berikutnya, langkahnya terhenti.
“Jangan cemburu begitu,” Lee Min Ho menghadang langkahnya. “Kalau aku bersikap mesra pada Park Min Young, itu kulakukan demi keamanan hubungan kita. Bagimu, barangkali aku tampak mendua, tapi sesungguhnya itu hanya kamuflase. Di hatiku yang terdalam sepenuhnya hanya ada dirimu, Kim So Eun.”
Kim So Eun berpaling. Kemarahan membayang jelas pada wajahnya.
Lee Min Ho tak menyerah. Lembut disentuhnya kedua belah pipi Kim So Eun. “Ayolah, jangan marah. Hatiku risau melihatmu sedih. Katakan apa yang harus kulakukan? Kalau kau ingin aku tetap di sini bersamamu, aku tidak akan pergi.”
“Lalu, janjimu pada Park Min Young ?” tantang Kim So Eun.
“Abaikan itu, yang terpenting adalah dirimu!”
Dusta atau kebenarankah itu? Kim So Eun menajamkan mata, dicarinya jawaban pada sepasang mata di depannya. Begitu dekat mata itu, begitu bening hingga bagai telaga yang terlihat dasarnya. Dan, yang terlihat di sana hanyalah cinta, cinta, dan cinta.
“Aku…,” Kim So Eun mendadak bimbang.
Detik itu pula terdengar ketukan, dan detik berikutnya Kim Bum muncul di ambang pintu. “Park Min Young mencarimu,” katanya singkat pada Lee Min Ho.
Lee Min Ho masih tak beranjak. “Kim So Eun ingin aku di sini,” katanya, tanpa melepaskan tatapan.
“Oh tidak, tidak!” Kim So Eun melepaskan diri dari Lee Min Ho, rasa jengah menguasainya. “Pergilah….”
“Ya?” Lee Min Ho menegaskan.
“Pergilah,” Kim So Eun membuang pandang.
“Nanti malam aku kembali,” bisik Lee Min Ho sembari berlalu. Lalu hening, yang tersisa hanya helaan napas panjang. Di dalam kamar, Kim So Eun dan Kim Bum diam mematung.
“Boleh kukatakan sesuatu?” kata Kim Bum hati-hati sesaat kemudian.
“Katakanlah….”
“Apa yang kalian lakukan ini, sungguh sangat berisiko! Benar kapal ini besar, memuat lebih dari seribu penumpang, tapi terlalu kecil untuk menyembunyikan rahasia kalian.”
“Aku tahu. Itu tidak perlu kau umumkan.”
“Jadi, kenapa tetap kau lakukan?”
“Menurutmu, aku harus bagaimana?”
“Keikutsertaan kita dalam kapal ini adalah satu kesalahan besar,” keluh Kim Bum tiba-tiba. Menghela napas panjang.
“Lebih tepatnya, keikutsertaanmu,” Kata Kim So Eun.
“Kau takut Park Min Young menuduhmu terlibat dalam kasus ini?”
“Tidak, Kim So Eun. Aku lebih mencemaskan dirimu.”
“Kenapa ?” Kim So Eun tercengang.
Kim Bum menatap Kim So Eun, tepat di bola matanya. Sejurus kemudian ia berucap, “Kupikir, tidak selayaknya kau menerima perlakuan seperti ini,” gumamnya lirih, penuh penyesalan.
Kim So Eun tercenung. Seperti tersentuh sesuatu. Ya, mungkin Kim Bum benar! Sesungguhnya aku tak layak menerima perlakuan seperti ini. Seharusnya tak kuikuti permainan gila Lee Min Ho. Tapi, mengapa aku tak mampu menolaknya?
“Park Min Young sedang hamil,” Kim Bum melanjutkan, masih dengan nada hati-hati.
“Tidakkah kau berpikir, bahwa kehadiran anak-anak akan membawa banyak perubahan? Maksudku, bagaimana bila kehadiran anak itu justru akan membuat Lee Min Ho berpikir panjang untuk melanjutkan hubungan denganmu?”
“Tidak. Kau salah sangka!” Kim So Eun menggeleng penuh percaya diri.
“Lee Min Ho mengatakan, justru kehadiran anak itu akan membuat kami lebih sering bertemu!“
“Kenapa?” Kim Bum bertanya tak mengerti.
“Anak itu tentu membuat Park Min Young sibuk, sehingga tidak punya banyak waktu untuk peduli pada Lee Min Ho,” kata Kim So Eun dengan keyakinan penuh.
“Itu,’kan dugaanmu. Bagaimana bila anak itu mampu menyentuh emosi Lee Min Ho dan menyadarkannya, bahwa ia telah menjadi seorang ayah?”
“Mana mungkin? Lee Min Ho tidak bahagia dalam pernikahannya, anak itu akan membuat beban baru baginya!”
“Lee Min Ho bilang begitu?”
“Ya.”
“Ah, itu alasan klise, Kim So Eun! Pria paling sering menggunakan alasan klise itu untuk memanipulasi kebohongannya. Sebagai pria, aku tahu persis, 90 % dari kaumku, memanfaatkan alasan ketidakbahagiaan rumah tangga mereka untuk ‘mengesahkan’ perselingkuhannya. Meski sesungguhnya, terjadinya perselingkuhan itu lebih didominasi keinginan untuk mencari tantangan dan sensasi baru belaka.”
Kim So Eun terkejut. Inikah pengakuan jujur seorang pria, atau hasil analisa seorang pria terhadap pria lain? Sekadar analisa, atau karena ada maksud tertentu yang menyertainya?
“Kalau boleh kusarankan,” sambung Kim Bum lagi “Siapkan alternatif, semacam ‘rencana B’ untuk mengantisipasi sesuatu yang tidak terduga pada ‘rencana A’-mu, Kim So Eun.”
“Kupikir, kau terlalu peduli pada masalah ini,” Kim So Eun mendadak curiga. “Apakah kau ingin menyelamatkan pernikahan Lee Min Ho? Kau berpihak pada Park Min Young karena dia juga temanmu?”
“Aku tidak berpihak pada siapa pun,” bantah Kim Bum cepat. “Dan, apakah kau pikir aku sanggup menyelamatkan pernikahan Lee Min Ho atau siapa pun? Sama sekali tidak, Kim So Eun! Kalau toh, aku berhasil mempengaruhimu untuk mengakhiri perselingkuhan ini, bukan berarti pula Lee Min Ho akan berhenti berselingkuh. Selama masih ada hasrat untuk melakukannya, peluang semacam itu akan selalu ada.”
“Jadi?”
“Aku lebih melihat bahwa apa yang terjadi pada dirimu adalah babak awal dari apa yang kualami sekarang!”
“Apa maksudmu?” Kim So Eun bertanya bingung. Mereka-reka arah pembicaraan Kim Bum.
“Mulanya berjudi adalah permainan belaka bagiku. Sekadar melewatkan waktu luang dan variasi dari clubbing. Tapi lebih jauh kemudian, persaingan mulai berpengaruh, memunculkan ambisi. Dan, ambisiku untuk memenangkan setiap perjudian telah ‘mendikteku’ untuk terus berjudi. Mengesampingkan akal sehatku, bahwa pada kenyataannya, aku justru semakin terpuruk jatuh dalam kekalahan!”
“Ya, kusadari kemudian, ambisi memberiku harapan, bahwa pada perjudian selanjutnya aku akan menang dan bisa melunasi kekalahan sebelumnya. Tapi, nyatanya? Aku justru kalah dan kalah lagi….”
“Sampai sekarang?”
“Itu tidak penting,” Kim Bum menggeleng. “Apa yang perlu kau lihat adalah, jangan membiarkan dirimu terjatuh semakin jauh. Lee Min Ho akan terus memberimu harapan dan kau akan terus terlena untuk mengikutinya.”
Kim Bum dan Kim So Eun baru saja menyelesaikan makan malam dan sedang berjalan menikmati angin malam di dek 12, ketika terdengar suara musik di dance lounge mengalunkan lagu.
Coz there's something in the way you look at me
It's as if my heart knows you're the missing piece
You make me believe that there's nothing in this world I can't be
I'd never know what you see
But there's something in the way you look at me
Christian Bautista - The Way You Look At Me
“Lagunya bagus, berdansalah denganku,” pinta Kim So Eun, perlahan.
“Aku tidak bisa berdansa,” jawab Kim Bum jujur.
“Ah, mudah, ikuti saja langkahku!”
“Nanti kakimu terinjak.” Kim Bum menatapnya ragu.
Kim So Eun tersenyum. “Ayolah, Kim Bum,” katanya, sembari mengulurkan tangan. Akhirnya Kim Bum menerima ajakan Kim So Eun untuk berdansa. Suatu hal yang tak pernah dilakukan sebelumnya!
Mereka melangkah ke tengah ruangan yang menjadi arena dansa. Kim So Eun menuntun tangan kiri Kim Bum untuk memeluk pinggangnya, sementara jemari yang lain saling berpegangan. Kemudian diayunkannya langkah mengikuti irama lagu.
Perlahan Kim Bum mengikuti irama langkah gadis itu. Langkah ke depan, ke samping, ke belakang, ke samping, ke depan lagi. Mereka begitu dekat. Kim So Eun seolah berada dalam pelukan Kim Bum. Terasa tubuhnya begitu mungil, sehingga sesekali dahinya menyentuh dagu Kim Bum. Dan, setiap kali itu pula tercium wangi yang samar dari helaian rambutnya, lembut membelai seirama hembusan angin.
“Kau jenius, punya bakat berdansa,” bisik Kim So Eun, menyimpan senyum.
“Tergantung siapa dulu pengajarnya,” sahut Kim Bum, membalas senyum Kim So Eun.
“Besok kapal singgah di Twilight?” Kim So Eun mengalihkan percakapan.
“Ya, ada waktu dua jam untuk berkeliling. Kau mau ikut denganku?” ajak Kim Bum.
“Kemana?”
“Garnier Hill’s, itu tempat yang sangat menarik! Sebuah bukit dengan sisa benteng Twilight di sekelilingnya, namanya Alferindo.”
“Hanya itu?” Kim So Eun mengernyitkan alis.
“Ada juga Danau Wizard, dan Taman Century Flower…”
“Taman?” Kim So Eun memotong cepat. Ia tampak mulai tertarik.
“Ya, taman itu dibangun di atas bukit. Sangat inspiratif! Sebagian dinding air mancurnya sudah berlapiskan lumut, bangku-bangkunya terbuat dari kayu tua berusia puluhan tahun,” Kim Bum menghentikan ceritanya. Di depannya, Kim So Eun terdiam. Tatapan matanya kosong, menampakkan kesunyian yang panjang.
“Hei, kau melamun!” Kim Bum menyentuh bahunya.
“Aku sudah lama ingin ke Danau Wizard (Danau yang punya legenda, kalau siapa pun yang mengucapkan permintaan di danau itu akan terkabul) itu,” bisik Kim So Eun, nyaris tak terdengar. Cahaya matanya mendadak muram. Gerakannya yang semula bersemangat, menyusut perlahan.
Kim Bum menyadari perubahan itu. Tapi, sebelum sempat bereaksi lebih jauh, Kim So Eun sudah menyandarkan diri dalam pelukannya. Ia mendadak tampak begitu rapuh dan sendirian. Kim Bum menghela napas panjang. Nalurinya mengatakan, gadis itu layak untuk dilindungi. Hati-hati kemudian diterimanya gadis itu dalam pelukannya.
Mendadak kemudian sebuah dorongan kasar merenggut gadis itu dari pelukannya. Dan, sebelum Kim Bum sadar apa yang terjadi, sebuah pukulan keras menghantam rahangnya. Kim Bum terhuyung beberapa langkah dan terjatuh. Jeritan tertahan terdengar memenuhi ruangan. Iringan musik terhenti tiba-tiba.
“Kurang ajar!” maki Lee Min Ho, tak terkendali. Dengan marah diburunya Kim Bum.
“Lee Min Ho, apa yang kau lakukan?” teriak Kim So Eun, menghadang.
“Minggir!” hardik Lee Min Ho. “Seujung jari pun ia tidak berhak menyentuhmu!”
“Aku yang memintanya menemaniku berdansa,” bela Kim So Eun, mencoba meredakan kemarahan Lee Min Ho.
Berpuluh pasang mata mengawasi insiden itu. Beberapa orang tampak membantu Kim Bum untuk berdiri.
“Murahan! Benar-benar tidak pantas!” Lee Min Ho masih memaki.
Kim So Eun terhenyak. Tidak disangkanya Lee Min Ho akan memakinya setajam itu.
“Aku membayarmu tidak untuk melakukan ini! Aku harus memberimu pelajaran!” Kemarahan Lee Min Ho tak terkendali. Dicengkeramnya leher Kim Bum dan bersiap untuk menghujamkan pukulan kembali.
“Jangan!” Kim So Eun berusaha melerai.
“Biar saja, biarkan dia melakukan apa yang dia mau,” jawab Kim Bum datar, sembari menyeka darah di ujung bibirnya. “Anggap saja ini bagian akhir dari skenario itu, sehingga Park Min Young bisa melihat apa yang terjadi dan kita tidak perlu berpura-pura lagi!”
Lee Min Ho terhenyak, mendadak seperti tersadar dari sesuatu. Dia mengedarkan pandangannya ke deretan ‘penonton’ di sekeliling ruangan. Tapi, sosok yang dicarinya tak ada. Selamat! Park Min Young tidak berada di sana! Sesaat baru disadarinya, Park Min Young tentu sudah tertidur pulas di dalam kamarnya, Junior suite balcony di dek 9. Di dalam kamar nyaman itu, bisa dipastikan Park Min Young tidak akan bangun hingga besok pagi! Ya, mudah-mudahan begitu….
Menyadari dirinya menjadi tontonan banyak orang, Lee Min Ho menahan diri. Dilepaskannya cengkeramannya, lalu bergegas menyelamatkan diri. Ditariknya Kim So Eun untuk mengikuti langkahnya. Untuk menghindari kericuhan muncul kembali, Kim So Eun tidak membantah keinginan Lee Min Ho. Sebelum beranjak, diisyaratkannya pada Kim Bum untuk tidak mengikuti langkahnya.
Kim So Eun tidak sepenuhnya ingat apa yang terjadi sesudah itu. Yang tidak dilupakannya adalah bahwa Lee Min Ho marah besar dan ia harus menerima kemarahan itu tanpa syarat.
Menjelang dini hari, Kim So Eun terbangun oleh ketukan keras di pintu kamar. Setengah sadar ditemukannya dirinya tertidur di sofa. Dengan mata mengantuk ditelitinya sekeliling ruangan. Kosong, tak ada orang lain. Di mana Lee Min Ho? Oh, tentu dia sudah kembali ke kamar istrinya! Entah jam berapa ia meninggalkan Kim So Eun semalam. Lalu, Kim Bum?
Ketukan terdengar lagi, lebih keras. Bergegas Kim So Eun mengenakan kimono dan membuka pintu. Seorang petugas kapal menyambutnya dengan wajah cemas.
“Maaf Nyonya, terpaksa membangunkan Nyonya dini hari begini, tapi suami Nyonya…,” katanya terbata.
Suami? Kim So Eun terkejut. Nyaris digelengkannya kepala membantah petugas itu dan menyangkanya salah kamar. Tapi, detik berikutnya ingatan tentang skenario kamuflase itu membuatnya mengurungkan bantahan.
“Ya, ada apa?” tanyanya kemudian. “Apa yang terjadi pada suami saya?”
“Hujan turun semalaman, tapi suami Nyonya bersikeras tidak mau masuk ke kabin. Sejak insiden pemukulan itu, dia berada di Promenade, kehujanan sepanjang malam!”
“Di mana dia sekarang?” Kim So Eun bertanya cemas. Dia baru menyadari semalaman Kim Bum tidak kembali ke kamarnya.
“Medical centre….”
Di klinik, Kim So Eun menemukan Kim Bum menggigil kedinginan dalam balutan selimut handuk. Diulurkan tangannya, meraba dahi pria itu. Panas tinggi!
“Dokter sudah memeriksanya, Nyonya, tapi Tuan tidak mau minum obat,” petugas medis menjelaskan sembari menyerahkan sejumlah obat.
“Aku tidak sakit!” sergah Kim Bum. “Aku cuma kedinginan….”
“Suhu badanmu tinggi, itu artinya kau demam.”
“Tidak! Aku hanya….”
“Ssst, sudahlah,” Kim So Eun menghentikan bantahan Kim Bum. “Sakit itu sesuatu yang alami, bisa datang pada siapa saja, dan dalam situasi apa pun. Untuk apa kau sibuk membantahnya?”
Kim Bum terdiam. Dia tak membantah ketika Kim So Eun memapahnya kembali ke kamar.
Di dalam kamar, Kim So Eun mengulurkan obat dan botol air mineral. “Ayo, minumlah,” katanya lembut, tapi dengan nada tak terbantah. “Lalu buka bajumu….”
“Untuk apa?”
Kim So Eun menunjukkan obat gosok yang dibawanya. “Punggungmu perlu dioles obat ini, supaya hangat, dan membuatmu bisa beristirahat.”
“Obat gosok itu?” Kim Bum ragu-ragu .“Aku tidak pernah menggunakannya.”
“Lakukan saja apa yang kukatakan. Hasilnya bisa kau lihat besok pagi!”
Kim Bum tak mampu membantah lagi. Perlahan dibukanya baju dan menyediakan punggungnya dengan pasrah.
Kim So Eun mengerjapkan mata mengamati punggung yang terbuka itu. Begitu bidang punggung Kim Bum! Dengan otot bahu yang kokoh serta garis urat yang terlihat jelas, seakan menampakkan ketangguhan dan kekerasan menghadapi kehidupan. Ya, kehidupan keras macam apakah yang telah dijalaninya? Kim So Eun mengusir beribu tanya dalam benaknya. Segera dioleskannya obat penghangat pada punggung Kim Bum sembari dilakukannya sedikit pijatan pada bahu pria itu.
“Tidak kusangka, kau pintar memijat! Nyaman sekali rasanya!” Kim Bum memejamkan matanya.
“Anggap saja ini bonus dariku,” sahut Kim So Eun, tersenyum, buru-buru menyelesaikan pijatannya. “Kalau boleh tahu, kebodohan apa yang sudah kau lakukan semalaman? Mengapa tidak masuk kamar?”
“Ada Lee Min Ho bersamamu…,” suara Kim Bum terdengar geram.
“Tapi, tidak seharusnya kau berhujan-hujanan begini. Ada perpustakaan, games centre, cafe, bar, atau apa sajalah yang bisa menghindarkanmu dari terpaan air hujan!”
“Aku sedang ingin menghukum diriku sendiri,” gumam Kim Bum, lebih pada dirinya sendiri.
“Untuk apa?” Kim So Eun mengernyitkan alis, tak mengerti.
“Untuk semua kesalahan yang telah kulakukan.”
“Maksudmu, kecanduanmu berjudi?”
“Ya, antara lain…”
“Kau pikir apakah itu sebuah solusi? Apakah dengan melakukan hukuman itu, hutangmu menjadi lunas?”
“Tidak juga…,” Kim Bum menggelengkan kepalanya.
“Itulah!” potong Kim So Eun, cepat.
Kim Bum kehilangan kata-kata. Sejurus kemudian, dihelanya napas panjang sembari membaringkan tubuh. “Barangkali aku sedang putus asa,” gumamnya, memejamkan mata pelan-pelan.
Kim So Eun mengambil selimut untuk menutupi tubuh Kim Bum. “Kau pernah mengatakan padaku, hanya aku yang mampu menolong diriku sendiri, sekarang sepertinya kalimat itu berbalik padamu,” katanya, tegas.
“Seperti bumerang, senjata makan tuan.” Kim Bum tersenyum pahit.
Kim So Eun menangkap kepahitan itu. Sekilas bagai bercermin. Dirasakannya kepahitan yang sama pada dirinya sendiri. “Kau sudah mengantuk. Tidurlah, Kim Bum,” katanya, kemudian membenahi selimut Kim Bum.
“Ya….” Kim Bum memejamkan mata. Ia seperti anak kecil yang sangat menurut pada ibunya.
Kim So Eun mematikan lampu. Dalam gelap diamatinya tidur pria itu. Kim Bum benar, seperti komitmennya semula ketika akan menempati kamar ini bersama Kim So Eun. Ia tidak mendengkur!
Ya, Kim Bum, kita berdua adalah pecundang. Kim So Eun ‘berkata-kata’ sendiri dalam kesunyian. Aku membiarkan diri terhanyut dalam dosa perselingkuhan, sementara kau terjebak dalam perjudian demi mengejar ambisi untuk menang dan mendapatkan materi yang kau harapkan! Sekarang bagaimana caranya kita mengakhiri semua ini? Mungkinkah kita mendapatkan kesempatan? Kesempatan untuk berhenti dari semua kepahitan ini, lalu memilih jalan lain, dan menjadi sosok yang ‘baru’ di kemudian hari?
Perlahan Kim So Eun menghela napas panjang. Disimpannya pertanyaan itu dalam benaknya. Dia pun memejamkan matanya. Rasanya seluruh tubuhnya lelah sekali . Di luar, langit dini hari masih gelap gulita.
Bersambung…
wah..gila..aku suka banget.. cerita mu bagus bagus.. salam kenal
BalasHapus