Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Selasa, 14 Juni 2011

Crazy Love (Chapter 2)



“Kenalkan, ini pacarku," Jung So Min meraih lengan pria tampan yang datang bersamanya ke reuni SMA mereka. "Tampan tidak?"

Kim So Eun hanya membalas canda temannya dengan seuntai senyum. Senyum manis yang membuat serangga pun rasanya ingin ikut tersenyum.

Dia memang tidak pernah berubah, pikir Jung So Min kagum. Lima tahun tidak mengubah penampilan dan sifatnya. Dia masih tetap Kim So Eun yang dikenalnya di SMA. Ketua kelas yang sabar. Murid yang paling patuh. Dan siswi yang paling pintar.

Jung So Min masih ingat sekali kejadian di SMA mereka saat itu. Guru Fisika mendadak berhalangan datang. Ah, sebenarnya bukan mendadak. Guru Fisika memang sering bolos. Menimbulkan persepsi jelek mengenai dirinya.

“Mengobjek, seperti biasa," komentar si nyinyir Go Ah Ra, seperti biasa, sok tahu.

"Istrinya mengajaknya ke Pasar," sambung Moon Geun Young sambil tertawa mengikik. Tawa yang kalau malam, apalagi kalau dia tertawa dekat kuburan, pasti membuat orang merinding.

"Ayo, kita kabur saja!" usul Jung So Min, kreatif seperti biasa.

Dia memang paling sering mengajukan usul yang secara aklamasi [pernyataan setuju secara lisan] diterima oleh seluruh kelas, kecuali tentu saja, si ketua.

Kim So Eun menjadi belingsatan sendirian ketika ditinggalkan oleh semua temannya. Karena dialah yang harus mempertanggungjawabkan perbuatan teman sekelasnya, meskipun dia tidak bersalah.

Dan Kepala Sekolah tidak peduli apa alasannya. Tidak peduli yang salah bukan sang ketua kelas.

Itu tanggung jawab seorang pemimpin. Harus menerima hukuman akibat kesalahan anak buahnya.

Memang bagus kalau prinsip itu diterapkan sesudah mereka terjun ke masyarakat nanti. Karena biasanya kalau sudah jadi pemimpin, mereka lebih sering cuci tangan.

Kim So Eun dihukum untuk kesalahan yang dilakukan teman-temannya. Ketika Kepala Sekolah tahu kelasnya kosong melompong, Kim So Eun dimarahi habis-habisan. Tentu saja dia harus memarahi Kim So Eun kalau tidak mau memarahi bangku dan dinding kelas. Nanti disangka gila.

Dan Kim So Eun menerima hukumannya dengan sabar. Menyalin tugas fisika yang harus dikerjakan hari ini. Membersihkan kelas. Dan menunggu sampai jam pulang sekolah di kantor Kepala Sekolah.

Dia tidak melawan. Tidak membantah. Tidak menyalahkan siapa-siapa. Wajahnya tetap jernih meskipun lelah. Perangainya tetap selembut biasa. Dan dia masih bisa tersenyum tipis ketika pamit hendak pulang.

Ketika keesokan harinya teman-temannya tahu apa yang terjadi, mereka menyorakinya. Tetapi Kim So Eun tidak marah. Dia hanya menyampaikan apa yang dikatakan Kepala Sekolah. Dan menyuruh teman-temannya menyalin tugas fisika. Selesai. Tidak ada gerutuan. Tidak ada keluhan.

"Kau dimarahi Kepsek, ya?" tanya Moon Geun Young penasaran.

"Iya," sahut Kim So Eun singkat.

"Dihukum juga?"

"Untuk apa kau tanyakan itu lagi?" potong Go Ah Ra gemas. "sudah tahu masih kau tanyakan saja!"

"Hatimu itu terbuat dari apa, Kim So Eun?" gerutu Jung So Min heran campur kesal. "Seharusnya kau itu marah! Kau kan tidak salah. Masa kau yang dihukum?"

"Itu kan memang tanggung jawab ketua kelas," sahut Kim So Eun lunak seperti biasa. "Aku gagal memimpin kalian." Kim So Eun memang seperti itu. Sampai sekarang.

Tak ada yang bisa mengubahnya. Kim So Eun masih tetap secantik dan selembut ketika pertama kali Jung So Min mengenalnya. Tiga tahun menjadi sahabatnya di SMA, Jung So Min sudah kenal sekali sifat-sifat Kim So Eun.

Dia gadis yang alim. Teman yang setia. Pendengar yang sabar. Seseorang seperti Jung So Min sangat membutuhkan teman seperti Kim So Eun untuk tempat mencurahkan perasaan. Karena itu persahabatan mereka berlangsung mulus sampai sekarang meskipun mereka kuliah di dua kota yang berbeda.

Jung So Min masuk fakultas kedokteran di Seoul, sementara Kim So Eun memilih fakultas kedokteran gigi di Incheon, karena ibunya pindah ke sana.

Kim So Eun sudah sering mendengar cerita Jung So Min tentang teman-teman kuliahnya termasuk Kim Bum, pria yang dibawanya malam ini. Selama berpisah Jung So Min memang sering mencurahkan isi hatinya melalui email-email yang dikirimnya.

Tetapi Kim So Eun belum pernah melihat Kim Bum. Dan ketika pertama kali Kim So Eun melihat pemuda itu, dia merasakan sebuah perasaan aneh menjalari hatinya. Perasaan yang belum pernah dicicipinya.

Ketika mata mereka bertemu untuk pertama kalinya, hatinya terasa bergetar seperti dawai. Sebuah lagu bagai mengalun lembut menyapa sisi paling dalam di lubuk hatinya. Ketika itu rasanya sekujur sarafnya ikut bernyanyi.

Inikah cinta? pikir Kim So Eun resah. Cinta pada pandangan pertama? Ya Tuhan, jangan! Lelaki ini milik Jung So Min. Milik sahabatku!

Tetapi Kim Bum memang tipe pria yang sangat menarik. Sulit ditolak. Sukar dijauhi. Bukan hanya tubuhnya saja yang melukiskan kelaki-lakian yang sempurna. Wajahnya pun mengguratkan ketampanan yang prima.

Rahang yang kokoh. Sepasang mata yang melekuk dalam di rongga mata yang mengapit tulang hidung yang tinggi. Dan bibir tipis yang dilatarbelakangi sederet gigi yang putih rata. Senyum yang mempesona. Wow!

Kim So Eun sangat mengaguminya. Lebih-lebih kalau dia sedang tersenyum. Karena- setiap kali tersenyum, bukan hanya bibirnya saja yang merekah. Pipinya pun ikut melesung pipi. Dan senyum itu seolah-olah bukan hanya berhenti di bibir. Senyumnya seakan merambah ke sekujur parasnya, membuat wajahnya ikut berlumur senyum.

Tubuhnya yang menjulang gagah, pasti tak kurang dari seratus delapan puluh, dibalut, oleh kulit yang bersih. dadanya yang bidang melengkapi postur atletis yang ditampilkannya. Tanpa bertanya pun, Kim So Eun yakin, kalau bukan atlet, dia pasti gemar berolahraga.

"Bagaimana?" desak Jung So Min ketika mereka saling mengucapkan salam perpisahan malam itu.

"Bagaimana apanya?" Kim So Eun berusaha menyembunyikan perasaannya. Ya Tuhan, jangan! Jangan sampai dia tahu!

"Heran!" Jung So Min memukul bahu temannya dengan gemas. "Kalau di kelas kau jago sekali. Kenapa kalau di luar jadi telmi begini?"

"Aku tidak mengerti dengan apa yang kau bicarakan!"

"Apa lagi? Ya pacarku!"

"Kenapa dengan pacarmu?"

"Tampan tidak?"

"Tampan."

Datarnya nada suara Kim So Eun membuat Jung So Min semakin penasaran.

"Kau itu wanita apa bukan?"

"Kenapa bertanya seperti itu?"

"Seingatku, kau tidak pernah menyukai pria."

"Tidak perlu lapor denganmu, kan?"

"Aku tahu, kau gadis superalim, religius, inosen, dan lain-lain. Tapi pacaran itu tidak dosa! Kau boleh saja menyukai pria. Percayalah padaku, Tuhan tidak akan marah!"

"Sudahlah, Jung So Min, kau jangan bicara yang tidak-tidak!" Susah payah Kim So Eun berusaha menyembunyikan parasnya yang tiba-tiba saja terasa panas.

"Itu, kau sudah ditunggui pacarmu di depan! Nanti dia mengamuk!"

"Kim Bum? Mengamuk?" Jung So Min tertawa lebar. "Tidak akan pernah! Dia Pria yang paling sabar!"

"Kalau jadi pacarmu memang harus sabar tujuh turunan!"

"Ayo, sedang mengegosipkan siapa lagi?" sambar Park Min Young, yang dua kali terpilih jadi pemimpin tim pemandu sorak SMA mereka, tapi tidak pandai memilih suami. Teman-temannya termasuk Jung So Min, kecewa sekali ketika melihat pria yang digandengnya malam ini. Benar-benar sudah hampir kedaluwarsa. Sudah perutnya gendut, rambutnya hampir botak. Dahinya yang lebar, licin dan mengkilap seperti helm. Kalau ada semut iseng-iseng jalan di sana, pasti sudah dua kali tergelincir.

Heran. Dilihat dari sudut mana pun, lelaki ini tidak akan masuk hitungan. Nah, mengapa Park Min Young justru memilihnya? Mengapa dia begitu tidak selektif, memilih pria yang hampir masuk museum?

"Orangnya baik sekali," sahut Park Min Young santai ketika teman-temannya penasaran mengorek rahasianya. "Sabar, Jujur, Kebapakan. Seperti ayahku."

"Tapi kau mau cari suami kan, Park Min Young? Bukan mencari Ayah," sindir Yoo Ah In yang sejak dulu menyukai Park Min Young. Penasaran sekali dia melihat seperti apa tampang lelaki yang akhirnya memiliki gadis yang didambakannya. Sudah sakit mungkin mata Park Min Young itu! "Atau kau mengincar uangnya, ya?"

"Sembarangan saja kalau bicara!" Park Min Young memukul bahu Yoo Ah In dengan gemas. Persis seperti dulu waktu SMA. Sampai lupa dia sudah punya suami. "Jahat sekali mulutmu itu!"

Justru saat itu suaminya muncul mengajak pulang. Tetapi sampai di depan pintu aula pun Park Min Young masih mencari-cari teman-temannya. Rasanya dia belum ingin berpisah.

"Ayo, beri tahu aku…siapa yang sedang kalian gosipkan?" tanya Park Min Young begitu dia melihat Jung So Min sedang tertawa lebar.

"Mau tahu saja," sahut Jung So Min seenaknya.

"Jangan percaya begitu saja dengan ceritanya, Kim So Eun!" sergah Go Ah Ra, si nyinyir. "Dari dulu sampai besok, ceritanya cuma setengah persen yang betul! Sisanya karangan belaka! Bohong!"

"Jangan menggoda Kim So Eun terus!" Seperti biasa Shim Changmin selalu tampil sebagai pahlawan kesiangan. Seperti dulu juga teman-temannya tahu, Shim Changmin sudah lama menyukai Kim So Eun. "Katakan saja padaku kalau ada yang menggodamu, Kim So Eun!"

Kim So Eun hanya tersenyum tipis. Sementara, teman-temannya tertawa gelak-gelak.

"Dari dulu juga daganganmu tidak laku!" ejek Jung So Min geli. "Tidak pernah insaf juga!"

"Kau punya cermin tidak, Shim Changmin?" sambar Go Ah Ra menahan tawa. "Seharusnya kau berkaca dulu di rumah! Selama wajahmu masih culun seperti itu, mana ada wanita yang menyukaimu? Boro-boro Kim So Eun, aku saja tidak mau!"

"Menghina sekali kau?" belalak Shim Changmin pura-pura gusar. "Nanti kuculik kau!"

Sambil menahan tawa, Jung So Min menyeret Kim So Eun menjauhi teman-temannya. Selama masih berkumpul bersama mereka, gurauan mereka memang tidak ada habis-habisnya. Rasanya waktu berlalu begitu cepat. Begitu banyak kenangan indah yang mereka ingat kembali. Begitu banyak peristiwa lucu yang membangkitkan tawa.

Memang masa di SMA merupakan masa yang paling indah. Tidak heran kalau mereka enggan melupakannya.

"Besok kita berkumpul lagi, ya?" tukas Jung So Min kepada Kim So Eun ketika malam itu mereka berpisah. "Awas kalau tidak datang!"

Jung So Min memang masih ingin melepas rindu. Sudah lima tahun mereka tidak pernah berjumpa. Wajar saja kalau dia masih ingin mengobrol dengan sahabatnya. Curhat lewat email kan tidak sama dengan kasak-kusuk begini. Lebih asyik.

Yang tidak wajar justru Kim Bum. Di luar dugaan, ketika Kim So Eun datang ke rumah Jung So Min untuk menepati janjinya, Kim Bum ikut muncul di sana.

"Tumben," cetus Jung So Min tanpa menyembunyikan keheranannya. "Untuk apa kemari siang-siang begini?"

"Memangnya tidak boleh aku kemari siang-siang begini?" jawab Kim Bum seenaknya setelah dia menyapa Kim So Eun. Tentu saja tanpa melupakan senyum patennya. Senyum yang dia tahu selalu membuat gadis-gadis sulit tidur seperti minum secangkir espresso.

"Kau itu kan kelelawar. Biasa terbang malam."

"Sudah bagus bukan vampir! Kalau tidak, bisa habis darahmu kuhisap!"

Mereka tertawa geli. Kim So Eun tersenyum meskipun dia sedang repot berusaha menenteramkan hatinya.

Jangan, Tuhan, jangan, pintanya antara khusyuk dan cemas. Jangan sampai aku mengkhianati temanku sendiri! Mengambil milik orang lain....

"Sebenarnya, untuk apa kau datang kemari?” tanya Jung So Min penasaran ketika sudah hampir satu jam Kim Bum mengobrol dengan Kim So Eun, dia belum mengatakan juga apa tujuannya ke rumah Jung So Min.

"Memangnya tidak boleh?"

"Ya boleh. Cuma heran saja. Biasanya kan kalau tidak ada perlunya kau tidak akan muncul siang-siang begini. Jangan-jangan gara-gara Kim So Eun, ya? Kau menyukainya, ya?"

"Kalau gara-gara dia memangnya kenapa? Tidak cemburu, kan?"

"Kenapa harus cemburu? Pacar bukan, suami bukan!"

Lagi-lagi mereka tertawa geli. Membuat Kim So Eun terenyak bingung.

"Jadi dia bukan pacarmu, Jung So Min?" cetus Kim So Eun tak sabar ketika Kim Bum permisi pulang. Itu pun setelah tiga kali digebah Jung So Min.

Jung So Min tertawa renyah.

"Banyak yang bilang dia pacarku."

"Kenyataannya bukan?"

"Memang kenapa kalau bukan?"

"Tidak kenapa-napa. Cuma aneh saja. Kau mengenalkan dia sebagai pacarmu. Tapi kenyataannya bukan. Apa tidak aneh?"

"Kita cuma berteman."

Belum pernah Kim So Eun merasa hatinya demikian lega. Tapi begitu perasaan lega itu terlukis di wajahnya, Jung So Min langsung melihatnya.

"Kenapa? Kau menyukainya?" desaknya tajam.

"Ah, tidak." Kim So Eun menyembunyikan wajahnya yang kemerah-merahan. "Kalau aku menyukai semua pria yang lewat, sudah berapa kali aku menikah?"

Tapi pria yang satu ini memang berbeda. Kim Bum bukan sembarang pria lewat. Dia pria istimewa. Dan untuk pria yang satu ini, Kim So Eun tidak dapat mengelak semudah biasanya. Karena dia sudah jatuh cinta.

Dan Jung So Min terlambat menyadari, bukan hanya Kim So Eun yang mencintai Kim Bum.

Bersambung…

1 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...