Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Selasa, 28 Juni 2011

Love Story In Beautiful World (Chapter 18)



Kim Bum berbaring di kamarnya. Menatap langit-langit, sambil memikirkan Park Ji Yeon. Terkutuk! Penghinaan! Berani berciuman dengan pemuda lain. Terkutuk! Tapi, tunggu dulu. Kenapa aku marah? Berapa kali aku meninggalkan pacarku, meninggalkannya begitu saja? Lalu, kalau sekarang Park Ji Yeon dicium pemuda lain, apa masalahnya? Lantaran dia belum aku lepaskan secara resmi. Ya, itulah masalahnya. Hanya diriku sebagai pria yang belum pernah dipatahkan, telah dihinanya.

Suara langkah seseorang mendekat. Dan, Kim Bum merasa seseorang berbaring di sampingnya. Dia tahu siapa orang itu. Maka dia diam saja. Dia terus membuat bulatan-bulatan asap rokoknya.

"Maafkan aku, Kim Bum," kata Lee Ki Kwang pelahan.

Kim Bum tak acuh. Lee Ki Kwang pun menyalakan rokoknya.

"Tidak bisa kuhindari," kata Lee Ki Kwang. "Kau menyuruhku mengawal Park Ji Yeon. Tapi, aku tidak bisa menetralkan perasaanku. Aku ingin tidak ada perasaan istimewa, tetapi ternyata suasana alam gunung ini menyebabkanku tidak mampu membunuh perasaanku. Selama menjalankan tugas bersama-sama, simpatiku tumbuh. Kami seperti bukan lagi orang yang mengawal dang dikawal. Lebih dari itu, aku mencintainya." Lee Ki Kwang berusaha melirik reaksi Kim Bum. Tetap dingin.

"Dan, dia?" ujar Kim Bum.

"Kalau dia berani meninggalkanmu, tentu dia punya kepastian yang dipilihnya."

Kim Bum menghembuskan asap rokoknya.

"Dia bilang begitu?"

"Ah, tidak. Aku tidak tahu," kata Lee Ki Kwang gugup.

"Apakah bukan kesepian dan keheningan daerah ini yang menyebabkan itu terjadi?" kata Kim Bum.

Lee Ki Kwang tidak menjawab.

"Benarkah, kau mencintainya?"

"Ya."

"Apakah dia juga mencintaimu?"

Lee Ki Kwang diam. Di luar, seorang mahasiswi memetik gitar dan bernyanyi pelahan. Denting-denting senar gitar merayap-rayap masuk lewat jendela.

"Marilah kita bicara secara jantan, Lee Ki Kwang," kata Kim Bum dingin.

"Maksudmu?"

"Apakah kau merasa kau telah merampas Park Ji Yeon dari tanganku?"

Lee Ki Kwang gelagapan. Dia duduk dan membuang pandang ke dinding.

"Kalau kau merasa begitu," kata Kim Bum, "aku layak tersinggung. Dan, sebagai pria yang tersinggung, aku harus menunjukkan perlawanan yang sesuai dengan kejantanan seorang pria!"

Lee Ki Kwang melirik sekilas. Lalu, cepat-cepat mengalihkan lirikannya sebelum bertemu dengan sorot mata Kim Bum. Sebenarnya, seandainya dia lebih memperhatikan, dia akan melihat tawa samar di sudut bibir Kim Bum.

"Bagaimana? Apakah kau merasa merampas dia?"

"Tidak."

“Jadi?”

"Ya, aku mencintainya," kata Lee Ki Kwang terbata-bata. "Begitu saja. Selama proses ini, aku sama sekali tidak teringat dirimu. Barangkali di sinilah kesalahanku. Aku bahkan lupa bahwa dia pacarmu. Aku hanya melihat dia sebagai pribadi yang utuh. Seorang gadis yang berjalan menempuh bukit-bukit berbatu, di bawah matahari yang menyengat. Tangannya kupegang, betisnya kuurut jika dia keletihan di tanah gersang. Terus terang, kami menjadi dekat dalam kesukaran-kesukaran selama riset ini. Aku tidak membayangkan merampas dia darimu. Aku hanya merasa mencintai seseorang yang sangat dekat dengan diriku."

"Bagus! Kalau begitu, selesai masalahnya." Kim Bum duduk.

Mereka duduk berhadapan di atas tikar di tengah kamar penginapan itu. Kim Bum mengisap rokoknya. Lee Ki Kwang melirik tangan yang terangkat itu, tangan yang kukuh karena latihan Taekwondo.

"Jadi, tidak ada yang terampas dan dirampas dalam masalah ini." kata Kim Bum. "Tidak ada yang kalah dan menang. Begitu kan?"

"Iya. Yang ada cuma soal cinta," kata Lee Ki Kwang pelahan.

"Bagus. Teruskanlah." Lee Ki Kwang terpana. Tetapi, dia merasakan tangan Kim Bum yang menepuk-nepuk bahunya. Karena bertatapan, Lee Ki Kwang pun menyentuh bahu Kim Bum.

Dan, suara di pintu, "Kim Bum!"

Keduanya menoleh. Park Ji Yeon tegak di mulut pintu, menatap mereka bergantian. Gadis itu canggung.

"Dipanggil Mrs. Son Ye Jin," kata Park Ji Yeon, lalu dia meninggalkan ambang pintu.

Secepat kilat, Kim Bum bangkit dan mengejar Park Ji Yeon.

"Kenapa dia memanggilku?"

Park Ji Yeon tidak menjawab. Rambutnya melambai-lambai sementara dia melangkah lebar dengan kepala tertunduk.

"Kenapa kau jadi pendiam, Park Ji Yeon?" kata Kim Bum.

Mata Park Ji Yeon tetap menghujam ke tanah.

"Aku mau bicara nanti," katanya hampir tak terdengar.

"Tadi kaubilang aku dipanggil Mrs. Son Ye Jin?"

"Iya. Nanti selesai urusanmu dengan dia, kutunggu kau di dekat bukit."

"Ah, tidak usahlah. Aku tahu apa yang mau kau bicarakan.”

Langkah Park Ji Yeon terhenti. Dia menatap Kim Bum.

"Ini serius, Kim Bum."

"Ya, aku tahu, Adikku Sayang." Kim Bum tersenyum. Senyum lunak itu membuat Park Ji Yeon menggigil.

"Ah, kau tidak pernah mau serius," keluh Park Ji Yeon.

"Kau mau membicarakan saat kau dicium Lee Ki Kwang?"

Darah menyerbu ke wajah Park Ji Yeon. Wajah gadis itu memerah.

"Baru saja aku dan Lee Ki Kwang membicarakan itu," lanjut Kim Bum.

"Jangan salahkan dia. Aku yang salah," kata Park Ji Yeon gemetar.

"Iya, kau yang salah," kata Kim Bum.

Park Ji Yeon menunduk. Bibirnya gemetar. Maka bakat kurang ajar Kim Bum kambuh lagi.

"Kesalahanmu selangit," kata Kim Bum. "Lee Ki Kwang bilang, kau kaku sekali berciuman."

Napas Park Ji Yeon sesak.



"Lalu kubilang, 'Tidak mungkin! Park Ji Yeon sangat pandai berciuman. Apalagi kalau menggigit-gigit bibir pasangannya, wah, bukan main!’….”

"Kim Bum!" Suara Park Ji Yeon terengah.

Tawa Kim Bum mengakak. Maka Park Ji Yeon berani memandangnya. Dan, dia menemukan mata yang ramah. Namun begitu, gemetar di badannya belum juga hilang.

Mrs. Son Ye Jin bersama-sama beberapa mahasiswi ketika Kim Bum menghadap.

"Kenapa Park Ji Yeon yang anda suruh memanggil saya?" tanya Kim Bum.

"Apa salahnya?"

"Dia menteror saya. Dia bilang, anda sedang marah sekali."

"Eh, kapan aku bilang begitu?" Park Ji Yeon terbata-bata.

"Ya, aku memang ingin marah. Aku ingin melihat apa yang mau kau perbuat. Tahu kenapa Park Ji Yeon yang saya suruh memanggilmu?" kata Mrs. Son Ye Jin.

"Tidak. Kenapa?"

"Karena yang lain tidak mau."

"Semua membenci saya?"

"Ya."

"Uf!"

"Kecuali Park Ji Yeon tentunya," kata Mrs. Son Ye Jin.

"Ah, benarkah?”

"Jangan, pura-pura lagi. Kau pikir saya tidak tahu?" Mrs. Son Ye Jin tertawa. Matanya menyelidik. Mahasiswi-mahasiswi di tempat itu tersenyum takut. Park Ji Yeon menunduk. Mrs. Son Ye Jin memperkeras tawanya. lalu katanya, "duduklah, Kim Bum."

Kim Bum melepaskan napas yang tertahan sejak tadi. Dia mengangkat bahu, lalu duduk.

"Saya baru saja menerima surat dari Dekan," kata Mrs. Son Ye Jin sembari membuka tasnya. Sebuah amplop ber-kop fakultas mereka, dia keluarkan. "Tentang corat-coret dan plakat-plakat di fakultas tempo hari, pemasangnya sudah diketahui."

Mahasiswi-mahasiswi menatap Kim Bum dan Mrs. Son Ye Jin bergantian. Mrs. Son Ye Jin memandang Kim Bum dengan pandangan lunak.

"Bukan Kim Bum. Saya minta maaf karena menuduhnya dulu," kata Mrs. Son Ye Jin.

Dan, mahasiswi-mahasiswi itu menarik napas dalam-dalam. Hebat! Hebat! Killer minta maaf. Bukan main! Untuk pertama kalinya dalam sejarah, dosen yang tidak pernah salah itu meminta maaf kepada mahasiswanya. Ah, Kim Bum Hero kami!

"Siapa yang memasang plakat itu?" tanya Kim Bum.

"Beberapa mahasiswa yang terkena peraturan penertiban fakultas. Mereka yang berturut-turut tiga tahun tidak naik dalam satu tingkat. Lee Hong Ki yang mengusut masalah ini."

Lalu Kim Bum membaca surat dari Dekan itu. Lalu, surat itu beredar dari tangan ke tangan. Senyum Mrs. Son Ye Jin jarang hilang dari bibirnya. Matanya kian cemerlang hari-hari belakangan ini.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...